Dahlan Dahi: Dari Ilmu Politik Unhas Hingga Dewan Pers


Bermula dari mahasiswa Ilmu Politik Unhas, Dahlan Dahi memulai karier. Dia menulis di Identitas, media kampus, kemudian pindah ke pers profesional. Bermula dari Binabaru (kini Berita Kota), pria kelahiran Wanci di Wakatobi ini merambah ke Harian Surya, Tabloid Bangkit, TV7, lalu Tribun Timur, kemudian Tribunnews.

Kini, dia menjadi Chief Digital Officer (CDO) di Kompas Gramedia, posisinya satu strip di bawah CEO Kompas. Terbaru, dia menjabat sebagai Dewan Pers. Siapa Dahlan Dahi? Apa yang sudah dilakukannya?

*** 

Pagi itu di showroom mobil Mercy, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, September 2003, bukan cuma mobil mewah yang dipamerkan. Di balik kaca yang mengilap dan aroma kopi yang belum habis disesap, sebuah media baru sedang bersiap lahir. Namanya: Tribun Timur. 

Saya datang sebagai pelamar jurnalis. Dua pria mewawancarai saya—yang satu, berambut perak, karismatik; yang lain, lebih muda, energik, dan kritis. Belakangan saya tahu, mereka adalah Uki M. Kurdi dan Dahlan Dahi.

Waktu itu, banyak yang belum mengenal siapa Dahlan Dahi. Tapi hari ini, ia menjadi salah satu arsitek media digital terbesar di Indonesia. Ia memimpin transformasi Tribun Timur menjadi Tribunnews, lalu mengepalai lini digital Kompas Gramedia, dan terbaru, duduk sebagai anggota Dewan Pers. 

Tapi kisahnya tak pernah sederhana. Ia bukan lulusan Harvard atau jebolan fakultas komunikasi luar negeri. Ia hanya seorang mahasiswa Ilmu Politik Universitas Hasanuddin yang lebih suka menulis di Identitas, media kampus Unhas, daripada kuliah.

Dahlan mulai dari nol. Ia pernah mengetik berita di ruang redaksi Binabaru, lalu pindah ke Harian Surya di Surabaya, hingga ikut membidani Tabloid Bangkit di era reformasi. 

Di situlah ia bertemu dan terus bekerja sama dengan Uki M. Kurdi. Dari Surabaya ke Jakarta, ia sempat menjajal TV7, lalu kembali ke timur untuk melahirkan Tribun Timur—media yang dirancang bukan untuk bersaing dengan Kompas, melainkan menjadi alternatif.

"Tribun bukan Kompas," katanya suatu kali. "Kompas menyasar elite, kita menyasar warga kota, generasi baru, mereka yang ingin inspirasi." Maka tampilannya pun dibuat lebih ringan, penuh warna, dan memikat mata.

Berita kriminal tidak diberi tempat di halaman satu. "Pagi hari adalah waktu paling menentukan. Kalau kita suguhkan darah dan kejahatan, bagaimana publik bisa punya semangat bekerja?" ujarnya.

Tak sekadar bicara estetika media, Dahlan memperkenalkan filosofi jurnalistik yang kuat. Ia membangun budaya kerja keras, disiplin, dan semangat belajar tanpa henti. Ia mewajibkan setiap jurnalis baru mencatat harian, mengulas liputan, dan berdiskusi setiap sore. Ia mengajarkan bahwa jurnalisme bukan hanya soal melaporkan peristiwa, tapi juga mengurai makna dan memberi arah.

Pelatihan demi pelatihan dirancangnya dengan pendekatan khas: tegas namun menggugah. "Ada empat manfaat yang harus diberikan media," katanya di satu sesi pelatihan. "Manfaat intelektual, emosional, praktis, dan spiritual." Jurnalis, dalam benaknya, adalah pelayan publik sekaligus penggerak kesadaran.

Tak heran jika Tribun berkembang menjadi jaringan media daerah terbesar di Indonesia. Tapi Dahlan tidak berhenti di situ. Ketika koran-koran lain masih terbuai dengan romantika cetak, ia melompat ke masa depan. 

Bersama tim kecil, ia membidani kelahiran Tribunnews.com. Ia tak takut pada algoritma. Ia menganggap data, tren pencarian, dan preferensi pembaca sebagai medan baru jurnalisme.

Yus, salah satu web developer yang mendampinginya, mengenang Dahlan sebagai “pemimpin yang tak pernah lelah bertanya”. Setiap hari datang ke kantor, berdiskusi soal UX, SEO, desain halaman depan. Di tangan Dahlan, berita bukan cuma harus cepat, tapi juga harus terasa. “Berita itu bukan informasi. Ia harus punya rasa. Punya nyawa,” katanya.

Di tengah ledakan konten digital, ia merangkul konsep citizen journalism yang dulu dipertentangkan oleh banyak jurnalis konvensional. "Kenapa harus takut pada warga?" tanyanya.

“Mereka punya kisah, punya suara. Kita beri panggung.” Maka halaman-halaman Tribun pun dipenuhi suara warga. Laporan dari jamaah haji, cerita dari anak-anak muda kampung, hingga kisah inspiratif dari orang biasa yang dijadikan luar biasa oleh bingkai media.

Dari media lokal ke media nasional, dari koran ke digital, dari jurnalis ke konseptor, Dahlan melangkah jauh. Dia menjadi CEO Tribunnews yang mengepalai lebih dari 60 webnews dan print. 

Tugasnya juga kian bertambah. Di grup Kompas, dia mengepalai berbagai platform digital: dari Grid.id yang membidik anak muda urban, hingga Bolasport.com yang menghidupkan kembali semangat Tabloid Bola dalam format baru.

Sebagai Chief Digital Officer, dia memimpin semua lini digital Kompas Gramedia, termasuk Kompas TV dan semua platform digital. Portal yang dipimpinnya sukses bukan hanya karena strategi algoritma, tapi karena ia tahu siapa yang hendak diajak bicara.

Saat saya bertemu lagi dengannya di Hotel Claro, Makassar, beberapa tahun, saya sempat bertanya, “Apa rahasia Tribunnews bisa jadi situs berita nomor satu di Indonesia?”

Dia tersenyum sebentar, lalu menjawab pelan, “Yusran, kamu pasti masih ingat betapa dulu kita dianggap cuma bayangan Kompas. Kita cuma pelengkap. Tapi hari ini, kita jadi yang paling ditunggu. Yang dulu mengejek, sekarang meminta ruang.”

Kalimat itu bukan kesombongan. Itu pengingat bahwa konsistensi, keberanian mencoba hal baru, dan komitmen pada pembaca bisa mengubah nasib siapa pun.

Kini, ketika namanya masuk ke dalam jajaran Dewan Pers, ia tidak lagi hanya mengurus satu redaksi, tapi ikut memikirkan masa depan ekosistem jurnalisme Indonesia. Dari Makassar, ia melangkah ke Jakarta, dari kampus Ilmu Politik yang tak ia tamatkan, ia menyusun strategi digital media terbesar di negeri ini.

Di mata saya, Dahlan bukan hanya manajer media. Ia adalah pelintas zaman. Seorang jurnalis yang menyulap keterbatasan menjadi kekuatan. Seorang pemimpin yang tak hanya memberi perintah, tapi memberi contoh. Seorang pendengar yang menjadikan keresahan publik sebagai kompasnya.

Joseph Pulitzer pernah berkata: “Journalism is not just about ideals. It’s also about circulation, advertising, and independence.” Dahlan tampaknya sudah memahami itu sejak awal. Ia menjaga idealisme, tapi sukses meraup profit untuk keberlangsungan media. 

Ia menjadikan jurnalisme sebagai jalan pulang bagi suara publik. Dan ia, pada akhirnya, membuktikan bahwa dari pojok Sulawesi pun, seseorang bisa mengubah wajah media nasional.