Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Seusai Membaca Raden Mandasia



SUNGGUH menyesal karena terlambat membaca buku cerita silat berjudul Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi. Selama dua hari ini, saya larut membaca buku yang sungguh asyik, mengisahkan para pendekar yang punya karakter unik. Dan setiap kali membaca buku bagus, saya selalu berusaha untuk tidak segera menghabiskannya. Saya tak ingin kehilangan rasa nikmat saat memasuki belantara dan rimba kata yang begitu menarik. Saya tak terkejut saat tahu novel ini memenangkan penghargaan Khatulistiwa Award tahun 2016.

Novel ini ditulis mantan jurnalis Tempo, Yusi Avianto Pareanom. Dia mengisahkan pendekar yang tidak biasa. Di novel ini, pendekarnya bukanlah sosok yang sibuk menjaga moral dan nilai, serta berpikiran ala superhero: "great power, great responsibility." Di sini, tokoh pendekar atau jagoannya tak hanya penuh dendam kesumat, tapi juga sedikit bodoh, suka memasak dan bisa mengenali berbagai jenis bumbu masakan. Unik khan?

Bagian yang saya sukai dari pendekar ini adalah punya nafsu birahi yang begitu tinggi. Beberapa lembar dari cerita silat ini adalah gambaran tentang adegan ranjang yang justru membuat napas jadi tertahan, jantung jadi deg-degan. Kisah ini serupa gabungan antara Wiro Sableng, Mahabharata, serta sedikit unsur Freddy S (khususnya adegan ranjang tadi). Sialan, saya sudah lama tidak menemukan kisah silat yang komplit seperti tersaji di novel ini.

Satu lagi, jagoannya hampir tiap saat mengeluarkan makian. Bagi kamu yang menjunjung tinggi ajaran moral, disarankan jangan baca novel ini. Pasti kamu akan kesal karena hampir di semua lembar, jagoannya akan mengeluarkan makian: anjing!.


Tapi saya justru suka dengan umpatannya. Dia hanya manusia biasa yang mencoba untuk menyampaikan kekesalan secara jujur. Anjing!



Bogor, 27 Februari 2017

Suatu Sore Bersama Cak Tarno

Cak Tarno di lapak bukunya

SESEORANG pernah berkata, jangan pernah melihat orang dari penampilan luarnya. Jangan pula menilai orang dari pendidikannya. Di kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok, saya mengenal Cak Tarno yang pendidikannya hanya selevel SMP. Siapa sangka, ia bersahabat dengan banyak magister dan doktor bidang ilmu sosial dan humaniora. Tak sekadar bersahabat, Cak Tarno adalah tempat bertanya, tempat berdiskusi, sekaligus ruang untuk mendialogkan semua gagasan.

Cak Tarno mengingatkan saya pada Sangaji, sosok dalam serial Rumah Masa Depan, produksi TVRI tahun 1980-an. Sangaji hanya seorang penjual buku bekas. Namun dalam satu adu kecerdasan para siswa sekolah, kecerdasan Sangaji memukau semua orang. Kecerdasan itu diasah melalui proses belajar tanpa lelah, di sela-sela kegiatan menjual buku bekas. Seperti halnya Sangaji, Cak Tarno juga seorang penjual buku yang membaca buku-buku di sela menunggui pembeli. Cak Tarno berdagang buku-buku bertemakan filsafat, sosiologi, antropologi, hingga ilmu politik dan sastra. Jangan heran jika ia fasih menjelaskan Karl Marx, Pierre Bourdieu, Derrida, hingga Michel Foucault.

Kemarin, saya menghadiri diskusi yang digelar Cak Tarno. Setelah sekian tahun, ini pertama kalinya saya hadir di diskusi yang dahulu sering diadakan di Jalan Sawo. Rupanya, kedai buku miliknya telah pindah ke dalam kampus, tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI. Tempatnya lebih keren, tak jauh dari kantin sastra (kansas), yang menjadi tempat nongkrong anak sastra, kini udah jadi FIB. Saya menghadiri diskusi yang pematerinya adalah sejarawan Sonny Karsono. Selain bertemu Sonny, saya juga bertemu Iqra Anugrah, kandidat doktor di Amerika yang fasih membahas teori politik. Saya juga menyapa Andi Achdian, salah satu sejarawan hebat, yang pernah manjadi asisten dari sejawaran kondang Ong Hok Ham.

Cak Tarno selalu tersenyum menyambut kedatangan saya. Terakhir saya bertemu dengannya adalah beberapa bulan lalu saat seminar internasional antropologi. Entah kenapa, setiap kali bertemu, ia akan membahas filsuf Jurgen Habermas. Dipikirnya saya pernah menulis tentang Habermas. Saya sendiri lupa apa pernah menulisnya atau tidak. Satu lagi, ia akan bertanya kapan saya bersedia membawakan materi di lapaknya. Saya selalu menggeleng. Saya minder saat menyadari banyak orang hebat yang sering ikut diskusi di tempatnya. Saya mah apa atuh.

Berada di kedai Cak Tarno, saya mengenang banyak hal. Sejak dulu sampai sekarang, Cak Tarno masih menjadi magnet bagi para magister dan doktor. Mereka yang mengaku pernah belajar di kampus UI Depok, khususnya Fisip maupun FIB UI, pastilah mengenalnya. Dia bukanlah intelektual dengan sederet gelar terpandang dan mewah. Dia hanya seorang penjual buku bertema ilmu sosial dan humaniora. Tak sekadar menjual buku, ia memahami dengan baik isi buku, serta kerap mendiskusikannya. Malah, setiap Sabtu, ia menggelar diskusi rutin yang menghadirkan banyak pakar di bidangnya.

Saya mengenal Cak Tarno saat menjadi mahasiswa di kampus UI tahun 2006 silam. Saat itu, saya membutuhkan beberapa buku untuk mendukung riset saya mengenai kaitan antara ingatan-ingatan traumatik dengan antropologi dan sejarah. Sahabat saya Diah Laksmi menyarankan untuk singgah ke kios buku milik Cak Tarno. Saat singgah, ternyata di situ sedang ada diskusi yang menghadirkan banyak anak muda di kampus UI. Saya larut dalam diskusi yang menarik itu.

Kisah hidup Cak Tarno juga cukup unik. Ia lahir dan besar di keluarga petani di Mojokerto, Jawa Timur. Tamat SMP, ia tak melanjutkan sekolah. Penghasilan sebagai buruh tani tak seberapa. Dia lalu menjadi kenek bangunan. Pada usia 25 tahun, ia hijrah ke Jakarta, dan bekerja di salah satu agen buku di sekitar kampus UI, Depok. Setahun ikut temannya, ia memberanikan diri untuk ikut mendirikan lapak buku sendiri. Ia menyusuri lapak penjual buku bekas di Jakarta lalu membawanya ke lapak bukunya untuk dijual kembali.

Ia mencari tema-tema yang tidak biasa, hingga akhirnya focus pada tema ilmu sosial dan humaniora. Memang, pasar pembaca bukunya sempit, akan tetapi pasarnya terkenal ada dan rutin membeli buku. Tak cukup hanya menjual buku, ia pun membacanya. Setiap kali ada yang hendak membeli buku, ia akan menjelaskan isi buku lalu merekomendasikan buku lain yang sejenis Strategi marketing itu efektif. Orang-orang akan betah di lapak bukunya. Malah, orang-orang membuat diskusi di lapak buku itu.

Mungkin niat Cak Tarno adalah memasarkan buku. Pendekatannya bisa saja dilihat sebagai strategi pemasaran. Siapa sangka, melalui pendekatan itu, ia menjadi soerang pembaca yang handal. Ia menuntaskan banyak buku demi melayani diskusi yang levelnya kian berat. Jadilah dirinya sosok dengan keahlian serupa professor, yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi.

Berbincang dengannya serasa berbincang dengan seorang profesor. Pengetahuannya sering melampaui buku yang dibacanya. Dia tahu betul isi buku, serta keterbatasan pendekatan dalam buku itu. Jika tak diberitahu Diah tentang latar belakang Cak Tarno, saya akan mengira dirinya adalah mahasiswa program doktoral di bidang filsafat. Dia ibarat matahari yang dikitari banyak planet, yakni mahasiswa dan pencari ilmu. Kedai buku yang dikelolanya menjadi sarana bagi mahasiswa untuk menemukan bacaan alternatif di ranah sosial dan humaniora.

Tak cukup mengelola kedai buku, ia membentuk komunitas. Para peserta diskusi rutin di setiap Sabtu lalu membentuk komunitas. Semasa kuliah tahun 2006-2009, saya sering menghadiri diskusinya. Cak Tarno mengundang pemateri. Dia pun memperbanyak makalah, yang merupakan syarat wajib bagi semua pemateri di situ. Malah, dia pun yang ikut menyediakan kopi bagi para mahasiswa yang datang. Tidak heran jika semua anggota kelompok diskusi itu sepakat menjadikan nama Cak Tarno sebagai ikon. Terbentuklah komunitas bernama Cak Tarno Institute.

Banyak pemateri hebat adalah pakar di bidangnya. Saya mencatat beberapa nama yang pernah menjadi pemateri adalah Dr. Donny Gahral Adian, Dr Bagus Takwin, Dr Akhyar Yusuf Lubis, Ahmad Syafiq PhD, Prof Thamrin Amal Tamagola, dan Prof Deddy Nur Hidayat. Malah, kedai Cak Tarno juga beberapa kali dikunjungi artis Dian Sastrowardoyo semasa dia menjadi mahasiswa Filsafat UI. Selama 11 tahun komunitas itu berdiri, pemateri dan pengunjung yang hadir pastinya beragam. Cak Tarno masih setia mengawal komunitas itu.

Ibarat menanam, Cak Tarno mulai memanen apa yang ditanamnya. Kemampuannya menghancurkan batas pengetahuan antara mereka yang sekolah dan tidak sekolah menjadi inspirasi di mana-mana. Beberapa media telah meliput dirinya. Kini, ia diterima semua kalangan mahasiswa. Di dalam kampus pun, kedainya disinggahi banyak pengajar bergelar profesor. Malah, ia pernah diminta Prof Sarlito (alm) untuk membawakan materi dalam diskusi di Fakultas Psikologi UI. Bayangkan, ia menguliahi para cendekia di universitas terbaik Indonesia. Namun buah termanis yang dipanennya adalah pengetahuan serta persahabatan dengan banyak kalangan. 

Kemarin, saya menghadiri diskusi di Cak Tarno. Saya pun singgah melihat-lihat buku di lapaknya. Buku paling tebal adalah Sejarah Estetika yang ditulis Martin Suryajaya, anak muda cemerlang yang amat produktif. Lama melihat-lihat, saya memutuskan untuk membeli buku sastra Raden Mandasia yang ditulis Yusi Avianto Pareanom. Saat hendak pamit, kembali dia bertanya, “Kapan bisa bawa materi di diskusi sabtuan?”

Gak ah. Biar saya jadi peserta aja.



Bogor, 26 Februari 2017

Kembalinya Abraham SAMAD

Abraham Samad


TAHUN 2019 masih jauh. Genderang pemilihan presiden dan wakil presiden belum ditabuh. Tapi orang-orang mulai menyiapkan mesin untuk memasuki sirkuit pemilihan pemimpin Indonesia. Banyak strategi telah dihampar. Banyak pula nama yang mulai disorot lalu didekati, kemudian diberi iming-iming. Satu nama yang sekarang ini menjadi sorotan adalah Abraham Samad.

Semalam, saya berdiskusi dengan seorang pengurus teras partai politik. Ia terang-terangan bercerita tentang betapa Abraham menjadi incaran banyak partai politik. Kawan itu membahas bahwa Jokowi masih ingin berpasangan dengan Abraham. Dalam pilpres lalu, Jokowi memang menginginkan Abraham, namun keinginan itu ditepis oleh kubu Megawati yang menginginkan Kalla. Kini, keinginan itu kembali bersemi.

Nama Abraham juga disebut-sebut oleh kubu Prabowo. Kubu Prabowo sejak pilpres lalu memang menginginkan Abraham. Dengan mudahnya kita menemukan gambar kampanye Prabowo berpasangan dengan Abraham saat pilpres lalu. Keinginan itu nyaris bersambut, sebelum akhirnya dikunci oleh partai merah. Abraham pun ikut menjalankan agenda Koalisi Indonesia Hebat melalui pemberian label tersangka pada Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP.

Di kalangan para pelaku politik, Abraham adalah nama yang masih menjadi magnit kuat. Nama ini identik dengan keberanian dalam menerabas korupsi. Publik masih menganggapnya bersih. Publik masih menganggapnya dizalimi saat dirinya berada di pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Abraham dianggap sengaja digergaji pemerintah berkuasa dengan menggunakan isu murahan yakni administrasi kependudukan, memasukkan seseorang dalam kartu keluarga. Padahal, lelaki ini tengah mendorong penanganan kasus korupsi yang nilainya miliaran.

Kini, Abraham juga mulai memanaskan mesinnya. Ia memang tidak muncul di banyak media mainstream. Tapi ia mulai rajin berkeliling kampus-kampus untuk memberikan kuliah umum. Kehadirannya tidak diliput media, akan tetapi banyak orang yang mengunggah fotonya di media sosial. Soerang teman pernah mengunggah fotonya saat menunggu kereta di Stasiun Gambir. Bayangkan, soerang mantan Ketua KPK yang menangani banyak kasus korupsi, ke mana-mana dengan kereta, sebagaimana warga biasa lainnya.

Jika hendak dilihat dari sisi politik, gebrakan Abraham itu terbilang senyap, tak terdeteksi. Tapi secara perlahan mulai mendapat tempat di hati banyak orang. Entah, apakah kehadirannya itu memang sengaja didesain, namun ia telah menampilkan satu kata kunci dalam marketing yakni positioning sebagai warga biasa, setelah sebelumnya menjadi warga yang penuh power. Ia berhasil menampilkan sosok yang tidak baper, melainkan sosok hebat yang teraniaya.

Kekuatan Abraham bisa dilihat dari tiga argumentasi ini. Pertama, Abraham adalah representasi kawasan luar Jawa. Bagaimanapun juga, pemiihan presiden dan wakil presiden seyogyanya mempertimbangkan komposisi Jawa dan luar Jawa. Nah, setelah era Jusuf Kalla yang menjadi representasi luar Jawa dan kawasan timur, belum ada satupun tokoh yang bisa menjadi ikon itu. Abraham bisa mengisi celah luar Jawa dan wakil timur itu.

Kedua, publik suka dengan hal baru. Mereka suka perubahan. Mereka suka dengan sosok muda yang berintegritas. Sebagaimana publik menyukai Jokowi sebagai sosok baru yang punya reputasi, Abraham pun punya potensi untuk disukai karena reputasi dan rekam jejak hebat. Abraham masih identik dengan pejuang anti-korupsi. Dia pun punya kemampuan artikulasi yang baik dalam meyakinkan banyak kalangan. Jika kemampuan itu dikemas dalam satu irama kerja-kerja politik, hasilnya akan dahsyat.

Ketiga, Abraham juga bisa menjadi representasi Islam. Ia mantan aktivis HMI. Ia sering menampilkan dirinya sebagai sosok yang Islami. Publik masih ingat, saat pemberian status tersangka kepada Miranda Gultom, Abraham menggelar jumpa pers dengan memakai peci putih, sebagaimana lazim dikenakan orang yang baru saja melaksanakan salat. Rekam jejaknya juga identik dengan kelompok yang sering mengatasnamakan Islam. Ia pernah menjadi pengacara Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) Sulsel. Kawan dekat Abdul Azis Qahhar Mudzakkar, bahkan pernah menjadi pengacara Agus Dwikarna, sosok yang sempat diduga terlibat teroris di Filipina.

Dengan berbagai fakta-fakta di atas, wajar saja jika Abraham kini menjadi magnet. Hanya saja, ada beberapa ganjalan dengan majunya sosok Abraham. Di antaranya adalah gesekan dengan kelompok Jusuf Kalla yang tidak begitu memberi ruang baginya. Ia juga tidak begitu disukai di Makassar sejak kasus korupsi yang melibatkan nama Walikota Makassar Ilham Arief Siradjuddin muncul di permukaan. Belum lagi isu-isu perempuan yang sering ditujukan padanya di media sosial. Ada pula yang bercerita bahwa Abraham didukung taipan. Kemungkinan kasus-kasus dan gosip tentangnya akan kembali bermunculan. Beredar pula informasi bahwa Abraham tidak sehebat Bambang Widjojanto selama di KPK, hanya saja Abraham yang kemudian sering tampil ke publik.

Dunia politik memang penuh onak dan duri. Siapapun yang memasukinya mesti siap untuk menghadapi seliweran isu. Jika Abraham hendak memasukinya, dia mesti siap meniti di antara duri-duri dan ranjau yang ditebar untuknya. Kematangannya akan ditentukan pada sejauh mana ia meniti. Yang pasti, namanya masih kuat tertanam di benak publik sebagai figur anti-korupsi.

Di akhir pembicaraan, kawan itu berbisik bahwa dalam waktu dekat akan ada pertemuan antara salah satu calon presiden dengan Abraham di makam Soeharto. Pembicaraan itu akan membahas berpasangannya mereka di arena pilpres mendatang. Benar atau tidak informasi itu, saya memilih untuk diam dan tidak menanggapinya. Dalam hati saya berujar, "Selamat datang Abraham."


Bogor, 25 Februari 2017





Pelayaran Orang Australia di Tanah Buton

sejumlah perahu yang sandar di Pelabuhan Baubau

BERITA paling membahagiakan minggu ini adalah peluncuran terjemahan buku berjudul The Voyage to Marege yang ditulis Campbell McKnight pada tahun 1976. Buku ini mengisahkan pelayaran orang Makassar yang berlayar menuju tanah Marege (Australia) di abad ke-17. 

Orang Makassar ini bukan saja amat berani sebab menempuh perjalanan untuk menantang samudera, tapi juga menjalin relasi dengan orang Aborigin, membentuk kebudayaan, mencipta kata dan tradisi, lalu jejak-jejak phinisi itu digurat dalam gua-gua di Australia bagian utara.

Saya sungguh penasaran untuk membaca buku ini. Dalam salah satu blognya, seorang kawan berkisah buku itu sedemikian detail menyajikan fakta, rute perjalanan, sketsa, bahasa, budaya hingga lukisan gua. Semoga saja buku ini menjadi awal dari banyak buku-buku bertema maritim di negeri ini. Bukankah pemerintah kita memulai kerja dengan menyebutkan bahwa “kita terlalu lama memunggungi lautan?”

Kali ini, saya tidak sedang membahas buku McKnight. Saya ingin berkisah tentang bagaimana orang Australia yang datang jauh-jauh untuk menelusuri jejak para pelaut di tanah Buton, Sulawesi Tenggara, lalu berusaha untuk memahami bagaimana napas dan tradisi kelautan yang punya relasi kuat dengan masyarakatnya.

Lelaki itu bernama Michael Southon. Secara fisik, saya belum pernah dengannya. Saya pernah beberapa kali berkorespondensi melalui email. Saya membaca namanya tertera pada sampul buku The Navel of the Perahu yang ditulisnya tahun 1995. 

Buku ini adalah disertasi Southon di Australia National University, salah satu universitas terbaik di dunia. Demi keperluan disertasi itu, Southon datang ke Pulau Buton, lalu tinggal selama beberapa waktu di Lande, wilayah Buton Selatan.

Southon menempuh jalan berbeda dengan McKnight. Jika McKnight menelusuri jejak orang Makassar di Australia, maka Southon mengikuti orang Buton yang berlayar ke Australia, lalu memutuskan untuk menelusuri jejak mereka hingga ke tanah Buton. 

Dalam satu percakapan melalui email, Southon bercerita kalau dirinya ingin tahu mengapa para nelayan Buton jauh-jauh pergi ke Australia, apakah gerangan misi yang hendak ditunaikan, dan apakah kepergian itu terkait dengan kondisi sosial ekonomi mereka. Ia menelusuri kampung nelayan, bergaul dengan para nelayan, ikut berlayar, lalu menuliskan narasinya dalam satu buku yang memikat.

Buku The Navel of the Perahu menjadi monografi yang menarik. Para penjelajah dan pelaut Buton menggunakan perahu jenis lambo yang bisa dilihat sebagai metafor atas dialog-dalog masyarakat Buton dan semesta yang dihadapinya. Perahu itu adalah lambang dari filosofi kehidupan, serta bagaimana pandangan atas masyarakat dan negara. 

Kata Southon, orang Buton selalu menggunakan perahu sebagai metafor untuk menjelaskan banyak hal. Misalnya, untuk menyebut sahabat atau teman dekat, orang Buton akan menggunakan kosa kata “sabangka” yang dalam bahasa Wolio bermakna seperahu. 

Untuk menjelaskan sistem kesultanan, mereka juga menggunakan istilah perahu dengan empat cadiknya. Jika hendak ditelusuri dalam syair, terdapat banyak contoh yang bisa didedahkan demi memahami betapa perahu dan lautan adalah jantung bagi kebudayaan Buton.

Setiap buku riset selalu saja menyajikan perjalanan pemikiran dari penulisnya. Saya selalu menyukai bagian awal dan bagian akhir dari buku bertema riset. Pada bagian awal, peneliti akan mengurai mengapa tertarik pada topik tertentu, dan pada bagian akhir seringkali kita menemukan bagaimana peneliti berbelok dan lebih tertarik pada topik lain, sehingga kegiatan riset menajdi perjalanan yang berkelok. Itu hal lumrah.

sampul buku yang ditulis Michael Southon

Pada mulanya, Southon ingin tahu bagaimana ekonomi maritim di desa. Ia fokus pada strategi ekonomi yang hendak digapai oleh para pemilik perahu, nakhoda, dan anak buah kapal sebagaimana mereka menunjukkan parameter ekonomi lokal. Namun dalam perjalananya, ia tertarik untuk melihat bagaimana hubungan simbolik antara perahu dan rumah bisa membawa pada pemahaman tentang kelembagaan sosial dan ritual di tingkat desa.

Buku The Navel of the Perahu ini terdiri atas dua bahagian. Pertama, Southon menyajikan data demografi dan ekonomi desa, yang di dalamnya terdapat para pemilik perahu. Ia menunjukkan pola-pola kompleks antara perahu dan perdagangan sebagaimana peran para pemilik perahu yang menjadikan perahunya sebagai pemuat kargo dan transportasi di antara berbagai pelabuhan di kawasan timur nusantara. Kedua, ia menyajikan refleksi atas pemahaman selama kunjungannya di desa-desa nelayan. Ia menjelaskan dimensi simbolik yang kuat atas ekonomi perahu.

Saya suka penjelasannya tentang hubungan antara manusia Buton dan perahunya seperti hubungan antara suami dan istri. Perahu itu dibuat dari kayu terbaik, dirawat dengan segala ritual, dkerjakan dengan penuh cinta. Setiap bagian perahu memiliki makna simbolik yang menarik untuk ditelusuri. Belu lagi ritual dalam menyelesaikan setiap bagian perahu. Tentang ritual ini, saya menemukan deskripsi yang lebih lengkap dalam buku Tony Rudyansjah berjudul Kesepatan Tanah Wolio.

Southon menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang ritual di sekitar pembuatan kapal menjadi sumber status di dalam desa, memberdayakan mereka yang mendemonstrasikan pengetahuan itu. Para pembuat perahu, nakhoda, dan penjelajah menempati posisi khusus dalam pengorganisasian masyarakat. Mereka juga harus memiliki kecakapan dan kesaktian tertentu untuk bisa membawa perahu berlayar hingga negeri jauh di Australia sana.

Dalam salah satu review yang dimuat di Journal of Royal Anthropological Institute pada September 1996, antropolog Gene Ammarell (penulis buku Navigasi Bugis) mengatakan bahwa temuan-temuan Southon ini terasa familiar bagi para pengkaji Asia Tenggara, khususnya topik-topik mengenai maritim. 

Namun, sebagaimana dicatat Ammarell, karya Southon ini terbilang unik dikarenakan dua hal. Pertama, Southon menjelaskan banyak pemahaman yang unik atas dinamika masyarakat pelaut, sebagaimana beberapa studi tentang Bugis dan mandar. Southon menyajikan dimensi ekonomi atas transaksi di lautan. 

Temuannya menampilkan bagaimana kontrak antara pemilik kapal ke nakhoda memiliki dimensi sosial yang kaya, serupa seorang anak yang hendak dinikahkan dan hendak menempuh hidup baru. Kedua, observasinya atas dinamika perahu itu menjadi jantung dari upaya memahami organisasi rumah, desa, dan masyarakat Buton di antara orang-orang maritim Asia Tenggara.

Saat memberi pengantar untuk buku ini, James J Fox menyatakan buku ini tidak hanya menjadi catatan etnografis yang lengkap mengenai masyarakat Buton sebagai masyarakat maritim, tapi juga juga memosisikan masyarakat Buton, juga masyarakat Bugis dan Makassar, sebagai partisipan penting dalam “enterpreneurial explosion" atas perdagangan melalui pelayaran skala kecil di kawasan timur Indonesia.

Sebagai orang Buton, saya beruntung bisa membaca buku menarik ini. Di tangan para peneliti dan ilmuwan seperti Michael Southon, hal-hal yang nampak bisa menjadi berlian yang begitu bernilai. Riset tak hanya menyajikan temuan-temuan dan fakta, tapi juga menjadi pelayaran yang mengasyikkan untuk menelusuri kekayaan tradisi di masyarakat kita, menjadi jalan buat kita untuk menyelami dan memahami budaya, lalu menemukan banyak mutiara berkilauan di situ.

Sayang, buku ini hanya terbit dalam bahasa Inggris. Belum ada yang berniat menerjemahkannya. Atau haruskah saya yang menerjemahkannya agar bisa dinikmati masyarakat Buton dan semua yang tertarik tentang maritim?


Kendari, 21 Februari 2017



 BACA JUGA: