poster film Ada Apa dengan Cinta 2 |
MESKIPUN ada banyak propaganda untuk tidak
menonton film Ada Apa dengan Cinta 2, saya tetap akan meluangkan waktu untuk menontonnya.
Bagi saya, film itu bukan sekadar penanda budaya populer, tapi juga bisa
merepresentasikan keadaan sosial kita, khususnya budaya kaum muda. Bagi saya,
film itu menjadi penting karena merupakan penanda dari banyak hal, mulai dari peta
sosial kita, kondisi remaja hari ini, serta refleksi atas situasi sosial dan
politik.
Serasa baru kemarin. Empat belas tahun silam,
saya adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin di Makassar. Seminggu
menjelang pemutaran perdana film Ada Apa dengan Cinta, bersama rekan-rekan dari Korps Mahasiswa Ilmu
Komunikasi (Kosmik), kami kedatangan tamu penting. Lelaki kurus dengan rambut
berantakan dan agak pirang itu, yang berbicara dengan aksen Makassar itu,
datang mempromosikan film itu. Lelaki itu Riri Riza.
Saya dan kawan-kawan mengundang Riri di BTN
Hamzy, di rumah salah seorang sahabat Dallawaru Syamsuar. Riri datang membawa
cakram yang isinya trailer film. Dia datang dengan style khas anak muda
perkotaan. Masih saya ingat persis sepatunya yang sporty dan keren. Di rumah Dallawaru,
Riri menyimpan sepatunya di teras. Seorang kawan berbisik, “Andaikan bukan acaranya anak Kosmik, sudah lamami saya curi ini
sepatu. Keren mentong.”
Pada masa itu, saya sangat selektif menonton
film. Sejujurnya, bukan selektif, tapi kondisi keuangan tak memungkinkan saya
untuk punya hobi nonton film. Sebagai mahasiswa yang tinggal di pondokan
(sebutan bagi kos-kosan ala mahasiswa Makassar berupa rumah kayu yang lalu
dipetak-petak dan dipenuhi puluhan mahasiswa), saya harus berhemat.
Saya saban hari rutin makan dengan indomie. Saya
tak punya uang untuk menonton film. Saya mengelola uang kiriman orangtua
berdasarkan selera. Saat kiriman datang, saya akan makan yang enak-enak,
misalnya ayam. Hari berikutnya, kualitas makanan turun menjadi tempe.
Minggu-minggu terakhir, saya akan kembali ke selera asal: indomie. Thanks to
Indofood!
Makanya, saat Riri Riza datang, saya tak begitu
antusias. Saya pun tak punya banyak preferensi siapa Riri Riza. Saya hanya
tahu kalau dia juga berasal dari Makassar, dan berkeluarga dengan kawan kami di
Fakultas Ekonomi Unhas. Namun saat Riri Riza mulai memutar trailer yang
berisikan film itu, saya langsung terpaku pada layar.
Di layar itu, saya menyaksikan seorang anak
muda yang duduk di kantin belakang sekolah. Sayup-sayup ada suara perempuan yang
tengah membacakan puisi: “Bosan aku
dengan penat. Dan enyah saja kau pekat. Seperti berjelaga jika kusendiri.” Anak
muda itu penyendiri, menulis syair yang lalu memikat hati gadis paling populer
di sekolah. Ada gelak tawa, lagu yang riang. Lalu ada juga lagu-lagu khas anak
muda.
Namun, ada juga suara lirih. Vokalis Melly
Goeslow bernyanyi pelan, “Denting yang berbisik dari dinding kamarku.” Lalu
suara Prang! Cermin jatuh. Perempuan muda bernama Alya terduduk di kamar mandi
dengan sambil menjambak ramutnya di tengah derai air mata dan derai air yang
mengalir dari shower.
Trailer yang diputar Riri cuma berdurasi
beberapa menit. Namun semuanya sudah cukup buat saya untuk memutuskan bahwa
saya harus menonton film itu. Saya lupa dengan siapa pergi menonton film itu.
Yang pasti, tak mungkin dengan perempuan. Pada masa itu, saya terlampau pemalu.
Cinta saya pernah ditolak seorang perempuan. Saya nyaris saja trauma. Hampir
saya minum baygon saat membayangkan penolakan itu.
Saya menjadi bagian dari jutaan anak muda Indonesia
terbius oleh pesona film itu. Film itu mencatat rekor sebagai film yang pertama
menembus penonton hingga lebih sejuta orang sejak era pasca-reformasi. Film itu
mendapat ulasan dari banyak orang. Beberapa akademisi lalu menulis tentang
formasi sosial identitas berdasarkan studi atas karakter-karakter dalam film
itu. Adegan saat Rangga berciuman dengan Cinta di bandara diulas oleh media
sekelas Time yang menyebutnya sebagai pergeseran budaya anak muda Indonesia
yang semakin permisif pada westernisasi. David Hanan, akademisi di Monash
University, menulis tentang gejolak sosial anak muda setelah mengkaji film itu
dan film lawas Catatan Si Boy.
sosok Rangga dalam film pertama |
Pada masa itu, saya tak mengikuti wacana dan
debat tentang film itu. Saya melihat kekuatan film itu ada pada sosok Rangga
dan Cinta yang tak biasa. Sang lelaki seorang pemalu, cuek, dan melepaskan
perasaannya dalam bait-bait puisi. Sang perempuan adalah sosok populer, yang
solider dan setia pada persahabatan.
Keduanya dipertemukan dengan cara yang unik,
penuh pertengkaran dan aroma persaingan. Akan tetapi keduanya mengakui kalau
ada sesuatu yang tumbuh di hati mereka. Ada desir-desir halus yang menjalari
perasaan mereka saat membaca puisi demi puisi, hingga akhirnya membiarkan diri
mereka mengalir bersama sungai puisi itu.
Saya yakin ada banyak lelaki yang tiba-tiba
saja membayangkan diri seperti Rangga. Seorang kawan bernama Adi Sulhardi,
berubah menjadi sosok yang tak biasa saat penyambutan mahasiswa baru. Biasanya,
dia tampak ribut dan ceria, dan tiada angin tiada hujan, tiba-tiba berteriak-teriak
demi memikat kaum hawa. Hari itu, ia serupa Rangga yang menyaksikan mahasiswa
baru dari kejauhan. Di tengah kerumuman, ia menyepi sambil membawa catatan
harian. Tahu apa yang dia tulis? Puisi.
Tak hanya itu, saat ikut menjadi panitia
orientasi penyambutan mahasiswa baru, kami merancang suasana yang serupa film
ini. Ada mahasiswa yang berperan sebagai Rangga, dan ada juga yang menjadi
Cinta. Parodi ini sukses. Banyak mahasiswa yang menyukainya.
Saya mengenang banyak adegan di film ini. Bagian
yang paling saya sukai di film itu adalah adegan di Kwitang, saat Rangga dan
Cinta hendak membeli buku bekas. Cinta tersadar kalau dirinya punya janji dengan
teman-temannya untuk nonton konser Pas Band. Rangga lalu menyengat Cinta dengan
kalimat tak bisa lepas dari teman-temannya. Cinta marah, dan balik menyindir
Rangga yang tak punya teman. Saat Cinta pergi, datang penjual buku yang
diperankan Gito Rollies. “Rangga, kau lihat cewek itu. Kalau dia menoleh, maka
berarti dia menginginkan kau untuk menyusulnya.” Suara musik Pas Band mulai
berdentam. Rangga dan penjual buku itu mengikuti ke arah mana cinta bergerak.
Sekian detik kemudian, Cinta menoleh dengan wajah cemberut. Keren!
***
KINI, lebih sepuluh tahun film itu berlalu.
Saya masih menghafal beberapa adegan. Saya masih sesekali memainkan lagu “denting”
dan “bimbang” dengan petikan gitar akustik. Saya telah banyak menyaksikan film
Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Entah kenapa, saya belum bisa menghapus
ingatan tentang permainan mereka di film itu. Tetap saja saya masih mengenang
mereka sebagai dua ikon budaya populer yang sukses membawa jutaan anak muda ke
ruang-ruang bioskop, sukses mengubah lifestyle anak-anak muda untuk membangun
komunitas geng pertemanan, menulis puisi yang indah-indah, juga sesekali datang
ke kafe lalu bernyanyi.
para pemeran film AADC 2 |
Saya tahu bahwa ada banyak kenyataan sosial
yang berubah. Mungkin, ada yang masih sama. Cinta dan Rangga tak lagi semuda
dahulu. Lagian, Cinta sudah dimiliki Indraguna Sutowo, sosok konglomerat itu. Dia
udah lama tak setia dengan puisi, dunia sunyi, dan kesendirian. Meski demikian, saya percaya
kalau Rangga dan Cinta kian matang, sebagaimana para penontonnya. Saya tak
ingin membangun ekspektasi berlebihan atas film ini. Saya ingin menonton secara
lepas, dan membiarkan diri saya mengalir mengikuti adegan-adegan dalam film
itu. Saya masih terkenang dan ingin menagih kalimat Rangga, empat belas tahun
silam:
dan aku akan kembali dalam satu purnamauntuk mempertanyakan kembali cintanyabukan untuknya, bukan untuk siapatapi untukkukarena aku ingin kamu!itu saja.
Bogor, 27 April 2016
16 komentar:
Mantap, Yus!
Cinta sudah dimiliki anak Adiguna Sutowo, dinda..
kata - kata rangga itu emang berkesan.. dulu cinta dan rangga menjadi standart cewe cowok cakep saat itu. semoga semakin mantap AADC 2.
Keren kak, terutama uraian singkat tentang kak Adi Sulhardi...
Mantap Bang
Gaya penulisan abang sekilas kayak Mojok, di bagian tempe dan indomie...
Bikin saya sempat tertawa...
Ya, semoga saja AADC 2 bisa ngalahin AADC 1.
si dala itu mlh jd teman kerja gw. cuman sepertinya kita tak boleh juga melupakan satu sosok man behind gun, berterima kasih dgn sosok tangan dingin rudy soejarwo :) *msh mencari2 namanya di list aadc2
Andai daeng Yusran adalah Rangga, pasti bisa menulis lanjutan puisi itu
Widih, ulasannya keren duh/
makasih bang zainal
iye kanda. sudah diralat.
benar dulu, keduanya adalah ikon anak muda gaul.
hahahaha. makasih bro. sampai ketemu di ambon.
Hahaha...ketika ditolak cewe' sy terkesan dgn kalimat mumpuni " bukan sy yang gagal, tapi dia yg gagal mencintaiku ", lupa siapa yg mempopulerkannya di Kosmik bang yus....
Hahaha...ketika ditolak cewe' sy terkesan dgn kalimat mumpuni " bukan sy yang gagal, tapi dia yg gagal mencintaiku ", lupa siapa yg mempopulerkannya di Kosmik bang yus....
kk yusran ini memang asyik...jadi teringat waktu jadi pemateriku di suatu latihan kepemimpinan hanya dengan menggambar bunga di papan tulis maka tuntaslah materi itu...hehehe
Keren Pak Yusran...
lama tak bersua,
terakhir kita diskusi di desa labalawa tanah buton
Posting Komentar