RASANYA tak percaya membaca berita tentang
ditangkapnya Indra J Piliang di satu karaoke di kawasan Taman Sari, sekitar
Glodok. Indra, seorang penulis hebat yang bisa mengendalikan aksara agar
berbaris demi menyampaikan makna, tiba-tiba nampak seperti seorang pesakitan
saat duduk di kantor polisi dalam balutan baju cokelat. Senyumnya terkesan
dipaksakan saat dipotret memegang hasil tes urin yang menyatakan positif.
Di kantor polisi itu, Indra menjadi sosok
lain. Ia tampak lebih kurus dari sosoknya yang selalu tampil di televisi.
Wajahnya tak menampilkan kegarangan sebagaimana ditunjukkannya saat menebas
semua argumentasi pendukung Ahok di twitter saat pilkada DKI lalu. Ia bukan
lagi Indra yang nampak cerdas saat menerawang prilaku ataupun tingkah polah
para politisi Senayan. Ia bukan Indra yang begitu berapi-api saat membela
Anies-Sandi di pilkada DKI lalu. Atau Indra yang garang dalam debat politik di
televisi.
Di kantor polisi itu, jejak dirinya yang
hebat di sorotan kamera seakan lenyap tak berbekas. Dirinya serupa seorang
maling yang tertangkap saat hendak melakukan aksinya. Tak ada lagi analisis
sejarah ataupun komunikasi politik darinya. Justru ia menjadi bahasan dari
semua media, yang dahulu selalu mendekatinya demi menanti komentar ataupun
amatannya. Risiko terkena kasus adalah semua orang akan berpaling.
Tak ada yang mau dikaitkan dengan dirinya.
Bahkan partai Golkar yang selama ini menjadi rumah yang dibela dan
dipertahankannya seakan balik badan. Salah satu pengurus DPP Golkar tak ingin
nama partai beringin dibawa-bawa dalam kasus itu.
Indra adalah tipe politisi plus
intelektual. Latar belakangnya cukup panjang di ranah penelitian, juga ranah
kepenulisan. Produktivitas menulisnya di atas rata-rata. Jejaringnya juga
tersebar ke mana-mana. Dunia intelektualitas memberinya panggung untuk tampil
ke mana-mana. Di dunia politik, kariernya seakan jalan di tempat. Sebagai
politisi, ia gagal bersaing di pemilihan walikota. Ia juga tak sukses saat
hendak maju ke parlemen. Tapi, sebagai tim sukses, ia pernah sukses
mengantarkan Jokowi – JK sebagai pemimpin Indonesia.
Di dunia intelektual, ia cukup fair.
Biarpun mendukung Anies-Sandi, ia tak rela saat Prof Ahmad Syafii Ma’arif di-bully
banyak orang karena dianggap membela Ahok. Indra membuat cuitan yang
membela Ma’arif serta mengingatkan orang untuk tidak terjebak dalam kedunguan
yang disebarkan secara massal. Ia cukup konsisten pada nilai-nilai yang
diyakininya. Di titik nilai-nilai ini, ia dianggap konsisten sebab memilih
membela Ma’arif.
Namun, konsistensi itu akan selalu
dipertanyakan sepanjang garis waktu dan rentang panjang perjalannya sebagai
politisi dan intelektual. Pernyataannya akan dicatat dan disimpan publik. Di era
internet, Google dan berbagai media sosial lain akan menjadi lemari besar yang
menyimpan semua kalimat-kalimat yang ternah terucap dan kelak akan diungkap
kembali.
Eric Schmidt, salah petinggi Google, dalam
buku The New Digital Age, telah mengingatkan betapa internet menjadi
ruang yang menyimpan jejak digital seseorang. Sekali seseorang tersandung, maka
semua arsip dan jejak digital itu akan diungkap kembali.
Dalam hal Indra, pernyataan dan cuitan,
bahkan umpatan, pada pengguna narkoba diungkap kembali. Di twitter, beberapa
orang ramai mengangkat kembali jejak digital Indra saat membahas narkoba.
Banyak orang kembali mengangkat cuitan Indra yang menyinggung narkoba. Pada
satu masa ia kerap menyindir malah mengumpat politisi pengguna narkoba.
Tanggal 4 Februari 2012, ia mencuit: “Kalau
ada penumpang yg pinter, bawa sabu ke pswt Lion Air, Di ketinggian, kasih ke
pilot. "Cap, nyabu yuk?" Kreatif kali ya?” Tanggal 8 Oktober
2013, ia menyebar link anggota dewa yang tertangkap nyabu, ia mengatakan,
“Hadeuh! Mari jaga diri kawan!” (Selengkapnya lihat jejak digital itu DI
SINI).
Indra berhadapan dengan realitas politik
yang menggiriskan. Sudah pasti, dirinya yang pernah belajar tentang teori jarum
hipodermik di ranah kajian ilmu komunikasi akan paham bahwa media akan
membentuk realitas tentangnya, yang dengan segera akan mempengaruhi persepsi
semua orang. Indra hari ini bukan lagi Indra yang malaikat dan bisa menjaga
gawang nilai dan moral dalam setiap amatan ataupun cuitannya. Dia akan divonis
media dan publik. Rekam jejak mentereng yang ditorehkannya akan mudah rontok
saat dibisikkan satu kalimat sakti yakni “terciduk.”
Di era politik, yang segala sesuatunya akan
dipetakan dalam pendukung Jokowi atau pendukung Prabowo, tentu ada media yang
memihak Indra. Postingan-postingannya yang kritis diangkat kembali.
Pemihakannya pada Anies-Sandi kembali diungkit.
Penangkapan ini seolah skenario pihak
berkuasa untuk menyingkirkan orang-orang yang memilih berseberangan dengan
pemerintah berkuasa. Apalagi, tak ada barang bukti kuat yang ditemukan. Dia
hanya orang biasa yang dikorbankan. Benarkah?
Jika memang skenario, pertanyaan mendasar
yang harus lebih dulu dijawab adalah mengapa pula ia harus hadir di tempat
karaoke, tak jauh dari Mangga Besar itu? Jika hendak mencari inspirasi untuk
menulis novel, ia tak perlu harus datang ke tempat karaoke dan mencoba narkoba
di situ.
Seorang periset hebat selalu punya cara
untuk menemukan inspirasi, tanpa harus mengikuti 100 persen apa yang dilakukan
subyek penelitiannya. Lagian, ia seharusnya menahan diri untuk berkunjung ke
area-area yang kelak bisa menurunkan marwahnya. Harusnya ia lebih banyak di
tempat ibadah demi tetap menjaga marwahnya sebagai pembela nilai-nilai agama
sesuai sikap politiknya di pilkada DKI lalu.
Ah, anggap saja ia sedang khilaf. Sebagai
politisi, ia tahu tempat-tempat mana yang harus dihindarinya. Mungkin saja ia
sedang apes. Jika Indra adalah politisi jempolan, pastilah kasus ini akan
menjadi kawah candradimuka baginya. Kedepannya ia akan lebih berhati-hati dan
tidak terjebak di lubang yang sama.
Kedepannya, ia mesti recovery dan
tetap menulis serta berbicara pada ranah yang diyakininya. Biarpun kasus ini
akan selalu menjadi cap yang dilekatkan pada dirinya, ia tak boleh lantas layu
dan terkapar. Ia harus bangkit kembali, demi mencerahkan nalar publik melalui
tulisan dan kalimatnya. Kitapun tak harus menghujatnya secara berlebihan. Kita
berharap Indra tetap melakukan hal-hal besar, tak sekadar respon tidak penting
di dunia media sosial.
Pelajaran dari kasus Indra adalah politik
kita laksana perlombaan lari marathon. Kita harus pandai-pandai menjaga napas
dan ritme agar bisa berlari sepanjang lintasan. Menghabiskan energi di awal
bisa membuat kita jatuh dan tak kuasa melanjutkan lomba. Pelajarannya adalah
sedari muda, seorang politisi harus “selesai dengan dirinya.” Politisi
meletakkan pengabdian sebagai satu-satunya kosa kata yang akan dipegangnya di
berbagai arena.
Ah, mungkin juga kita yang keliru sebab
selalu menganggap para intelektual dan polisi harus serupa malaikat yang tak
pernah salah. Mereka cuma manusia biasa yang boleh jadi membahas banyak hal
besar di setiap sudut-sudut kehidupan masyarakat kota. Lagian, banyak ide besar
di negeri ini lahir dari tempat-tempat seperti yang didatangi Indra.
Dahulu penyair Chairil Anwar membuat
jargon revolusi “Bung, Ayo Bung!” yang dicomotnya dari panggilan para pekerja
seks di Jakarta. Toh, Chairil tetap dikenang sebagai salah satu penyair besar
di tanah air yang namanya dicatat dengan tinta emas.
1 komentar:
Saya juga gak percaya Piliang akan terjebak di dunia hiburan. Yang saya percaya bahwa apa pun yang ditulis oleh Yusran Darmawan pasti menarik...
Posting Komentar