Ahmadinejad Bukanlah Xerxes


Sejarah laksana patahan yang penuh manipulasi dan memuat kisah orang besar

(Thomas Carlyle, 1834)


BAIT lirih dari sejarawan Skotlandia, Thomas Carlyle (1795-1881), terus mengiang di benakku malam ini. Sejarah laksana sebuah kanvas dan di dalamnya tergores epos serta kisah heroik yang dituturkan sejumlah tokoh. Sebagai kanvas, sejarah jelas tidaklah netral sebab tergantung pada siapa yang menggoreskan warna dan jejak. Sejarah selalu terkait dengan berbagai relasi sosial dan kekuasaan. Sejarah adalah panglima dan alat pembenar dari sebuah rezim berkuasa yang menjadikan para sejarawan sebagai ritus yang melengkapi siklus kekuasaan.

Aku hendak bertutur tentang sejarah. Semalam, aku nonton film berjudul 300 yang disutradari oleh Zack Snyder di Mal Margo City, Depok. Sejak awal, aku agak enggan menyaksikan film yang diprotes keras oleh Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad. Kata Ahmadinejad, bangsa Eropa sedang membangun konstruksi kebencian pada bangsa Iran melalui beragam stigma dan simbol yang memojokkan. Konstruksi itu berupa gambaran kalau Iran adalah bangsa yang buas, ganas, serta penuh dengan bara permusuhan yang menggelegak.

Namun, seorang temanku meyakinkan kalau sebuah penilaian adalah babakan terakhir dari proses mengamati realitas, mengolahnya dalam benak, memilah-milah, mengkategorisasi, kemudian membuat beragam interpretasi dan berakhir pada penilaian. Memvonis tanpa menyaksikan adalah upaya jump to the conclution yang tergesa-gesa dan terburu-buru dalam memandang realitas. Yah, apa boleh buat. Argumen temanku itu memaksaku untuk menyaksikan film 300.

Film ini bertutur tentang sejarah pertempuran besar di Thermopylae, Yunani, tahun 480 Sebelum Masehi (SM). Kisahnya adalah pasukan Kerajaan Sparta (Yunani) yang hanya berjumlah 300 orang mempertahankan diri hingga akhir hayat dari serbuan Kekaisaran Persia yang berjumlah jutaan dan datang bagaikan tsunami air bah yang mengalir deras. Persia yang dipimpin Xerxes (dalam bahasa Persia disapa Khshayarsha) hendak mencengkeram Eropa demi menebarkan kegemilangan serta puncak dari kejayaan dan supremasi bangsa Asia. Namun, 300 pasukan Sparta yang dipimpin Leonidas tidaklah hanyut dan modar begitu saja. Ada perlawanan luar biasa serta drama yang begitu mencekam saat 300 prajurit Sparta membunuh jutaan prajurit Persia hingga mayatnya menggunung dan dikelilingi burung pemakan bangkai. Ada konstruksi tentang kengerian sekaligus kekaguman akan semangat yang tak pernah padam.

Aku kagum dengan penataan kompugrafik film ini. Namun dari segi substansi cerita, film ini biasa-biasa saja. Tak ada motif penjelas pertempuran. Tak ada lanskap sosio historis serta kultural. Malah, yang ada adalah berbagai manipulasi simbol sejarah. Ada banyak kepingan realitas yang menarik dianalisis. Tapi aku cuma mengambil beberapa bagian. Aku agak membenci pada gambaran tentang Persia serta berbagai manipulasi sejarah yang ada pada film itu. Film ini menggambarkan pasukan Persia sebagai pasukan Arab yang bersurban dan menyerang dengan cara pengecut. Seolah-olah, pasukan Persia hanya berani karena berjumlah banyak. Gambaran tentang Xerxes adalah gambaran seseorang berkulit gelap yang botak, culas, dan penuh cincin di wajahnya. Xerxes digambarkan sebagai kaisar yang punya banyak budak, memiliki banyak pelacur dan wanita penghibur di tendanya, serta punya wajah yang ngeri sebagaimana monster. Kalau diperhatikan dengan detail, sosok Xerxes persis seperti tokoh India yaitu Dhalsim dalam versi video game berjudul Street Fighter. Sosoknya kurus, berkulit gelap, baju penuh rumbai dan kalung, punya banyak cincin di wajahnya serta seringai seperti monster. Ketika Xerxes berhadapan dengan Leonidas, sempat melintas adegan ketika Leonidas kecil berhadapan dengan srigala seolah-olah Xerxes adalah personifikasi srigala.

Xerxes juga punya pasukan berupa monster yang bertubuh tinggi dan berwajah menyeramkan. Pasukan elite Persia punya wajah yang seram kayak monster Gollum dalam film Lord of The Ring. Pasukan itu digambarkan memakai pakaian baja ala samurai Jepang dan berwajah khas Asia. Ada pula dukun Cina yang melemparkan mesiu. Sepanjang film, ada narator yang beberapa kali menyebut pasukan itu sebagai bangsa Asia yang culas dan hendak menguasai Eropa. Waduh....... aku ikut sakit hati mendengar kata-kata naratornya.

Usai menonton film, aku menyempatkan diri untuk membuka-buka buku sejarah dan melihat langsung bagaimana sosok Xerxes serta peristiwa itu sesungguhnya. Aku mencatat kalau para sejarawan banyak berdebat tentang peristiwa itu. Namun, sejarawan Eropa membahas peristiiwa itu berdasarkan catatan dari filsuf Yunani kuno yang juga bapak sejarah yaitu Herodotus. Pria ini mencatat kalau Persia membawa pasukan sebanyak 2.641.610 prajurit. Menurutnya, jumlah yang sesungguhnya bertarung dengan 300 pasukan Sparta adalah sekitar 200 ribu orang. Artinya, argumen film ini kalau ada jutaan pasukan adalah nol besar. Itupun, 200 ribu itu bisa mengundang perdebatan. Sebab Herodotus adalah filsuf asal Yunani yang jelas-jelas akan mengkonstruksi realitas yang menguntungkan bangsa Yunani. Dalam versi sejarah yang lain, disebutkan kalau pasukan Persia hanya berjumlah 2 ribu orang. Sejarawan Persia malah menyebut peristiwa itu hanya rekaan saja. So, ada dramatisasi yang terlalu berlebihan.

Menurut Herodotus, lama pertempuran itu adalah sekitar 10 hari. Leonidas agak licik saat menggiring pasukan Persia ke dekat jurang di Gunung Athos dan membantainya di situ. Sejarah mencatat, usai mengalahkan Leonidas, Xerxes lalu membakar Athena. Pada tahun 480 SM, ia dikalahkan pasukan Yunani yang dipimpin oleh Themistocles. Ia kembali ke Asia dan membiarkan pasukannya dipimpin oleh saudaranya Mardonius. Aku sempat melihat lukisan Xerxes (dalam bahasa Persia disapa Khshayarsha) tidaklah seseram monster. Justru Xerxes berwajah damai dan ada janggut di wajahnya. Ia adalah putra Kaisar Persia yaitu Darius I dan Attosa, yang merupakan putri dari tokoh masyhur Cyrus The Great. Sepintas, aku melihat Xerxes seperti Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Malah, wajah Leonidas yang agak seram dengan mata yang liar serta janggut panjang ala Socrates. Ia memakai topi perang yang terbuat dari besi dan menutupi separuh wajahnya.

Begitu banyak proses pembelokan sejarah. Aku tak mungkin mengurai satu per satu. Yang jelas, aku sepakat dengan idolaku Ahmadinejad kalau krisis nuklir Iran telah mendorong bangsa barat untuk membuat konstruksi yang demikian buruk tentang dunia Arab dan Persia. Gambaran itu menjelaskan pandangan dunia serta pilihan ideologi dari segelintir orang di barat. Para penganut mazhab konstruktivisme dalam studi komunikasi telah banyak menjelaskan kalo film itu selalu terkait dengan social practice (praktik sosial). Realitas dalam film adalah realitas yang sengaja dibuat berdasarkan pandangan dunia (world view) tertentu. Film ini tak pernah netral sebab menjadi lanskap dari perbenturan diskursus dan ideologi.

Dalam konteks kekinian, film ini hendak membangun kebencian pada bangsa Iran. Gambaran tentang Xerxes yang seperti monster membuat bangsa barat seakan membangun paralelisasi dengan Ahmadinejad. Padahal, film itu hanyalah sebuah propaganda dan menjadi jembatan bagi kita untuk mengenali bagaimana bangsa Eropa yang melihat kita sebagai bangsa barbar. Melihat kita sebagai para pengecut yang masih percaya mistik, punya monster, serta haus kekuasaan. Makanya, pembacaan ala teori spin doctor atau membaca realitas secara terbalik mungkin bisa menjadi solusi untuk menafsir film ini. Yang jelas, aku berkesimpulan kalau Ahmadinejad bukanlah Xerxes sebagaimana konstruksi film ini. Justru Xerxes di film itu adalah gambaran dari sosok Eropa yang culas dan cenderung ekspansif. Lesson learned (hikmah) dari film ini adalah realitas film yang tak pernah netral. Film adalah lanskap dari berbagai benturan ideologi. Setuju nggak??

Depok, 9 April 2007

Pukul 11.37 malam


4 komentar:

Anonim mengatakan...

Dalam sejarah perkembangan manusia, tidak peduli dari bangsa mana pun, selalu ada manusia2 yang haus akan kekuasaan, serakah. Di Indonesia, Gajah Mada begitu berambisi menaklukkan nusantara. Di Cina, perang perebutan kekuasaan dan dinasti tidak habis2nya. Bangsa Barat pun tidak melewatkan ambisi kolonialismenya. Jadi bagi saya, di mana ada manusia serakah, di situ ada kolonialisme dan penjajahan.
Film 300 bagi saya merupakan suatu produk seni dan demonstrasi teknologi perfilman. Mengenai ceritanya, siapa saja berhak berpendapat. Siapa pun berhak memihak. Seperti seseorang yang membela suku, ras, atau agamanya, semua itu adalah hak manusia untuk memilih. Yang tidak dibenarkan justru adalah mencabut hak tersebut dari seseorang.

Anonim mengatakan...

Gajah Mada? betul saya dengar ambisinya (dalam kelas2 sejarah). Tapi apa benar Gajah Mada menaklukkan nusantara? nusantara seperti apa? apa bukan berbentuk kerja sama dagang atau lainnya. Jadi penaklukan Gajah Mada adalah mengalahkan barrier laut, sesuatu yang bukan menjadi "spesialisasi" majapahit. Ada politisasi sejarah utk "superioritas" etnis jawa. Kenapa tidak merujuk pada penggunaan nama Jawadwipa (mengacu pada kapur barus), yang jelas2 ada di sumatera. Apa bukan berarti jawa itu lahir dari penguasa sumatera yang mendominasi jawa. Ralat bila saya salah. Maaf bila terkesan kasar, hanya tertarik.

Anonim mengatakan...

salam kenal. resensi yg mencerahkan.

Ulil Amri mengatakan...

Setuju.
Saya telat nontonnya. Sepertinya mereka tak bisa membedakan bahwa orang Persia itu ras Arya. Sepupunya orang Jerman. Bukan Arab. Film ini minim riset.

Posting Komentar