Riset Membuktikan, Orang Licik Selalu Lebih Sukses dari Orang Jujur


Di dunia dongeng, orang baik selalu menang. Si jahat dihukum, kebaikan dirayakan, dan langit dipenuhi pelangi. Di sekolah-sekolah, kita selalu diajarkan untuk menjadi orang baik.

Tapi dunia nyata punya naskah yang berbeda. Di ruang-ruang rapat, panggung politik, dan lorong kekuasaan, kita kerap menyaksikan satu hal yang menyakitkan tapi nyata: orang licik naik jabatan, sementara orang jujur justru tersingkir perlahan.

Mengapa bisa begitu?

Karena dunia tidak bergerak hanya oleh moralitas, tapi oleh strategi. Seperti yang ditulis Robert Greene dalam The 48 Laws of Power:

“You must learn to disguise your intentions. Honesty is often seen as a weakness, while deception is interpreted as intelligence.”

Orang licik memahami permainan. Mereka tahu bahwa yang penting bukan hanya isi kepala, tapi cara membaca arah angin. Mereka tahu kapan harus menunduk, kapan harus bertepuk tangan, dan kapan harus berpura-pura lupa. 

Mereka tidak sibuk menjadi yang paling bisa, tapi menjadi yang paling dekat dengan pengambil keputusan. Mereka bermain di antara kepentingan, menempatkan diri bukan karena kompetensi, tapi karena koneksi.

Dalam ruang-ruang kekuasaan, keahlian sering kali kalah oleh kelicinan membangun aliansi. Mereka tahu bahwa satu bisikan di telinga yang tepat lebih berguna daripada seribu lembar laporan kerja. Seperti kata Greene lagi: “Use selective honesty and generosity to disarm your victim.”

BACA: Mengapa Penjilat Lebih Sukses dari Pekerja Keras?

Mereka menebar kesan baik bukan karena tulus, tapi sebagai umpan yang membuat mereka tampak tak berbahaya—sampai saat mereka mengambil alih.

Di balik senyuman mereka ada agenda. Di balik kerendahan hati mereka, ada kalkulasi. Mereka tak ingin menjadi yang paling cerdas di ruangan, mereka hanya ingin menjadi yang paling dibutuhkan. Dan dunia, sayangnya, sering kali memberi tempat pada mereka yang tahu cara menjual ilusi.

Riset menunjukkan, orang dengan sifat manipulatif lebih cepat menyesuaikan diri di lingkungan kekuasaan. Mereka pandai membaca dinamika sosial dan tahu kapan harus memihak, berpura-pura netral, atau menyelinap dari tanggung jawab. 

Dalam studi yang dimuat di Journal of Applied Psychology, orang-orang semacam ini punya keunggulan dalam memainkan peran sosial: tampak bijak, padahal licik; tampak ramah, padahal menyusun langkah. Mereka memoles persepsi, bukan memperbaiki substansi.

Orang baik, sebaliknya, sering terjebak dalam jebakan moral dan harapan bahwa dunia akan membalas kejujuran dengan keadilan. Tapi sistem tidak selalu bekerja begitu. Timothy Judge dari University of Florida menemukan bahwa orang-orang yang terlalu "baik" kerap dinilai tidak tegas. 

Mereka sopan, tetapi dianggap kurang dominan. Sedangkan yang licik, dengan sedikit kesombongan dan banyak keberanian, tampil sebagai pemimpin alami. Dunia kerja memang keras—dan kadang yang terlihat kuat bukan yang benar, tapi yang paling tega.

Sementara itu, kita hidup dalam zaman di mana persepsi lebih penting daripada kenyataan. Orang yang pintar membangun citra, mencuri hasil kerja orang lain, dan menempatkannya dalam portofolio pribadi—bisa lebih cepat naik dibanding orang yang benar-benar bekerja. Ini disebut impression management, dan dalam lingkungan yang dangkal, yang dijual adalah tampilan. Survival of the fittest, tapi kadang juga the fakest.

Apakah itu berarti kita harus menjadi licik?

Tidak juga. Tapi kita harus jujur pada kenyataan: kebaikan, jika tidak dibarengi kecerdasan sosial, bisa jadi beban. Dunia ini bukan ruang suci, tapi panggung drama di mana siapa yang menguasai naskah, dialah yang mengontrol panggung.

Namun, ingat pula: keberhasilan orang licik sering dibayar dengan mahal. Hidup mereka penuh siasat, sedikit ruang untuk tulus. Setiap senyuman menyimpan hitungan, setiap janji mengandung jebakan. 

Mereka berjalan di atas benang tipis yang rentan putus, dikelilingi oleh kecurigaan yang mereka ciptakan sendiri. Dalam dunia mereka, tak ada pertemanan sejati—hanya transaksi yang menunggu momentum.

Mereka mungkin memenangkan permainan, tapi kehilangan damai. Mereka mungkin memegang kekuasaan, tapi tidur dalam gelisah. Karena ketika seluruh langkah hidup didasarkan pada manipulasi, mereka harus terus waspada: siapa yang akan membalas tipu dayanya? Siapa yang diam-diam menyimpan dendam?

Robert Greene sendiri pernah memperingatkan: “The serpentine path of deception is exhausting. One day, it turns inward.”

Kelicikan yang terus-menerus, pada akhirnya, bukan hanya melukai orang lain—tapi juga mengikis jiwa sendiri. Mereka memenangkan pertempuran di luar, tapi perlahan hancur di dalam.

Dan saat cahaya panggung padam, hanya suara batin yang tersisa. Di sanalah perhitungan sejati dimulai.

Tapi sayangnya, tidak semua orang mencari kedamaian. Kata seorang kawan, “Hidup ini cobaan. Sukses dan gagal, dua-duanya cobaan. Kalau gitu, mending saya pilih jadi orang sukses, meskipun jahat”. Ada juga calon kepala daerah yang berbisik: “Daripada kalah terhormat, saya pilih menang curang.”

Begitulah dunia bekerja: antara hati nurani dan ambisi, kita semua sedang memilih versi terbaik dari diri kita—atau paling tidak, versi yang paling bisa bertahan.