Di rumah Si Pitung yang merupakan rumah adat Suku Bugis di Kawasan Marunda, Jakarta, saya mengenang sketsa orang Bugis di Batavia. Mulai dari kisah-kisah pesisir sampai kisah keperkasaan.
***
CUACA terasa panas dan berangin saat kami memasuki wilayah Kampung Marunda di Jakarta Utara. Jalan-jalan berdebu dan dipenuhi truk-truk kontainer saat mobil yang kami tumpangi menuju kampung itu. Di kiri kanan, terdapat banyak area yang dipenuhi alat-alat berat.
Jangan bayangkan pesisir Jakarta Utara seperti pantai-pantai indah di wilayah lain. Jangan bayangkan pohon kelapa dengan latar langit biru dan pasir putih. Deru ekonomi dan hilir mudik mobil kontainer membuat kawasan ini menjadi kawasan industri yang riuh. Mobil-mobil truk berdesakan mengingatkan saya pada pasar senggol di mana semua orang bergegas dan saling menyikut.
Kawasan Marunda menjadi satu titik yang dikepung oleh lalu lintas sibuk, deru kendaraan, serta suara-suara besi tua bertubrukan. Saat mobil kami memasuki kawasan Sekolah Tinggi Pelayaran, barulah suasananya mulai terasa rindang. Hingga akhirnya kami mencapai kampung nelayan Marunda.
BACA: Jejak Heroik Orang Makassar di Thailand
Bersama keluarga, saya berkunjung ke Rumah Si Pitung yang ada di kawasan ini. Sehari sebelumnya, kami berkunjung ke Museum Bahari yang menampilkan replika kapal, peta-peta tua, serta suasana Jakarta pada masa keemasan VOC.
Semua koleksi museum ini mengingatkan kami pada masa-masa ketika kapal-kapal berbagai bangsa hilir mudik datang dari negeri-negeri Eropa ke Batavia, yang masa itu disebut Queen of the East. Ratu dari Timur.
Rumah Si Pitung berada di lahan yang lebih sempit dari lapangan bola. Tak ada tempat parkir yang memadai dari situ. Kami harus parkir di depan kompleks itu, pada satu area yang sempit. Untuk memasuki kompleks rumah ini, kami harus membayar 5.000 rupiah per orang, jumlah yang tidak terlalu besar.
Magnet kompleks ini adalah rumah Si Pitung yang berdiri di tengah-tengah. Rumah itu adalah rumah panggung atau rumah kayu khas orang Bugis. Sebagai orang Sulawesi, rumah ini tak asing di mata saya.
Rumah-rumah tradisional khas orang Sulawesi semuanya terbuat dari kayu. Letaknya selalu di pesisir. Kata seorang kawan, posisi rumah panggung untuk mengantisipasi pasang naik air laut. Di pesisir Sulawesi, kolong rumah di pesisir digunakan untuk menyimpan perahu, jala, jaring, hingga menjadi tempat peralatan bagi nelayan.
Saya tertarik dengan sosok Si Pitung. Semasa kecil, saya menonton film laga mengenai Si Pitung yang diperankan aktor Dicky Zulkarnaen. Si Pitung adalah sosok jagoan yang sangat populer di masyarakat Betawi. Dia merampok harta orang Belanda dan orang-orang kaya Batavia kemudian membagi-bagikan rampasan itu kepada rakyat kecil.
Saya masih ingat persis di satu adegan ketika orang Belanda datang mencari Si Pitung di satu rumah. Karena tak sempat lari, Si Pitung lalu berubah menjadi ayam sehingga lolos dari orang Belanda itu. Pitungbukan hanya lihai bersilat, tapi juga lihai merapal mantra.
Si Pitung kalah karena seorang jagoan lokal disewa Belanda untuk mencuri jimatnya. Saat itulah semua kesaktiannya hilang. Badannya ditembus peluru emas milik kompeni hingga akhirnya tewas diterjang peluru.
Dalam beberapa literatur, Si Pitung digambarkan sebagai bandit sosial pada abad ke-19. Dia seperti Robin Hood yang mengambil harta orang kaya kemudian mengembalikannya pada orang miskin. Orang Betawi melihatnya sebagai pahlawan, sementara Belanda menganggapnya sebagai pengacau keamanan. Entah mana yang benar.
Sosok lain di Nusantara yang seperti Si Pitung adalah I Tolok Daeng Magassing, seseorang yang disebut sebagai bandit sosial asal Makassar. Dia juga merampok orang Belanda, lalu membagikan hasil jarahan itu ke rakyat kecil. Keperkasaannya menjadi legenda yang selalu dituturkan.
Hingga kini jejaknya masih terasa. Saat orang Makassar nonton film laga, biasanya orang akan selalu bertanya “Siapa tolok-nya?” Maksudnya siapa sosok jagoan di situ. Kata Tolok ini mengacu pada I Tolok Daeng Magassing.
Tradisi lisan mengisahkan nama asli Si Pitung adalah Salihoen. Ada juga yang menyebut namanya Ahmad Nitikusumah. Dia belajar silat di perguruan “Pituan Pitulung” yang bermakna tujuh sekawan, pimpinan Hadji Naipin. Terdapat banyak versi tentang Si Pitung. Umumnya melihat dia sebagai sosok yang melawan Belanda, serta digambarkan sebagai Muslim yang saleh dan alim.
***
Mengapa rumah si Pitung adalah rumah etnik Bugis? Apakah Si Pitung punya kaitan dengan Bugis?
“Rumah ini sebenarnya bukan rumah Si Pitung. Ini rumah yang pernah disinggahi dan ditinggali Si Pitung pada tahun 1890-an. Rumah ini milik Haji Safiuddin, seorang juragan tambak ikan asal Bugis,” kata seorang bapak tua yang datang ketika melihat saya sedang memotret.
Bapak ini tidak tahu persis mengapa Si Pitung datang ke rumah itu. “Saya juga tidak tahu persis, apakah Si Pitung datang ke sini setelah merampok atau saat bersembunyi dari kejaran pemerintah Belanda,” katanya lagi.
Rekan seperjalanan, Dwi, menilai rumah ini persis rumah neneknya di Pattiro, Bone, Sulawesi Selatan. Dwi memang berasal dari tanah Bugis, yang sudah tinggal beberapa tahun di Jawa Barat. Saat melihat depan rumah dan hendak naik, dia merasa seperti pulang kampung. “Saya ingat rumah nenek di Pattiro,” katanya sumringah.
Bentuk rumah itu memang seperti bentuk rumah-rumah rakyat di Sulawesi Selatan. Jika kita naik tangga, maka kita akan menemui teras dan kemudian ruang tamu. Ada ruang tengah yang menjadi tempat kumpul keluarga, kamar tidur, hingga dapur.
Sayangnya, rumah ini tak menyimpan banyak artefak. Saya membayangkan di situ ada pakaian-pakaian atau benda-benda yang bisa memberi gambaran seperti apa kehidupan sosial orang Bugis di Betawi pada abad ke-19. Minimal kita bisa menyerap banyak pengetahuan, tidak sekadar menyaksikan rumah.
Saya teringat catatan sejarawan Leonard B Andaya. Orang-orang Bugis sudah lama berkelana dan menempati kawasan pesisir Nusantara. Di Batavia, mereka mulai berdatangan dalam jumlah banyak sejak abad ke-17. Pada masa itu, Arung Pakkka, seorang pangeran Bugis, datang membawa 300 pengikutnya.
Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya yang berjudul Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVIII menguraikan kronologi pembentukan perkampungan di Batavia. Dalam catatannya, sebanyak 6.000 orang Bugis dan Makassar menempati wilayah di luar tembok kota Batavia, Ommenlanden pada abad ke-17.
Sebagian besar di antara mereka juga bekerja sebagai budak. Mereka yang mendatangi Ommenlanden ditempatkan oleh Pemerintah Kolonial di perkampungan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya interaksi antara etnis, di antara suku itu juga banyak yang menikah dan memiliki keturunan.
Seperti datangnya etnis lain di Batavia, orang-orang Bugis dan Makassar datang karena adanya peristiwa politik dan militer tertentu.
Niemeijer mengungkapkan jika pada tahun 1663, Raja Bugis Patoudjou (kini jadi nama Kawasan Petojo), salah satu dari empat Raja Bugis tiba di Batavia Bersama anak buahnya.
Mereka menumpang beberapa kapal kompeni. Raja Bugis ini melarikan diri ke Buton, menghindari kejaran orang Makassar yang menilai kesepakatan yang dia tandatangani dengan kompeni sebagai pengkhianatan.
Saat tiba di Batavia, orang-orang Bugis tersebut terlebih dahulu harus tinggal sementara di perkebunan kompeni. Mereka diberi sebidang lahan di sebelah barat kali Krukut untuk mereka tinggali.
Sementara itu, pada 25 Oktober 1678, Kapal Tertholen membuang sauh di Teluk Batavia. Kapal itu membawa Arung Palakka yang terkenal beserta sekelompok besar orang Bugis.
Arung Palakka saat itu juga menandatangani kesepakatan dengan kompeni, sehingga antara 1667-1669 mereka akhirnya berhasil menguasai kerajaan Gowa (Makassar).
Mengingat pengorbanan besar itu, Pemerintah Kolonial merasa berkewajiban membawa mereka ke Batavia. Adapun untuk membiayai hidup para keluarga Bugis di pulau-pulau pertama, Raja Arung Palakka mendapat 1.000 ringgit dan sejumlah pikul padi. Untuk mencegah kecemburuan kepala Kampung Makassar maka Karaeng Bisse juga diberi 400 ringgit untuk keperluan rakyatnya.
Menurut Niemeijer, segala bentuk pemberian yang dberikan orang-orang Bugis dan Makassar bukanlah bentuk kedermawanan, melainkan investasi dalam sumber daya tentara.
Pada masa itu terjadi pemberontakan yang dipimpin Pangeran Trunajaya dari Madura yang ketika itu hendak menggulingkan Raja Mataram. VOC akhirnya memanfaatkan orang-orang Makassar dan Bugis sebagai pasukan yang dapat menumpas pemberontakan tersebut.
Lahan yang ditempati Arung Palakka dan rakyatnya merupakan lahan pinjaman dari kompeni dan tidak diberi hak milik. Begitupun dengan sebidang lahan kompeni yang dipinjamkan kepada kelompok orang Makassar.
***
SAYA masih di rumah Si Pitung ketika ingatan tentang catatan sejarah berseliweran di kepala saya. Rumah ini menyimpan banyak sketsa sejarah yang membawa saya pada banyak hal. Saya membayangkan phinisi yang membelah lautan dan membawa orang-orang Bugis ke medan Batavia yang keras.
Tapi mereka adalah nakhoda yang tangguh menghadapi lautan bergelombang dan menghanyutkan. Pelaut ulung tidak pernah lahir dari lautan tenang. Mereka selalu muncul dari lautan penuh gejolak, badai, dan tantangan yang bisa menciutkan nyali. Mereka melewati ujian alam di lautan demi menjadi pemimpin di daratan.
Saya membayangkan Si Pitung yang bertemu Haji Safiuddin yang menguasai laut dan darat. Saya membayangkan pasukan Bugis, yang dipimpin Arung Palakka, yang pada masa itu pernah sedemikian menggetarkan para pendekar di Batavia.
Mungkin, atas alasan ini pula, pada tahun 2014, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pertama kali menyatakan diri siap menjadi Presiden RI saat berada di Rumah Si Pitung. Dia memberikan deklarasi di situ sembari menyerap kekuatan jawara lokal yang menimba pengalaman pada saudagar dan nakhoda Bugis.
Beberapa budayawan Betawi mengkritik Jokowi yang melakukan deklarasi di situ. Ada pertanyaan: "Lu mau ngapain deklarasi di situ? Mau lawan kompeni?"
Dalam hati saya menggumam, tak semua orang paham makna sejarah apa yang tersimpan di situ. Di tempat itu, saya menyimpan banyak catatan.
0 komentar:
Posting Komentar