Gelar Doktor sebagai Gelar Kebangsawanan Baru


HARI ini ada sesuatu yang berbeda di gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin (Unhas). Saat berkunjung hari ini, saya melihat banyak kendaraan yang parkir di depan PKP. Banyak juga karangan bunga yang dipasang di depan gedung dan bertuliskan ucapan selamat kepada seseorang yang berhasil meraih gelar doktor.

Hari ini ada ujian promosi doktor di bidang ilmu hukum. Bagi mereka yang kuliah di Unhas, pemandangan ini adalah pemandangan yang sudah sering disaksikan. Seseorang yang meraih gelar doktor diperlakukan dengan amat istimewa. Acara promosinya berlangsung meriah. Ucapan selamat mengalir dari mana-mana. Banyak undangan yang hadir dengan mengenakan pakaian terbaik. Suasananya seperti pesta besar dan banyak kado yang bertumpuk dan ditujukan kepada para penguji yakni para guru besar yang berdatangan bak dewa-dewa dan menempati kursi di depan yang lebih tinggi. Merekalah yang memberi fatwa tentang nasib seseorang, apakah layak mendapatkan gelar doktor ataukah tidak.

Di kampus Unhas, ujian promosi doktor adalah ujian formalitas yang sifatnya show semata. Saya belum pernah mendengar ada orang yang tidak lulus di ajang ini. Konon, sebelum mencapai ujian promosi, mereka sudah ‘dibantai’ lebih dahulu dalam ujian hasil penelitian. Sementara ujian promosi adalah semacam testamen terbuka kepada siapa saja bahwa baru saja ada orang yang menyandang gelar doktor. Semacam pengumuman kepada seluruh penjuru alam semesta kalau saat ini ada lagi orang yang bergelar doktor, puncak tertinggi dari ilmu pengetahuan dan layak memberikan penilaian atas bidang ilmu tertentu. Banyak jurnalis berdatangan. Banyak pula para petinggi kampus yang hendak memberi ucapan selamat. Ada wawancara, ada jabat tangan, ada acara cium pipi kiri dan rangkul erat tanda ucapan selamat.

Ketika anda mendapatkan gelar doktor, maka saat itu juga disematkan gelar akademik sebagai tanda kehormatan. Anda adalah segala-galanya. Anda seolah memasuki dunia baru, sebagai puncak tertinggi dari perjalanan pengetahuan di bangku akademik. Namun benarkah posisi anda di puncak tertinggi pengetahuan? Bagi saya, itu belum tentu. Kapasitas anda akan dipertaruhkan dalam ajang selanjutnya yang lebih ril. Siapa tahu anda cuma tipe doktor yang menjalankan kewajiban akademik, mengikuti semua mata kuliah, mematuhi silabus dan kurikulum, hingga akhirnya bisa lolos. Pada akhirnya, dunia ril yang akan ‘menembak’ anda, apakah pencapaian itu bisa dipertanggungjawabkan ataukah tidak.

Kita hidup pada suatu masyarakat yang masih melihat gelar itu sebagai sesuatu yang wah. Suasana seperti pesta yang saya saksikan itu adalah alamat kalau masyarakat masih melihat gelar itu seperti dewa-dewa yang bertahta di kahyangan. Pesta besar menyambut gelar doktor itu menjadi simbol dari begitu agungnya sebuah gelar bagi masyarakat kita. Pada masyarakat dengan struktur tradisional, pesta serupa juga digelar bagi mereka yang mendapatkan gelar kebangsawanan tertentu dari istana. Pesatnya sama meriah sebab gelar memiliki status sosial yang khusus dan menempati posisi penting dalam masyarakat kita.

Mungkin itu pulalah motivasi kuat yang mendorong orang-orang untuk menggapai gelar doktor. Saya mengenal seorang kawan yang kuliah doktor demi status sosial seperti ini. Ia berharap ketika meraih gelar doktor, maka pundi-pundi keuangannya semakin menebal. Ia makin punya posisi tawar yang kuat dan menjadi konsultan di mana-mana, meskipun tidak jelas apa yang dilakukannya. Seorang kawan tersebut akhirnya menghalalkan banyak cara. Ia tidak serius mengerjakan disertasi dan menyuruh orang lain dengan imbalan tertentu. Inilah potret dari negeri ini di mana mereka yang mengaku sebagai ilmuwan lebih suka menerobos jalan pintas, tanpa menghormati proses yang sedang berjalan.

Dalam pandangan saya, seorang doktor adalah mereka yang memiliki pedang pengetahuan dan menebas kenyataan yang dipandangnya tidak adil. Ia bisa menjelaskan hal-hal yang menjadi bidang keahliannya, memeta-metakan persoalan secara jelas, kemudian memberikan inspirasi-inspirasi bagi masyarakat untuk menemukan jawabannya. Seorang doktor punya piranti pengetahuan sebagai senjata, punya energi besar untuk menelusuri belukar ilmiah, demi menemukan hikmah-hikmah yang tersembunyi di situ. Seorang doktor adalah mereka yang menceburkan diri dalam lapangan ilmiah, dan menjadikan hal yang ilmiah itu sebagai bejana untuk membasahi dahaga masyarakat akan inspirasi.

Makanya, di negeri ini, jumlah para doktor tidaklah identik dengan jumlah karya ilmiah yang dihasilkan sebagai bukti kepakaran. Menjadi doktor tidak lantas menajamkan kepekaaan pada suatu gejala sesuai dengan bidang ilmu masing-masing. Menjadi doktor hanyalah tahapan untuk memperoleh status sosial yang bergengsi di tengah masyarakat kita. Gelar doktor adalah gelar bangsawan di abad modern.(*)



0 komentar:

Posting Komentar