Diajari Ignas Kleden

AKHIRNYA aku bertemu dengan Ignas Kleden. Ia benar-benar sosok yang luar biasa dan telah memantik rasa ingin tahu serta ketertarikanku akan ilmu sosial.

Tahun lalu, ia menerima penghargaan dari Freedom Institut atas dedikasinya pada pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Penghargaan yang tahun ini diterima oleh sosiolog Arief Budiman.

Kini, ia kembali melecut rasa ingin tahuku untuk menelisik dunia sains sosial secara lebih jauh. Upaya untuk menjelajah secara intens pada dunia realitas sosial yang demikian penuh belukar.

Ignas menjadi dosen mata kuliah Hermenetika dan Teori Interpretasi. Mata kuliah yang semestinya diajarkan oleh istrinya sendiri yaitu Ninuk Kleden. Rencananya, ia akan mengajar untuk tiga kali pertemuan.

Aku benar-benar tak menyangka kalau Ignas akan mengajar pada mata kuliah itu di kampus Universitas Indonesia (UI). Makanya, ketika ia masuk, aku benar-benar surprised dan tidak menyangka bakal diajari intelektual yang selama ini aku idolakan.

Pada saat ia mulai mengajar, aku sengaja duduk di depan dan memandanginya. Aku tak bosan memandang sosoknya. Ia menjelaskan tentang teori hermenetik dan tradisi filsafat Jerman.

Fisiknya tak semuda yang kubayangkan. Ia terlihat sudah tua. Kulitnya hitam legam. Rambut putih tumbuh jarang di kepalanya yang plontos. Ia mewakili wajah khas warga Indonesia timur.

Kata-katanya meluncur deras secara tajam. Rupanya, ia sangat efektif dalam berbicara. Ia tak bertele-tele namun lugas dan penuh dengan selaksa makna.

Ignas menjadi gambaran dari sejauh mana penjelajahan ilmu sosial. Ia lebih banyak bermain di tataran teoritik. Sebuah dunia yang sangat melangit dan butuh abstraksi yang tinggi.

Hari Senin itu, ia membahas tentang hermenetika dari sisi historis. Saat ia bertanya siapa yang bisa menjelaskan tentang hermenetika, aku langsung mengacungkan tangan dan menjelaskan tentang hermenetika.

Setelah itu, beberapa teman ikut menjelaskan. Tapi, kayaknya pendapatku yang paling dalam dan lebih bisa mendekati kebenaran. Aku nggak geer lho.

Sepanjang kuliah, aku banyak bertanya. Ia juga tak bosan-bosan menjelaskan semua yang kutanyakan. Aku bahagia bisa diajar oleh Ignas. Setidaknya rasa hausku akan pengetahuan bisa teratasi.

Sesudahnya, mulailah Ignas menjelaskan lanskap teoritik hermenetik. Ia membedah empat filsuf Jerman yang menjadi nabi hermenetik. Mereka adalah Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, hingga Gadamer.

Yah, ia memang hebat, malah lebih hebat dari tulisan-tulisannya.

Usai perkuliahan, aku langsung memperkenalkan diri pada Ignas. Awalnya ia mengira kalau aku lulus S1 di Universitas Indonesia (UI). Saat aku menjelaskan kalau aku lulus di Unhas, Ignas tampak senang.

Ia lalu bercerita tentang kegiatannya yang melakukan training bagi warga jeneponto akan demokrasi. Ia mengajari mereka bagaimana proses demokrasi diterapkan dalam skala yang kecil. Aku benar-benar kagum pada Ignas.

Beberapa tahun yang lalu, aku membaca karya Ignas yang judulnya Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Karya ini demikian bagus dan bisa menggambarkan bagaimana dinamika serta problem metodologis yang melanda ilmu sosial.

Analisisnya tajam serta penuh dengan referensi teoritis yang tetap aktual hingga kini. Ignas benar-benar sosok yang bisa menjelaskan secara filosofis apa yang sesungguhnya terjadi dalam konteks Keindonesiaan.

Dalam buku itu, ia berbiacara tentang tema Relevansi Sosial dan Relevansi Intelektual. Ia berbicara tentang sifat sains yang terbatas pada aspek spasio dan temporal. Mesti ada titik temu antara kebenaran intelektual dan kebenaran sosial.

Ia juga menjelaskan tentang Juergen Habermas, Popper, Clifford Geertz serta sejumlah intelektual lainnya. Ia benar-benar hebat ketika menjelaskan itu.

Buku kedua dari Ignas yang aku baca berjudul Indonesia Sebagai Sebuah Utopia. Buku ini membuat kumpulan tulisannya di Harian Kompas dan media lainnya. AKu paling suka dengan bahasannya tentang Komunisme. Ia terlihat sangat menguasai persoalan.

Aku tersentak saat membaca analisisnya atas kolom Catatan Pinggir yang ditulis Goenawan Mohamad. Ia bisa menyibak sisi kelemahan yang selama ini tidak disadari ketika membaca esai yang katanya terbaik di Indonesia tersebut.

Bahkan, pengamat budaya Nirwan Ahmad Arsuka juga menilai analisis Ignas adalah tilikan yang paling bisa menjelaskan tentang kelemahan Goenawan. Sebuah tilikan yang terbaik jika dibanding tokoh lainnya yaitu William Liedle, Aswab Mahasin, hingga Ariel Heryanto.

Yah, semoga aku bisa menjadi Ignas Kleden di masa mendatang. Apa saya bisa?

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Bung Yusran, Anda benar-benar kagum ya pada sosok Ignas Kleden. Benar, keluarga Kleden memang terkenal cerdas. Hermien Kleden di TEMPO dan satu lagi sepupu mereka Budi Kleden, seorang pastor yang kini mulai banyak menulis di Kompas, juga luar biasa.
Menjadi Kleden di masa datang, kenapa tidak? Ignas Kleden hanyalah seorang anak yang lahir dan besar di kampung Waibalun, Flores Timur. Semasa kecil, makannya hanya singkong dan jagung titi. Beras ia makan dari jatah bulanan ayahnya yang seorang guru.

Anonim mengatakan...

Sungguh, Anda beruntung bisa mendapat kuliah dari Pak Ignas Kleden. Anda tahu, ada sekian banyak orang yang terkagum-kagum dengan analisis dan pemikiran Ignas. Saya pun rindu duduk di dekat Ignas dan mendengar kuliahnya. Ia sosiolog yang sangat tajam karena menguasai betul secara teoretik aliran-aliran pemikiran sosial. Ini contoh yang baik, karena banyak ilmuwan kita, menurut saya, tak cukup mendalam menguasai teori-teori ilmu mereka akibatnya pemikiran mereka tak beda jauh dengan mahasiwa atau kaum awam lainnya. Saya usul, Pak Ignas perlu lebih banyak mempublikasikan tulisan-tulisannya dalam bentuk buku dan diterbitkan di penerbit besar spt Gramedia-Kompas agar bisa didapat oleh teman-teman di daerah-daerah, bukan di Jawa saja. Trims, ya. Stef Tokan

fitri mengatakan...

mantap cerita nya, bisa buat refrensi di kampus

Posting Komentar