TAK semua orang mau menghargai proses. Tak semua orang senang melihat sesamanya sedang beranjak dengan perlahan, namun pasti. Kebudayaan kita sering tak memberi kesempatan bagi orang lain untuk berkembang. Kita lebih suka mencemooh, tanpa bertanya apa yang sudah kita hasilkan, tanpa berintrospeksi diri bahwa boleh jadi, yang dicemooh itu sedang meniti jalan emas.
Kita terlahir dari satu rahim budaya yang sering tidak mendewasakan. Ketika seorang sahabat membuka warung kecil di depan rumah, semua tetangga langsung mencemooh. Sahabat itu dianggap bodoh, tidak tahu selera pasar, dianggap tidak paham budaya jual-menjual, atau dianggap tidak punya malu karena seorang alumnus perguruan tinggi bergengsi, kok tiba-tiba membuka warung.
Masyarakat kita sering menutup ruang berpikir bahwa sebenarnya, sang sahabat itu sedang meniti jalan emas. Ia sedang belajar mandiri, dengan langkah tertatih-tatih. Ia sedang belajar untuk memiliki fokus, meskipun jalan ke arah kesuksesan itu sedemikian terjal. Masyarakat kita lebih suka menghina atau menyindirnya. Padahal, mereka yang melecehkan itu justru kondisinya tidak lebih baik dari sang sahabat. Kita memang tak pernah bercermin untuk melihat siapa diri kita.
Tapi, saya kadang berpikir bahwa sesungguhnya kebudayaan kita punya banyak filter atas tindakan menghinakan itu. Di banyak tempat, terdapat kearifan budaya yang mengatakan bahwa sekali telunjuk menuding, maka keempat jari lain akan menunjuk ke diri kita. Namun, betapa tidak mudahnya mensinergikan sikap refleksi sebelum menuding. Kita lebih suka usil dan mengurusi orang lain. Kita lebih nyaman mencaci, ketimbang membiarkan orang lain berjalan dengan obsesinya.
the Alchemist |
Barusan, saya membaca blog pengarang kondang Paolo Coelho. Saya sedih juga membaca kisah hidupnya yang agak tragis. Orang tuanya mengirim dirinya ke rumah sakit jiwa karena ia ngotot untuk jadi pengarang. Paolo sadar bahwa demi menggapai mimpinya, ia mesti mengabaikan semua kalimat sinis orang lain. Ia mesti tangguh. Ia mesti mengabakan semua suara-suara itu.
Saya tersentuh dengan kalimatnya yang sebening telaga. “Mimpi saja tak cukup. Kamu harus berpikir untuk mewujudkan mimpimu Kamu harus berani untuk membayar ‘harga’ mimpi tersebut. Kamu harus siap dengan segala kalimat kasar, sinis, dan cacian. Itulah harga yang mesti dibayar demi menggapai mimpi,” katanya.
Paolo butuh waktu bertahun-tahun demi impiannya. Pada usia 40 tahun, ia berhasil menulis buku The Pilgrimage. Saat hendak menerbitkan buku The Alchemist, penerbitnya berkata, “Judul seperti ini mustahil untuk dijual hingga 900 kopi.” Paolo tak patah arang. Bahkan ketika bukunya dianggap sinis dan dihina, ia tetap bertekad untuk menerbitkan bukunya dan menanti-nanti sejauh mana respon publik.
Tahukah Anda akan apa yang selanjutya terjadi? Buku The Alchemist akhirnya tercatat dalam sejarah sebagai salah satu buku terlaris sejagad, dengan perkiraan keuntungan hingga 65 juta dollar. Buku itu kemudian dikutip banyak orang, diterjemahkan ke dalam lebih 30 bahasa asing, disebarkan hingga pelosok bumi. Saya membayangkan, jika saja Paolo Coelho putus asa dengan semua kalimat sinis, apakah ia akan sanggup menghasilkan karya yang demikian dahsyat?
Athens, Ohio, 8 Mei 2012
"If you are hurt about something that is meaningless to you, you can blame anybody else for it. But it is quite complicated to be hurt about something that is meaningful to you. Then you get confused, as you know the dream is there. And the dream is not going to leave you as long as you live. But besides the pain, there is also a great joy. You are fighting for something meaningful. Defeats are part of life, IF you don’t decide to quit. And at the end of your life, you will understand: the journey was fantastic."
-- Paolo Coelho
7 komentar:
dan sejak membaca the alchemist, buku-buku paolo coelho jadi makanan sehari-hari saya Pak. :D
ijin share ya...^^
Saya suka baca novelnya, tp baru tau dg kisah hidupnya yg tragis itu.
sama. saya pun penggemar Coelho
silakan
sama dewi. sy juga belum lama tahu ttg kehdupan Coelho
great mas yusron? great?
Posting Komentar