SEBUAH
pementasan berjudul Arung Palakka akan dilangsungkan di Taman Ismail Marzuki,
beberapa hari mendatang. Tak banyak yang tahu sosok Raja Bugis yang kisahnya
dicatat rapi oleh sejarawan Leonard Andaya dalam buku Warisan Arung Palakka.
Luput dari
catatan Andaya, saya coba menuliskan episode saat Arung Palakka datang ke Pulau
Buton. Tentu saja, bahan-bahan yang saya gunakan adalah sumber-sumber lokal,
serta tradisi lisan yang berkisah tentang kedatangan itu. Selamat membaca!
***
INI tahun 1660.
Terik masih membakar tatkala perahu pria bernama Arung Palakka itu menyusuri sungai
menuju tepian. Lelaki perkasa berambut panjang yang ditahbiskan sebagai
pahlawan Tanah Bugis itu, memasuki Negeri Buton demi harapan akan keadilan. Ia
bukanlah seorang pecundang yang jauh melarikan diri ke negeri seberang.
Perjalanannya didorong hasrat humanisme dan kecintaan kepada tanah air. Ia tidak melihat daerah ini sebagai negeri yang jauh dari negerinya, melainkan sebuah negeri yang persaudaraannya dengan nenek moyang Bugis sedekat dan sepenting urat leher bagi manusia.
Ia tidak sekadar berkunjung sebagaimana penjelajah Eropa yang mencari jalan menuju pusat rempah-rempah. Ia sedang pulang ke tanah leluhur yang telah mewariskan napas bagi detak jantungnya.
Perjalanannya didorong hasrat humanisme dan kecintaan kepada tanah air. Ia tidak melihat daerah ini sebagai negeri yang jauh dari negerinya, melainkan sebuah negeri yang persaudaraannya dengan nenek moyang Bugis sedekat dan sepenting urat leher bagi manusia.
Ia tidak sekadar berkunjung sebagaimana penjelajah Eropa yang mencari jalan menuju pusat rempah-rempah. Ia sedang pulang ke tanah leluhur yang telah mewariskan napas bagi detak jantungnya.
Nenek moyang
Bugis dan nenek moyang Buton telah membuat prasasti persaudaraan abadi untuk
saling menjaga kehormatan masing-masing. Leluhur Bugis menyimbolkan
persaudaraan itu dalam kalimat “Bone ri aja, Butung ri lau.” Bone di Barat dan Buton di timur.
Ini adalah simbolisasi dari persaudaraan yang sesungguhnya telah memintas batas geografis. Jarak antara dua bangsa adalah jarak atas kategori dan apa yang tampak. Tapi darah yang sama telah mengaliri nadi masing-masing sehingga bertaut sebagai dua saudara sekandung.
Hikayat kuno tanah Luwu –yang disebut-sebut sebagai bangsa tertua di jazirah selatan Celebes—juga mengisahkan tentang orang Wolio –sebagai bagian dari Buton-- sebagai saudara orang Luwu. Bahkan, lembaran lontarak kuno La Galigo juga menyebut nama Wolio dalam peta kuno yang menjadi panduan dalam memahami realitas geografi di masa silam.
Ini adalah simbolisasi dari persaudaraan yang sesungguhnya telah memintas batas geografis. Jarak antara dua bangsa adalah jarak atas kategori dan apa yang tampak. Tapi darah yang sama telah mengaliri nadi masing-masing sehingga bertaut sebagai dua saudara sekandung.
Hikayat kuno tanah Luwu –yang disebut-sebut sebagai bangsa tertua di jazirah selatan Celebes—juga mengisahkan tentang orang Wolio –sebagai bagian dari Buton-- sebagai saudara orang Luwu. Bahkan, lembaran lontarak kuno La Galigo juga menyebut nama Wolio dalam peta kuno yang menjadi panduan dalam memahami realitas geografi di masa silam.
Arung Palakka
memandang laut. Batinnya menerawang menelusuri ingatan tentang nasib diri dan
negerinya. Pada masa itu, Gowa sudah tercatat sebagai negeri yang tengah
berkilau di Nusantara. Gowa adalah negeri terkuat, memiliki bala tentara yang
dahsyat dan disegani bangsa-bangsa lain yang di hembus belahan angin timur.
Gowa mencatat prestasi sebagai bangsa yang punya keinginan besar merengkuh ilmu pengetahuan. Kerajaan Gowa unggul dalam hal teknologi. Orang Gowa telah menerjemahkan naskah pembuatan meriam dari bahasa Spanyol ke bahasa Makassar sejak tahun 1600.
Kitab yang ditulis Andreas Moyona asal Spanyol itu hanyalah satu dari banyak kitab risalah teknologi Eropa yang ditransliterasi ke bahasa Makassar[1] dan membuat Gowa tercatat sebagai satu-satunya negeri di Nusantara yang paling intens memasuki bidang-bidang ilmiah di abad ke-17.
Gowa mencatat prestasi sebagai bangsa yang punya keinginan besar merengkuh ilmu pengetahuan. Kerajaan Gowa unggul dalam hal teknologi. Orang Gowa telah menerjemahkan naskah pembuatan meriam dari bahasa Spanyol ke bahasa Makassar sejak tahun 1600.
Kitab yang ditulis Andreas Moyona asal Spanyol itu hanyalah satu dari banyak kitab risalah teknologi Eropa yang ditransliterasi ke bahasa Makassar[1] dan membuat Gowa tercatat sebagai satu-satunya negeri di Nusantara yang paling intens memasuki bidang-bidang ilmiah di abad ke-17.
Melalui ilmu pengetahuan, bangsa Gowa membangun
persenjataan yang handal demi menghadapi bajak laut yang mengganas di perairan
Nusantara, sekaligus memulai proses ekspansi ke bangsa-bangsa lain.
Melalui persenjataan yang dahsyat serta hasrat kuasa yang menghinggapi para bangsawannya, Gowa begitu percaya diri ketika menantang Belanda untuk berperang dan menunjukkan siapa pemilik supremasi sesungguhnya di lautan sekaligus memulai proses ekspansi ke bangsa-bangsa lain.
Melalui persenjataan yang dahsyat serta hasrat kuasa yang menghinggapi para bangsawannya, Gowa begitu percaya diri ketika menantang Belanda untuk berperang dan menunjukkan siapa pemilik supremasi sesungguhnya di lautan sekaligus memulai proses ekspansi ke bangsa-bangsa lain.
Ini adalah tahun
di mana politik terus bergejolak di masyarakat jazirah selatan Sulawesi. Sejak
abad ke-16, pada masa Karaeng Tumaparisi Kallona, Kerajaan Gowa telah
mengekspansi seluruh wilayah Sulawesi bagian selatan.
Kebijakan ekspansi ini memicu perlawanan yang dahsyat dari berbagai wilayah. Arung Palakka mencuat sebagai sosok yang terpanggil untuk membebaskan derita bangsanya. Batinnya terluka ketika menyaksikan puluhan ribu bangsa Bone yang dipekerjakan untuk menggali parit dan membuat kubu pertahanan di sepanjang Benteng Somba Opu.
Gowa memang tengah membentengi diri dari berbagai ancaman, namun di saat bersamaan juga berprilaku laksana pasukan penebas mereka yang tidak bersepakat di bawah panji kebesaran.
Kebijakan ekspansi ini memicu perlawanan yang dahsyat dari berbagai wilayah. Arung Palakka mencuat sebagai sosok yang terpanggil untuk membebaskan derita bangsanya. Batinnya terluka ketika menyaksikan puluhan ribu bangsa Bone yang dipekerjakan untuk menggali parit dan membuat kubu pertahanan di sepanjang Benteng Somba Opu.
Gowa memang tengah membentengi diri dari berbagai ancaman, namun di saat bersamaan juga berprilaku laksana pasukan penebas mereka yang tidak bersepakat di bawah panji kebesaran.
Namun, apalah
arti keperkasaan jika tidak diimbangi dengan rasa keadilan. Keperkasaan
mestinya digunakan untuk melidungi segenap suku bangsa, dan bukannya untuk
menjajah yang lain. Meskipun besar di Istana Gowa, harga diri dan kehormatan
Arung Palakka sebagai bangsa Bugis seakan tercabik-cabik menyaksikan ketidakdilan
di depan mata.
Dalam dirinya mengalir sifat-sifat utama seorang manusia Bugis. Ia memelihara nilai keutamaan manusia Bugis yang meliputi siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui tindakan orang itu sendiri).
Ia menyadari lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate’ siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate’ siri’). Bukankah kata nenek moyang Bugis mati dengan penuh kehormatan adalah matinya para ksatria yang berumah di atas landasan nilai?
Dalam dirinya mengalir sifat-sifat utama seorang manusia Bugis. Ia memelihara nilai keutamaan manusia Bugis yang meliputi siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui tindakan orang itu sendiri).
Ia menyadari lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate’ siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate’ siri’). Bukankah kata nenek moyang Bugis mati dengan penuh kehormatan adalah matinya para ksatria yang berumah di atas landasan nilai?
Ia
meninggalkan tanah Bugis dengan ikrar untuk kembali membuat perhitungan.
Semangatnya menyala kala mengingat bangsanya yang terabaikan. Di pundak pria
itu terselip beban sejarah serta amanah untuk membebaskan sebuah bangsa,
menegakkan kalimat keadilan, dan menguatkan yang lemah.
Menurut tradisi lisan Bugis, ia mengucapkan sumpah agar kelak bisa kembali dan membebaskan rakyat Bugis. Ia mengikat (singkerru) sebuah simpul dengan sulur sebuah pohon yang tumbuh di pantai untuk menandai pengucapan sumpahnya dan berkata dirinya akan membuka simpul itu jika telah memenuhi sumpahnya.[2]
Kata-kata itu menjadi janji yang kemudian mengantarkan dirinya saat menaiki kapal yang membawanya ke negeri Buton. Inilah sebuah babakan sejarah yang menandai proses suaka politik pertama di negeri ini.
Menurut tradisi lisan Bugis, ia mengucapkan sumpah agar kelak bisa kembali dan membebaskan rakyat Bugis. Ia mengikat (singkerru) sebuah simpul dengan sulur sebuah pohon yang tumbuh di pantai untuk menandai pengucapan sumpahnya dan berkata dirinya akan membuka simpul itu jika telah memenuhi sumpahnya.[2]
Kata-kata itu menjadi janji yang kemudian mengantarkan dirinya saat menaiki kapal yang membawanya ke negeri Buton. Inilah sebuah babakan sejarah yang menandai proses suaka politik pertama di negeri ini.
Di tanah
Buton, negeri para sufi dan auliya itu bisa menampung dan menjadi tempat
bernaung dari panas dan hujan. Penduduk di pusat pemerintahan menamakan dirinya
orang Wolio, sebagai tanda akan hasrat yang teramat kuat di ranah
spiritualitas.
Wolio diyakini berasal dari kata waliyullah, yang artinya seseorang yang sangat dekat dengan Allah. Maka kecintaan kepada Allah menjadi sumbu utama yang melandasi gerak masyarakat.
Wolio diyakini berasal dari kata waliyullah, yang artinya seseorang yang sangat dekat dengan Allah. Maka kecintaan kepada Allah menjadi sumbu utama yang melandasi gerak masyarakat.
Saking
cintanya kepada Allah, manusia-manusia Buton bersedia melindungi apapun mahluk
Allah yang singgah ke tanah ini. Di sini bisa dibentangkan hukum tawakara yang mewajibkan para pejabat
kesultanan untuk melindungi siapapun yang datang mencari perlindungan. Inilah
konsep suaka politik yang paling awal dalam sejarah Nusantara.
Arung Palakka
bukanlah yang pertama menuai berkah atas hukum ini. Sebelumnya, tercatat
sekurang-kurangnya dua peristiwa di mana kesultanan memberikan perlindungan
kepada mereka yang terdampar.
Peristiwa pertama adalah ketika kesultanan melindungi Raja Gowa ke-13 yakni Karaeng Tunipasulu, yang merupakan kakak Sultan Alauddin (Raja Gowa ke-14) yang juga merupakan kakek Sultan Hasanuddin. Tunipasulu tiba pada tahun 1602 dan tinggal di Buton hingga saat mangkat pada 5 Juli 1617. Ia dikuburkan di dalam Benteng Wolio dan menjadi seorang ulama yang cukup disegani.
Peristiwa pertama adalah ketika kesultanan melindungi Raja Gowa ke-13 yakni Karaeng Tunipasulu, yang merupakan kakak Sultan Alauddin (Raja Gowa ke-14) yang juga merupakan kakek Sultan Hasanuddin. Tunipasulu tiba pada tahun 1602 dan tinggal di Buton hingga saat mangkat pada 5 Juli 1617. Ia dikuburkan di dalam Benteng Wolio dan menjadi seorang ulama yang cukup disegani.
Perlindungan
atau suaka politik yang kedua diberikan Sultan Mardan Ali (1647 – 1654) kepada
anak buah kapal (ABK) lima kapal Belanda yang terdampar di Kabaena. Meskipun
rakyat merampok kapal tersebut sehingga Belanda murka besar, namun Sultan
Mardan Ali telah memberikan perlindungan kepada orang Belanda tersebut, bahkan
menyiapkan rumahnya untuk menjadi tempat penampungan.
Peristiwa ini dicatat oleh seorang anak buah kapal (ABK) dalam bahasa Jerman dan tersimpan rapi. Peristiwa ini pula yang menjadi cikal-bakal dari martirnya Mardan Ali demi menegakkan nilai yang dyakininya. Ia mengorbankan diri dan dicatat lembar sejarah sebagai tragedi seorang sultan yang dieksekusi mati demi tegaknya hukum dan aturan nilai. Catatan itu menegaskan satu fakta bahwa karakter perlindungan dimanifestasikan pihak kesultanan tanpa pandang bulu, bahkan kepada musuh sekalipun.
Peristiwa ini dicatat oleh seorang anak buah kapal (ABK) dalam bahasa Jerman dan tersimpan rapi. Peristiwa ini pula yang menjadi cikal-bakal dari martirnya Mardan Ali demi menegakkan nilai yang dyakininya. Ia mengorbankan diri dan dicatat lembar sejarah sebagai tragedi seorang sultan yang dieksekusi mati demi tegaknya hukum dan aturan nilai. Catatan itu menegaskan satu fakta bahwa karakter perlindungan dimanifestasikan pihak kesultanan tanpa pandang bulu, bahkan kepada musuh sekalipun.
Bagi
masyarakat Buton, Arung Palakka bukanlah orang lain. Silsilah yang disimpan banyak
warga setempat menyebutkan dirinya adalah seorang saudara yang sedekat urat
leher. Di sini, ia lebih dikenal sebagai La Tondu, keturunan langsung La
Kabaura yang merupakan satu dari empat anak La Maindo, Raja Batauga.
Dari garis keturunan La Kabaura, terdapat nama Sabandara iBone, yang kemudian menurunkan La Tenritatta atau Arung Palakka[3]. Versi lokal ini tumbuh subur dan dipelihara sebagai keyakinan tentang riwayat pahlawan tanah Bugis ini.
Dari garis keturunan La Kabaura, terdapat nama Sabandara iBone, yang kemudian menurunkan La Tenritatta atau Arung Palakka[3]. Versi lokal ini tumbuh subur dan dipelihara sebagai keyakinan tentang riwayat pahlawan tanah Bugis ini.
Tahun 1660,
Tanah Wolio adalah bagian dari jalur perdagangan internasional[4]. Hilir
mudik kapal yang singgah ke belahan timur Nusantara, juga menyempatkan diri ke
tanah ini. Sebagai negeri yang menjadi urat
nadi penting bagi mata rantai perdagangan dan jaringan antar pulau di kawasan
Nusantara, Buton berposisi penting hingga menyilaukan mata bangsa-bangsa Eropa
serta Portugis yang tengah berebut jalur perdagangan rempah-rempah.
Kedatangan bangsa Eropa menjadi awal dari silang budaya serta dinamika globalisasi. Maka wawasan masyarakatnya mulai mengangkasa seiring dengan mitos tentang perahu yang menembus belahan bumi manapun. Maka mulailah abad baru penguasaan atas laut. Orang Buton telah berhasrat untuk menjangkau lautan, mengunjungi negeri-negeri yang jauh sekaligus mengembangkan kebudayaan bahari yang perkasa.
Kedatangan bangsa Eropa menjadi awal dari silang budaya serta dinamika globalisasi. Maka wawasan masyarakatnya mulai mengangkasa seiring dengan mitos tentang perahu yang menembus belahan bumi manapun. Maka mulailah abad baru penguasaan atas laut. Orang Buton telah berhasrat untuk menjangkau lautan, mengunjungi negeri-negeri yang jauh sekaligus mengembangkan kebudayaan bahari yang perkasa.
Dengan segala
kebersahaannya, mereka telah membuktikan dirinya sebagai pelaut tangguh yang
mengunjungi segenap pesisir pantai demi mencari penghidupan sekaligus membangun
peradaban yang meskipun tidak begitu benderang dalam torehan sejarah, akan
tetapi dilingkupi nilai-nilai kebajikan dan spiritualitas.
Jejak mereka sebagai pelaut tertoreh di negeri-negeri belahan timur, mulai Ternate, Tidore, hingga Papua. Petualangan mereka juga berhembus seiring angin hingga tanah marege (Australia sebelah utara), pada tahun-tahun yang jauh sebelum datangnya bangsa Inggris ke tanah luas itu.
Jejak mereka sebagai pelaut tertoreh di negeri-negeri belahan timur, mulai Ternate, Tidore, hingga Papua. Petualangan mereka juga berhembus seiring angin hingga tanah marege (Australia sebelah utara), pada tahun-tahun yang jauh sebelum datangnya bangsa Inggris ke tanah luas itu.
Mereka memang
tidak membangun satu peradaban besar dengan pilar-pilar ilmu pengetahuan yang
kokoh, namun mereka meletakkan landasan spiritual serta keyakinan tentang
kebudayaan yang dikuatkan oleh nilai kebajikan dan kemanusiaan.
Karakter mereka adalah serupa angin yang menyebar, namun dengan segera bisa menjelma sebagai warga lokal yang menyemarakkan iklim multikuturalisme di satu kawasan. Melalui Islam yang masuk sejak abad ke-15 --lebih awal dari Gowa-, orang-orang Buton telah mematrikan seluruh kecintaannya kepada jalan spiritual melalui perjalanan yang kemudian mengislamkan beberapa tempat di kawasan timur.
Karakter mereka adalah serupa angin yang menyebar, namun dengan segera bisa menjelma sebagai warga lokal yang menyemarakkan iklim multikuturalisme di satu kawasan. Melalui Islam yang masuk sejak abad ke-15 --lebih awal dari Gowa-, orang-orang Buton telah mematrikan seluruh kecintaannya kepada jalan spiritual melalui perjalanan yang kemudian mengislamkan beberapa tempat di kawasan timur.
Buton adalah
negeri para sufi. Ungkapan ini sudah lama terpatri di benak para penjelajah
yang mengitari perairan Nusantara. Bahkan di masa ketika Islam belum bergema di
tanah ini, catatan kuno Negarakertagama yang tersohor di Majapahit juga
menyebutkan Buton sebagai negerinya para resi, sebagaimana kutipan berikut:
Desa keresian seperti berikut : Sampud, Rupit dan Pilan Pucangan, Jagadita,
Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman didirikan lingga dan
saluran air. Yang Mulia Mahaguru demiklan sebutan beliau. Yang diserahi tugas
menjaga sejak dulu menurut Serat Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa
candi, di antaranya yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya
Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa
perdikan Siwa.[5]
Dalam
terminologi Hindu, resi identik dengan sosok bijaksana yang memberi jawab atas
segala tanya yang menyangkut zaman. Resi adalah seseorang yang memiliki
kualitas kecendekiaan dan memandang zaman dengan penuh bijaksana.
Resi adalah mereka yang berumah di bumi, sekaligus berumah di langit demi mencari jawaban atas segala problem yang bertunas di bumi. Jika Buton adalah negeri para resi, maka di tempat ini bisa ditemukan tradisi kearifan yang sudah lama berurat akar dengan masyarakatnya.
Resi adalah mereka yang berumah di bumi, sekaligus berumah di langit demi mencari jawaban atas segala problem yang bertunas di bumi. Jika Buton adalah negeri para resi, maka di tempat ini bisa ditemukan tradisi kearifan yang sudah lama berurat akar dengan masyarakatnya.
Tapi Buton
bukanlah negeri Hindu. Buton memproklamirkan dirinya sebagai negeri Islam, yang
mewariskan estafet kepemimpinan keislaman sejak masa Rasulullah. Setiap sultan,
selalu mendapat gelar khalifatul khamis, sebagai perlambang dari khalifah
kelima yang melanjutkan tradisi kepemimpinan empat khalifah yang bijaksana,
mulai dari Abu Bakar Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib.
Di tanah Buton, kecintaan kepada Rasulullah dan tradisi kearifan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Mungkin, atas alasan ini pula, bangsa ini sedemikian membuka diri pada pustaka dan khasanah tasawuf yang berdatangan dari berbagai bangsa mulai dari Aceh hingga Timur Tengah.
Kecintaan pada khasanah tradisi Islam telah membuka gerbang ilmu hingga membumikannya pada segenap ritual, tata cara pemerintahan, dan mekanisme hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Islam adalah kemudi ke arah mana kesultanan bergerak laksana kapal yanga anggun dan membelah lautan. Islam adalah layar. Islam adalah pelita, mercu suar di tengah kegelapan.
Di tanah Buton, kecintaan kepada Rasulullah dan tradisi kearifan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Mungkin, atas alasan ini pula, bangsa ini sedemikian membuka diri pada pustaka dan khasanah tasawuf yang berdatangan dari berbagai bangsa mulai dari Aceh hingga Timur Tengah.
Kecintaan pada khasanah tradisi Islam telah membuka gerbang ilmu hingga membumikannya pada segenap ritual, tata cara pemerintahan, dan mekanisme hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Islam adalah kemudi ke arah mana kesultanan bergerak laksana kapal yanga anggun dan membelah lautan. Islam adalah layar. Islam adalah pelita, mercu suar di tengah kegelapan.
***
Arung Palakka
yang ditemani sejumlah tubarani
(ksatria) Bugis memandang daratan. Di pesisir pulau karang itu, ia menyaksikan
berbagai perahu jenis lambo, sope-sope,
dan perahu kecil yang dinamakan koli-koli.
Ia sadar bahwa perahu yang berjajar itu digunakan masyarakat tidak sekadar
sebagai untuk mengitari kepulauan yang bernaung di bawah payung kesultanan.
Namun perahu itu juga digunakan para pelaut sebagai kanvas temlat mereka
melepaskan ekspresi kecintaan atas laut.
Ia
menyaksikan sebuah bandar atau pelabuhan yang ramai. Beberapa pejabat Belanda
telah mengabarkan betapa ramainya perdagangan di wilayah tersebut. Menurut
catatan Gubernur Ambon Antonio Van den Heuvel, kapal-kapal di Buton hilir mudik
memperdagangkan padi dan emas.
Berita lain didapatkan dari catatan Kerckingh, seorang saudagar Melayu di Malaysia yang mengatakan bahwa armada sejumlah 25-40 kapal yang membawa kain tenun, padi, porselen, dan sejumlah besar koin berangkat dari Malaysia ke Ambon setiap tahun.
Berita lain didapatkan dari catatan Kerckingh, seorang saudagar Melayu di Malaysia yang mengatakan bahwa armada sejumlah 25-40 kapal yang membawa kain tenun, padi, porselen, dan sejumlah besar koin berangkat dari Malaysia ke Ambon setiap tahun.
Dalam
pelayaran tersebut, mereka singgah ke Buton untuk melakukan pertukaran kain
yang berlangsung di atas kapal. Laporan resmi pemerintah Hindia Belanda juga
mengisahkan kegiatan ekonomi.
Buton melakukan import tekstil dari India (selampurri dan gerrasen), bahan pakaian, kelapa, padi, garam, dan gula coklat. Sementara Buton juga melakukan eksport yakni teripang, lilin, bahan pakaian, peti kayu, dan kayu damar (harpuis).
Buton melakukan import tekstil dari India (selampurri dan gerrasen), bahan pakaian, kelapa, padi, garam, dan gula coklat. Sementara Buton juga melakukan eksport yakni teripang, lilin, bahan pakaian, peti kayu, dan kayu damar (harpuis).
Di tepi
pelabuhan itu, saudaranya Sultan Malik Sirullah (Sultan Buton ke-9) atau kerap
disapa La Awu telah menyambutnya. Di tanah ini, sosok seorang sultan bukanlah
sosok jagoan yang menaklukan banyak kerajaan.
Sosok sultan adalah sosok yang melepaskan segala naluri dunianya demi memilih jalan spiritual. Seorang sultan adalah pemimpin yang memberikan ketenangan, memberikan bimbingan spiritual, dan menguatkan seluruh anak bangsa.
Ditemani sultan, Arung Palakka menyaksikan pelabuhan yang ramai, kapal-kapal yang singgah, serta betapa sigapnya para juru bahasa yang merupakan staf dari sahbandar untuk menemui para nakhoda atau kelasi. Ia mengamini pendapat Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen yang terkagum-kagum saat melihat pelabuhan bagus dan aktivitas ekonomi.
Sosok sultan adalah sosok yang melepaskan segala naluri dunianya demi memilih jalan spiritual. Seorang sultan adalah pemimpin yang memberikan ketenangan, memberikan bimbingan spiritual, dan menguatkan seluruh anak bangsa.
Ditemani sultan, Arung Palakka menyaksikan pelabuhan yang ramai, kapal-kapal yang singgah, serta betapa sigapnya para juru bahasa yang merupakan staf dari sahbandar untuk menemui para nakhoda atau kelasi. Ia mengamini pendapat Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen yang terkagum-kagum saat melihat pelabuhan bagus dan aktivitas ekonomi.
Ia lalu
bergerak menuju pusat kota Wolio. Ia melihat benteng besar yang mengelilingi
pusat pemerintahan masa kesultanan. Benteng itu terbuat dari batu hitam yang
kokoh dan menutupi seluruh perkampungan.
Hampir pasti, ia akan membandingna konstruksi bebatuan itu dengan benteng-benteng buatan VOC di banyak negeri. Juga dnegan Benteng Sombaopu yang dibangun orang-orang Makassar. Benteng ini jelas lebih luas, lebih kokoh, dengan konstruksi yang menantang laut lewat meriam-meriam yang mengacung.
Ia juga melihat sebuah tiang bendera yang dari kejauhan mengibarkan panji kebesaran Kesultanan Buton. Jarak benteng dan lautan sekitar tiga kilometer. Pemilihan Wolio sebagai pemukiman tampaknya disebabkan kondisi geografis wilayah ini yang sangat strategis dari segi pertahanan dan ekologis.
Hampir pasti, ia akan membandingna konstruksi bebatuan itu dengan benteng-benteng buatan VOC di banyak negeri. Juga dnegan Benteng Sombaopu yang dibangun orang-orang Makassar. Benteng ini jelas lebih luas, lebih kokoh, dengan konstruksi yang menantang laut lewat meriam-meriam yang mengacung.
Ia juga melihat sebuah tiang bendera yang dari kejauhan mengibarkan panji kebesaran Kesultanan Buton. Jarak benteng dan lautan sekitar tiga kilometer. Pemilihan Wolio sebagai pemukiman tampaknya disebabkan kondisi geografis wilayah ini yang sangat strategis dari segi pertahanan dan ekologis.
Benteng kokoh
itu membersitkan sebuah refkeksi tentang keadaan wilayah yang setiap saat
menghadapi risiko ketidakamanan dan ancaman. Bajak laut adalah momok yang
menggetarkan saraf ketakutan masyarakat. Entah sejak kapan bajak laut asal
Tobelo mulai merajalela di lautan, namun bisa dilacak sejak Kerajaan Ternate
menggunakan perahu dan tenaga mereka untuk ekspedisi lintas laut.
Perairan Sulawesi di abad ke-17 adalah perairan yang serupa medan laga sebab dipenuhi bajak laut yang mengganas dan kerap menghancurkan pemukiman penduduk. Sedemikian tersohornya bajak laut Tobelo hingga dicatat dalam syair Kerajaan Bima dengan kalimat, “Riuh rendah ia mengangkut// berjalan beriring seperti semut// rupanya bagai setan mengerbang rambut// tubuhnya hitam memakai kancut.[6]
Perairan Sulawesi di abad ke-17 adalah perairan yang serupa medan laga sebab dipenuhi bajak laut yang mengganas dan kerap menghancurkan pemukiman penduduk. Sedemikian tersohornya bajak laut Tobelo hingga dicatat dalam syair Kerajaan Bima dengan kalimat, “Riuh rendah ia mengangkut// berjalan beriring seperti semut// rupanya bagai setan mengerbang rambut// tubuhnya hitam memakai kancut.[6]
Selain
ancaman dari bajak laut, Kesultanan Buton juga menghadapi ancaman dari beberapa
kerajaan besar yang hendak mencengkeram. Maka ratusan benteng didirikan demi
menghada[I ancaman tersebut serta memberikan perasaan aman kepada seluruh anak
negeri. Sedmikian banyaknya ancaman tersebut bisa dilihat pada syair yang berikut:[7]
Mopangurapina motingarapina lipu
Moneyatina bemohumbunina kota
Siymbau Gowa atoluwu Otobungku
Tee malingu saro simbapuyana
Soopodo maka moto penena gunana
Temola hina ampadeyana ilipu
Asadaa daan sakiaiya zamani
Owalanda indamo tee dimbana
Kaapaaka karana tongko indapo
Tee walanda ipiya malona yitu
Adika timbu tajagani taranate
Tajagani Gowa tongkona adika bara
Samatangkana loji imatanaeyo
Amarosomo kota I sukanayo
Amatangkamo mboorena lipu siy
Akosaomo labu rope labu wana
|
Yang berkehendak menundukkan negeri
Yang berniat menerang benteng
Seperti Gowa, Luwu, dan Tobungku
Dan segala yang disebut mau menyerang
Ringkasnya yang teramat gunanya
Dan yang terlebih gunanya di negeri
Tetap selama-lamanya jaman
Belanda yang tak ada bandingannya
Sebab karena waktu belum ada
Dengan Belanda beberapa waktu lalu
Musim Timur kita menjaga Ternate
Menjaga Gowa waktunya musim barat
Setelah kuat loji di timur
Teguh tertiblah benteng di barat
Sudah kuat kedudukan negeri ini
Bernama berlabuh di lautan, berlabuh buritan
|
Maka
pemukiman di perbukitan adalah solusi terbaik. Perbukitan itu secara alamiah
menjadi benteng terjal yang menyulitkan siapapun yang hendak menghancurkan
kota. Wilayah perbukitan juga memudahkan untuk mengawasi Selat Baubau sebagai
pintu gerbang utama menuju kota.
Dinamika perkotaan kemudian dipusatkan di atas bukit, pada tempat yang dikelilingi bebatuan yang membentuk sebuah benteng perkasa. Wilayah Wolio yang terletak di atas bukit, berhadapan dengan Selat Baubau sebagai pintu gerbang utama keluar masuk wilayah Kota Buton. Selain itu, pebukitan yang terjal itu sekaligus merupakan benteng pertahanan alami yang menjaga kedaulatan wilayah.
Dinamika perkotaan kemudian dipusatkan di atas bukit, pada tempat yang dikelilingi bebatuan yang membentuk sebuah benteng perkasa. Wilayah Wolio yang terletak di atas bukit, berhadapan dengan Selat Baubau sebagai pintu gerbang utama keluar masuk wilayah Kota Buton. Selain itu, pebukitan yang terjal itu sekaligus merupakan benteng pertahanan alami yang menjaga kedaulatan wilayah.
Maka benteng
ini adalah awal dari sebuah peradaban. Bahwa di tengah segala bentuk serangan
yang datang, maka berumah di dalam benteng adalah satu solusi terbaik demi
melancarkan perahu kesultanan membelah samudera kehidupan. Pilihan untuk
berumah di dalam benteng, kemudian menjadi awal dari mekarnya sebuah peradaban
serta dinamika yang kemudian tercatat dalam lembar sejarah.
Sungguh mencengangkan melihat sumber-sumber tradisional tentang sejarah Buton
justru senantiasa menyebut kata kota yang oleh beberapa sejarawan setempat
diartikan sebagai kata benteng. Beberapa naskah klasik kabanti[8] Ajonga Inda Malusa
yang ditulis Haji Abdul Ganiu atau Kenepulu Bula[9] menyebut kota untuk kawasan pebukitan yang dikitari
benteng, sebagaimana disaksikan Arung Palakka
Siympompuu yingkoo ukakaangi;
Ohukumu bhey malapeyakana;
Sabharaaka miya iparintangimu;
Bholi yanggea sabhara oni mosala;
Simbou waye isarongi masabuna;
Ikumbewaha tongkona apewau kota;
Amufakamo sabhara Siolimbona;
Tee malingu sabhara miya ogena;
Tee moduka sabhara miya kidina;
Asaangumo manga bheya pasabua;
Alawanimo amendeyupo asabu;
Tabeyanamo padhapo amondo kota;
Amondoaka kota siy kuundamo;
Apasabuaku yindamo bheku mendeyu;
Amondo kota aminamo ikarona;
Apepepasabu miya bhari agagamo;
Amendeumo manga bhea pasabua;
Akamatamo rouna ampadeana;
Wakutuuna apewau kota yitu;
Apaddemea sabhara arataana;
Amembalimo ikandena isumpuna;
Omiya bhari mokarajaana kota;
|
Baru saja engkau kokohkan;
Hukum untuk memberbaikinya;
Segenap rakyat yang engkau perintah;
Jangan peduli segala kata yang salah;
Konon yang disebut memakzulkan diri; Di Kumbewaha ketika membuat benteng;
Telah mufakat segenap Siolimbona Dan dengan segenap
orang besar;
Dan juga segenap rakyat kecil;
Telah bersatu mereka memakzulkannya;
Dia menjawab belum mau makzulkan diri;
Kecuali sudah selesai Benteng;
Selesai benteng ini aku sudah mau;
Dimakzulkan tidak lagi kutolak;
Selesai benteng sudah dari dirinya;
Bermohon berhenti rakyat sudah menolak;
Mereka menolak untuk dimakzulkan;
Karena menyaksikan wujud kegunaannya;
Ketika ia membuat benteng itu;
Habislah segala hartanya;
|
Lantas jika
benteng itu adalah sebuah kota apakah yang bisa ditemukan di sana? Arung
Palakka menyaksikan sebuah gerak yang serba tertata. Di situ terdapat penataan ruang-ruang tradisional untuk pemukiman,
pemerintahan, maupun spiritual.
Ini juga bisa ditemukan pada lanskap benteng-benteng yang ada di Eropa. Dalam hal benteng, penataan ruang tersebut sudah dilakukan, sehingga bisa disimpulkan bahwa konsep kota modern sudah berkembang di wilayah tenggara Sulawesi ini.
Ini juga bisa ditemukan pada lanskap benteng-benteng yang ada di Eropa. Dalam hal benteng, penataan ruang tersebut sudah dilakukan, sehingga bisa disimpulkan bahwa konsep kota modern sudah berkembang di wilayah tenggara Sulawesi ini.
Mengapa pula
orang Buton menyebut wilayah itu sebagai kota? Dalam sejumlah catatan, kata
kota berasal dari kata kutho (istilah Sansekerta) bermakna
bangunan tembok keliling yang berfungsi sebagai pengaman dan
pembentuk ruang lingkungan.
Beberapa bangsa membangun pemukiman (intra muros) baik raja dan kerabat, para bangsawan serta masyarakat dalam sebuah kawasan yang disebut kota. Dalam pengertian yang lebih luas kutho menjadi tempat aktivitas ekonomi, politik, administrasi pemerintahan, kegiatan keagamaan dan pusat informasi. Karena kutho menjadi pusat informasi tentu saja akan ditunjang oleh pembangunan infrastruktur.
Beberapa bangsa membangun pemukiman (intra muros) baik raja dan kerabat, para bangsawan serta masyarakat dalam sebuah kawasan yang disebut kota. Dalam pengertian yang lebih luas kutho menjadi tempat aktivitas ekonomi, politik, administrasi pemerintahan, kegiatan keagamaan dan pusat informasi. Karena kutho menjadi pusat informasi tentu saja akan ditunjang oleh pembangunan infrastruktur.
Selain itu kota juga dimaknai sebagai kumpulan individu
dan kelompok organisasi dengan jumlah yang sangat besar. Pada masa
itu, keragaman adalah bagian dari tumbuhnya Wolio sebagai pusat peradaban di
masa Kesultanan Buton.
Kota Wolio tumbuh dari dinamika antar pendatang dan warga pribumi yang lalu bersepakat membentuk sebuah kerajaan besar. Maka tidak mengherankan jika penduduk masa itu terdiri atas bangsa-bangsa dan aneka etnik yang diikat dalam satu payung hukum yang sama.
Heterogenitas lalu meniscayakan interaksi yang memperkukuh eksistensi masing-masing baik itu ras, kerabat, profesi, agama dan lain sebagainya. Sungguh indah menyaksikan keragaman yang dikelola dalam bingkai filosofi nenas, sebagai filosofi kesultanan. Di tubuh nenas itu terdapat 72 duri yang merupakan simbol dari keragaman atau heterogenitas yang memenuhi jazirah Pulau Buton.
Kota Wolio tumbuh dari dinamika antar pendatang dan warga pribumi yang lalu bersepakat membentuk sebuah kerajaan besar. Maka tidak mengherankan jika penduduk masa itu terdiri atas bangsa-bangsa dan aneka etnik yang diikat dalam satu payung hukum yang sama.
Heterogenitas lalu meniscayakan interaksi yang memperkukuh eksistensi masing-masing baik itu ras, kerabat, profesi, agama dan lain sebagainya. Sungguh indah menyaksikan keragaman yang dikelola dalam bingkai filosofi nenas, sebagai filosofi kesultanan. Di tubuh nenas itu terdapat 72 duri yang merupakan simbol dari keragaman atau heterogenitas yang memenuhi jazirah Pulau Buton.
Selain
pelukisan tentang filosofi, di benteng itu juga terdapat fasilitas ekonomi,
fasilitas perdagangan, fasilitas pelabuhan nelayan, hingga fasilitas keagamaan.
Benteng Wolio memiliki tata ruang yang terdiri atas perkampungan penduduk dan
fasilitas umum yang kompleks.
Fasilitas yang bisa ditemukan di sini adalah pasar alun-alun, tempat peribadatan, pertahanan, dan makam. Bahkan, di benteng ini bisa pula ditemukan fasilitas administrasi dan pemerintahan (baruga), serta fasilitas pendidikan. Pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597 – 1631) yang bijaksana, telah berdiri sebuah pesantren yang dinamakan Pesantren Sin.
Siapapun warga masyarakat yang hendak menekuni pendidikan dan keagamaan berhak memasuki pesantran ini dibawah bimbingan para guru yang beberapa di antaranya telah mendapatkan pendidikan di Timur Tengah.
Fasilitas yang bisa ditemukan di sini adalah pasar alun-alun, tempat peribadatan, pertahanan, dan makam. Bahkan, di benteng ini bisa pula ditemukan fasilitas administrasi dan pemerintahan (baruga), serta fasilitas pendidikan. Pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597 – 1631) yang bijaksana, telah berdiri sebuah pesantren yang dinamakan Pesantren Sin.
Siapapun warga masyarakat yang hendak menekuni pendidikan dan keagamaan berhak memasuki pesantran ini dibawah bimbingan para guru yang beberapa di antaranya telah mendapatkan pendidikan di Timur Tengah.
Sementara
pemukiman dibangun dengan mengelilingi masjid keraton, pasar dao bawo, dan di lapangan, atau
alun-alun. Menurut sejarah, di sekitar pasar terdapat juga bangunan baruga
sebagai tempat sultan dan para pembesar kerajaan mengadakan musyawarah atau
rapat. Dengan demikian, fasilitas ekonomi, peribadatan, dan administrasi
terpusat di wilayah tengah benteng Wolio.
Di bawah
bukit terdapat Kampung Lamangga dan Kampung Katobengke yang menyangga
perdagangan di Baubau, serta pelabuhan nelayan di Kotamara. Kampung Lamangga adalah tempatnya perajin
kuningan, sedang Katobengke adalah tempatnya para perajin gerabah.
Awal abad ke-17, Wolio sudah berkembang menjadi pemukiman yang padat. Mulanya, pemukiman itu terdiri atas sembilan kampung dan masing-masing dipimpin seorang menteri yang disebut Bontona Siolimbona. Secara keseluruhan, terdapat 72 kadie atau perkampungan yang membentuk mata rantai kesultanan.
Awal abad ke-17, Wolio sudah berkembang menjadi pemukiman yang padat. Mulanya, pemukiman itu terdiri atas sembilan kampung dan masing-masing dipimpin seorang menteri yang disebut Bontona Siolimbona. Secara keseluruhan, terdapat 72 kadie atau perkampungan yang membentuk mata rantai kesultanan.
Tidak
tergerakkah Arung Palakka menanyakan di mana posisi istana sultan? Apakah ia
membayangkan sebuah bangunan atau istana yang megah dengan banyak penjaga serta
wanita cantik sebagaimana wilayah lain?
Arung Palakka terkejut saat mendapatkan jawaban bahwa di sini, istana tidaklah menempati satu areal khusus dan tidak menjadi pusat bagi pendirian bangunan-bangunan di sekitarnya. Ini terkait dengan filosofi kekuasaan.
Jika di tanah Jawa, kekuasaan raja dianggap setara dengan dewa atau wakil Tuhan yang diwariskan secara turun-temurun. Ini tercermin pada bangunan tempat tinggalnya atau keratin yang dibangun dengan segala kemegahan, dan dijadikan sentrum kuasa politik dan administrasi serta titik sentral bagi pendirian bangunan di sekitarnya.
Arung Palakka terkejut saat mendapatkan jawaban bahwa di sini, istana tidaklah menempati satu areal khusus dan tidak menjadi pusat bagi pendirian bangunan-bangunan di sekitarnya. Ini terkait dengan filosofi kekuasaan.
Jika di tanah Jawa, kekuasaan raja dianggap setara dengan dewa atau wakil Tuhan yang diwariskan secara turun-temurun. Ini tercermin pada bangunan tempat tinggalnya atau keratin yang dibangun dengan segala kemegahan, dan dijadikan sentrum kuasa politik dan administrasi serta titik sentral bagi pendirian bangunan di sekitarnya.
Di tanah Buton,
seorang Sultan dipilih dan diangkat oleh rakyat. Ketika seorang sultan baru
diangkat, biasanya disertai dengan pendirian sebuah istana baru sebagai tempat
tinggal. Dengan demikian, istana seorang sultan hanya semata berfungsi sebagai
tempat tinggal dan bukan sebagai pusat pemerintahan. Inilah sebab mengapa
posisi istana bisa berada di mana saja.
Letak istana
tidak dibedakan dari rumah penduduk, dalam artian bisa dibangun di mana saja,
sepanjang masih berada di benteng Wolio. Tapi, istana tersebut memiliki bentuk
rumah yang berbeda dengan warga kebanyakan. Atap istana yang bertingkat dua,
sedangkan atap rumah penduduk di sekitarnya hanya bertingkat satu.
Filosofinya sangat dalam bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan, hanya ketakwaan dan kearifanlah yang menjadi pembeda kualitas seseorang. Bahwa seorang pemimpin atau sultan berasal dari masyarakat, merupakan sosok yang tumbuh dan besar di masyarakat kebanyakan, dan kelak akan mengemban amanah untuk masyarakat banyak.
Filosofinya sangat dalam bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan, hanya ketakwaan dan kearifanlah yang menjadi pembeda kualitas seseorang. Bahwa seorang pemimpin atau sultan berasal dari masyarakat, merupakan sosok yang tumbuh dan besar di masyarakat kebanyakan, dan kelak akan mengemban amanah untuk masyarakat banyak.
***
Laksana dua
sisi koin kemanusiaan yang saling melengkapi yakni maskulinitas dan feminitas,
benteng ini menyimpan lapis kisah yang bukan saja kisah-kisah keperkasaan atau
keberanian untuk menetak hulu ledak kelemahan musuh. Di benteng ini terdapat
pula kisah tentang ketulusan serta cinta kasih yang dituturkan dari abad ke abad.
Kisah ketulusan termaktub dalam pengorbanan para sultan untuk menegakkan
benteng.
Sejarah
mencatat bahwa landasan pembangunan benteng itu telah dimulai ketika pria yang
disebut berasal dari negeri seberang, Dungkucangia, meletakkan landasan
penyusunan benteng pada tahun 1309. Pekerjaan ini kemudian diteruskan oleh
Sultan La Sangaji. Ketika musim paceklik mencekam negeri pada tahun 1595,
pekerjaan itu terjenti selama kurang lebih dua tahun. Hingga akhirnya La
Sangaji mangkat, dan selanjutnya pekerjaan itu diteruskan oleh Sultan Dayanu
Ikhsanuddin pada tahun 1612 hingga 1616.
Namun
ketulusan yang dibarengi tanpa kenal lelah ditunjukkan Sultan Gafulr Al Wadud
pada tahun 1638 hingga 1645. Sososk yang dipanggil La Buke ini telah
mengambil-alih misi penyelesaian benteng yang tidak terselesaikan oleh para
sultan terdahulu. Ia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa benteng adalah
mekanisme perlindungan yang paling dibutuhkan masyarakat.
Ia kukuh
untuk menuntaskan benteng ini, meskipun banyak pihak yang menentangnya. Ketika
rakyat memprotes karena tidak bisa menjalankan aktivitas kesehariannya akibat
harus menyumbangkan tenaga demi pembangunan benteng, ia tetap bersikeras agar
benteng itu dituntaskan. Ia menyatakan siap mengundurkan diri ketika pekerjaan
itu telah dituntaskan. Peristiwa ini digambarkan secara dramatis dalam naskah
kabanti yang disusun Abdul Ganiu:
Siympompuu yingkoo ukakaangi
Ohukumu bhey malapeyakana
Sabharaaka miya iparintangimu;
Bholi yanggea sabhara oni mosala;
Simbou waye isarongi masabuna
Ikumbewaha tongkona apewau kota;
Amufakamo sabhara Siolimbona;
Tee malingu sabhara miya ogena;
Tee moduka sabhara miya kidina;
Asaangumo manga bheya pasabua;
Alawanimoamendeyupo asabu;
Tabeyanamo padhapo amondo kota;
|
Baru saja engkau kokohkan;
Hukum untuk memberbaikinya
Segenap rakyat yang engkau perintah;
Jangan peduli segala kata yang salah;
Konon yang disebut memakzulkan diri
Di Kumbewaha saat membuat benteng;
Telah mufakat segenap Siolimbona;
Dan dengan
segenap orang besar
Dan juga segenap rakyat kecil
Telah bersatu mereka memakzulkannya
Dia menjawab belum mau makzulkan iri;
Kecuali sudah selesai Benteng;
|
Syair ini
menyebutkan betapa La Buke hendak dimakzulkan atau dikudeta oleh banyak
kelompok yang tidak menginginkan proses pembangunan megaproyek tersebut. La
Buke meneruskannya, meskipun mesti mengorbankan kekayaan pribadi yang
dimilikinya. La Buke tercatat sebagai sosok paling konsisten yang mengerjakan
sesuatu hingga tuntas. Ketika desakan itu makin kuat, ia meminta penangguhan
hingga pekerjaan besar itu terselesaikan.
Amondoaka kota siy kuundamo;
Apasabuaku yindamo bheku mendeyu;
Amondo kota aminamo ikarona;
Apepepasabu miya bhari agagamo;
Amendeumo manga bhea pasabua;
Akamatamo rouna ampadeana;
Wakutuuna apewau kota yitu;
Apaddemea sabhara arataana;
Amembalimo ikandena isumpuna
Omiya bhari mokarajaana kota;
|
Selesai benteng ini aku
sudah mau
Dimakzulkan tidak lagi
kutolak
selesai benteng sudah
dari dirinya;
Bermohon berhenti
rakyat sudah menolak
Mereka menolak untuk
dimakzulkan
Karena saksikan wujud
kegunaannya;
Ketika ia membuat
benteng itu;
Habislah segala
hartanya;
Telah menjadi makanan
dan minuman;
Rakyat yang mengerjakan
benteng;
|
Yang
menakjubkan, ketika semua pekerjaan itu selesai, ia memilih untuk mengundurkan
diri. Ia tidak bersedia untuk memperpanjang kekuasaannya. Ia memilih untuk
lebur bersama masyarakat banyak, setelah terlebih dahulu memberikan pesan-pesan
filosofis. Ia mengatakan bahwa siapapun yang hendak memperjuangkan negara, maka
tidak seyogyanya menumpang pada kebesaran dan kekuasaan. Sebab kekuasaan
hanyalah tumpangan atas kewajiban dan amanah. Secara lengkap bisa dibaca pada
syair berikut;
Neupeelu ukakaroaka lipu tee mia bhari; Bholi mpuu
usawi ikawasa tee kapooli;
Kawasa tee kapooli siytu
Osawikana kawajiba tee amaanati; Pakeyana mangayincema
mosungkuna yincana;
Mobhanguna Lipu tee molape lapena miya bhari
Osiytumo ikeniakana Sara Pangka; Tee malingu sabhara Siolimbona;
Itumindana manga mokenina kapooli; Mosuungina
Bhawana Khalifatul Khamis;
Bholi mentaga Neakawamo sababuna isabuaka; Ihilasimo bholimo bheyu mentaga;
Osiytumo isarongiyaka pakeya molabhi;
Ee komiyu malinguaka mokenina kapooli; Yinda yindamo arataa somanamokaro;
Yindamo karo somanamo lipu;
Yinda yindamo lipu somanamo sara;
Yinda yindamo sara somanamo Agama;
Osiytumo pakeya kawolioa;
Idhikana siwuluta molabhina;
|
Jika ingin memperjuangkan negara dan rakyat;
Jangan menumpang pada kebesaran dan kekuasaan
Kebesaran dan kekuasaan itu
Tumpangan kewajiban dan amanah;
Pakaian bagi siapa yang sesungguh hati;
Membangun negara dan memperbaiki rakyat;
Itulah pegangan eksekutif
Dan semua Legislatif;
Yang dipahami semua pemegang kekuasaan;
Yang menjunjung beban Khalifatul Khamis;
Jika telah cukup syarat dimakzulkan;
Ikhlaskan sudah jangan menolak;
Itulah yang dinamakan pakaian kemuliaan;
Hai kalian pemegang kekuasaan;
Hilang hilanglah harta asalkan diri;
Hilang hilanglah diri asalkan Negara;
Hilang hilanglah Negara asalkan pemerintah;
Hilang hilanglah pemerintah asalkan Agama;
Itulah Pakaian ke-Wolio-an;
Yang diwariskan leluhur yang mulia;
|
Tekad La Buke
untuk menyelesaikan benteng ini adalah cerminan dari keteguhannya menyelesaikan
sebuah pekerjaan yang tertunda, sekaligus kecintaannya kepada masyarakat
banyak. Tekad ini juga ditunjukkannya ketika pada Gubernur Jenderal Van Diemen
yang berkunjung ke Buton tahun 1637. Ia menolak menandatangani satupun
perjanjian. Sikap keras dan non kompromi yang dianut Sultan Gafur Al Wadud
bahkan sangat mengkhawatirkan legislative Kesultanan Buton yang bersikap lunak
kepada Kompeni Belanda.
Selain kisah
keteguhan Sultan La Buke, benteng ini juga menyimpan lapis kisah tentang
patriotism seorang wanita bernama Wa Ode Wau. Perempuan bangsawan ini adalah
salah satu perempuan terkaya dalam sejarah Buton. Tak hanya kaya, ia juga
mendermakan kekayaannya demi bangsa.
Menurut kisah
yang beredar di masyarakat, pada setiap
musim ia akan menyerahkan sebaki emas dan perak kepada
Sara Kesultanan untuk biaya makan dan minum para pekerja benteng hingga selesainya
benteng itu selama tujuh tahun dikerjakan. Ia memiliki usaha yang merambah ke
seluruh Nusantara. Ratusan buah perahu dimodali dengan tenunan Buton berlayar
ke Maluku dan ditukar dengan rempah rempah yang kemudian dijual diberbagai
pasaran Jawa dan Sumatra hingga wilayah Johor.
Lahan
perkebunannya berupa jati tersebar di
banyak kadie mulai Sampolawa, Wawoangi, Batauga, Kaesabu, Wolowa, Kamelanta,
Watumotobe, Todanga, Lambelu, Kumbewaha, Kamaru, Lawele hingga Pangkowulu dan
Kambowa. Rakyat dibantunya untuk menanam kapas pada tiap kebun untuk dijadikan
benang dan ditenun menjadi kain dan sarung. Ia juga mendatangkan perajin emas
dari Kalimantan.
Bersama
saudaranya, Sultan Syafiuddin (La Dini) dihabiskan di Bone. Terselip pula kisah
kalau Wa Ode Wau dahulu sangat dekat dengan Sultan Muhammad Said, putra Sultan
Alauddin di Gowa. Dikarenakan masalah politik, hubungan itu tidak bisa
diresmikan.
Mungkin inilah sebab mengapa Wa ode Wau menolak kawin meskipun banyak dilamar oleh pejabat kesultanan. Ia akhirnya menikah pada usia 70 tahun dengan seorang yarona Kenelupu, putra La Ode Walanda. Atas jasa jasanya membantu pembangunan negerinya dan Benteng Wolio, Sara Kesultanan Buton merasa berutang budi sehingga Wa Ode Wau ditawarkan pembayaran dengan emas dan uang perak tetapi ditolak dengan halus. Ia menyatakan:
Mungkin inilah sebab mengapa Wa ode Wau menolak kawin meskipun banyak dilamar oleh pejabat kesultanan. Ia akhirnya menikah pada usia 70 tahun dengan seorang yarona Kenelupu, putra La Ode Walanda. Atas jasa jasanya membantu pembangunan negerinya dan Benteng Wolio, Sara Kesultanan Buton merasa berutang budi sehingga Wa Ode Wau ditawarkan pembayaran dengan emas dan uang perak tetapi ditolak dengan halus. Ia menyatakan:
Poleleyakea
osara, ayinda iyaku tey metaku inuncana kupohamba isara topewauna kota
siyate, maka tangkanapo betao kalapena liputa siy teemo duka bhetao kalapena
manga anaku, opuaku muri murina, saangiana manga bheyaose duka simbau
ipewauku siy.
|
Saya tidak mengharapkan sesuatu pemberian dari Sara
Kerajaan atas pengorbanan harta benda saya terhadap pembangunan
Benteng Wolio tetapi semata mata untuk kepentingan negeri saya sendiri serta
untuk kehormatan Kaumku dan anak cucuku di kemudian hari semoga mereka ada
yang mengikuti jejak saya ini.
|
Ketika meninggal,
ia meninggalkan harta yang sangat banyak berupa emas, perak, permata dan
berlian. Menurut keterangan Gubernur Jenderal Seutija (Sautijn), pejabat
Kompeni tahun 1734, dan yang dikuatkan oleh Gubernur Jenderal Arnold Alting
serta Residen Brugman, harta kekayaannya adalah tidak kurang dari 180 milyar
gulden atau senilai 60 miliar dolar.
Harta itu kemudian dkitanam di dalam tanah oleh Raja Sorawolio La Ode Sribidayan (anak Angkat Wa Ode Wau). Harta karun itu disebut harta karun Kalamuia. Harta karun inilah yang dimasukkan dalam pasal 14 Kontrak Perjanjian Pendek atau Kortoverklaring yang ditanda tangani oleh Sultan Muhammad Asikin dan Residen Brugman pada 8 April 1906 di atas Kapal De Ruyter.
Harta itu kemudian dkitanam di dalam tanah oleh Raja Sorawolio La Ode Sribidayan (anak Angkat Wa Ode Wau). Harta karun itu disebut harta karun Kalamuia. Harta karun inilah yang dimasukkan dalam pasal 14 Kontrak Perjanjian Pendek atau Kortoverklaring yang ditanda tangani oleh Sultan Muhammad Asikin dan Residen Brugman pada 8 April 1906 di atas Kapal De Ruyter.
Demikianlah,
benteng perkasa ini ternyata menyimpan kisah tentang manusia-manusia yang
berdedikasi seperti La Buke dan Wa Ode Wau. Benteng ini memahatkan sejumlah
nama-nama yang berdedikasi demi negeri. Benteng ini mencatat tentang mereka
yang ikhlas menjadi martir demi sesuatu yang lebih besar, demi inspirasi serta
gagasan yang tak pernah habis.
***
Ada begitu
banyak kisah-kisah yang nyaris lenyap dalam ingatan kolektif manusia yang
singgah. Melihat benteng sebesar ini beserta tata kota yang rapi, apakah
gerangan yang dibayangkan Arung Palakka? Mungkinkah ia membayangkan peradaban
yang merupakan titik puncak dari upaya pergulatan manusia menemukan jawaban
atas terjangan masalah yang dihadapinya?
Mungkinkah ia berpikir bahwa manusia boleh menjelajah hingga ke negeri jauh, melanglangbuana serupa awan di langit, namun hasrat kuat mewariskan peradaban adalah bagian dari persembahan generasi masa silam kepada generasi masa depan?
Mungkinkah ia berpikir bahwa manusia boleh menjelajah hingga ke negeri jauh, melanglangbuana serupa awan di langit, namun hasrat kuat mewariskan peradaban adalah bagian dari persembahan generasi masa silam kepada generasi masa depan?
Ia lalu
memikirkan seribu benteng di negeri Buton. Pikirannya berkelana hingga ke
benteng-benteng terjauh dan rakyatnya yang siap sedia bertarung nyawa untuk
melindungi diri. Permenungan itu membawanya pada sekuntum refleksi yang melampaui
segenap teori dan filsafat peperangan.
Ia menyaksikan sebuah pertahanan yang bermaksud melindungi perjalanan di jalan spiritualitas. Ia juga melihat indahnya pertanyaan filosofis yang berpangkal pada perenungan tentang hidup yang diaktualkan dalam ratusan benteng yang disebar di berbagai sudut pulau. Ia juga melihat sebuah visi tentang kota modern.
Ia menyaksikan sebuah pertahanan yang bermaksud melindungi perjalanan di jalan spiritualitas. Ia juga melihat indahnya pertanyaan filosofis yang berpangkal pada perenungan tentang hidup yang diaktualkan dalam ratusan benteng yang disebar di berbagai sudut pulau. Ia juga melihat sebuah visi tentang kota modern.
Batinnya tak
henti bertanya mengapa bangsa Buton membangun ratusan benteng-benteng. Ia sadar
bahwa nenek moyang Bugis tak banyak membangun benteng untuk melindungi
warganya. Sementara nenek moyang mereka telah membangun ratusan benteng di
berbagai penjuru pulau demi mempertahankan sesuatu. Lantas, sedemikian pentingkah nyawa bagi mereka?
Sebuah
benteng adalah sebuah pertahanan. Rentang panjang pengalaman pria Bugis ini
cukup untuk memberinya informasi betapa pentingnya sebuah benteng demi
menyelamatkan peradaban. Bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda dan Inggris
membangun benteng sebagai tempat pertahanan, demikian pula dengan bangsa Arab
dan Timur Tengah.
Bahkan di Nusantara, bangsa Portugis membangun benteng-benteng perkasa di Maluku Utara. Ada semacam konsensus universal bahwa benteng sangat vital bagi sebuah kawasan yang senantiasa dirundung bencana, kawasan yang selalu ditantang berbagai kekuatan yang hendak meremukkan peradaban.
Tapi, benteng yang tengah disaksikannya ini amat berbeda dengan benteng-benteng lain yang berdiri di Maluku atau pesisir barat Nusantara. Bahkan Benteng Somba Opu yang menjadi sumbu utama pertahanan Gowa justru tidak sebesar dan semegah benteng yang terbuat dari batu-batu karang yang tersusun rapi ini.
Bahkan di Nusantara, bangsa Portugis membangun benteng-benteng perkasa di Maluku Utara. Ada semacam konsensus universal bahwa benteng sangat vital bagi sebuah kawasan yang senantiasa dirundung bencana, kawasan yang selalu ditantang berbagai kekuatan yang hendak meremukkan peradaban.
Tapi, benteng yang tengah disaksikannya ini amat berbeda dengan benteng-benteng lain yang berdiri di Maluku atau pesisir barat Nusantara. Bahkan Benteng Somba Opu yang menjadi sumbu utama pertahanan Gowa justru tidak sebesar dan semegah benteng yang terbuat dari batu-batu karang yang tersusun rapi ini.
Bagi pihak
kesultanan, benteng adalah bagian dari konsep pertahanan. Benteng melengkapi
sistem pertahanan lain yang membentang di sepanjang pesisir pulau dan
menempatkan rakyat sebagai subyek penting dalam pertahanan. Selain benteng, sistem pertahanan itu adalah Barata, Matana Sorumba, Pata Limbona,
maupun pertahanan Bhisa Patamiana.
Barata adalah kerajaan kecil yang diberi otonomi
seluas-luasnya termasuk mempertahankan diri. Barata terdiri atas empat yaitu
Muna, Kulisusu, Tiworo, dan Kaledupa. Sedangkan Matana Sorumba (Jarum yang
sangat tajam) yaitu prajurit dalam menjaga wilayah daratan kesultanan merupakan
anggota masyarakat yang telah terpilih, terlatih dan teruji kemampuannya dalam
hal keprajuritan.
Pertahanan Bonto adalah tugas untuk menjaga keutuhan ibu kota kesultanan yang dikelilingi sebuah benteng. Inti kekuatan pertahanan Kesultanan Buton ada pada pata limbona terdapat dalam wilayah Keraton Wolio yang setiap limbo dipimpin oleh seorang Bonto.
Pertahanan Bonto adalah tugas untuk menjaga keutuhan ibu kota kesultanan yang dikelilingi sebuah benteng. Inti kekuatan pertahanan Kesultanan Buton ada pada pata limbona terdapat dalam wilayah Keraton Wolio yang setiap limbo dipimpin oleh seorang Bonto.
Pertahanan bhisa
patamiana yang mempunyai tugas dalam pertahanan adalah pertahanan
kebathinan yang mempunyai kedudukan dalam ibu kota dengan mengandalkan kekuatan
supranatural dalam mengetahui keberadaan musuh pemerintah Kesultanan. Mereka
berupaya untuk menghancurkan musuh yang akan merongrong keutuhan wilayah dan
pemerintahan kesultanan atas izin Yang Maha Kuasa.
Apakah
gerangan yang dibayangkan siapapun yang menyaksikan benteng perkasa ini?
Mungkinkah orang-orang membayangkan sebuah bangunan yang merupakan bangunan
pertahanan terluas yang pernah dilihatnya di jazirah timur.
Di satu sisi, benteng ini adalah symbol pertahanan. Tapi di sisi lain, benteng ini adalah perlambang dari hasrat kuat bangsa Buton untuk melindungi segenap rakyatnya dari segala marabahaya yang setiap saat mengancam. Hasrat melindungi serta ancaman yang datang terus-menerus ibarat dua sisi sayap pengetahuan yang kemudian menerbangkan kesultanan untuk membangun sebuah karya arsitektur yang fantastis pada zamannya.
Di satu sisi, benteng ini adalah symbol pertahanan. Tapi di sisi lain, benteng ini adalah perlambang dari hasrat kuat bangsa Buton untuk melindungi segenap rakyatnya dari segala marabahaya yang setiap saat mengancam. Hasrat melindungi serta ancaman yang datang terus-menerus ibarat dua sisi sayap pengetahuan yang kemudian menerbangkan kesultanan untuk membangun sebuah karya arsitektur yang fantastis pada zamannya.
Inilah suatu bangsa yang hari-harinya adalah
mempertahankan dan melindungi segenap warganya. Inilah suatu bangsa yang ketika
datang serangan dari musuh, maka secara spontan seluruh lapisan masyarakatnya
akan mengambil bagian untuk berjuang demi menghancurkan musuh dalam rangka
mempertahankan kesultanan. Inilah suatu bangsa, yang bertahan dari segala
serangan demi mendirikan layar pencarian eksistensi diri di jagad
spiritualitas.
Di Nusantara,
beberapa bangsa telah membangun benteng sebagai tempat perlindungan. Bahkan
Raja Gowa I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallona juga
telah membangun benteng pada tahun 1545. Benteng yang kemudian hari disebut
Benteng Fort Rotterdam itu memiliki bahan dasar tanah liat yang kemudian
diganti dengan batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di
daerah Maros.
Benteng itu berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuk, sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di darat maupun laut.
Di saat yang tak begitu jauh, bangsa asing yang singgah ke Nusantara juga membangun benteng yakni Benteng Belgica dan Benteng Nassau di Banda Neira[11], juga beberapa buah benteng yang didirikan Portugis di Ternate.
Benteng itu berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuk, sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di darat maupun laut.
Di saat yang tak begitu jauh, bangsa asing yang singgah ke Nusantara juga membangun benteng yakni Benteng Belgica dan Benteng Nassau di Banda Neira[11], juga beberapa buah benteng yang didirikan Portugis di Ternate.
Aktualitas
itu nampak pada sudut-sudut benteng memiliki yang bentuk dan falsafah unik. Benteng yang berdiri kokoh di atas bukit itu
memiliki 12 pintu atau lazim disebut lawa. Angka 12 menurut keyakinan
masyarakat adat Buton adalah mewakili 12 lubang keluar pada tubuh manusia.
Lawa atau pintu gerbang didesain sebagai
pintu penghubung antara benteng menuju sederetan kampung di sekitarnya. Setiap
lawa merupakan representasi atas wilayah. Kata lawa selalu mendapat akhiran
"na" (nya) sesuai dengan gramatika bahasa yang pada masanya menjadi
bahasa pemersatu di jazirah Kesultanan Buton.
Akhiran na berfungsi sebagai pengganti kata milik. Dari 12 lawa, terdapat Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Wajo/ Bariya, Lawana Burukene/ Tanailandu, Lawana Melai, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-Gundu. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda.
Perbedaan itu dapat dilihat dari bentuk dan materi yang digunakan, ada yang besar, sedang, ada yang hanya terbuat dari batu dan ada juga yang dipadukan dengan kayu, semacam gazebo yang berfungsi sebagai menara pengintai.
Akhiran na berfungsi sebagai pengganti kata milik. Dari 12 lawa, terdapat Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Wajo/ Bariya, Lawana Burukene/ Tanailandu, Lawana Melai, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-Gundu. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda.
Perbedaan itu dapat dilihat dari bentuk dan materi yang digunakan, ada yang besar, sedang, ada yang hanya terbuat dari batu dan ada juga yang dipadukan dengan kayu, semacam gazebo yang berfungsi sebagai menara pengintai.
Benteng tersebut
berbentuk huruf “dal” dalam aksara Arab. Sementara tak jauh dari Benteng Wolio
terdapat Benteng Baadia yang berbentuk huruf “alif”. Masih dalam radius
pandangan mata, terdapat Benteng Sorawolio yang berbentuk huruf “mim”.
Ketiga benteng ini membentuk lukisan semiotika yang membentuk kata Adam, sebagai manusia pertama, juga kata Ahmad sebagai nama lain Rasulullah. Artinya, benteng-benteng itu menyimpan satu teka-teki semiotika yang mesti ditemukan maknanya, ditemukan pesan-pesan spiritual di baliknya hingga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga benteng ini membentuk lukisan semiotika yang membentuk kata Adam, sebagai manusia pertama, juga kata Ahmad sebagai nama lain Rasulullah. Artinya, benteng-benteng itu menyimpan satu teka-teki semiotika yang mesti ditemukan maknanya, ditemukan pesan-pesan spiritual di baliknya hingga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi para pejalan spiritual, benteng adalah serupa tampilan lahir diri
manusia. Diri bukan segala-galanya. Bukan pula sesuatu yang esensial. Diri
hanyalah satu tahapan dalam perjalanan menuju Tuhan. Sejak masa
Sultan Dayanu Ikhsanuddin tahun 1614 yang bijaksana, para leluhur telah menyusun tahapan-tahapan perjalanan
spiritual.
Mereka menyusun tahapan yaitu harta sebagai aspek paling pertama, kemudian diri, negeri, hukum, kemudian agama. Untuk menjadi manusia sempurna, maka kita harus meninggalkan semuanya secara perlahan dan hanya memilih jalan agama. Keyakinan ini sudah muncul dalam falsafah hidup yang berbunyi:
Mereka menyusun tahapan yaitu harta sebagai aspek paling pertama, kemudian diri, negeri, hukum, kemudian agama. Untuk menjadi manusia sempurna, maka kita harus meninggalkan semuanya secara perlahan dan hanya memilih jalan agama. Keyakinan ini sudah muncul dalam falsafah hidup yang berbunyi:
Nainda-indamo arata somanamo karo
Nainda-indamo karo somanamo lipu
Nainda-indami lipu somanamo sara
Nainda-indamo sara somanamo agama
|
Tidak-tidaklah harta asal diri
Tidak-tidaklah diri asal negeri
Tidak-tidaklah negeri asal hukum
Tidak-tidaklah hukum asal Agama
|
Falsafah itu bisa dimaknai secara sederhana. Bahwa di
atas harta, masih ada diri pribadi. Di atas diri, masih ada negeri, dan di
atasnya masih ada hukum. Di atas hukum, ada jalan agama atau jalan Tuhan
sebagai tujuan utama. Jalan agama atau jalan Tuhan mesti ditempatkan sebagai
tujuan tertinggi dari proses gerak manusia.
Ketika Tuhan dimaknai sebagai titik terakhir dari orientasi gerak manusia, maka jalan agama mesti ditempatkan sebagai bagian paling penting dari ziarah perjalanan manusia. Ini mengingatkan pada filosofi bahwa di atas syariat ada hakikat, dan di atas hakikat ada makrifat, atau tangga-tangga perjalanan untuk menggapai Tuhan.
Ketika Tuhan dimaknai sebagai titik terakhir dari orientasi gerak manusia, maka jalan agama mesti ditempatkan sebagai bagian paling penting dari ziarah perjalanan manusia. Ini mengingatkan pada filosofi bahwa di atas syariat ada hakikat, dan di atas hakikat ada makrifat, atau tangga-tangga perjalanan untuk menggapai Tuhan.
Demi melepaskan apa yang disebut diri, orang-orang tua
terdahulu berani untuk melepas harta, dan melepaskan nyawanya. Semua bentuk
pengorbanan diarahkan pada negeri (lipu), yang pada akhirnya juga diikhlaskan
demi agama. Itu bisa terbaca pada syair berikut:
Manga yincia mancuana morikana
Pituwulinga abinasa arataana
Tumbasakamo bholiakamo abinasa
Somanampuu bhea malape karona
Kaapaaka rampana o Karo yitu
Osiytumo tao katondona Lipu
Yisarongiaka Lipu yitu oanata
Tee malingu wutitinai bhawine
Dadiakanamo mancuana morikana
Yindaa meri apabinasa karona
Pitu wulinga hengga amateakea
Somana mpuu bhea malape lipuna
|
Mereka orang tua
terdahulu
Tujuh kali hancur
hartanya ;
Tawakkal biarkan binasa;
Asalkan saja dirinya
baik ;
Oleh sebab karena diri
itu;
Itulan yang menjadi
benteng negeri ;
Yang disebut negeri
itu seumpama anak kita ;
Dan semua keluarga
perempuan
Karena itu orang tua
terdahulu
Tidak segan
menghancurkan dirinya ;
Tujuh kali hingga
menjadi syahid ;
Asalkan saja untuk
kebaikan negerinya
|
Filosofi ini
mengandung negasi sekaligus rekonstruksi.
Hal yang disangkal adalah harta, diri, dan negara. Dan yang hendak ditegakkan
adalah jalan agama. Bukan berarti bahwa orang Buton mengajarkan sikap untuk tidak membela negara. Mereka
hanya menegaskan bahwa membela negara hanyalah
satu tahapan dalam proses menuju jalan Tuhan.
Jika hidup didedikasikan untuk sesuatu yang lebih substansial, maka harta, diri, hukum, dan negara, adalah stasiun-stasiun yang dilewati demi mengorbankan diri di jalan Tuhan. Ini mengingatkan pada konsep maqamat dalam tasawuf yaitu tempat-tempat persinggahan manusia dalam perjalanan mencapai Sang Pencipta.
Jika hidup didedikasikan untuk sesuatu yang lebih substansial, maka harta, diri, hukum, dan negara, adalah stasiun-stasiun yang dilewati demi mengorbankan diri di jalan Tuhan. Ini mengingatkan pada konsep maqamat dalam tasawuf yaitu tempat-tempat persinggahan manusia dalam perjalanan mencapai Sang Pencipta.
Lantas, apa
pula filosofi bangsa Buton saat membangun benteng tersebut? Mereka tidak hendak
mematrikan kejayaan baik di laut dan di darat. Mereka juga tidak hendak
mengungkapkan epos-epos besar tentang keperkasaan armada yang berlayar hingga
tanah Marege di Australia sana.
Mereka mematrikan benteng sebagai bagian dari filosofi tentang hidup dan kesempurnaan manusia di samudera kehidupan. Mereka menyusun berlembar-lembar pemikiran yang memotret perjalanan manusianserta tangga-tangga mendaki kesempurnaan.
Dan betapa hebatnya bangsa Buton yang memiliki filosofi kehidupan yang demikian indah terjaga. Maka benteng itu adalah simbol dari perjalanan spiritual mereka yang serupa perahu menyusuri kehidupan. Benteng itu adalah prasasti dari spirit kemanusiaan yang berlayar di tengah rimba raya kehidupan yang penuh karang-karang tantangan. Benteng itu adalah aktualitas dari pahaman filosofis yang digali dari ajaran Islam.
Mereka mematrikan benteng sebagai bagian dari filosofi tentang hidup dan kesempurnaan manusia di samudera kehidupan. Mereka menyusun berlembar-lembar pemikiran yang memotret perjalanan manusianserta tangga-tangga mendaki kesempurnaan.
Dan betapa hebatnya bangsa Buton yang memiliki filosofi kehidupan yang demikian indah terjaga. Maka benteng itu adalah simbol dari perjalanan spiritual mereka yang serupa perahu menyusuri kehidupan. Benteng itu adalah prasasti dari spirit kemanusiaan yang berlayar di tengah rimba raya kehidupan yang penuh karang-karang tantangan. Benteng itu adalah aktualitas dari pahaman filosofis yang digali dari ajaran Islam.
Dilihat lebih
jauh, benteng-benteng itu sesungguhnya hendak mematrikan pandangan tentang
kecintaan di jalan spiritual. Beberapa seniman abad pertengahan Eropa juga
mematrikan kecintaan pada Tuhan melalui benda-benda.
Beberapa seniman Italia seperti Leonardo Da Vinci, Raphael, dan Michelangelo telah memahatkan kecintaannya pada Tuhan melalui pembangunan Basilika Santo Petrus yang hingga kini tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia. Ada selaksa gagasan yang berpusar dalam benak, dan kemudian dimaterialkan dalam patung, lukisan, atau bangunan-bangunan megah.
Beberapa seniman Italia seperti Leonardo Da Vinci, Raphael, dan Michelangelo telah memahatkan kecintaannya pada Tuhan melalui pembangunan Basilika Santo Petrus yang hingga kini tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia. Ada selaksa gagasan yang berpusar dalam benak, dan kemudian dimaterialkan dalam patung, lukisan, atau bangunan-bangunan megah.
Hubungan
antara seniman dan ciptaannya adalah serupa hubungan yang bertaut antara satu
keping realitas (kenyataan yang sesungguhnya), serta experience (bagaimana realitas itu mempengaruhi kesadaran hari
ini), dan expression (bagaimana
pengalaman subyek dibingkai dan diartikulasikan).
Hubungan itu bersifat dialektik di mana pengalaman menstrukturkan atau membingkai ekspresi, dan sebaliknya, ekspresi juga membingkai pengalaman. Kenyataan akan mempengaruhi pengalaman, dan pengalamanlah yang kemudian melahirkan ekspresi dalam karya-karya.
Hubungan itu bersifat dialektik di mana pengalaman menstrukturkan atau membingkai ekspresi, dan sebaliknya, ekspresi juga membingkai pengalaman. Kenyataan akan mempengaruhi pengalaman, dan pengalamanlah yang kemudian melahirkan ekspresi dalam karya-karya.
Ratusan
benteng di Pulau Buton adalah sebuah ekspresi yang mesti ditafsir sebagai
aktualitas dari pengalaman dan cara menafsir pengalaman tersebut. Orang-orang
Buton hendak menstrukturisasi pengalaman dan pengetahuan filosofis ke dalam
bentuk yang aktual. Benteng itu adalah selaksa permenungan atas realitas, yang
lalu mempengaruhi struktur pengalaman, kemudian dipahatkan hingga abadi sebagai
warisan bagi generasi penerus untuk ditemukan maknanya.
***
INI tahun 2011. Serombongan arkeolog dan turis mengitari
benteng luas di bukit Kota Baubau. Mereka menelusuri benteng serta memasuki
lawa. Beberapa kali mereka menggali di sejumlah tempat dan menemukan artefak
keramik kuno di situ.
Sejak tahun 2005, beberapa peneliti Jepang telah menggali di benteng itu dan menemukan banyaknya keramik yang di masa silam hanya bisa ditemukan di masyarakat lapis atas di Cina. Kini, pecahan keramik itu tersebar di banyak tempat di benteng.
Sejak tahun 2005, beberapa peneliti Jepang telah menggali di benteng itu dan menemukan banyaknya keramik yang di masa silam hanya bisa ditemukan di masyarakat lapis atas di Cina. Kini, pecahan keramik itu tersebar di banyak tempat di benteng.
Ketika mencapai sebelah benteng yang di bawahnya ada
lembah, serta berhadapan dengan Benteng Sorawolio, mereka menyaksikan papan
kecil bertuliskan LIANA LA TONDU. Di bawahnya ada tulisan Gua Arung Palakka.
Mereka bertanya-tanya siapa gerangan Arung Palakka itu dan jejak apa yang diwariskan di tanah Buton. Di antara mereka ada yang pernah membaca karya Leonard Andaya berjudul The Heritage of Arung Palakka serta membaca beberapa rekaman peristiwa yang disarikan para budayawan setempat.
Mereka bertanya-tanya siapa gerangan Arung Palakka itu dan jejak apa yang diwariskan di tanah Buton. Di antara mereka ada yang pernah membaca karya Leonard Andaya berjudul The Heritage of Arung Palakka serta membaca beberapa rekaman peristiwa yang disarikan para budayawan setempat.
Maka terurailah kisah tentang seorang penakluk dan pahlawan
bangsa Bugis. Terungkaplah kisah petualangan bangsawan Bugis itu ke Tanah Buton
demi mendapatkan suaka politik, yang boleh jadi merupakan konsep suaka politik
pertama dalam sejarah politik Nusantara.
Terungkap pula kisah tentang persembunyian Arung Palakka di dalam gua kecil. Terselip pula cerita sumpah keramat Sultan Buton yang hendak melindungi pahlawan Tanah Bugis itu. Ada pula kisah tentang filosofi benteng, tentang pintu-pintu yang menggambarkan lubang-lubang pada tubuh manusia, atau tentang kronik atau pertempuran antar kerajaan di Sulawesi hingga kedatangan pedagang asing yang berniaga ke negeri timur.
Terungkap pula kisah tentang persembunyian Arung Palakka di dalam gua kecil. Terselip pula cerita sumpah keramat Sultan Buton yang hendak melindungi pahlawan Tanah Bugis itu. Ada pula kisah tentang filosofi benteng, tentang pintu-pintu yang menggambarkan lubang-lubang pada tubuh manusia, atau tentang kronik atau pertempuran antar kerajaan di Sulawesi hingga kedatangan pedagang asing yang berniaga ke negeri timur.
Di abad ke-17, terjadi sebuah perang besar di tempat itu.
Gowa mengirim armada berkekuatan 20.000 personel untuk menggempur Buton yang
dianggap melindungi Arung Palakka, pemberontak terhadap kekuasaan Raja Gowa. Perang
di sini hanyalah pematik dari perang besar di Makassar. Gowa dikepung oleh
banyak kerajaan seperti Bugis, Buton, dan Ternate, yang disokong oleh Belanda.
Pada akhir tahun abad ke-17, Batavia juga mengirim
pasukan ke Makassar lalu bergerak ke Buton yang sedang digempur oleh pasukan
Gowa pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Pasukan kompeni itu dipimpin Admiral
Cornelis Speelman berkekuatan 500 orang Belanda dan 300 bumiputra, di antaranya
termasuk Arung Palakka. Pasukan Bonto Marannu pun kalah atas strategi militer
dan persenjataan kompeni yang lebih modern. Sekitar 5.500 orangnya ditawan di
sebuah pulau kecil di perairan Teluk Baubau. Pulau itu oleh orang Buton disebut
Liwuto. Liwuto artinya pulau.
Di Tanah
Buton, terdapat jejak-jejak peristiwa masa silam yang terus membekas hingga
hari ini. Betapa tidak, peristiwa ini telah diinterpretasi dengan berbagai
versi dan ikut berpengaruh pada pertumbuhan karakter manusia zaman kini.
Pemerintah melihatnya dari sudut pandang sejarah yang mendiskreditkan para bangsa asing serta mereka yang bekerjasama. Sementara mereka yang berperang di masa silam sedang berikhtiar menegakkan kemanusiaan melalui sosok Arung Palakka. Peristiwa masa silam bisa menjadi luka sejarah, bisa pula menyimpan energi positif yang melahirkan karakter dan semangat zaman.
Pemerintah melihatnya dari sudut pandang sejarah yang mendiskreditkan para bangsa asing serta mereka yang bekerjasama. Sementara mereka yang berperang di masa silam sedang berikhtiar menegakkan kemanusiaan melalui sosok Arung Palakka. Peristiwa masa silam bisa menjadi luka sejarah, bisa pula menyimpan energi positif yang melahirkan karakter dan semangat zaman.
Tapi
setidaknya getar semua peristiwa masa silam itu bisa terasa saat menyaksikan
seribu benteng di Pulau Buton. Seribu bentang yang menjadi saksi bisu rangkaian
kejadian, dan menunggu tafsiran-tafsiran generasi masa kini untuk menyingkap
hikmah dan filosofinya. Semuanya tercatat rapi di NEGERI SERIBU BENTENG.
Makassar, 1
Mei 2011
[1] Pada masa Perdana Menteri Karaeng
Pattingalloang, dimulailah upaya penterjemahan berbagai naskah tersebut ke
dalam bahasa Makassar. Naskah-naskah irtu meliputi pembuatan meriam, pabrikasi
bubuk mesiu dan senjata diterjemahkan dari bahasa Spanyol, Portugis dan Turki.
[2] Lihat Andaya, Leonard Y (2004) Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17.
Makassar: Ininnawa.
[3] Sebagaimana dicatat budayawan La Ode Syarif Makmun,
sumber lokal menyebutkan bahwa Arung Palakka masih merupakan kerabat yang
paling dekat dengan Sultan Sultan Buton seperti antara lain Sultan Gafur Al
Wadud La Buke Sultan Buton yang
ke 6, Sapati La Ode Arafani (jogugu), Sultan Dayanu Ihsanuddin dan
seterusnya. Menurut silsilah La Kabaura
atau Andi Bauru (nama pemberian Mertuanya Raja Bone) datang ke Bone tahun 1582
sebagai duta utusan Sultan Buton
Murhum Kaimuddin yang diminta oleh Raja Bone La Tendari Rawe Bongkangnge
(1560-1590) untuk membantu menyelesaikan sengketa Bone dengan Gowa yang
dipimpin oleh Raja Gowa Karaeng Tunijallo (1565-1590). Dalam kunjungan itu, La Kabaura kawin dengan
Putri Raja Bone La Tendari Rawe Bongkangnge yang bernama Wetendari Siang dan
dari perkawinan itu lahirlah La Pottobune’ Arung Tana Tengnga yang menjadi Raja
Soppeng. Selanjutnya La Pottobune’ kawin dengan Putri Sultan Adam Matinro’e ri
Bantaeng yang bernama Wetenri Sui (Suri) dan lahirlah Arung Palakka. Untuk lebih
jelasnya, lihat Makmun, Syarif La Ode
(1992), Sejarah, Kebudayaan, dan Adat Demokrasi Pemerintahan Islam Fiy Darul
Butuni Tahun 1332 - 1960. Belum diterbitkan.
[4] Keterangan yang lebih lengkap mengenai jalur pelayaran
ini bisa dibaca dari laporan Tome Pires (1512-1515) yang berjudul Summa Oriental. Menurut Pires,
perjalanan lebih singkat bagi orang Portugis ke Maluku tidak melalui pantai
Jawa, melainkan melalui Singapura ke Borneo (Kalimantan) kemudian ke Pulau
Buton lalu ke Maluku
[5] Lihat bagian enam, Kitab Negarakertagama.
[6] Bait ini dikutip dari Syair Kerajaan Bima sebagaimana dicatat Khatib Lukman dan dikutip
dalam AB Lapian (2009) Orang Laut, Bajak
Laut, Raja Laut. Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas
Bambu
[7] Kutipan syair Ajonga Inda Malusa yang ditulis Haji Abdul
Ganiu pada abad ke-18
[8] Kabanti adalah syair tradisi lisan
yang berisikan petuah-petuah, kisah peristiwa, hingga ajaran tasawuf. Kabanti
seperti puisi, namun panjang-panjang. Beberapa kabanti, panjangnya sampai
ratusan halaman
[9] Haji Abdul Ganiu atau Kenepulu Bula
adalah pejabat dalam pemerintahan Kesultanan Buton pada masa Sultan Muh Idris
Kaimuddin, Sultan Buton ke-29 yang menjabat tahun 1824 – 1851. Ganiu pernah
menjabat sebagai juru bahasa, syahbandar, kapitalao (kapten laut), dan terakhir
sebagai Kenepulu (penasihat hukum). la Juga dikenal sebagai ulama intelektual
di Zaawiah (pesantren) yang ada di Buton. Beberapa karyanya yang penting di
antaranya Mir'at at-Tamam (bahasa
Melayu), Kebun segala saudara di dalam Berkat Ibadah kepada Tuhan (bahasa
Melayu), serta sejumlah kabanti dalam
bahasa Wolio. Di antaranya adalah Ajonga
lnda Malusa, Padamana Alimu, Kalipopo Mainawa, dan Kaina-inawuna Arifu
[10] Terjemahan ini mengacu pada terjemahan
yang dilakukan Abdul Mulku Zahari (alm) dan budayawan La Ode Muhammad Syarif
Makmun
[11] Benteng Belgica pada awalnya adalah sebuah benteng yang
dibangun oleh bangsa Portugis pada abad 16 di Pulau Neira, Maluku. Lama setelah
itu, di lokasi benteng Portugis tersebut kemudian dibangun kembali sebuah
benteng oleh VOC atas perintah Gubernur Jendral Pieter Both pada tanggal 4
September 1611. Benteng tersebut kemudian diberi nama Fort Belgica, sehingga
pada saat itu, terdapat dua buah benteng di Pulau Neira yaitu; Benteng Belgica
dan Benteng Nassau. Benteng ini dibangun dengan tujuan untuk menghadapi
perlawanan masyarakat Banda yang menentang monopoli perdagangan pala oleh VOC.
42 komentar:
Terima kasih sudah berbagi bang Darmawan..
Salam kenal..
Makasih om..berguna sekali..
sama-sama bro. salam kenal juga.
makasih juga krn udah singgah dan lihat2 artikel di sini.
menarik sekali ini bang...:)
Bang Yusran, sepertinya pernyataan "Bone ri lau, Butung ri aja", terjemahannya terbalik :)
di tulisan ini tertulis Bone di barat, Butondi timur.
padahal laut itu berarti timur, aja itu berarti barat.
berarti pernyataan yang tepat, Bone ri aja, Butung ri lau.
tabe'..
bagus sekali informasinya
Terjawab sudah sebagian pertanyaan saya siapa arung palakka itu? Terima.kasih
Terjawab sudah sebagian pertanyaan saya siapa arung palakka itu? Terima.kasih
Luar biasa dari cerita ini tergambar jelas bagaimana kedekatan orang-orang bugis dan orang buton termasuk belanda dalam melawan kerajaan Gowa.
hal yang menarik dari tulisan ini, yaitu keterlibatan belanda (yang dikenal sebagai penjajah) dalam peperangan antara kerajaan Buton yang dibantu oleh orang-orang bugis dan kerajaan ternate melawan kerajaan gowa yang berakhir dengan kekalahan kerajaan gowa, hal ini banyak dinilai bahwa sokongan dari pihak belanda (penjajah) adalah salah satu bentuk kerjasama yang dianggap oleh masyarakat umum bahkan pemerintah saat itu sebagai sebuah penghianatan seorang pribumi terhadap bangsanya sendiri.
Mohon dikoreksi jika pendapat saya ini keliru, mengingat saya masih terlalu sedikit paham tentang sejarah
Secara geografis, Bone disebelah Barat dan Buton disebelah Timur.
Kereeen...
Terima kasih atas di muatnya artikel ini,,saya sebagai orang buton hanya tau arung palakka pernah ke buton tapi tdk tau bagaimana prosesnya
Ini cerita tentang persaudaraan antara kerajaan bone dan kerajaan buton..terima kasih
Luar biasa
Bisa tolong cari Tau ceritanya tentang keturunan Raja Arung Pallaka Yg sekarang Makamnya ada di kota luwuk banggai namanya Syeikh Abdullah Bin Abdul Kadir zaelani klo saya tidak salah. karena menurut cerita orangtua saya itu keturunan Raja dikerajaan wajo atau Bone dahulunya. Makamnya di luwuk banggai ada di kecamatan Mondono. dan sudah di jadikan Cagar Budaya. Dan barang"nya yang di museumkan itu seperti LONTARA, sejadah, dan Alqur'an.
Yang bikin saya penasaran saya sendiri yg masih keturunannya belum pernah lihat barang"nya yang di museumkan.karena sekarang saya tinggal di makassar, cuma Makamnya yang sempat saya ziarahi waktu pulkam ke luwuk banggai lebaran kemaren. siapa tau bisa carikan infonya nanti saya bantu kasih no hp orangtua yang bisa di hubungi disana, karna bapakku sendiri Cicit beliau...saya sendiri penasaran tapi waktuku tidak ada. Maklum sekarang sudah jadi ibu rumah tangga.
"Pemerintah saat itu", siapa pemerintah saat itu?, yang ada adalah penguasa saat itu yaitu kerajaan gowa. Jika diukur dgn kekinian jelas sokongan itu disebut penghianatan. gowa melakukan ekspansi sama halnya dgn belanda. Bangsa bugis adalah pihak yg dijajah, apakah perlawanannya melawan penguasa yg dzalim pantas disebut penghianatan pribumi krn dibantu oleh bangsa asing?. Kalau belanda disebut penjajah, lantas disebut apakah bangsa gowa yg menjajah bugis kala itu?, pahlawan?, kita realistislah melihat kenyataan yg terjadi kala itu. Bangsa yang mana dihianati oleh Aru Palakka, Indonesia?, gowa?, bugis?, atau apa?. Jelas, bangsa belanda adalah penjajah, gowa kala itu adalah penjajah, yang dilakukan Aru Palakka adalah upaya perjuangan kemerdekaan bangsanya, bukan penghianatan.
Tabe, ini hanya opini, sya bukan ahli sejarah....silahkan diluruskan
Trima kasih atas infonya pak yusran darmawan👍👍👍
Buton adalah gudang ilmu masa lampau dan masa modern, kearifan lokal yg terjaga, konsep pelestarian hutan sudah djalankan sejak zaman kesultanan, Buton adalah kesultanan yg diterapkan dengan sistem demokrasi, dimana raja dan sultan tidak mesti dari silsilah raja atau sultan, Buton juga telah menerapkan kesetaraan gender sejak zaman kerajaan, Buton adalah kesultanan yg mengedepankan agama diatas segalanya. Lalu siapakah yg tidak akan datang untuk berlindung dan belajar ditanah Buton.
Maaf sebelumya,,, tpi menurut saya,,, judul cerita dgn isi bertolak belakang, karena isinya bukanlah Kisah RAJA BUGIS di Pulau BUTON melainkan cuman membahas seluk beluk kesultan buton!!! Thank's
Sangat bagus artikelnya ini saudara. Namun ada satu hal yang ingin saya tanyakan dan kalau ada yang mengetahui tlong beritahukan dulu buat saya bahwa nama sangia dari sultan I Buton yaitu Sultan Murhum itu apa ya? kalau ada yang tau tlong beritahukan dulu sebagai salah satu pengetahuan. Terima kasih
Siapa yang tau nama sangia dari Sultan Murhum/Sultan Pertma Buton ya?
Mengapa ada hubungan antara Raja Arung palakka dengan sultan buton pada masa itu? apakah ada hubungan saudara ataukan hubungan secara politik. kalau ada yang tau tlong jelaskan!
Kalau menurut saya pribadi, tentang silsilah kerajaan, jika seorang keturunan ningrat menikah dengan rakyat biasa maka secara otomatis akan di keluarkan dari silsilah kerajaan tersebut.
Jika memang kakek moyang masih memegang teguh keyakinan dan menjalani proses yang benar "ningrat menikah dengan ningrat" maka anak cucunya pasti akan di turunankan silsilah keturunannya. Dan itu bukti ke absahannya untuk sekarang ini
Kalau saya rasa,.. Masih mempunyai hubungan darah atau saudara, mungkin dari ayah / kakeknya. Karena jaman dahulu untuk mengikat tali persaudaraan antar kerajaan dilakukan pernikahan antar kerajaan.
ARTIKEL YANG SANGAT BAGUS PAK YUSRAN. INFORMASI YANG SANGAT BERHARGA. (MAAF) CUMA JUDULNYA PERLU DI BENAHI SEDIKIT, AGAR TEPAT MENGGAMBARKAN ISI ARTIKEL. DI TUNGGU ARTIKEL LAINNYA.
Buton sebuah negeri dengan sejarah yg sangat mengagumkan dan tangguh dlm menghadapi segala tantangan dan ancaman invasi oleh negeri lain,bangga saya sebagai orang buton!!!
mungkin kurang dibaca dengan jelas kawan...
artikelnya sngat jelas menjelaskan tentang judul dan isi, krana secara struktur semuanya sudah tersusun dengan baik, sebab disertai dengan penjelasan-penjelasan pengantar sebelum masuk ke intisari dari artikel ini... sy blng begini karena kubaca habis dari awal hingga akhi... maaf,,, jngn tersinggung sobat, krna nda ada niat mau menyinggung,,, ya klaw mungkin kurang percaya, silahkan baca ulang hingga akhir,,, mkasi sebelumnya.. "smile"
Bangsa yang besar tercermin dari sifat pahlawannya di masa lalu
Mantabz dan semoga makin bersinar tulisan2nya
Alhamdulillah..
Cukup bermanfaat bagi saya yg baru berdomisili di Sulbar
Saya mau betanya,,jadi ternyata tidak ada namanya orang bone bersumapah kalau nenek moyang terdahulu berkata "keturunanku (bone)bersumpah tidak akan menikah dengan suku buton"
Bisa tolong di jelaskan kenapa bisa ada kepercayaan itu beredar di masyarakat
Tolong penjelasannya
Terimakasih atas tulisan ini saya selaku Buton asli dari Kadie Holimombo yang lahir di Dusun Limboto Desa Luhu Kecamatan Maluku Tengah Propinsi Maluku sehingga saya dapat mengetahuinya melalui tulisannya, pada tahun 1969 s/1970 dulu Kadie Holimobo diatas gunung kurang lebih 1/2 km dari pinggir pantai nama Kaloko tetapi setelah orang Hololimbo berobah amanya menjadi Desa Wagola,kemudian Talango dulu bagian Kadie Holimombo,maka Holimombo dan segala Administrasi diserahkan kepada Tolando dan menjadi Desa bukan bagian Holimombo sebenarnya,Holimombo yang sebenarnya setelah turun dari gunung membuat perkampungan dipinggiran pantai berobah namanya menjadi Wagola
Up
artikel yg sangat bagus di tunggu artikel berikutnya
Apakah betul orang buton tidak bisa bersatu dengan orng mkssr? Apakah mereka tdk bisa menikah? Tolong yg menegerti sejarah yg sebenarnya dijelaskn???
Asalam alaimum..
Saya ada sedikit pertaxaan mengenai Sultan Buton (Sultan Murhum).
Pernakah anda mendengar nama La ode Sare atau Muhammad Sare..?
Apa hubungan antara Sultan Murhum sama Laode Sare..?
Kemudian adakah seorang yg di utus dari pulau buton ke kerajaan gowa untuk menemui penguasa gowa tetapi sang penguasa gowa menghindar dan utusan dari buton itu mununggu dengan waktu yg lama dan akhirxa mempunyai keturunan di gowa yg di kenal Dengan Nama Karaeng Saleh.?
Saya pernah dengar cerita mengenai hal ini, dan konon katanya hal ini di sembunyikan dari sejarah Tanah buton..
Saya hanya sebatas ingin mengetahui yg sebenarxa..
Klo sepengetahuan sya dari kisah masyarakay hal itu hanyalah crita yg di bangun oleh orng yg tidak sukah dengan sejarah buton bugis. Kisah tentang sumpah sultan hasanduddin k masyarakat buton yg telah menyembunyikan arumpalaka pun tidak masuk akal. Sya pikir disinilah awal mula kisah itu berawal.Secara cerita masyarakat tentng sejarah dengan artikel ini termasuk bertolak blakang, tp lebih masuk akal artikel ini
Tksh, bisa jadi referensi...
istilah "Bone rilau Butung riaja" dalam tulisan di atas tdk terbalik. Secara geografis Buton memang adanya di timur dan Bone di barat. Namun istilah tersebut lebih bermakna filosofis daripada geografis, yakni mencerminkan kuatnya ikatan persahabatan antara Bone dengan Buton. Dengan demikian, Arti yang sebenarnya: Buton adalah wilayah Bone di sebelah Timur, dan Bone adalah wilayah Buton di sebelah barat.
Terimaksaih bang... Saya Banyak dapat pencerahan tentang sejarah buton
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Mohon disebutkan berapa orang anaknya la arafani sapati baluwu...
Posting Komentar