Cheryl Girardi, warga Newtown, Connecticut, duduk menangis sambil berdoa di satu makam korban tragedi penembakan di Connecticut. (foto: David Goldman, AP) |
JUMAT
lalu, bendera-bendera Amerika Serikat (AS) di Ohio dikibarkan setengah tiang.
Saya menduga sedang ada kedukaan massal. Setelah menyaksikan berita di
televisi, saya, sebagaimana jutaan warga Amerika lainnya, terkejut ketika
menyadari bahwa seorang pemuda berusia 20 tahun telah menembak banyak anak-anak
dan menewaskan sejumlah orang dewasa.
Bangsa
Amerika terkejut. Dunia juga terkejut. Hanya dalam selang waktu beberapa bulan,
penembakan kembali terjadi dan menyebabkan banyak orang bersimbah darah.
Beberapa bulan silam, seorang pemuda juga menembak di Colorado. Kini,
Connecticut mengisahkan duka lara. Dan kali ini korbannya adalah anak-anak.
Juli
2012 lalu, sebanyak 12 orang tewas akibat penembakan di Aurora, Colorado, saat
pemutaran film The Dark Knight Rises. Kini, tragedi itu kembali terjadi.
Kali ini, korbannya adalah anak-anak kecil yang tengah mekar bak kembang di
musim semi. Jika tak ada penembakan ini, mungkin 20 tahun mendatang, anak-anak
itu akan membawa kontribusi hebat bagi bangsa itu.
Presiden
Barrack Obama tak kuasa menahan sedih ketika menggelar konferensi pers. Namun,
sikap sedih dipandang tak cukup untuk sekadar menenangkan hati banyak keluarga
korban. Pemerintah Amerika mesti menata ulang konstitusi, khususnya bagian yang
menyebutkan bahwa setiap warga berhak memiliki senjata.
Selama
beberapa hari ini, media massa dipenuhi perdebatan tentang aturan kepemilikan
senjata. Banyak orang yang kemudian menggugat mengapa konstitusi harus menjamin
kepemilikan senjata. Dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar Amerika, yang
dibuat pada 15 Desember 1791 terdapat kalimat “right of the people to keep and
bear arms” yang menjamin hak atas kepemilikan senjata. Ayat ini muncul
setelah setelah ayat sebelumnya yang menjamin hak warga negara menyatakan
pendapat.
Mengapa
kepemiliakn senjata diizinkan? Sejarah negeri itu memang diawali kebebasan
serta perlawanan pada Inggris. Melalui senjata yang bisa diperoleh secara
bebas, warga lalu melawan hingga akhirnya menumbangkan pemerintahan otoriter di
Inggris. Bagi warga yang tinggal di kota-kota kecil, senjata menjadi sesuatu
yang amat dibutuhkan. Mereka ingin memastikan bahwa semua property dan hak
miliknya tidak dijarah orang lain.
Namun
puluhan tahun setelah penandatanganan konsitusi, peta sosial telah berubah
banyak. Sebagian orang menolak kepemilikan senjata. Namun sebagian lainnya
justru mendukung kepemilikan senjata, khususnya mereka yang tinggal di
pedesaan. Persoalan makin problematik, ketika kepentingan politik makin banyak
berperan.
beberapa orang di Omaha menyalakan lampion sebagai tanda duka cinta atas penembakan di Sandy Hook School, Connecticut (foto: Rebecca Gratz/ AP Photo) |
Dalam
setiap ajang kampanye, kepemilikan senjata menjadi isu politik. Politisi Partai
Republik dengan tegas mendukung kepemilikan senjata. Sementara Demokrat justru
bersikap abu-abu. Isu dukungan atas senjata biasanya akan memperoleh dukungan
dari warga kulit putih kebanyakan yang tinggal di daerah-daerah pedesaan dan
kota kecil Amerika.
Selain
itu, ada pula organisasi bernama NRA (National Rifle Association of America)
yang menginginkan agar Amandemen Kedua Konstitusi AS tidak dicabut
selama-lamanya. NRA ditengarai banyak memberikan dukungan finansial pada para
anggota partai politik demi mendukung kepemilikan senjata.
Penyakit
Sosial
Di
luar isu kepemilikan senjata, saya berpendapat bahwa sesungguhnya terdapat satu
isu yang amat penting dan jarang dibahas. Pertanyaan yang sering dikemukakan
adalah mengapa pria Adam Lanza membunuh banyak orang? Apakah ia memiliki
catatan criminal atau prilaku aneh?
Harian
USA Today mencatat bahwa ketika pertanyaan ini diajukan ke banyak orang yang
mengenal Adam, maka jawabannya justru mengejutkan. Adam Lanza adalah seorang
pemuda yang dikenal jenius, pendiam, serta tidak punya catatan buruk di
kepolisian. Ia seorang anak yang normal, sebagaimana teman-temannya.
Adam
pindah ke Connecticut setelah sebelumnya tinggal di Kingston, New Hampshire.
Menurut pihak sekolah, ia menggemari sepakbola, skateboard, dan video games.
Pada bulan September 2009, ketika ia berusia 17 tahun, ayah dan ibunya
bercerai. Ia tak paham mengapa kedua orang tuanya bercerai. Yang pasti, ayahnya
menikah lagi dan tinggal tak jauh dari kota tempat Adam tinggal.
Kasus
ini mengingatkan saya pada tulisan James Allan Fox dari Northeastern
University. Menurutnya, kasus-kasus pembunuhan massal disebabkan oleh seseorang
yang frustasi atas keadaan, kemudian mengalami rasa kecewa atas kehidupan,
perasaan terisolasi atau tersingkir dari keluarga, sehingga melahirkan perasaan
yang menganggap diri tidak beruntung atau diperlakukan tidak adil.
Berkaca
pada pernyataan Fox, di Amerika, terdapat ribuan orang yang merasakan
ketidakadilan serta harapan yang terlalu besar dari dunia sosial. Anak-anak
muda diwajibkan menggapai ambisi tertentu, sehingga terjebak dalam perjuangan
menggapai mimpi-mimpi yang dtanamkan sejak kecil. Anak-anak muda itu lalu
menyalahkan sistem yang tak adil, keluarga, atau masyarakat yang tak banyak
mendukung mereka.
Dalam
kasus Adam Lanza, saya menduga bahwa lenyapnya kehangatan keluarga menjadi
benih bagi sikap frustasi serta keinginan untuk berbuat terror bagi sesama. Ia
tak banyak merasakan siraman cinta sehingga kehidupan menjadi arena kompetisi
yang harus dimenangkan. Ia kehilangan esensi kehidupan sebagai arena untuk menyandarkan
cinta pada sesama, cinta kepada alam semesta, serta cinta pada Yang Maha
Pencipta.
Adam
tak sendiri. Banyaknya pembunuhan massal adalah puncak gunung es dari
permasalahan sosial yang sesungguhnya mendera manusia modern. Masyarakat dunia
terlampau sibuk dan bergulat dalam dilema pencarian kebahagiaan, sebuah titik
yang dianggap bisa nyaman sebenar-benarnya, selalu merasa cukup, tanpa diganggu
rasa depresi. Masyarakat dunia sering terlalu fokus hendak meggapai standar
hidup yang setinggi-tingginya, dan di saat bersamaan sering melupakan tugas
bersama untuk menanam tumbuhan cinta di mana-mana. Yup. Cinta. Kedengarannya
sepele.
altar pernyataan duka cita di Newtown. Banyak warga Amerika yang menyatakan duka cita atas penembakan di Newtown (foto: Laura Petrecca, USA Today) |
Namun
kolumnis USA Today Addie Sandler mengatakan bahwa cinta adalah aspek esensial
yang bisa menjaga semua orang sehingga mencintai komunitasnya. Tanaman cinta
memang tak terlihat, namun semerbaknya akan tercium lewat sikap untuk saling
menjaga, menyayangi semua orang di sekitar kita, serta menganggap orang lain
sebagai bagian dari diri kita yang harus dijaga. Ketika tanaman cinta tumbuh
subur di satu komunitas, maka semua orang akan merasa dihargai. Rasa
solidaritas akan tumbuh di komunitas. Rasa cinta dan kasih sayang akan menjadi
benteng kukuh yang menghapus segala rasa angkuh, maupun rasa rendah diri di
komunitas. Semua orang akan merasa penting dan ingin memberikan yang terbaik bagi
komunitas, tanpa ada yang tersisih.
Ketika
satu masyarakat membutuhkan senjata untuk menjaga diri, maka ini adalah
cerminan dari tiadanya cinta dan saling percaya pada sesama. Senjata hanya
memberi efek sesaat yang mengatasi rasa takut, namun tidak menyelesaikan
persoalan sesungguhnya yakni kenyamanan yang terengggut. Dunia ini butuh cinta,
bukannya senjata. Bahkan Adam Lanza pun membutuhkan kehangatan cinta itu.
Athens, Ohio, 16 Desember 2012
2 komentar:
Adam adalah proyek dari keluarga gagal, ibunya yang paranoid menambah kerusakan adam yang memiliki masalah dalam berkomunikasi sehingga tdak memiliki teman. Dalam kasus ini saya kira tidak ada sangkut pautnya dengan "the american dream" dimana semua orang harus berhasil dan mencapai sesuatu, still "american dreams" lebih baik dari pada standar hidup dimana keberhasilan dinilai dari seberapa cepat bisa kawin dan punya anak,"indonesia dreams"
setiap orang bisa punya pendapat berbeda ttg ini. tapi kasus ini bukanlah yang pertama. sy sendiri tidak hendak mengajukan satu jawaban tunggal. Juga tidak bermaksud menyalahkan korban.
Posting Komentar