SALAH satu fenomena media
sosial di Indonesia adalah kemunculan banyak pakar dadakan. Saat kinerja
ekonomi Jakarta dibahas, semuanya jadi pakar ekonomi. Tiba-tiba saja semua
paham istilah2 seperti penyerapan anggaran dan pengawasan kinerja. Saat ada isu
reshuffle kabinet, semua orang jadi pakar politik. Semuanya jadi jago membahas
tentang perimbangan kekuatan, serta membahas lemahnya kekuasaan eksekutif.
Dari mana sumber informasinya?
Dari media abal-abal dan satu atau dua paragraf yang disebar melalui Whatsapp.
Nah, saat ada peristiwa kudeta
di negara lain, semua menjadi pakar politik internasional. Tiba-tiba saja
negeri itu menjadi lebih familiar dari negeri sendiri. Seolah apa yang terjadi
di sana telah lama diprediksi sebab perkembangan politik di sana telah lama
diamati. Seolah telah lama membaca segala hal tentang ngeri itu, lalu lupa
kalau pengetahuannya sebatas sinetron negeri itu yang pernah ramai di sini.
Dari mana sumber informasinya?
Dari media abal-abal dan satu atau dua paragraf yang disebar melalui Whatsapp.
Di satu grup, beberapa orang
rajin membagikan informasi tentang kehebatan Mr X, pemimpin di negeri seberang
itu, serta pujian dari negara lain. Biasanya, saya tanya balik, apa ada sumber
informasi resmi dari media besar berbahasa asing yang bisa membantu kita
memahami apa yang terjadi? Seperti biasa, tak ada jawaban. Aneh saja, di abad
informasi, tak banyak yang menunjukkan rujukan informasi, serta sumber kutipan,
yang memungkinkan kita untuk dapat informasi dari tangan pertama. Lebih sulit
lagi menemukan orang yang merekomendasikan buku2 dan bahan bacaan.
Mungkin, inilah fenomena di
republik medsos. Tak perlu memperkaya informasi. Tak perlu melakukan
cross-check informasi dan menahan diri hingga ada kejelasan. Cukup membaca
informasi yang disebar secara massif, ikut-ikut resah dengan apa yang terjadi
di dunia lain, lalu menyebar segala informasi tentang peristiwa itu. Ada yang
mengutuk, ada yang memuji dan berharap hal serupa terjadi sini. Padahal dalam
setiap perubahan, satu korban itu terlampau banyak dan sudah cukup untuk
melukai nurani kemanusiaan kita. Besok
informasi itu akan tenggelam lagi. Saat ada topik atau isu lain yang lebih
hangat dan lebih seksi, para netizen akan menjadi pakar soal isu itu.
Tahu sumbernya dari mana? Dari
media abal-abal dan satu atau dua paragraf informasi yang disebar melalui
Whatsapp.
Eh, ngomong-ngomong, apa
kalian tahu kalau mahasiswa Papua di Yogyakarta menerima perlakukan kejam dari
aparat dan masyarakat sana? Ah, pasti kalian tahunya cuma apa yang terjadi di
kejauhan sana.
Bogor, 17 Juli 2016
1 komentar:
Berarti tulisan ini perlu dcek dan ricek jg kenetralannya, krn fenomena medsos lain yg dilewatkan penulis di sini adalah kecenderungan orang utk percaya informasi dari rakyat utk rakyat (ala medsos) dibanding informasi dr media yg kita tdk tau ada kepentingan apa/siapa di baliknya (terlihat jelas utk media2 di Indonesia, juga media2 asing).
Lalu apa hubungannya mahasiswa Papua di Yogyakarta? Kenapa kemudian aparat dan masyarakat Yogya yang disalahkan? Apakah informasi ini terlihat tendensius dan sarat (pengalihan) kepentingan.. who knows.. Karena setahu saya kebiasaan pemuda Papua (apalagi jauh dr ortu) adalah hura2 dan mabuk2an.. pada umumnya ya..pada umumnya..
Papua Barat, 20 Juli 2016
Posting Komentar