ANAK-anak muda Buton itu tengah mencari sejarah yang obyektif. Mereka pikir sejarah itu serupa emas berlian yang segera setelah ditemukan lalu dibanggakan. Mereka pikir sejarah itu serupa mercu suar yang akan membuat kita jadi pusat perhatian karena masa silam yang hebat. Mereka ingin diakui. Makanya, anak muda itu lalu mengkritik dan menjebol warisan sejarah para tetua mereka. Tapi ternyata mereka hanya bisa jalan di tempat. Mereka tidak menawarkan apa-apa. Mereka memang menguasai banyak teori, tapi justru pengetahuan itu hanya membuat mereka jalan di tempat.
dua buku tentang Buton yang saya susun bersama teman-teman Respect. sebuah langkah awal yang harus terus dilanjutkan bersama |
Kesimpulan ini saya petik setelah mengamati lalu-lintas diskusi di sebuah milis diskusi anak-anak muda Buton. Mereka memang kritis. Mereka ingin menafsir ulang sejarah Buton sebagaimana pernah diwartakan para sejarawan lokal yang sudah sepuh. Tapi yang saya lihat, mereka hanya bisa mengkritik. Ketika ditanya apakah gerangan sejarah alternatif yang ditawarkan itu, mereka tak berkutik. Jauh lebih mudah menanyakan bagaimana teori Marx ketika membedah sejarah sosial, ketimbang menanyakan bagaimana kisah manusia-manusia Buton masa silam, dan apa hikmah yang bisa kita petik demi masa kini. Lantas apa yang salah?
Barangkali sudah saatnya menghentikan semua kritikan-kritikan hebat pada sejarawan lokal. Para tetua itu tidak pernah belajar metodologi sejarah. Makanya mereka harus dimaklumi. Tapi, dengan pengetahuan yang terbatas itu, mereka telah memberikan cahaya terang bagi siapapun generasi Buton yang ingin mengetahui sejarahnya. Mereka memberikan jawaban, meskipun jawaban itu tidak selalu memuaskan. Tapi para tetua itu telah memulai sesuatu. Mereka membuka rintisan jalan, menyiangi semak-belukar yang menghalangi perjalanan sejarah, serta memberikan gelas-gelas pengetahuan yang mengatasi dahaga pencarian kita akan kebenaran.
Nah, sekarang tantangannya adalah bagaimana kita yang muda ini bisa memberikan tafsir yang lebih segar. Rintisan jalan yang telah dibuat para tetua itu harus dilihat ulang, kemudian dibuat jalanan baru yang lebih lebar dan tegas ke mana arahnya. Nah, pertanyaannya adalah sudah sejauh manakah jalan itu kita lakukan? Ataukah kita juga hanya bisa mencaci-caci sambil mengutip banyak teori barat, namun kita alpa menemukan jalan kita sendiri? Jika seperti ini kondisinya, jauh lebih cerdas para tetua yang telah menyusun jalan pedang kebenaran lewat publikasi dan tuturan mereka tentang sejarah. Selagi kita tak sanggup memberikan tafsir yang lebih segar dan bukti yang lebih kuat serta argumentasi yang kokoh, maka kebenaran mereka akan jauh lebih abadi. Bukankah demikian?
2 komentar:
sepakat bosss.....
kadang kita yang muda terlalu sombong untuk mengakui kelemahan diri sendiri...
mungkin posisi untuk mengaktualisasikan diri yang cenderung berlebihan.....
kadang kita lupa akan sejarah siapa kita sebenarnya,darimana kita berasal,dan apa yang kita mau tuju didepan.......
terlalu banyak pemandangan menakjubkan yg membuat kita lupa diri......yang ingin pulang kekampung dgn mengharapkan segala pujian-pujian dari alam sekitarnya........
generasi muda yang terlupakan generasinya....
di mana bisa mendapatkan buku ini? saya tinggal di Bogor dan saya butuh banyak referensi mengenai budaya buton untuk thesis saya.
Posting Komentar