KAWAN itu bukan lagi kawan yang kukenal
delapan tahun silam. Ia sudah bersalinrupa menjadi seorang miliuner. Ia sudah
menjadi sosok yang berbeda. Rasa percaya diri tumbuh dalam dirinya. Seakan-akan
ada lampu sorot yang terus mengarah ke dirinya. Dahulu, ia melobi demi beberapa
lembar rupiah, kini ia yang dilobi demi materi itu. Ia seolah punya segepok
kunci menuju alam bahagia. Ia bagai gula yang selalu dirubungi semut.
Di satu restoran asing yang mewah, aku
menemuinya. Tak ada lagi diskusi tentang nostalgia. Yang dibahasnya adalah
investasi. Ia sangat serius, khususnya ketika sejumlah orang datang untuk menjelaskan
tentang proposal agar duitnya mengucur. Kuperhatikan dirinya dengan seksama.
Kupikir, nikmat juga jadi orang berpunya. Orang-orang akan datang dan berusaha
meyakinkanmu. Orang-orang itu menunggu saat-saat ketika kamu mengangguk, lalu
menyataan setuju.
Di negeri yang amat memuja materi ini,
semua orang laksana berlari pada satu sirkuit pencarian materi. Siapa yang
cepat maka dia yang menang. Dia yang menang akan mendapat apresiasi serta
kekaguman. Dia yang menang seolah berumah di atas angin. Dia akan datang dan
duduk. Yang lain akan mengelilingi, memberi pujian, menyatakan kagum, lalu menjura
hormat. Sementara dia cukup melirik sekilas, seolah dirimu tak begitu berharga.
Aku mengenang masa-masa yang lalu. Dahulu,
dia yang duduk di hadapanku ini hanya seornag anak muda urakan yang sesekali
membaca buku karya Karl Marx. Dahulu, dia hadir di pelatihan sembari mengutip
Marx lalu menyampaikan pembelaan atas buruh dan tani. Dahulu, dia menggelandang
dan menggembel ke Jakarta sembari mempelajari ritme hidup mereka yang berlari
di pusat kekuasaan.
Kini, ia sudah menjadi pribadi yang beda.
Ia sudah ‘naik kelas.’ Aku hanya bisa tersenyum dan belajar banyak dari apa
yang nampak di hadapan mata ini.Yup, demikianlah hidup. Mereka yang di bawah akan selalu belajar pada mereka yang di atas. Amat jarang yang sebaliknya.
1 komentar:
syukuri saja apa yang sudah kita dapatkan
Posting Komentar