“Beib.. Dadamu dibusungkan dikit dong. Biar seksi!”
DI depanku, seorang gadis muda berparas
manis membusungkan dada. Si pemberi perintah adalah seorang penata gaya yang
jalannya agak melambai. Gadis itu seorang model yang mengikuti semua arahan. Ia
serupa lempung yang bisa dibentuk sesuai dengan keinginan sang pembuatnya.
Bedanya adalah gadis ini punya jiwa, punya nyawa. Ketika ia diminta menatap
kamera, apakah gerangan yang sedang dibayangkannya?
Aku bertemu gadis itu ketika sedang
bersantai di kota tua, Jakarta. Gadis itu serupa lampu yang dikerubungi lalat
fotografer. Rupanya ada promosi sebuah kamera digital terbaru. Sejumlah orang
disuruh mencoba kamera itu. Gadis itu lalu menjadi obyek untuk difoto. Ia wajib
mengikuti arahan. Kadang disuruh menatap kamera, membusungkan dada, atau malah
disuruh berpose membungkukkan badan sambil menatap ke depan. Para juru foto
lalu berlomba mengambil gambar dengan pose terseksi.
Aku lalu bergabung dengan para pengambil
gambar. Setelah beberapa jepretan, aku memilih untuk menyaksikan dari kejauhan.
Tiba-tiba, datang seorang perempuan di sampingku. Perempuan itu memakai topi
lebar warna coklat. Dengan bersikap sok akrab padaku, ia lalu menunjuk gadis
itu.
“Cantik khan?” katanya.“Bagiku biasa saja,” kataku.“Ah, pasti kamu bercanda. Semua orang bilang dia cantik,”“Tidak. Bagiku, gadis itu terlalu kurus. Lihat pergelangan tangannya,”“Kamu gak gaul sama model. Semua model harus langsing. Tapi seksi khan?”
Aku tak ingin berdebat. Bagiku, gadis
model itu punya tubuh yang kelewat kurus. Ia serupa seseorang yang lama
menderita sakit. Wajahnya memang manis. Tapi ketika kulihat badannya,
tulang-tulangnya bertonjolan. Point-nya jatuh di mataku. Entah kenapa, perempuan
di sebelahku menyebutnya cantik.
Aku lalu mengeluarkan sebungkus Sampoerna.
Kusodorkan pada perempuan di sebelahku. Ia mengambil sebatang. Kuraba kantong
celanaku untuk mengeluarkan zippo demi menyalakan rokok. Ternyata aku tak
membawanya. Saat menoleh ke perempuan di sebelahku, ia langsung mengeluarkan
korek gas, lalu membakarnya. Kami pun sama merokok.
“Cantik itu relatif” kataku memulai pembicaraan.“Bagiku mutlak,” katanya.“Apanya?”“Semua orang punya standar sendiri. Tapi ada sesuatu yang universal.”“Mungkin juga. Apa kamu mengenalnya?”“Tentu saja. Dia kan saudaraku,"
Diskusi kami berakhir. Perempuan di
sebelahku lalu beranjak. Kuperhatikan ke mana ia bergerak. Ternyata ia masuk ke
dalam sebuah sedan putih yang diparkir di dekat Museum Bank Indonesia. Tak lama
kemudian, mobil itu meluncur.
Lembayung senja tampak di ufuk Jakarta
yang penuh asap. Aku lalu memasukkan kamera ke dalam tas kecil yang kusandang.
Di ujung sana, pemotretan telah usai. Gadis model itu berjalan ke arahku sambil
memegang jaket kulit hitam. Ia bertanya tentang perempuan yag tadi di sampingku.
Saat aku menunjuk ke satu sudut, ia berterimakasih. Ia menjabat tanganku sambil
menyelipkan sebuah kartu nama. Aku tak paham apa maksudnya.
Kupandangi kartu nama itu hingga tak sadar kalau dirinya telah menghilang. Di situ, tertera nomor telepon yang setiap saat bisa dihubungi. Entah apa maksudnya. Aku lebih suka merenungi kenyataan yang kusaksikan hari ini. Di kota seperti Jakarta, para model serupa pajangan yang indah dipandang. Mereka adalah porselen yang mempercantik ruangan. Demi kata cantik itu, mereka lalu mempermak diri dan tubuhnya agar sesuai dengan kriteria itu. Malah, mereka mengurangi porsi makan agar bisa lebih kurus. Padahal, survei membuktikan bahwa lelaki lebih suka pada perempuan montok.
Di balik seraut wajah manis itu, terdapat dunia yang serupa fatamorgana. Di luar
nampak mentereng, tapi di dalam ada banyak cerita tentang gaya hidup yang
glamour, atau affair dengan para esmud, sebutan lain untuk para eksekutif muda. Konon, banyak yang
lalu terjebak dengan style ala metropolis, lalu memperkaya dirinya dengan
barang-barang mahal. Demi barang mahal itu, mereka siap melakukan apa saja.
Entahlah. Aku tak ingin terjebak dengan
prasangka. Daripada memikirkan sesuatu yang tidak-tidak, aku memilih untuk
pulang ke rumah. Kupandangi kartu nama itu, sebelum akhirnya membuangnya ke
dalam sebuah tong sampah. Semoga suatu
saat angin akan mempertemukan kita.
5 komentar:
Coba berapa nomor HPnya bang? Eheeem..
@Harja Saputra: abang bisa aja nih. bener tertarik?
Waduh, knpQ nda kasi'ka paman...
hmm.. kasian cewe itu ya :)
Sebaiknya foto modelnya dihilangkan dari artikel ini. Semua orang yg membaca seolah digiring opininya bahwa perempuan di foto ini berperilaku seperti yg tertulis di artikel.
Posting Komentar