tongkonan di Mamasa |
DI tengah
pegunungan Sulawesi Barat, di tengah syair dan lagu-lagu pebukitan yang dipenuhi
tanaman kopi dan pinus, terdapat kota Mamasa yang tersembunyi dan misterius
bagi banyak orang. Kota kecil dan sejuk ini tak hanya dihuni oleh warga yang
berumah di tengah-tengah pebukitan nan indah, namun juga dihuni oleh sejumlah
manusia gaib yang sesekali berinteraksi dengan warga desa. Hah?
***
LELAKI itu
memakai ikat kepala khas orang Mamasa. Di pagi buta, ia duduk di tepi pasar
sembari menghisap rokok kretek. Asap mengepul dari bibirnya yang keriput.
Sayup-sayup, ia menembang lagu khas Mamasa. Ketika saya melihatnya di tepi
pasar, ia memakai kain hitam, serta celana selutut berwarna hitam. Ia juga
berselempang sarung khas berwarna merah dan hitam.
Sebelum sempat
mengeluarkan sepatah katapun, ia langsung menyapa saya. Ia tahu kalau saya
adalah pendatang di tempat itu. Ia lalu bercerita tentang kekuatan mistik orang
Mamasa, mulai dari bagaimana mayat yang bisa berjalan sendiri ke lokasi
penguburannya. Ia juga berkisah hingga kemampuan berdialog dengan arwah. Ketika
bercerita, ia terdiam. Matanya mengikuti satu sosok. Ia lalu berbisik bahwa di
Mamasa, ada banyak orang-orang gaib yang tinggal di hutan-hutan. “Mereka tak terlihat sebab menyembunyikan
dirinya,” katanya.
Sayang, saya
hanya bertemu sesaat dengan lelaki itu. Saat itu, saya datang bersama dua
peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk melakukan observasi demi
memulai beberapa penelitian di kabupaten yang masuk dalam kategori terpencil
itu. Dalam perjalanan yang hanya beberapa hari itu, saya mendengar banyak kisah
tentang dunia mistik orang Mamasa, termasuk kisah tentang To Membuni atau manusia-manusia yang
tak terlihat di hutan-hutan.
Beberapa orang
bercerita tentang To Membuni
atau mereka yang tak terlihat. Orang Mamasa meyakini bahwa mereka sesekali
turun ke kota dan berbaur dengan warga. Pernah, ada seorang warga yang
menyiapkan hajatan. Warga itu menyiapkan makanan hingga 2000 bungkus sebab
undangan yang hadir hanya 1000 orang. Anehnya, ketika makanan dihabiskan,
banyak warga yang tak kebagian. Mengapa? “Sebab banyak bingkisan yang dibagikan
kepada to membuni yang ikut datang,”
kata seorang warga.
Lantas, mengapa
mereka tak terlihat? Seorang teman bercerita bahwa to membuni hidup dalam dunia paralel, akan tetapi memiliki
keterikatan dengan orang Mamasa dan Toraja. “Hanya
orang-orang tertentu yang bisa berdialog dan mengunjungi perkampungan mereka,”
kata teman tersebut.
patung selamat datang |
suasana pedesaan yang sejuk |
tongkonan yang berperan sebagai lumbung |
Saya melihat
sisi positif dari kisah itu. Barangkali kisah ini menyimpan ajaran penting
bahwa hutan-hutan bukanlah tempat yang kosong dan tak berpenghuni. Hutan-hutan
adalah wilayah yang didiami banyak mahluk, memiliki kesatuan napas yang selaras
dengan kehidupan di desa-desa, sehingga kelestariannya perlu dijaga dan
dipertahankan. Bagi masyaraat Mamasa, hutan adalah wilayah yang didiami. Mereka
memuliakan hutan sekaligus menjaganya.
Sayangnya,
banyak perambah hutan dan pekebun yang kemudian merusaknya sebab menganggapnya
sebagai komoditas.
Menuju Mamasa
Saya sangat
menikmati perjalanan ke Mamasa. Pegunngan dan hutan belantara Mamasa amat
menantang untuk dijelajahi. Bagi yang suka petualangan, Mamasa adalah tempat
yang mengasyikkan. Dari Makassar, kita bisa menempuh perjalanan darat melalui
Parepare, Pinrang, dan Polewali. Jalanannya masih mulus. Namun begitu hendak
meninggalkan Polewali menuju Mamasa, jalanan mulai mendaki dan rusak parah.
Meski jarak dari Polewali ke Mamasa hanya 90 kilometer, namun jalanan rusak
menyebabkan perjalanan ditempuh hingga berjam-jam.
Sepanjang
perjalanan, saya beberapa kali membatin. Bahwa Indonesia telah merdeka selama
lebih 62 tahun, namun ada banyak warga yang tak pernah tersentuh pembangunan.
Banyak pula tempat-tempat yang masih terisolasi sehingga sukar untuk dijangkau.
Mereka yang tinggal di Mamasa dan pegunungan Sulawesi Barat adalah mereka yang
tak beruntung. Mereka butuh berjam-jam berjibaku dengan jalan rusak yang berlumpur
demi untuk berpindah ke kota lain, sementara warga daerah lain justru hidup nyaman
dengan jalanan yang serba mulus.
Perjalanan itu laksana
jendela untuk melihat tanah air Indonesia yang jauh dari ibukota. Jalanan rusak,
akses warga terhambat, hingga kemiskinan petani menjadi potret buram negeri
ini. Akan tetapi, rakyat biasa di pegunungan itu bukanlah tipe yang mudah
mengeluh dan mengutuki keadaan. Mereka justru tersenyum ceria saat disapa
banyak orang yang singgah untuk berteduh. Senyum mereka menjadi perlambang
bahwa di tengah situasi sulit, selalu ada harapan untuk bangkit.
Namun lelah
karena perjalanan jauh itu sontak terbayar ketika mobil yang kami tumpangi tiba
di Mamasa. Di pagi hari, saya menyaksikan sebuah kota yang tertutupi kabut
tipis. Meskipun jarak pandang hanya beberapa meter, saya menyaksikan keindahan
kota ini. Mamasa ibarat terletak di tengah mangkuk yang pinggirannya adalah
pegunungan. Di pagi buta, saya menyaksikan sejumlah ibu yang membawa barang
dagangan ke pasar, lalu anak-anak yang menggiring kerbau di sawah-sawah hijau
membentang. Beberapa di antaranya meniup suling sembari duduk di atas kerbau.
Sungguh menarik dilihat.
Mirip Toraja
Sepintas, kota
Mamasa mengingatkan pada Toraja. Bangunan khas di kota ini adalah tongkonan,
sebagaimana bisa ditemukan di Toraja. Ukirannya juga mirip. Yang membedakannya
hanyalah bentuk atap. Seorang warga menjelaskan bahwa tongkonan di Mamasa masih
asli, belum ada renovasi. Entah, apakah keterangannya benar ataukah keliru,
yang pasti antropolog George Junus Aditjondro pernah berkata bahwa jika ingin
melihat Toraja yang asli, jangan datang ke Toraja. “Datanglah ke Mamasa,”
katanya.
Orang Mamasa
memang bersaudara dengan orang Toraja. Mereka meyakini bahwa nenek moyangnya
berasal dari Toraja. Makanya, rumah adat, pakaian tradisional, hingga agama
lokal juga memiliki kesamaan. Satu hal yang juga menautkan mereka adalah
kepercayaan pada mistik yang sama. Beberapa orang yang saya temui meyakini
bahwa dunia mistik orang Mamasa sangatlah tinggi.
sungai yang mengaliri kota |
anggrek |
duduk di bawah tongkonan |
Malah, banyak yang percaya bahwa orang Mamasa lebih sakti daripada orang Toraja. Entah, apakah informasi ini benar ataukah tidak. Yang pasti, Toraja adalah wilayah yang telah lama dikunjungi para turis dan pelancong. Orang Toraja juga telah banyak yang merantau dan merambah berbagai kota. Sedangkan orang Mamasa masih tinggal di pegunungan yang terisolasi. Mereka tak banyak meninggalkan pegunungan sehingga kebudayaannya belum banyak bersentuhan dengan kebudayaan lainnya.
Apapun itu,
pengalaman di Mamasa mengajarkan bahwa Indonesia adalah wilayah luas yang penuh
dengan keunikan. Tanah air ini amatlah banyak menyimpan kisah-kisah yang
menakjubkan. Saya amat senang karena bisa mengunjungi beberapa tempat seindah
dan semisterius Mamasa. Lebih bahagia lagi ketika bertemu orang-orang Mamasa
yang sedemikian bersahaja, mencintai alamnya, serta tak pernah membanggakan
diri atas apa yang sudah dilakukannya.
Ketika bertemu
orang pegunungan Mamasa yang rendah hati itu, saya serasa dibasahi embun sejuk.
Di Jakarta dan banyak kota lain, orang-orang tengah bersiap menyambut pemilu.
Ada banyak orang yang angkuh dan membanggakan komitmen serta apa yang sudah
dilakukannya. Dunia jadi arena penuh pamer kehebatan. Ada pula banyak hujatan.
Mengapa di panggung politik kita tak banyak orang yang serendah hati dan
sebijaksana orang Mamasa?
4 komentar:
Menyentuh sekali....
Sayangnya, pembangunan di Mamasa serta sistem pemerintahannya masih membangun sistem dinasti. Orang yang berpengaruh di pemerintahan adalah orang-orang yang masih mempunyai kekerabatan yang sangat dekat. Sistem politik yang dianut masyarakat Mamasa masih sangat di batasi oleh "kekuatan" dari para pemegang kekuasaan tertinggi. Jika berani keluar garis, maka tak ada tempat lagi untuk mereka yang melanggar.
Mamasa ( Surga yg Tersembunyi )
Mamasa ( Surga yg Tersembunyi )
Posting Komentar