Anwar Congo (tengah) |
DI
tahun 1965, ia selalu berkeliaran dengan mata yang kemerahan. Dari bibirnya
tercium bau alkohol. Sedikit marijuana juga sempat menguasai alam sadarnya.
Setelah itu ia akan menjalankan tugasnya sebagai tukang jagal. Ia akan membunuh
semua orang yang diduga komunis. Pria itu adalah Anwar Kongo.
Saya
baru saja menyaksikan kisah hidup Anwar Congo dalam film dokumenter The Act of
Killing karya Josua Oppenheimer. Di film ini, Anwar tak pernah malu dan
menyesali perbuatannya. Ia bercerita dengan penuh kebanggaan saat-saat ketika
menghabisi korbannya. “Saya menggunakan
kawat yang diikat di tiang, kemudian menjerat leher semua korban. Dengan cara
ini, darahnya tidak akan berceceran. Lalu mayatnya dibuang di sungai.”
Si
Anwar ini memang sadis. Sisa-sisa kesadisan itu diakui banyak orang. Bahkan di
masa tuanya, ia masih saja memimpin gerombolan preman yang memalak banyak
orang. Ia adalah sosok yang mendatangkan horor dan trauma. Negara tak bisa
menyentuhnya. Malah, negara membutuhkannya sebagai perpanjangan tangan untuk
melakukan kerja-kerja kotor. Apakah dia seorang pahlawan ataukah penjahat?
Di
film dokumenter ini, ia adalah seorang jujur yang bercerita tentang apa yang
sudah dilakukannya. Ia tak mau bohong sebab semua yang terjadi dianggapnya
sudah berlalu. Dengan memberikan pengakuan, ia sesungguhnya mempersilakan semua
orang untuk mengkaji ulang apa yang terjadi di masa silam, demi satu peringatan
agar tidak mengulanginya lagi di masa kini. Apakah niatnya sedemikian mulia?
Film
ini mengajarkan saya tentang kuasa negara dan pengaruh ideologi. Anwar mengaku
bahwa semua yang dilakukannya tak salah. Tindakan itu memang harus dilakukan
sebab komunis –baginya—adalah musuh negara yang harus dibunuh dan dilenyapkan. Ia
tak mau tahu. Baginya, mereka yang jahat mesti dihabisi. Anwar hanya mengetahui
satu hal. Ketika perintah dari tentara datang, ia akan beraksi. Ia akan
membunuh demi menegakkan satu ideologi.
Bahkan
di masa kini pun, ia merasa tetap benar. Banyak dari kita yang berpikir sama
dengan Anwar. Lantas, di manakah kita meletakkan nurani kemanusiaan? Bisakah
kita mengamini sebuah tindakan jahat, meskipun itu dilakukan untuk menghabisi
musuh?
Saya
teringat pelajaran di kelas sejarawan William Frederick. Menurutnya, di zaman
revolusi, banyak orang yang mengatasnamakan perjuangan demi memenuhi hasratnya
untuk membunuh di mana-mana. Ia memberi contoh tentang preman bernama
Sabaruddin, yang menjadi tentara republik lalu bertindak brutal.
Bahkan
di puncak kebrutalannya, ia membunuh Tan Malaka, seorang intelektual cemerlang
yang juga salah satu bapak republik ini. Haruskah kita menyetujui tindakan
Sabaruddin yang brutal itu meskipun ia mengaku berjuang atas nama republik?
Sebagaimana
halnya Sabaruddin, Anwar adalah preman yang kemudian melampiakan hasratnya
untuk membunuh. Ia tak pernah sendirian. Ia bekerjasama dengan banyak preman
lokal lainnya demi pembunuhan massal itu. Di tahun 1965 itu, semua kebiadaban
telah dilegitimasi oleh negara. Semuanya dianggap sah, sepanjang itu diakukan
atas nama Pancasila.
Usai
menyaksikan film ini, batin saya teriris-iris. Saya melihat sesuatu yang
melampaui ideologi atau perbedaan pilihan politik. Saya melihat aspek
kemanusiaan yang sedang dicabik-cabik. Apapun alasannya, menghilangkan nyawa
orang lain secara massal adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Mereka-mereka
yang mengotori tangannya dengan darah, tak akan pernah layak menjadi pahlawan.
Mereka adalah para penjahat, yang telah diberi label sebagai pejuang negara.
Seusai
film, saya tercenung sesaat. Mungkin kerja-kerja keras yang mesti dilakukan di
masa mendatang adalah bagaimana menjadikan kemanusiaan sebagai nurani yang
menjadi pemandu atas aktivitas politik dan budaya. Dengan lensa kemanusiaan,
segala perbedaan politik, budaya, dan agama akan sirna seketika. Kemanusiaan
akan menuntun semua orang untuk menemukan dirinya, menemukan posisinya di
belantara kehidupan, serta menjadi embun segar yang menetesi dahaga siapapun
yang hatinya kering akan cinta kasih.
Athens, 14 Februari
2013
Usai menulis, saya baru sadar
kalau sekarang adalah hari valentine
4 komentar:
bagus tulisannya ...
Berarti film ini menjawab pertanyaan di sini.. http://deeadewie.wordpress.com/2012/12/11/enemies-of-the-people/
Sayang film ini susah diakses di Indonesia ya.. (tapi kalo bisa diakses paling bakal geger juga kaya yang Balibo kemarin..)
film ini memang sudah berhasil bikin geger.
Posting Komentar