Mengapa Orang Buton Memuliakan Anak Yatim di Bulan Muharram?


Di Pariaman, setiap 10 Muharram, orang-orang melaksanakan ritual Tabuik untuk mengenang Asyura. Di Pulau Buton, orang mengenangnya dengan ritual pekandeana ana-ana maelu atau memberi makan anak yatim. Orang Buton tidak larut dalam sedu sedan saat mengenang peristiwa 10 Muharram sekian abad silam.

Mereka menatap masa depan, sembari menguatkan tali-temali solidaritas sosial.

***

BAPAK tua itu membaca doa dengan isak tangis. Dia seorang lebe, seorang ulama yang memimpin doa bersama. Dia komat-kamit membaca doa di hadapan talam yang menyajikan banyak makanan. Puluhan orang mengelilingi talam itu, ikut berdoa bersama bapak tua itu. Semua khusyuk.

Hari itu, ritual haroa terasa sedih. Ini bulan Muharram. Haroa terasa lebih sedih sebab mengenang sesuatu yang terjadi di masa silam. Sekitar 14 abad silam, terjadi peristiwa asyura, sebuah tragedi terjadi nun jauh di Karbala. Akibat tragedi itu ada banyak duka, khususnya bagi anak-anak yang kehilangan ayah.

Di kalangan orang Buton, haroa berasal dari kata ha (ayo) dan aroa (hadapi). Yang dihadapi adalah Allah dan Rasul. Saat haroa, semua orang khusyuk berdoa, berserah diri di hadapan Allah, menyampaikan cinta kasih dan rintihan suci.

Kata seorang ulama di Buton, yang dihadapi dalam haroa bukan hanya Allah dan Rasul, tetapi juga mia dadi te mia mate (orang hidup dan orang mati). Masyarakat meyakini, mereka yang meninggal tak benar-benar meninggal. Mereka menjadi sumanga, spirit yang terus mendampingi manusia hidup. Mereka turut hadir saat haroa. Konon, mereka menyaksikan keluarganya.

Haroa bisa digelar hingga belasan kali dalam setahun. Ada haroa yang digelar di bulan-bulan tertentu, misalnya maludu (maulid), rajabu (Rajab), Nisifu Sya’ban (Sya’ban), hingga Ramadhan. Ada juga haroa yang digelar untuk menandai peristiwa kehidupan, misalnya alaana bulua (akikah), pedole-dole (mendoakan bayi), posusu (ritual untuk anak perempuan), posuo (pungitan), kawia (kawinan), dan posipo (menyuapi).



Ada pula haroa untuk kematian, mulai dari menguburkan hingga pomaloa (malam tahlilan). Tak hanya itu, saat bangun rumah, ada banyak ritual haroa yang dilakukan. Demikian pula saat hendak membuat kapal, lalu melabuhkannya ke laut.

Di bulan Muharram, saat ritual pekandeana ana-ana maelu, anak-anak yatim menjadi pusat perhatian. Sepasang anak yatim duduk di dekat bapak tua yang membacakan doa.

Sebelumnya, sepasang anak yatim itu dimandikan dengan air asyura, atau air yang telah dibacakan doa sehari sebelumnya. Mengapa sepasang? Ada dua tafsir yang saya temukan.

Pertama, ada yang mengatakan, sepasang ini adalah representasi dari kelompok bangsawan (kaomu) yang direpresentasikan dengan gelar La Ode dan Wa Ode, dan kelompok rakyat kebanyakan (walaka). Ini adalah dua dari tiga lapis sosial orang Buton.

Kedua, ada pula yang mengatakan, sepasang itu adalah lambang dari Hasan dan Husain, dua cucu tersayang Baginda Rasulullah.

Sepasang anak itu dimandikan, dibasahi rambutnya, diusap-usap, dan dikenakan pakaian yang bagus. Semua yang hadir mendoakan mereka. Setelah itu, semuanya menyalami mereka lalu menyuapkan makanan, kemudian memberikan pasali, berupa amplop berisi bantuan.

Mengapa di bulan Muharram? Seorang ulama bercerita, ada banyak pesan yang hendak dititipkan dari generasi ke generasi. Dia menyebut banyaknya anak-anak yang yatim saat Husain, cucu Rasulullah, meninggal di Karbala, sekitar 14 abad silam. Di antara anak yatim itu adalah Ali Zainal Abidin.

Ali Zainal Abidin harus tetap hidup untuk melanjutkan risalah kebaikan dari ayah, kakek, dan kakek buyutnya. Ali Zainal Abidin mengemban tugas yang berat sehingga dia perlu didukung dan dikuatkan. Dia perlu dibangkitkan semangatnya agar tetap membawa risalah agama Islam.

Dalam buku Haroa dan Orang Buton, yang ditulis Kamaluddin dkk, haroa saat Muharram memiliki makna yang mendalam. Konon, tradisi ini muncul di era pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851). Pernah, satu masa Sultan Idrus Kaimuddin bertanya pada orang dekatnya:

“Padamo sambaheya komiu?” Apakah kalian sudah sembahyang? tanyanya.

“Padamo Waopu”. Sudah Baginda.

 “Komanga ana maelu yi tangana kampo siro padhamo abawakea hakuna?”

Bagaimana anak yatim di tengah kampung, apakah mereka sudah diberikan haknya?

Semua menjawab belum. Saat itu juga, Sultan Idrus membacakan Surah Al Maun 1-7. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yakni orang yang menghardik anak yatim, dan tidak memberi makan orang miskin....”

Mulai saat itulah, semua anak yatim akan disantuni setiap 10 Muharram. Mereka diperlakukan bak raja. Semua orang tergerak untuk menyantuni mereka, sekaligus membersihkan jiwa (pekangkilo).

Pesan Tersirat

Dulu, ritual haroa pekandeana ana-ana maelu dilakukan di rumah warga. Kini, ritual ini dilakukan secara kolosal oleh pemerintah daerah, yang dilakukan secara kolosal di satu aula, dan menghadirkan ratusan anak yatim.

Di satu media online, saya membaca liputan tentang Pemerintah Kabupaten Buton dan Pemerintah Kota Baubau yang menggelar ritual di aula Rujab Bupati dan Walikota, serta menghadirkan Syara dari Masjid Agung Keraton Buton.

Usai melaksanakan ritual, Asisten Satu Setda Kabupaten Buton Alimani, S.Sos., M.Si mengatakan tradisi Pakandena Ana-ana Maelu merupakan ajaran agama Islam dalam memperingati setiap tanggal 10 Muharram.

"Kegiatan ini dalam rangka memperingati 10 Muharram dan kita tahu berdasarkan sejarah bahwa kita di Kesultanan Buton itu dalam memperingati hari 10 Muharram itu selalu dengan memberikan makan kepada anak yatim," ucap Alimani.


Ritual ini ‘naik kelas’, sebab bukan lagi dilakukan di rumah, tetapi juga menjadi agenda pemerintah kabupaten/ kota.

Ritual ini membawa pesan yang teramat dalam. Ritual ini menghubungkan manusia hari ini dengan masa silam. Manusia hari ini menyerap semua hikmah dan pembelajaran masa lalu agar tidak terulang lagi di masa sekarang.

Di Nusantara, ritual mengenang asyura ini bisa ditemukan jejaknya dalam berbagai kebudayaan. Masyarakat Ternate membuat bubur asyura untuk dimakan anak yatim. Masyarakat Bengkulu mengenangnya dengan tirual Tabot.

Orang Pariaman melakukan ritual Tabuik.  Orang Buton mengenalnya dengan ritual pekande-kandeana ana-ana maelu. Semua ritual ini bertujuan untuk merawat ingatan pada satu peristiwa, membangun benang merah dengan peristiwa itu, serta membangun komitmen di masa kini agar peristiwa serupa tidak terjadi.

Meskipun orang Buton juga bersedih mengenang peristiwa 14 abad silam, ritual mereka fokus pada putra Husain yakni Ali Zainal Abidin.

Pesan kuat yang bisa dipetik adalah menangisi kematian memang penting, tapi jauh lebih penting merawat kehidupan, memberinya semangat dan motivasi kuat untuk tetap merawat tradisi kebaikan, serta menghadapi masa depan.

Dengan memberi makan pada anak yatim, yang merupakan simbol dari Ali Zainal Abidin, leluhur Buton memberi pesan kuat, bahwa masalah sebesar apapun akan terasa ringan jika semua anggota masyarakat saling membantu saling menguatkan, dan saling menjaga solidaritas sosial.

Jauh sebelum Indonesia mendeklarasikan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”, leluhur Buton telah lebih dahulu menyatakan anak yatim dan miskin adalah milik komunitas.

Mereka disapih dan dirawat. Mereka akan tumbuh menjadi kembang indah yang semerbak berkat dukungan kuat dari komunitas. Kelak mereka akan tumbuh dan memberi makna bagi komunitas.

Bukan mereka yang membutuhkan kita, tetapi kitalah yang membutuhkan mereka untuk membersihkan jiwa (pekangkilo) dari debu-debu keangkuhan, serta bekal mengarungi bumi yang sementara ini.

Tangkanapo.


0 komentar:

Posting Komentar