phinisi, simbol keperkasaan pelaut Bugis-Makassar |
DI Makassar sana, konon kabarnya, ada bom yang hendak diledakkan.
Konon katanya, bom itu hendak membunuh pejabat setempat, yang kini hendak
bertarung untuk menduduki jabatan itu kedua kalinya. Banyak orang menganalisis.
Banyak orang membuat aneka prediksi. Media memvonis pelaku sebagai teroris. Banyak
pengamat berspekulasi bahwa ini ancaman atas pilkada. Ini adalah setting agar
peringkat survei sang pejabat segera turun. Benarkah ini terkait politik?
Di negeri kita, sebuah bom tak hanya meledakkan berita televisi.
Sebuah bom juga bisa meledakkan wacana, yang kemudian ditarik bak karet gelang
ke sana sini demi menguatkan persepsi yang terlanjur kita tanam atas sesuatu.
Sebuah bom membawa banyak pesan, yang kemudian dilihat berbagai sisi,
bergantung pada persepsi orang. Hari ini bom itu dikaitkan dengan terorisme. Selanjutnya
dikaitkan dnegan pilkada. Esok, mungkin bom itu akan dikaitkan dengan ideologi tertentu.
Tadinya aku melihat tragedi itu dengan sinis. Lama kelamaan, aku
mulai kasihan pada sang pelaku. Ia disebut sebagai teroris. Ia disebut
sebagai ‘pengantin’ yang siap mengantarkan nyawa. Ia disebut hendak melepaskan
nyawanya demi satu tujuan. Benarkah demikian? Entah. Suara sang pelaku seolah
dibungkam oleh wacana yang diinginkan orang lain.
Orang-orang lebih suka berspekulasi dan mengaitkannya dengan
banyak hal. Pada titik ini, bom itu menjadi trigger atau pemicu atas wacana.
Kebenaran yang sejati perlahan diabaikan. Sang pelaku dibisukan secara perlahan.
Semua orang lebih suka menganalisis dengan perspektif masing-masing. Yang
tersisa adalah tafsiran atas kebenaran yang telah menggantikan
kebenaran. Dimanakah kebenaran yang sejati? Ia lenyap. Ia dibungkam oleh para penganalisis politik itu.
Maka bom itu benar-benar telah meledakkan dunia sosial. Bom itu telah meledakkan nurani kemanusiaan kita sehingga memuat kita tega untuk menghakimi orang lain. Pengirim
bom itu amat cerdik ketika memahami hulu ledak arogansi serta sok tahu banyak
pihak di masyarakat kita. Ia memberikan isu, yang kemudian dibahas sana-sini,
dibicarakan, hingga menimbulkan tengkar atas dua tim yang berlaga di pilkada.
Sebagai publik, kita kembali menyaksikan dagelan yang tak lucu, namun bisa
mengancam setiap saat. Sebagai publik, kuping kita dijewer untuk menyaksikan
debat wacana tak berujung yang kian tak jelas duduk-perkaranya.
Para pejabat itu hanya memikirkan kursi. Tanpa memikirkan
bagaimana membuat rakyat banyak tenang dan tidak berjejalan dalam gerbong
ketakutan. Jika mereka adalah abdi rakyat, seyogyanya mereka mengatasi ketakutan rakyat dan meniupkan embun ketenangan. Namun, para pejabat itu hanya memikirkan dirinya, tanpa memikirkan kita
yang seakan tak henti berlari dalam sirkuit kecemasan satu menuju ke sirkuit
kecemasan lainnya.
Athens, 11 November 2012
1 komentar:
Paragraf terakhir saya suka, Pejabat kalau sudah menang dan duduk di kursi empuknya bakalan lupa sama rakyatnya yang maish tidur beralaskan tikar atau kardus, dan itu saya bisa sebut pejabat yang ngeBOSi bukan pejabat yang Memimpin. :)
Posting Komentar