beberapa peraga yang digunakan penjual obat |
GERIMIS baru saja turun seusai salat Jumat
di Masjid Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan. Saat keluar dari masjid, saya
menyaksikan banyak jamaah berkerumun di dekat tempat wudhu. Saya pun singgah
melihat-lihat apa yang membuat orang berkerumun. Ternyata, di situ ada para penjual
obat sedang beratraksi. Mereka mengeluarkan retorika dengan teknik memukau. Mereka
berkisah tentang perjalanan mereka ke belantara, pengetahuannya tentang
berbagai jenis penyakit, hingga khasiat obatnya yang bisa mengatasi berbagai
penyakit.
Buat mereka yang suka piknik ke desa-desa
dan kota kecil Indonesia, penjual obat adalah mereka yang bisa ditemukan di
pasar-pasar. Seringkali mereka berlagak serupa pemain sirkus yang sedang
memamerkan permainan sulap atau akrobat. Mereka menampilkan atraksi sebelum
menggelar dagangan. Berkat atraksi itu massa lalu menyemut dan mengelilinginya.
Penjual obat pertama yang saya saksikan
memakai pakaian khas papua. Ia tak berbaju, melainkan rok berupa alang-alang.
Kalungnya berupa gigi-gigi hewan yang panjang. Ia memakai hiasan kepala ala
Papua. Saya menyaksikan koteka yang tersampir di pinggangnya. Saya bisa melihat
beberapa tato unik di bahunya. Di hadapannya, ia meletakkan berbagai kliping
berita tentang khasiat obat dari tanah Papua. Beberapa benda aneh juga
dipamerkannya.
Beliau tidak memakai pelantang suara sebab
suaranya menggelegar dan terdengar hingga jauh. Ia berretorika dalam banyak
bahasa. Ia menggunakan bahasa Luwu, bahasa utama yang digunakan di Belopa, lalu
bahasa Bugis, hingga bahasa Indonesia. Biarpun demikian, sebagai pendatang di
situ, saya bisa memahami jelas apa yang dimaksudkannya.
Bapak ini menjual cairan lintah, yang
diklaimnya bisa mengatasi impotensi dan meningkatkan vitalitas laki-laki.
Dengan retorika selangit, serta menampilkan atraksi ala ngebor, ia menyebut
bahwa khasiat obatnya akan bisa membuat seseorang lengkap sebagai Don Juan,
Cassanova, dan playboy yang akan membahagiakan semua perempuan di ranjang.
Khasiat obatnya bukan dirasakan laki-laki, sebagai consumer, melainkan
dirasakan perempuan sebagai pihak yang merasakan manfaat.
“Kalau kamu pakai obat ini, saya jamin
punyamu akan berdiri keras dan kuat. Kalau tidak percaya, minum obat ini,
setelah itu tunggu setengah jam. Punyamu akan berdiri keras, trus gantungkan
dua butir kelapa di situ. Saya jamin punyamu tidak akan jatuh,” katanya. Saya
tersenyum-senyum saat membayangkan apa yang dikatakannya. Mana ada sih orang
yang saat itunya lagi “bangun” tiba-tiba mau saja menggantungkan dua butir
kelapa.
penjual obat berkostum ala Papua |
Penjual obat ini menyebut berbagai bonus
yang bisa diberikannya bagi pembeli obatnya. Rupanya di sini berlaku pula promosi
“You buy one, you get two” sebagaimana lazim kita mendapatkannya di
supermarket. Bonus yang diberikannya adalah benda yang juga punyakhasiat
meningkatkan kelelakian. Ia menyebut “kayu ular”, semacam kulit kayu asal papua
yang digigit-gigit saat laki-laki melakukan hubungan seksual. Kayu ini akan
meningkatkan vitalitas. Bonus lain adalah buluh perindu, juga merupakan obat
pusaka asal Kalimantan yang meningkatkan stamina. Lainnya adalah belut yang
sudah dikeringkan. Khasiatnya juga sama.
Seusai menyaksikan bapak yang berbaju
tradisional Papua itu, saya pindah ke penjual lainnya. Masih dengan retorika
yang sama, penjual ini punya positioning berbeda. Ia menampilkan dirinya
sebagai seorang ustad yang fasih mengutip hadis-hadis dan ayat-ayat kitab suci.
Ia menyebut banyak hadis tentang kesehatan. Setelah itu, pelan-pelan ia
mengaitkan hidup sehat ala Rasulullah itu dengan obat yang dibawanya. Obat yang
dibawanya adalah jenis herbal yang diyakini bisa menembuhkan begitu banyak
penyakit. Saya terheran-heran melihat daftar banyaknya penyakit yang bisa
disembuhkan berkat obatnya. Jika obatnya benar berkhasiat, pastilah semua
rumah sakit, klinik, dan pusat kesehatan akan tutup.
Kepada sahabat Idham Adhiatmaja yang
menemani, saya berbisik, “Tahu bedanya dokter dan penjual obat?” Idham
menggeleng. Saya lalu menjawab, “Kalau dokter, satu penyakit akan diatasi
dengan banyak obat. Tapi penjual obat, semua penyakit hanya diatasi dengan satu
obat.” Idham tertawa ngakak.
Saya masih tertarik dengan bapak
berpenampilan ustad ini. Rupanya ia mengajak beberapa orang untuk menbaui aroma
obatnya. Setelah itu ia akan berseru, “Bapak sekalian baru saja merasakan
bagaimana aroma surga. Seperti itulah nikmatnya kekuatan penyembuhan dari
Allah.” Saya tersenyum lalu meninggalkan arena itu.
Tapi sebelum pergi, saya tersentak saat
membaca namanya di spanduk: La Ode Akbar Parigi Ternyata dia berasal dari Buton,
kampung halaman saya. Hah?
***
BEBERAPA kali saya menulis tentang para
penjual obat ini. Di mata saya, keberadaan mereka dipengaruhi oleh banyak
faktor, mulai dari mahalnya biaya rumah sakit, semakin berjaraknya pelayanan
kesehatan ke masyarakat bawah, kalkulasi biaya yang murah jika membeli obat ke
penjualnya, kemudahan akses masyarakat untuk menjangkau penjual obat, hingga
kekuatan sugesti yang ditiupkan oleh para penjual obat ke benak para
penontonnya.
Saya teringat pada catatan sosiolog Daniel
Bell, mengenai modernitas yang kerap diiringi irasionalitas. Semakin kita
modern, maka semakin banyak hal irasional. Di dunia yang serba rasional,
terukur, dan dilandasi pencerahan ini, keputusan-keputusan manusia seringkali
susah dijelaskan dengan kata-kata. Makanya, kiprah para ahli retorika, para
ideolog, dan para juru kampanye masih efektif dalam menyuntikkan apa yang
disebut kebenaran di benak kita. Di titik ini kita bisa melihat kemampuan
kampanye para penjual obat.
Kekuatan para penjual obat bukan sekadar
atraksi, tapi pada kemampuan retorika yang bisa membuai semua orang. Sang
penjual akan memegang pengeras suara lalu mengoceh sepanjang pertunjukan itu.
Dia bisa mengklaim dirinya sebagai ahli segala hal. Ketika dia bicara, semua
orang akan percaya kalau dirinya adalah kombinasi dari beberapa profesi
sekaligus, mulai dari ahli pengobatan, sosok sakti mandraguna, hingga sebagai
sosok welas-asih yang hendak membantu orang banyak.
Kita mungkin menyebutnya pembual. Tapi di
lingkaran di mana penjual obat beratraksi, sabdanya selalu diamini semua
penonton. Kekuatan kampanyenya terlihat saat penonton merogoh kocek dan
mengeluarkan pundi-pundinya demi sang penjual obat. Keberhasilannya terlihat
pada seberapa banyak orang yang percaya padanya, meskipun boleh jadi ia sedang
membual.
Tunggu dulu, apakah ia membual? Entahlah.
Sebagai orang kota yang modern, mungkin kita melabelnya sebagai pembual,
kampungan, atau irasional. Tapi pernahkah anda melakukan refleksi dan
menyaksikan justru masyarakat kota yang paling banyak percaya pada bualan para
“penjual obat” yang berjubah sebagai politisi, calon gubernur, calon presiden,
hingga calon ketua RT?
Pernahkah kita bertanya pada diri, bahwa
dalam setahun kita menerima janji surga berupa kesejahteraan dari para “penjual
obat” berbaju politisi dan partai politik? Mulai tingkat presiden, provinsi,
kabupaten, hingga desa dan RT, kita menerima banyak janji-janji dan harapan
besar. Tapi sudahkah kita mengalkulasi seberapa banyak pengaruhnya bagi
kehidupan kita? Entahlah.
Di malam hari, saya masih menimang obat
yang dibeli di Masjid Belopa. Saya heran saja mengapa bisa percaya begitu saja.
Di layar televisi, saya menyaksikan debat calon gubernur. Jujur, saya lebih
menyukai retorika dari penjual obat yang saya saksikan tadi siang.
Belopa, Luwu, 14 Januari 2017
BACA JUGA:
3 komentar:
Wow! :)
belinya karena kasihan kali, atau karena you buy one you get two :)
Saya pernah mendengar pengakuan seorang mantan penjual obat yang sepertinya sudah menjadi juru kampanye. Dia berkata bahwa trik menjual obat itu letaknya di retorika. Selain segala informasi yang ter-update, juga harus memiliki kemampuan menyambung-nyambungkan informasi tersebut. Dan yang paling penting menurutnya bahwa jangan pernah berhenti bicara sebelum calom pembeli memegang barang dagangan seraya menanyakan harganya. Kapan memeberi jeda, itu kiamat buat si penual, akunya.
Posting Komentar