Catatan tentang keindahan, kesunyian, dan perjalanan
Setiap perjalanan selalu dimulai dari satu langkah kaki
Kenangan di Pulau Buton
Di sinilah saya memulai perjalanan, sekaligus menjadi tempat kembali
Menghitung Hari di Athens, Ohio
Amerika Serikat adalah negeri tempat saya menemukan diri
Keluarga Kecilku
Mata air yang memancarkan kasih sayang.
Belajar Menyerap Hikmah
Semoga catatan-catatan di blog ini bisa menginspirasi
Seusai Membaca Raden Mandasia
SUNGGUH menyesal karena terlambat membaca
buku cerita silat berjudul Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi. Selama dua
hari ini, saya larut membaca buku yang sungguh asyik, mengisahkan para pendekar
yang punya karakter unik. Dan setiap kali membaca buku bagus, saya selalu
berusaha untuk tidak segera menghabiskannya. Saya tak ingin kehilangan rasa
nikmat saat memasuki belantara dan rimba kata yang begitu menarik. Saya tak
terkejut saat tahu novel ini memenangkan penghargaan Khatulistiwa Award tahun
2016.
Novel ini ditulis mantan jurnalis Tempo,
Yusi Avianto Pareanom. Dia mengisahkan pendekar yang tidak biasa. Di novel ini,
pendekarnya bukanlah sosok yang sibuk menjaga moral dan nilai, serta berpikiran
ala superhero: "great power, great responsibility." Di sini, tokoh
pendekar atau jagoannya tak hanya penuh dendam kesumat, tapi juga sedikit
bodoh, suka memasak dan bisa mengenali berbagai jenis bumbu masakan. Unik khan?
Bagian yang saya sukai dari pendekar ini
adalah punya nafsu birahi yang begitu tinggi. Beberapa lembar dari cerita silat
ini adalah gambaran tentang adegan ranjang yang justru membuat napas jadi
tertahan, jantung jadi deg-degan. Kisah ini serupa gabungan antara Wiro
Sableng, Mahabharata, serta sedikit unsur Freddy S (khususnya adegan ranjang tadi).
Sialan, saya sudah lama tidak menemukan kisah silat yang komplit seperti
tersaji di novel ini.
Satu lagi, jagoannya hampir tiap saat
mengeluarkan makian. Bagi kamu yang menjunjung tinggi ajaran moral, disarankan
jangan baca novel ini. Pasti kamu akan kesal karena hampir di semua lembar,
jagoannya akan mengeluarkan makian: anjing!.
Tapi saya justru suka dengan umpatannya.
Dia hanya manusia biasa yang mencoba untuk menyampaikan kekesalan secara jujur. Anjing!
Bogor, 27 Februari 2017
Suatu Sore Bersama Cak Tarno
SESEORANG pernah berkata, jangan pernah
melihat orang dari penampilan luarnya. Jangan pula menilai orang dari
pendidikannya. Di kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok, saya mengenal Cak
Tarno yang pendidikannya hanya selevel SMP. Siapa sangka, ia bersahabat dengan
banyak magister dan doktor bidang ilmu sosial dan humaniora. Tak sekadar
bersahabat, Cak Tarno adalah tempat bertanya, tempat berdiskusi, sekaligus
ruang untuk mendialogkan semua gagasan.
Cak Tarno mengingatkan saya pada Sangaji,
sosok dalam serial Rumah Masa Depan, produksi TVRI tahun 1980-an. Sangaji hanya
seorang penjual buku bekas. Namun dalam satu adu kecerdasan para siswa sekolah,
kecerdasan Sangaji memukau semua orang. Kecerdasan itu diasah melalui proses belajar
tanpa lelah, di sela-sela kegiatan menjual buku bekas. Seperti halnya Sangaji,
Cak Tarno juga seorang penjual buku yang membaca buku-buku di sela menunggui
pembeli. Cak Tarno berdagang buku-buku bertemakan filsafat, sosiologi,
antropologi, hingga ilmu politik dan sastra. Jangan heran jika ia fasih
menjelaskan Karl Marx, Pierre Bourdieu, Derrida, hingga Michel Foucault.
Kemarin, saya menghadiri diskusi yang
digelar Cak Tarno. Setelah sekian tahun, ini pertama kalinya saya hadir di diskusi yang dahulu sering
diadakan di Jalan Sawo. Rupanya, kedai buku miliknya telah pindah ke dalam
kampus, tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI. Tempatnya lebih keren, tak
jauh dari kantin sastra (kansas), yang menjadi tempat nongkrong anak sastra,
kini udah jadi FIB. Saya menghadiri diskusi yang pematerinya adalah sejarawan
Sonny Karsono. Selain bertemu Sonny, saya juga bertemu Iqra Anugrah, kandidat
doktor di Amerika yang fasih membahas teori politik. Saya juga menyapa Andi
Achdian, salah satu sejarawan hebat, yang pernah manjadi asisten dari sejawaran
kondang Ong Hok Ham.
Cak Tarno selalu tersenyum menyambut
kedatangan saya. Terakhir saya bertemu dengannya adalah beberapa bulan lalu saat
seminar internasional antropologi. Entah kenapa, setiap kali bertemu, ia akan
membahas filsuf Jurgen Habermas. Dipikirnya saya pernah menulis tentang
Habermas. Saya sendiri lupa apa pernah menulisnya atau tidak. Satu lagi, ia
akan bertanya kapan saya bersedia membawakan materi di lapaknya. Saya selalu
menggeleng. Saya minder saat menyadari banyak orang hebat yang sering ikut
diskusi di tempatnya. Saya mah apa atuh.
Berada di kedai Cak Tarno, saya mengenang
banyak hal. Sejak dulu sampai sekarang, Cak Tarno masih menjadi magnet bagi para
magister dan doktor. Mereka yang mengaku pernah belajar di kampus UI Depok,
khususnya Fisip maupun FIB UI, pastilah mengenalnya. Dia bukanlah intelektual
dengan sederet gelar terpandang dan mewah. Dia hanya seorang penjual buku
bertema ilmu sosial dan humaniora. Tak sekadar menjual buku, ia memahami dengan
baik isi buku, serta kerap mendiskusikannya. Malah, setiap Sabtu, ia menggelar
diskusi rutin yang menghadirkan banyak pakar di bidangnya.
Saya mengenal Cak Tarno saat menjadi
mahasiswa di kampus UI tahun 2006 silam. Saat itu, saya membutuhkan beberapa
buku untuk mendukung riset saya mengenai kaitan antara ingatan-ingatan
traumatik dengan antropologi dan sejarah. Sahabat saya Diah Laksmi menyarankan
untuk singgah ke kios buku milik Cak Tarno. Saat singgah, ternyata di situ
sedang ada diskusi yang menghadirkan banyak anak muda di kampus UI. Saya larut
dalam diskusi yang menarik itu.
Kisah hidup Cak Tarno juga cukup unik. Ia
lahir dan besar di keluarga petani di Mojokerto, Jawa Timur. Tamat SMP, ia tak
melanjutkan sekolah. Penghasilan sebagai buruh tani tak seberapa. Dia lalu menjadi
kenek bangunan. Pada usia 25 tahun, ia hijrah ke Jakarta, dan bekerja di salah
satu agen buku di sekitar kampus UI, Depok. Setahun ikut temannya, ia
memberanikan diri untuk ikut mendirikan lapak buku sendiri. Ia menyusuri lapak
penjual buku bekas di Jakarta lalu membawanya ke lapak bukunya untuk dijual
kembali.
Ia mencari tema-tema yang tidak biasa,
hingga akhirnya focus pada tema ilmu sosial dan humaniora. Memang, pasar
pembaca bukunya sempit, akan tetapi pasarnya terkenal ada dan rutin membeli buku.
Tak cukup hanya menjual buku, ia pun membacanya. Setiap kali ada yang hendak
membeli buku, ia akan menjelaskan isi buku lalu merekomendasikan buku lain yang
sejenis Strategi marketing itu efektif. Orang-orang akan betah di lapak
bukunya. Malah, orang-orang membuat diskusi di lapak buku itu.
Mungkin niat Cak Tarno adalah memasarkan
buku. Pendekatannya bisa saja dilihat sebagai strategi pemasaran. Siapa sangka,
melalui pendekatan itu, ia menjadi soerang pembaca yang handal. Ia menuntaskan
banyak buku demi melayani diskusi yang levelnya kian berat. Jadilah dirinya
sosok dengan keahlian serupa professor, yang tidak pernah mengenyam bangku
pendidikan tinggi.
Berbincang dengannya serasa berbincang
dengan seorang profesor. Pengetahuannya sering melampaui buku yang dibacanya. Dia
tahu betul isi buku, serta keterbatasan pendekatan dalam buku itu. Jika tak
diberitahu Diah tentang latar belakang Cak Tarno, saya akan mengira dirinya
adalah mahasiswa program doktoral di bidang filsafat. Dia ibarat matahari yang
dikitari banyak planet, yakni mahasiswa dan pencari ilmu. Kedai buku yang
dikelolanya menjadi sarana bagi mahasiswa untuk menemukan bacaan alternatif di
ranah sosial dan humaniora.
Tak cukup mengelola kedai buku, ia
membentuk komunitas. Para peserta diskusi rutin di setiap Sabtu lalu membentuk
komunitas. Semasa kuliah tahun 2006-2009, saya sering menghadiri diskusinya.
Cak Tarno mengundang pemateri. Dia pun memperbanyak makalah, yang merupakan
syarat wajib bagi semua pemateri di situ. Malah, dia pun yang ikut menyediakan
kopi bagi para mahasiswa yang datang. Tidak heran jika semua anggota kelompok
diskusi itu sepakat menjadikan nama Cak Tarno sebagai ikon. Terbentuklah
komunitas bernama Cak Tarno Institute.
Banyak pemateri hebat adalah pakar di
bidangnya. Saya mencatat beberapa nama yang pernah menjadi pemateri adalah Dr.
Donny Gahral Adian, Dr Bagus Takwin, Dr Akhyar Yusuf Lubis, Ahmad Syafiq PhD,
Prof Thamrin Amal Tamagola, dan Prof Deddy Nur Hidayat. Malah, kedai Cak Tarno
juga beberapa kali dikunjungi artis Dian Sastrowardoyo semasa dia menjadi
mahasiswa Filsafat UI. Selama 11 tahun komunitas itu berdiri, pemateri dan
pengunjung yang hadir pastinya beragam. Cak Tarno masih setia mengawal
komunitas itu.
Ibarat menanam, Cak Tarno mulai memanen apa yang ditanamnya. Kemampuannya menghancurkan batas pengetahuan antara mereka yang sekolah dan tidak sekolah menjadi inspirasi di mana-mana. Beberapa media telah meliput dirinya. Kini, ia diterima semua kalangan mahasiswa. Di dalam kampus pun, kedainya disinggahi banyak pengajar bergelar profesor. Malah, ia pernah diminta Prof Sarlito (alm) untuk membawakan materi dalam diskusi di Fakultas Psikologi UI. Bayangkan, ia menguliahi para cendekia di universitas terbaik Indonesia. Namun buah termanis yang dipanennya adalah pengetahuan serta persahabatan dengan banyak kalangan.
Kemarin, saya menghadiri diskusi di Cak Tarno. Saya pun singgah melihat-lihat buku di lapaknya. Buku paling tebal adalah Sejarah Estetika yang ditulis Martin Suryajaya, anak muda cemerlang yang amat produktif. Lama melihat-lihat, saya memutuskan untuk membeli buku sastra Raden Mandasia yang ditulis Yusi Avianto Pareanom. Saat hendak pamit, kembali dia bertanya, “Kapan bisa bawa materi di diskusi sabtuan?”
Kemarin, saya menghadiri diskusi di Cak Tarno. Saya pun singgah melihat-lihat buku di lapaknya. Buku paling tebal adalah Sejarah Estetika yang ditulis Martin Suryajaya, anak muda cemerlang yang amat produktif. Lama melihat-lihat, saya memutuskan untuk membeli buku sastra Raden Mandasia yang ditulis Yusi Avianto Pareanom. Saat hendak pamit, kembali dia bertanya, “Kapan bisa bawa materi di diskusi sabtuan?”
Gak ah. Biar saya jadi peserta aja.
Bogor, 26 Februari 2017
Kembalinya Abraham SAMAD
![]() |
Abraham Samad |
TAHUN
2019 masih jauh. Genderang pemilihan presiden dan wakil presiden belum ditabuh.
Tapi orang-orang mulai menyiapkan mesin untuk memasuki sirkuit pemilihan
pemimpin Indonesia. Banyak strategi telah dihampar. Banyak pula nama yang mulai
disorot lalu didekati, kemudian diberi iming-iming. Satu nama yang sekarang ini
menjadi sorotan adalah Abraham Samad.
Semalam,
saya berdiskusi dengan seorang pengurus teras partai politik. Ia
terang-terangan bercerita tentang betapa Abraham menjadi incaran banyak partai
politik. Kawan itu membahas bahwa Jokowi masih ingin berpasangan dengan
Abraham. Dalam pilpres lalu, Jokowi memang menginginkan Abraham, namun
keinginan itu ditepis oleh kubu Megawati yang menginginkan Kalla. Kini,
keinginan itu kembali bersemi.
Nama
Abraham juga disebut-sebut oleh kubu Prabowo. Kubu Prabowo sejak pilpres lalu
memang menginginkan Abraham. Dengan mudahnya kita menemukan gambar kampanye
Prabowo berpasangan dengan Abraham saat pilpres lalu. Keinginan itu nyaris
bersambut, sebelum akhirnya dikunci oleh partai merah. Abraham pun ikut
menjalankan agenda Koalisi Indonesia Hebat melalui pemberian label
tersangka pada Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP.
Di
kalangan para pelaku politik, Abraham adalah nama yang masih menjadi magnit
kuat. Nama ini identik dengan keberanian dalam menerabas korupsi. Publik masih
menganggapnya bersih. Publik masih menganggapnya dizalimi saat dirinya berada
di pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Abraham dianggap sengaja
digergaji pemerintah berkuasa dengan menggunakan isu murahan yakni administrasi
kependudukan, memasukkan seseorang dalam kartu keluarga. Padahal, lelaki ini
tengah mendorong penanganan kasus korupsi yang nilainya miliaran.
Kini,
Abraham juga mulai memanaskan mesinnya. Ia memang tidak muncul di banyak media
mainstream. Tapi ia mulai rajin berkeliling kampus-kampus untuk memberikan
kuliah umum. Kehadirannya tidak diliput media, akan tetapi banyak orang yang
mengunggah fotonya di media sosial. Soerang teman pernah mengunggah fotonya
saat menunggu kereta di Stasiun Gambir. Bayangkan, soerang mantan Ketua KPK
yang menangani banyak kasus korupsi, ke mana-mana dengan kereta, sebagaimana
warga biasa lainnya.
Jika
hendak dilihat dari sisi politik, gebrakan Abraham itu terbilang senyap, tak
terdeteksi. Tapi secara perlahan mulai mendapat tempat di hati banyak orang.
Entah, apakah kehadirannya itu memang sengaja didesain, namun ia telah
menampilkan satu kata kunci dalam marketing yakni positioning sebagai
warga biasa, setelah sebelumnya menjadi warga yang penuh power. Ia
berhasil menampilkan sosok yang tidak baper, melainkan sosok hebat yang
teraniaya.
Kekuatan
Abraham bisa dilihat dari tiga argumentasi ini. Pertama, Abraham adalah
representasi kawasan luar Jawa. Bagaimanapun juga, pemiihan presiden dan wakil
presiden seyogyanya mempertimbangkan komposisi Jawa dan luar Jawa. Nah, setelah
era Jusuf Kalla yang menjadi representasi luar Jawa dan kawasan timur, belum
ada satupun tokoh yang bisa menjadi ikon itu. Abraham bisa mengisi celah luar
Jawa dan wakil timur itu.
Kedua,
publik suka dengan hal baru. Mereka suka perubahan. Mereka suka dengan sosok
muda yang berintegritas. Sebagaimana publik menyukai Jokowi sebagai sosok baru
yang punya reputasi, Abraham pun punya potensi untuk disukai karena reputasi
dan rekam jejak hebat. Abraham masih identik dengan pejuang anti-korupsi. Dia
pun punya kemampuan artikulasi yang baik dalam meyakinkan banyak kalangan. Jika
kemampuan itu dikemas dalam satu irama kerja-kerja politik, hasilnya akan
dahsyat.
Ketiga,
Abraham juga bisa menjadi representasi Islam. Ia mantan aktivis HMI. Ia sering
menampilkan dirinya sebagai sosok yang Islami. Publik masih ingat, saat
pemberian status tersangka kepada Miranda Gultom, Abraham menggelar jumpa pers
dengan memakai peci putih, sebagaimana lazim dikenakan orang yang baru
saja melaksanakan salat. Rekam jejaknya juga identik dengan kelompok yang
sering mengatasnamakan Islam. Ia pernah menjadi pengacara Komite Penegakan
Syariat Islam (KPSI) Sulsel. Kawan dekat Abdul Azis Qahhar Mudzakkar, bahkan
pernah menjadi pengacara Agus Dwikarna, sosok yang sempat diduga terlibat
teroris di Filipina.
Dengan
berbagai fakta-fakta di atas, wajar saja jika Abraham kini menjadi magnet.
Hanya saja, ada beberapa ganjalan dengan majunya sosok Abraham. Di antaranya
adalah gesekan dengan kelompok Jusuf Kalla yang tidak begitu memberi ruang
baginya. Ia juga tidak begitu disukai di Makassar sejak kasus korupsi yang
melibatkan nama Walikota Makassar Ilham Arief Siradjuddin muncul di permukaan.
Belum lagi isu-isu perempuan yang sering ditujukan padanya di media sosial. Ada
pula yang bercerita bahwa Abraham didukung taipan. Kemungkinan kasus-kasus dan
gosip tentangnya akan kembali bermunculan. Beredar pula informasi bahwa Abraham
tidak sehebat Bambang Widjojanto selama di KPK, hanya saja Abraham yang
kemudian sering tampil ke publik.
Dunia
politik memang penuh onak dan duri. Siapapun yang memasukinya mesti siap untuk
menghadapi seliweran isu. Jika Abraham hendak memasukinya, dia mesti siap
meniti di antara duri-duri dan ranjau yang ditebar untuknya. Kematangannya akan
ditentukan pada sejauh mana ia meniti. Yang pasti, namanya masih kuat tertanam
di benak publik sebagai figur anti-korupsi.
Di
akhir pembicaraan, kawan itu berbisik bahwa dalam waktu dekat akan
ada pertemuan antara salah satu calon presiden dengan Abraham di
makam Soeharto. Pembicaraan itu akan membahas berpasangannya mereka di arena
pilpres mendatang. Benar atau tidak informasi itu, saya memilih untuk diam dan
tidak menanggapinya. Dalam hati saya berujar, "Selamat datang
Abraham."
Bogor, 25 Februari 2017
Pelayaran Orang Australia di Tanah Buton
sejumlah perahu yang sandar di Pelabuhan Baubau |
BERITA paling
membahagiakan minggu ini adalah peluncuran terjemahan buku berjudul The Voyage
to Marege yang ditulis Campbell McKnight pada tahun 1976. Buku ini mengisahkan
pelayaran orang Makassar yang berlayar menuju tanah Marege (Australia) di abad
ke-17. Orang Makassar ini bukan saja amat berani sebab menempuh perjalanan
untuk menantang samudera, tapi juga menjalin relasi dengan orang Aborigin,
membentuk kebudayaan, mencipta kata dan tradisi, lalu jejak-jejak phinisi itu
digurat dalam gua-gua di Australia bagian utara.
Saya sungguh
penasaran untuk membaca buku ini. Dalam salah satu blognya, seorang kawan
berkisah buku itu sedemikian detail menyajikan fakta, rute perjalanan, sketsa,
bahasa, budaya hingga lukisan gua. Semoga saja buku ini menjadi awal dari
banyak buku-buku bertema maritim di negeri ini. Bukankah pemerintah kita
memulai kerja dengan menyebutkan bahwa “kita terlalu lama memunggungi lautan?”
Kali ini, saya
tidak sedang membahas buku McKnight. Saya ingin berkisah tentang bagaimana
orang Australia yang datang jauh-jauh untuk menelusuri jejak para pelaut di
tanah Buton, Sulawesi Tenggara, lalu berusaha untuk memahami bagaimana napas
dan tradisi kelautan yang punya relasi kuat dengan masyarakatnya.
Lelaki itu
bernama Michael Southon. Secara fisik, saya belum pernah dengannya. Saya pernah
beberapa kali berkorespondensi melalui email. Saya membaca namanya tertera pada
sampul buku The Navel of the Perahu yang ditulisnya tahun 1995. Buku ini adalah
disertasi Southon di Australia National University, salah satu universitas
terbaik di dunia. Demi keperluan disertasi itu, Southon datang ke Pulau Buton,
lalu tinggal selama beberapa waktu di Lande, wilayah Buton Selatan.
Southon menempuh
jalan berbeda dengan McKnight. Jika McKnight menelusuri jejak orang Makassar di
Australia, maka Southon mengikuti orang Buton yang berlayar ke Australia, lalu
memutuskan untuk menelusuri jejak mereka hingga ke tanah Buton. Dalam satu
percakapan melalui email, Southon bercerita kalau dirinya ingin tahu mengapa
para nelayan Buton jauh-jauh pergi ke Australia, apakah gerangan misi yang
hendak ditunaikan, dan apakah kepergian itu terkait dengan kondisi sosial
ekonomi mereka. Ia menelusuri kampung nelayan, bergaul dengan para nelayan, ikut
berlayar, lalu menuliskan narasinya dalam satu buku yang memikat.
Buku The Navel
of the Perahu menjadi monografi yang menarik. Para penjelajah dan
pelaut Buton menggunakan perahu jenis lambo yang bisa dilihat sebagai metafor atas
dialog-dalog masyarakat Buton dan semesta yang dihadapinya. Perahu itu adalah
lambang dari filosofi kehidupan, serta bagaimana pandangan atas masyarakat dan
negara. Kata Southon, orang Buton selalu menggunakan perahu sebagai metafor
untuk menjelaskan banyak hal. Misalnya, untuk menyebut sahabat atau teman
dekat, orang Buton akan menggunakan kosa kata “sabangka” yang dalam bahasa
Wolio bermakna seperahu. Untuk menjelaskan sistem kesultanan, mereka juga
menggunakan istilah perahu dengan empat cadiknya. Jika hendak ditelusuri dalam
syair, terdapat banyak contoh yang bisa didedahkan demi memahami betapa perahu
dan lautan adalah jantung bagi kebudayaan Buton.
Setiap buku
riset selalu saja menyajikan perjalanan pemikiran dari penulisnya. Saya selalu
menyukai bagian awal dan bagian akhir dari buku bertema riset. Pada bagian
awal, peneliti akan mengurai mengapa tertarik pada topik tertentu, dan pada
bagian akhir seringkali kita menemukan bagaimana peneliti berbelok dan lebih
tertarik pada topik lain, sehingga kegiatan riset menajdi perjalanan yang
berkelok. Itu hal lumrah.
![]() |
sampul buku yang ditulis Michael Southon |
Pada mulanya,
Southon ingin tahu bagaimana ekonomi maritim di desa. Ia fokus pada strategi
ekonomi yang hendak digapai oleh para pemilik perahu, nakhoda, dan anak buah
kapal sebagaimana mereka menunjukkan parameter ekonomi lokal. Namun dalam
perjalananya, ia tertarik untuk melihat bagaimana hubungan simbolik antara
perahu dan rumah bisa membawa pada pemahaman tentang kelembagaan sosial dan ritual
di tingkat desa.
Buku The Navel
of the Perahu ini terdiri atas dua bahagian. Pertama, Southon menyajikan data
demografi dan ekonomi desa, yang di dalamnya terdapat para pemilik perahu. Ia
menunjukkan pola-pola kompleks antara perahu dan perdagangan sebagaimana peran
para pemilik perahu yang menjadikan perahunya sebagai pemuat kargo dan
transportasi di antara berbagai pelabuhan di kawasan timur nusantara. Kedua, ia
menyajikan refleksi atas pemahaman selama kunjungannya di desa-desa nelayan. Ia
menjelaskan dimensi simbolik yang kuat atas ekonomi perahu.
Saya suka penjelasannya
tentang hubungan antara manusia Buton dan perahunya seperti hubungan antara
suami dan istri. Perahu itu dibuat dari kayu terbaik, dirawat dengan segala
ritual, dkerjakan dengan penuh cinta. Setiap bagian perahu memiliki makna
simbolik yang menarik untuk ditelusuri. Belu lagi ritual dalam menyelesaikan
setiap bagian perahu. Tentang ritual ini, saya menemukan deskripsi yang lebih
lengkap dalam buku Tony Rudyansjah berjudul Kesepatan Tanah Wolio.
Southon
menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang ritual di sekitar pembuatan kapal
menjadi sumber status di dalam desa, memberdayakan mereka yang mendemonstrasikan
pengetahuan itu. Para pembuat perahu, nakhoda, dan penjelajah menempati posisi
khusus dalam pengorganisasian masyarakat. Mereka juga harus memiliki kecakapan
dan kesaktian tertentu untuk bisa membawa perahu berlayar hingga negeri jauh di
Australia sana.
Dalam salah satu
review yang dimuat di Journal of Royal Anthropological Institute pada September
1996, antropolog Gene Ammarell (penulis buku Navigasi Bugis) mengatakan bahwa
temuan-temuan Southon ini terasa familiar bagi para pengkaji Asia Tenggara,
khususnya topik-topik mengenai maritim. Namun, sebagaimana dicatat Ammarell,
karya Southon ini terbilang unik dikarenakan dua hal. Pertama, Southon menjelaskan
banyak pemahaman yang unik atas dinamika masyarakat pelaut, sebagaimana
beberapa studi tentang Bugis dan mandar. Southon menyajikan dimensi ekonomi
atas transaksi di lautan. Temuannya menampilkan bagaimana kontrak antara
pemilik kapal ke nakhoda memiliki dimensi sosial yang kaya, serupa seorang anak
yang hendak dinikahkan dan hendak menempuh hidup baru. Kedua, observasinya atas
dinamika perahu itu menjadi jantung dari upaya memahami organisasi rumah, desa,
dan masyarakat Buton di antara orang-orang maritim Asia Tenggara.
Saat memberi pengantar untuk buku
ini, James J Fox menyatakan buku ini tidak hanya menjadi catatan etnografis
yang lengkap mengenai masyarakat Buton sebagai masyarakat maritim, tapi juga juga
memosisikan masyarakat Buton, juga masyarakat Bugis dan Makassar, sebagai
partisipan penting dalam “enterpreneurial explosion" atas perdagangan melalui
pelayaran skala kecil di kawasan timur Indonesia.
Sebagai orang
Buton, saya beruntung bisa membaca buku menarik ini. Di tangan para peneliti
dan ilmuwan seperti Michael Southon, hal-hal yang nampak bisa menjadi berlian
yang begitu bernilai. Riset tak hanya menyajikan temuan-temuan dan fakta, tapi
juga menjadi pelayaran yang mengasyikkan untuk menelusuri kekayaan tradisi di
masyarakat kita, menjadi jalan buat kita untuk menyelami dan memahami budaya,
lalu menemukan banyak mutiara berkilauan di situ.
Sayang, buku ini hanya terbit dalam bahasa Inggris. Belum ada yang berniat menerjemahkannya. Atau haruskah saya yang menerjemahkannya agar bisa dinikmati masyarakat Buton dan semua yang tertarik tentang maritim?
Sayang, buku ini hanya terbit dalam bahasa Inggris. Belum ada yang berniat menerjemahkannya. Atau haruskah saya yang menerjemahkannya agar bisa dinikmati masyarakat Buton dan semua yang tertarik tentang maritim?
Kendari, 21 Februari
2017
Subscribe to:
Posts (Atom)
Terpopuler Minggu Ini
-
Di Cina, mantan pemimpin lembaga pengawas anti-korupsi terpilih sebagai Wakil Presiden Cina dan mendampingi Xi Jinping. Apakah takdir yang...
-
poster film Victoria & Abdul SETELAH 130 tahun kisah yang disembunyikan itu, akhirnya dibuka ke publik. Ratu Victoria (1819-1901...
-
VALENTINE sudah kehilangan makna. Tak ada lagi mata air permenungan di situ. Tak peduli dari mana dan apa latar kisah ini, Valentine sudah ...
-
BUKU terbaru Hermawan Kertajaya berjudul Citizen 4.0 terasa seperti buku spiritual ketimbang buku mengenai marketing. Dalam bany...
-
PERNAH sekali saya menyaksikan tarian sakral Bedhaya Ketawang di Surakarta, beberapa tahun yang lalu. Sembilan orang penari perempuan ber...
-
Tinggal di satu kompleks yang banyak dihuni warga keturunan Tionghoa menyebabkan interaksi saya dengan mereka menjadi lebih intens. S...
-
ilustrasi SEBUT saja namanya Max (28). Ia adalah warga timur Indonesia, sebagaimana saya. Saya mengenalnya saat sama-sama menjadi mah...
-
poster film SETIAP kali mendengar judul buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, aku langsung terkenang pada seoran...
-
Prof Don Flournoy RUANGAN itu nampak sama dengan ruangan para profesor yang mengajar di program Media Studies. N...
-
SEBUAH pementasan berjudul Arung Palakka akan dilangsungkan di Taman Ismail Marzuki, beberapa hari mendatang. Tak banyak yang t...
