MINGGU lalu, aku ke Gedung DPR RI untuk menghadiri bedah buku Negara Paripurna karya Yudi Latif. Acaranya digelar di gedung Nusantara V dan dihadiri para politisi, sejarawan, serta masyarakat luas. Aku datang agak terlambat dan duduk bersebelahan dengan sejarawan Anhar Gonggong. Tak disangka, ia masih menghapal namaku sehingga kami bisa diskusi banyak hal.
Acara ini menghadirkan beebrapa pembicara yakni Prof Franz magnis Suseno, Prof Dawam Rahardjo, Prof Kwik Kian Gie, Prof Taufik Abdullah, dan KH Masdar F Mas'udi. Di antara semua pembicara, Masdar F Mas'udi dan Prof Taufik Abdullah adalah sosok yang baru kutemui dan kusaksikan penampilannya. Kali ini aku ingin bercerita tentang pemikiran Masdar di forum itu.
Bagiku, Masdar adalah intelektual yang unik. Seperti halnya Gus Dur, ia hendak membumikan ajaran Islam sehingga menjadi rahmat bagi semua pihak di Indonesia. Ia berpijak di dua kaki; antara kemodernan dan tradisionalitas. Namun basic-nya adalah pesantren. Ia juga amat dikenal dengan gagasannya tentang Islam transformatif. Ia mendirikan banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan menjadikannya sebagai gerakan untuk membangkitkan perekonomian masyarakat di desa-desa.
Dalam diskusi itu, ia melontarkan pernyataan menarik. Menurutnya, kaum Islam di Indonesia telah memberikan persembahan yang amat berharga yakni kemerdekaan. Kontribusi kaum Islam pada semangat inklusif sehingga Islam mejadi payung nilai yang melindungi semua pihak. "Kalaupun belakangan ada masalah dalam hal relasi antara Islam dan negara, maka pastinya itu disebabkan oleh peci putih. Bukannya peci hitam."
Saat memberikan pernyataan ini, Masdar mengenakan songkok atau peci hitam. Katanya, peci hitam adalah simbol nasionalisme, sebagaimana yang dikenakan para founding father negeri ini yakni Sukarno dan Hatta. Sedangkan peci putih adalah simbol dari mereka yang memperjuangan Islam sebagaimana Arab Saudi. Kata Masdar, sejak berabad silam, Islam telah mengalami sintesa dengan kebudayaan lokal, namun belakangan ini ada gerakan Islam yang tiba-tiba saja hendak memurnikan ajaran agama dari sintesa dengan kebudayaan lokal tersebut.
Pusat Peradaban
Ada lagi gagasan menarik yang saya catat dalam diskusi itu. Kata Masdar, peradaban yang langgeng di masa depan adalah peradaban yang memiliki akar kuat pada nilai-nilai transendetal. Peradaban yang unggul adalah peradaban yang memiliki pijakan kuat pada nilai-nilai yang menjadi energi pendorong peradaban. Ia lalu menyebut nilai transenden yakni Islam, Kristen, Hindu, dan Konghucu.
"Peradaban Kristen bisa dilihat puncaknya pada Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Mereka bisa menjelmakan nilai Kristiani menjadi pusat keunggulan. Peradaban Hindu adalah akar dari kemajuan India. Peradaban Konghucu pada Cina. Kita tinggal menunggu negara mana yang akan melesat dengan peradaban Islam," katanya.
Ia juga mencatat jika Arab Saudi tidak mungkin menjadi peradaban unggul di masa mendatang. "Dokumen Wikileaks menunjukkan bahwa selama ini Arab Saudi yang memprovokasi Israel untuk segera menyerang Iran. Artinya, peradaban Arab dibangun di atas dasar kebencian pada sesama bangsa Islam. Sementara Iran juga tidak mungkin menjadi pusat peradaban karena sibuk memelihara konflik di sana-sini sehingga tidak meletakkan landasan yang kuat bagi peradaban yang kokoh," lanjutnya.
Lantas, bagaimana dengan negara Islam lainnya? "Turki tidak bisa jadi pusat peradaban sebab selalu dipandang inferior oleh bangsa Eropa. Mereka masuk dalam Uni Eropa, namun dilihat sebelah mata. Makanya, yang paling memenuhi syarat sebagai pusat peradaban adalah Indonesia dengan pertimbangan kita umat Islam terbesar di dunia yang memiliki kekuatan serta energi besar untuk perubahan. Saya sangat yakin itu sepanjang kita sanggup mengelola keragaman dan perbedaan menjadi energi yang kemudian menyatukan visi kita menjadi bangsa unggul," lanjutnya.
Masdar menawarkan optimisme bagi bangsa ini. Aku pun ikut optimis mendengar penuturannya tentang bagaimana mengakomodasi perbedaan. Sayang sekali, sepulang ke rumah, saat menyaksikan berita di televisi, ternyata ada ledakan di Cirebon. Tiba-tiba aku langsung teringat dengan Masdar. Ingin kutanyakan, benarkah kita bisa menjadi pusat peradaban ketika di antara kita begitu banyak yang menyimpan kebencian pada sesama?
1 komentar:
Mas, salam kenal..
Honestly, aku sepakat dengan Masdar.
Tuhan itu uniq dan punya sifat yang "aneh". Dia memunculkan hal-hal yang dahsyat ditengah ketidakmungkinan. Siapa sangka kalau Muhammad sanggup menundukkan kejahiliahan, siapa sangka Musa sanggup mengalahkan Fir'aun, siapa sangka Hajar dan Ismail bisa menghidupkan Makkah menjadi pusat dunia Islam. Siapa sangka bambu runcing mampu menundukkan meriam?
Aku justru melihat, Tuhan sedang memperlihatkan proses kita menuju kesana. Laksana proses metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu. Butuh proses yang membuat kita sungguh tak nyaman, hilang kesabaran, frustasi, tetapi tak ada yang tak mungkin pada keunikan Tuhan.
Dulu, kami di Aceh sudah pasrah saat damai dijauhkan dengan Darurat Militer, Darurat Sipil dan ditutup dengan Tsunami Besar. Tapi rupanya itulah cara-cara Tuhan yang tak mampu dipahami manunusia. Jadi menurut saya, mari kita perbanyak orang-orang optimis dan orang-orang baik dimana saja kita berada. Mari!
Posting Komentar