saat berada di depan Capitol Hill di Washington DC |
SESEORANG tiba-tiba saja menyapa. Ia
mengajak diskusi tentang sekolah di luar negeri. Ia bertanya banyak hal. Ia
tidak membahas tentang tema-tema riset terbaru atau perkembangan dalam satu
bidang. Ia bertanya, tentang apakah dirinya bisa mencari kerja tambahan di luar
negeri? Apakah dirinya bisa membawa pulang banyak uang setelah belajar?
Gara-gara tulisan di blog ini, saya sering
mendapat pertanyaan dari para pencari beasiswa. Banyak pertanyaan yang lucu dan
ajaib. Anehnya, rata-rata meminta informasi tentang link atau jaringan tentang beasiswa. Dipikirnya, saya tahu banyak
tentang jenis-jenis beasiswa. Yang juga aneh, seseorang di ujung Sumatera
mengirimkan email tentang dirinya yang harus menanggung keluarganya sejak kecil,
serta harapan agar bisa keluar negeri demi meningkatkan harkat dan martabat
keluarga. What?
Berdasarkan banyak pertanyaan yang
diajukan orang-orang, saya mencatat ada sejumlah kesamaan ataupun anggapan dari
para pencari beasiswa tentang studi di luar negeri. Baiklah. Marilah kita
mendiskusikannya satu per satu.
Pertama, banyak pencari beasiswa yang
mengira bahwa belajar di luar negeri adalah jalan pintas untuk kaya-raya.
Mereka pikir bahwa dengan keluar negeri, pasti akan membawa banyak uang,
sehingga kelak akan beli rumah, tanah, mobil, atau apa saja. Anggapan ini tak
selalu benar. Malah sering salah. Beberapa teman yang belajar di Australia
setahu saya, pulang membawa banyak duit. Namun ini tak bisa digeneralisir.
Untuk negara seperti Amerika Serikat (AS), anggapan ini jelas salah besar.
Jumlah beasiswa untuk satu orang terbilang
pas-pasan. Berdasarkan observasi saya pada penerima beasiswa, jumlah yang
diterima hanya pas untuk bertahan hdup selama sebulan. Separuh dari biaya
bulanan, akan habis untuk biaya apartemen. Jika membawa keluarga, sebagaimana
saya, maka jumlah pengeluaran pasti akan bertambah. Konsekuensinya adalah mesti
hidup dengan biaya pas-pasan. Boro-boro
mau jalan-jalan dan lihat keindahan negara bagian lain, untuk makan saja sering
harus masak indomie. Simpanan? Hmm. Jika makan susah, apa masih bisa menabung?
Mungkin, ada juga yang berhasil menabung.
Namun biasanya ini dilakukan mereka yang luar biasa ketat dalam hal anggaran.
Mereka rela hidup sangat pas-pasan di negeri orang demi untuk membawa duit.
Maafkan. Saya tidak dalam posisi demikian. Saya tak ingin memberikan makanan
yang pas-pasan demi anak kecil saya hanya demi membawa uang ke tanah air.
Kedua, mitos tentang kerja sambilan. Banyak
yang mengira bahwa di Amerika, pasti mudah mendapatkan kerja sambilan dengan
gaji tinggi, kemudian hidup kaya. Benarkah? Lagi-lagi ini salah. Soal kerja
sambilan selalu tergantung pada tinggal di kota mana. Tak semua tempat memilii
banyak lowongan kerja. Kalaupun ada lowongan, biasanya akan diprioritaskan pada
warga Amerika, bukan warga internasional. Ini yang sering menjadi dilema
sehingga kerja sambilan jadi sulit. Di tengah kondisi pengangguran di Amerika
yang mencapai angka 7 persen, akan sangat sulit menemukan lowongan yang tidak
diserbu warga setempat yang menganggur.
Bagi mahasiswa internasional dan penerima
beasiswa, hal yang juga jadi masalah adalah jenis visa J1 yang tidak
membolehkan pemegangnya untuk mencari beasiswa. Jika ketahuan, maka sponsor
beasiswa pasti akan memotong beasiswa. Sponsor beasiswa pasti tahu sebab semua pengeluaran
dan pemasukan akan dicatat rekening, sekaligus laporan pajak. Mungkin bisa
sembunyi-sembunyi, namun cara ini jelas berisiko. Nah, apakah masih sempat
bekerja sambilan?
di kampus Ohio University |
Ketiga adalah mitos tentang jalan-jalan. Banyak
yang mengira bahwa ketika menjadi mahasiswa di Amerika, maka akan berkesempatan
untuk keliling kota-kota besar yang dahulu hanya bisa dibayangkan. Benarkah?
Menurut saya, anggapan ini tak selalu benar. Ada dua hal yang mesti
diperhatikan setiap kali akan melakukan perjalanan. Pertama adalah waktu, dan
kedua adalah uang.
Berdasarkan pengalaman saya, waktu luang
adalah sesuatu yang amat mahal bagi seorang mahasiswa pasca-sarjana. Ketika
kampus Ohio University menerapkan sistem quarter, mahasiswa tak punya banyak
waktu luang. Biasanya, penerima beasiswa punya batas minimum kredit mata kuliah
yang diambil.
Dengan sistem kuliah didesain dengan
sangat ketat, maka hari-hari seorang mahasiswa pasca-sarjana adalah membaca
buku, artikel, menulis paper review, menyiapkan presentasi di kelas, menyiapkan
bahan diskusi, serta menulis paper akhir. Semester ini, waktu luang saya hanya
ada di hari Sabtu dan Minggu. Itupun, ketika masuk hari Minggu, saya akan mulai
deg-degan karena harus menyelesaikan tugas untuk seminggu berikutnya. Nah,
jelas saya tak sempat memikirkan jalan-jalan.
Cara murah biasanya adalah melakukannya
bersama teman-teman. Kita bisa menghemat sewa hotel serta biaya perjalanan.
Cara ini bisa dilakukan. Namun, cara ini tak bisa dilakukan tiap saat.
Dikarenakan semua orang sibuk, biasanya hanya bisa dlakukan saat libur jelang
semester. Itupun waktu jalan-jalan hanya bisa empat atau lima hari. Jika lebih
dari itu, saya memilih untuk tidak keluar kota. Saya membayangkan rasa lelah
serta butuh waktu untuk memulihkan tenaga demi menghadapi kuliah.
Keempat adalah mitos bahwa kondisi di luar negeri
akan lebih menyenangkan ketimbang di tanah air. Menurut saya, ini adalah hal
yang keliru. Luar negeri tak selalu nyaman sebab kita harus beradaptasi dengan
segala situasi. Ketika salju pertama turun, saya sangat senang dan tak
bosan-bosan menyentuh salju. Saya suka heran-heran melihat ada butiran es halus
yang turun dari langit. Namun setelah lewat dua minggu, musim salju mulai jadi
mimpi buruk. Di tengah cuaca yang beku, harus bergegas menuju kampus lalu
tinggal di perpustakaan demi tugas. Salju membuat mobilitas terganggu. Setiap
keluar mesti memakai baju setebal astronot, lalu menahan dingin sembari
mengoleskan krim di bibir. Salju jadi mimpi buruk. Biasanya, saat salju turun,
saya lalu membayangkan betapa nyamannya di tanah air yang setiap saat musim
panas.
saat di depan White House di Washington DC |
Kita juga mesti adaptasi dengan makanan.
Semua mahasiswa yang belajar di luar negeri punya ketergantungan dengan makanan
beku. Jenis-jenis ikan, daging, atau ayam mesti dibekukan biar bisa diolah
kapan saja. Saya termasuk pihak yang tidak cocok dengan jenis-jenis makanan di
sini. Saya hanya cocok dengan ikan, itupun ikan di sini tak sesegar di tanah
air. Lagian, ikannya hanyalah ikan air tawar.
Keempat adalah mitos hidup tenang karena
semua terjamin. Pada uraian di atas, saya sudah menjelaskan semuanya. Saya juga
khawatir dengan biaya kesehatan di Amerika. Anak saya pernah dibawa ke rumah
sakit untuk diperiksa. Saktnya bukan termasuk sakit parah, hanya sedikit
infeksi telinga. Dokter menyuruh membeli antibiotik yang murah. Anak saya hanya
10 menit di rumah sakit. Sebulan kemudian, datang tagihan untuk membayar 300
dollar untuk rumah sakit, dan 600 dollar untuk dokter. Jika ditotal, tagihannya
adalah sebesar 900 dollar atau kira-kira sebesar sembilan juta rupiah. Padahal,
di tanah air, sakit seperti itu hanya cukup dibawa ke Puskesmas, dan tak harus
bayar.
***
Saya mencatat banyak mitos. Namun cukuplah
empat argumentasi yang dibahas di atas. Setelah dua tahun di Amrika Serikat,
saya berkesimpulan bahwa tinggal di luar negeri tak seindah yang diangankan
para pencari beasiswa. Butuh daya tahan, kesabaran, serta ketekunan untuk
menyelesaikan studi.
Yang tak kalah penting adalah mesti ada
keikhlasan untuk menjalani semuanya sebagai ujian untuk pematangan jiwa. Tanpa
melihatnya sebagai sesuatu yang mengayakan batin, maka semua tantangan itu bisa
menjadi beban. Yang pasti, belajar di luar negeri sangat baik untuk melatih
mental agar tahan banting menghadapi semua masalah. Melatih diri agar tidak
cengeng menghadapi masalah. Sekian. Tabik!
Athens, Ohio, 27 April 2013
4 komentar:
Oh, ternyata..tidak selalu indah. Sakit ringan saja 9 juta, apalagi sakit berat. Semoga senantiasa diberi kesehatan bagi Anda sekeluarga.
makasih atas pengharapannya...
terima kasih untuk tulisannya tentang pengalaman di luar negeri. memberi informasi yang mencerahkan. selama ini, memang, yang diperdengarkan, cuma enaknya saja. tabik.
Terima Kasih tulisannya mas.
Izin tanya mas, untuk kuliah di US dengan membawa keluarga kadang terkendala oleh biaya asuransi yang kabarnya bisa lebih dari 80 juta rupiah. Apakah itu benar? Apakah mas punya tips bagaimana menyiasati biaya ini atau provider mana saja yg harganya masih terjangkau. Terima kasih
Posting Komentar