ilustrasi |
Dua tanda hitam terlihat jelas
di dahi lelaki berusia 40-an tahun itu. Jenggot panjang juga tumbuh di dagunya.
Di dalam kereta rel listrik rute Bogor - Jakarta, saya berdiri tak jauh di
hadapannya. Sambil bersandar di kursi kereta, lelaki itu terus-terusan
berbicara melalui HP dengan suara keras. Kalimatnya dipenuhi kosa kata yang
diambil dari kitab suci. Ia sangat religius.
Di satu stasiun, seorang ibu
muda naik sambil menggendong bayi. Ibu itu terlihat lelah dengan membawa tas besar berisi pakaian. Ia berdiri di hadapan bapak
yang terus-menerus berbicara di telepon itu. Biasanya, orang akan memberi
tempat bagi wanita hamil atau yang menggendong bayi di kereta. Tapi bapak itu
tak bergeming. Ia seolah tak peduli dengan kehadiran ibu itu. Ia tak memberikan
tempat duduk. Hingga akhirnya, seorang anak muda mempersilakan ibu itu untuk
duduk. Bisa saya lihat, penumpang kereta memandang wajah lelaki itu dengan
tatapan hendak marah.
Saya lalu merenungi banyak
hal. Saya merenung tentang makna iman. Secara sosial, keberimanan bukanlah
dilihat dari seberapa sering kamu menyebut nama Tuhan, bukan pula pada seberapa
banyak jejak ibadah di tubuhmu, bukan pula pada seberapa banyak kamu menggutip
ayat dan hadis.
Secara sosial, keberimanan
bisa dilihat pada sejauh mana kamu memberi manfaat bagi orang2 di sekitarmu.
Jika kamu bisa menghadirkan cinta kasih dan rasa sayang pada segala hal di
sekitarmu, dunia sosial akan melimpahimu dengan cinta.
Dunia sosial tak bertanya apa
ideologimu. Dunia tak bertanya apa agamamu. Namun selagi kehadiranmu memberi
rasa sejuk pada banyak orang. Kamu akan berlimpah cinta dari masyarakat
sekitar. Kamu telah membumikan seluruh ajaran langit dalam tindakan2 sederhana
yang bermakna.
Ah, mungkin dia sedang lelah.
1 komentar:
wah tulisan ini begitu menyejukkan mengajarkan kita begitu damainya saling menghargai satu sama lain yg mungkin sdh terkikis oleh budaya barat akibat tehnologi..
Posting Komentar