Catatan tentang keindahan, kesunyian, dan perjalanan
Setiap perjalanan selalu dimulai dari satu langkah kaki
Kenangan di Pulau Buton
Di sinilah saya memulai perjalanan, sekaligus menjadi tempat kembali
Menghitung Hari di Athens, Ohio
Amerika Serikat adalah negeri tempat saya menemukan diri
Keluarga Kecilku
Mata air yang memancarkan kasih sayang.
Belajar Menyerap Hikmah
Semoga catatan-catatan di blog ini bisa menginspirasi
Saat Habib RIZIEQ Gantikan PRABOWO
PENULIS Simon Philpott dalam buku Meruntuhkan
Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme mengatakan: dunia
politik Indonesia laksana kuburan bagi para pengamat dan ilmuwan yang tekun
mengamatinya. Banyak asumsi dan prediksi yang kemudian tidak terbukti
realitasnya. Banyak pula hal-hal baru yang tiba-tiba memotong di tengah jalan,
lalu mengambil alih kendali wacana politik.
Pendapat Philpott sangat tepat untuk
memotret dinamika kekinian. Lima tahun silam, adakah yang bisa memperkirakan
Joko Widodo, yang menjabat sebagai walikota Solo, lalu menjadi Gubernur DKI,
kemudian sukses menjadi Presiden Indonesia? Kini, kita juga bisa mengajukan
pertanyaan lain. Adakah yang pernah memprediksi bahwa Habieb Rizieq akan
menjadi tokoh oposisi nomor satu, yang menenggelamkan semua tokoh lain,
termasuk Prabowo Subianto?
Politik kita berjalan laksana pendulum yang
sukar ditebak ke mana arahnya. Para politisi ibarat berjalan di atas lintasan
yang dengan segera bisa berbalik arah tanpa ada aba-aba pendahuluan. Politik
kita bergerak zig-zag, dengan pola yang kerap sukar diprediksi.
Tiga tahun lalu, seusai pemilihan presiden,
politik Indonesia terbelah dalam dua kubu yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH sukses menaikkan Jokowi sebagai presiden
dalam ajang pemilihan presiden yang paling seru. Tokoh-tokoh politik KIH
mengambil risiko dengan mendorong Jokowi, figur baru yang dianggap belum banyak
pengalaman di ajang politik paling besar negeri ini.
Sebaliknya, KMP berkomitmen untuk menjadi
pengimbang di pemerintahan. Meskipun gagal menaikkan figurnya Prabowo Subianto
ke tampuk kekuasaan, KMP tumbuh menjadi kekuatan politik baru. Komitmen antar
partai dibangun untuk tujuan jangka panjang. Mulanya, kekuatan politik ini
diyakini akan sukses menjadi pengimbang, bahkan diyakini bisa menjatuhkan
Presiden Jokowi. Modal politiknya adalah posisi pimpinan di parlemen, termasuk
pimpinan komisi.
Seiring waktu, KMP ibarat mobil balap yang
kehabisan bensin. Rezim Jokowi bergerak lebih cepat. Satu demi satu pendukung
KMP menarik diri lalu bergabung dengan pemerintah. Rezim ini tahu persis
bagaimana menjinakkan mereka yang berseberangan. Rezim ini bisa memetakan apa
yang harus dtawarkan, lalu bagaimana menyiapkan satu palagan yang telah
terkunci di mana-mana. Satu demi satu kekuatan oposisi digerogoti hingga
akhirnya membuat KMP bubar perlahan-lahan.
Puncaknya adalah Prabowo Subianto, yang
tadinya dianggap sebagai sosok kunci yang bisa menjadi juru selamat Indonesia,
sosok yang dianggap seagai ksatria dan dirigen bagi irama pergerakan KMP,
perlahan suaranya melempem. Sorak-sorai pendukung yang menahbiskan dirinya
sebagai macan asia tiba-tiba saja kehilangan auman saat Presiden Jokowi menemui
Prabowo dan mengajaknya berdamai. Dengan membawa tema-tema kebangsaan dan
keindonesiaan, Jokowi dan Prabowo lalu saling membangun simpul dan menyatakan
sikap bersama-sama. Tak ada lagi istilah oposisi
***
POLITIK kita juga menyimpan dua lain
realitas yakni dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas yang dimaksudkan adalah
dunia yang dihuni para politisi, yang saling berkontestasi di ruang-ruang
parlemen, kebijakan, maupun lembaga politik. Inilah dunianya para politisi yang
saling sikut, namun bisa berada dalam satu gelak tawa dan canda riang sembari
mengamati tayangan media massa. Di dunia atas, para politisi bisa saling
mengucapkan ikrar damai dan menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Namun
tidak dengan dunia bawah.
Sejak era reformasi, dunia bawah selalu
hiruk-pikuk, penuh kegaduhan, dan penuh konflik. Dunia bawah yang dimaksudkan
adalah dunianya rakyat biasa, suporter, pendukung, publik, massa, ataupun para
suporter. Jika di era sebelumnya, publik hanya menjadi obyek yang menjadi
sasaran, maka pasca-reformasi, mereka adalah bagian penting dari perpolitikan
kita.
Nah, dalam konteks politik kita hari ini,
massa pendukung KMP yang dahulu berkiblat pada Prabowo Subianto, ibarat anak
ayam kehilangan induk. Di masa pilpres, mereka terlibat dalam berbagai tengkar
dan debat di dunia maya, maupun dunia nyata demi membela Prabowo dan
menjatuhkan Jokowi. Dalam bayangan mereka, semua yang dilakukan Jokowi pasti
salah sehingga harus dikrtik, dipertanyakan, lalu digugat.
Seusai pilres, mereka membayangkan Prabowo
akan tetap memimpin sikap kaum oposisi yang ingin melihat pemerintahan lebih
baik. Para pendukungnya tidak menyadari bahwa Prabowo Subianto jauh lebih bijak
ketimbang mereka yang hanya bisa melihat celah dari rezim. Prabowo melihat
kepentingan yang lebih besar yakni bagaimana menjaga marwah pemerintahan ini
tetap tegak, sembari menyiapkan kekuatan perlahan-lahan untuk maju dalam arena
politik selanjutnya.
Para pendukung yang kecewa ini ibarat air
yang lalu mencari kanal-kanal baru untuk bergerak. Saat mereka menyaksikan
pendukung Jokowi beramai-ramai mendukung Ahok, mereka lalu mencari kubu yang
menjadi anti-tesis Ahok. Sejak Ahok menyatakan maju dalam pilkada, segala
argumentasi telah ditebar untuk menjatuhkannya.
Puncaknya adalah muncul isu penistaan
agama, yang dimulai dari postingan Buni Yani. Indonesia seolah masuk dalam
pusaran konflik. Berbagai demonstrasi mulai hadir hingga mengumpulkan massa
yang besar. Dalam aksi-aksi besar yang terorganisir rapi ini, para pendukung
Prabowo lalu mencari figur lain yang bisa menjadi tokoh perekat. Di titik ini,
Prabowo tidak bisa menjadi sosok pahlawan dari mereka yang menginginkan ada
kecaman dan palu goam kepada pemerintah. Mereka membutuhkan sosok lain yang
berani tampil garang kepada pemerintah.
Mereka membutuhkan sosok Habieb Rizieq,
yang dalam rezim sebelumnya justru tak pernah tersorot kamera, tiba-tiba
menjadi pemimpin dari kekuatan besar. Rizieq menjadi simpul dari berbagai
kekuatan yang mengatasnamakan Islam lalu membangun sikap berseberangan dengan
pemerintah.
Rizieq ibarat penyambung lidah bagi mereka
yang hendak beroposisi.
***
BARANGKALI, Majalah Tempo yang pertama
menulis bahwa kebanyakan pendukung Rizieq dan pengecam Ahok adalah mereka yang
dahulu menjadi pendukung Prabowo. Memang, ada juga yang mengecam Ahok karena
isu agama, namun riset SMRC menunjukkan bahwa 80 persen masyarakat justru tidak
tahu secara persis apa yang diucapkan Ahok hingga dianggap menistakan agama.
Dengan kata lain, kebanyakan para pendukung Rizieq bergerak karena mobilisasi
serta pengendalian wacana yang dilakukan melalui media sosial.
Rizieq menjadi ikon baru dari keberanian
menentang pemerintah. Para pengkaji politik harus memasukkan Rizieq sebagai
sosok penting dan ikon pergerakan Islam di abad ke-21. Dari sisi politik,
Rizieq mendapat limpahan pendukung yang semakin besar, yang merasa tidak bisa
lagi menyalurkan aspirasinya kepada Prabowo. Dengan kemampuannya menyitir pesan
keagamaan, Rizieq menjadi simpul dari gerakan massa berbasis agama yang sempat
menjadi pengendali wacana di berbagai media. Kekuatan Rizieq adalah dukungan
besar yang didapatnya dengan modal kutap-kutip pesan agama, demi memuluskan
beberapa tujuannya.
Dia memainkan kartu oposisi, yang dahulu
sukses dimainkan Gus Dur pada masa Orde Baru. Namun, apakah Rizieq akan
sesukses Gus Dur hingga melesat ke kursi nomor satu negeri ini? Tunggu dulu.
Saya percaya bahwa dunia atas dan dunia
bawah politik kita punya langgam budaya berbeda. Gudykunst (1992) membagi
komunikasi dalam konteks tinggi dan konteks rendah. Konteks tinggi adalah
budaya komunikasi yang cenderung hati-hati, penuh kata-kata bersayap, serta
nampak damai dan aman, namun menyisipkan banyak seknario di belakangnya.
Sedangkan konteks rendah adalah bicara terbuka, lepas, tanpa harus menutupi
sesuatu. Konteks rendah menuntut seseorang untuk menyampaikan maksud secara
terbuka, termasuk emosi, dan kemarahan.
Sejauh yang saya lihat, domain dan
pengalaman Rizieq berada dalam konteks rendah. Ia bisa garang saat pidato, saat
menggerebek diskotik, hingga saat mengeluarkan kecaman dan makian. Namun ia
akan serba gagap saat memasuki dunia konteks tinggi, di mana dibutuhkan
kemampuan diplomasi, membangun jejaring, lalu menjebak semua lawan politik dengan
cara yang elegan. Saat diajak masuk dalam budaya yang penuh dengan argumentasi
dan silang argumen, ia bisa mengalami shock culture sebab
selama ini dirinya adalah karakter orator jalanan yang terbiasa berbicara
terbuka, tanpa ada sensor.
Boleh jadi, dorongan untuk memasuki
konteks tinggi itulah yang membuat dirinya penuh dengan celah untuk dijerat
hukum. Di dalam dunia konteks rendah yang selama ini dijalaninya, mengecam dan
memaki saat aksi adalah hal yang biasa dan lumrah-lumrah saja. Dia bisa saja memerkarakan
orang lain atas tuduhan bicara kasar namun hukum ibarat bumerang yang akan
berbalik menghantam dirinya. Sebab dirinya juga sosok yang bicara terbuka,
tanpa sensor, tanpa etika. Namun dalam dunia konteks tinggi, dia akan
berhadapan dengan argumentasi, debat, serta sanggahan. Dia harus bersiap
menghadapi pengadilan sebagai medium untuk berdebat dan saling pembuktian. Di
titik ini, ia penuh celah dan lubang sana-sini.
Seberapa kuat Rizieq bertahan dari
bumerang hukum? Waktu yang akan menjawab semuanya. Setidaknya dia masih punya
kekuatan yakni mentransformasi dirinya sebagai representasi Islam. Dengan cara
demikian, banyak yang rela menjadi martir untuknya. Yang pasti, kita
menyaksikan Habib Rizieq yang tadinya berada di tepian arus politik, kini berada
di tengah-tengah. Bahkan ia telah menenggelamkan para oposisi lain, termasuk
Prabowo.
23 Januari 2017
Retorika Penjual Obat di Masjid Belopa
![]() |
beberapa peraga yang digunakan penjual obat |
GERIMIS baru saja turun seusai salat Jumat
di Masjid Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan. Saat keluar dari masjid, saya
menyaksikan banyak jamaah berkerumun di dekat tempat wudhu. Saya pun singgah
melihat-lihat apa yang membuat orang berkerumun. Ternyata, di situ ada para penjual
obat sedang beratraksi. Mereka mengeluarkan retorika dengan teknik memukau. Mereka
berkisah tentang perjalanan mereka ke belantara, pengetahuannya tentang
berbagai jenis penyakit, hingga khasiat obatnya yang bisa mengatasi berbagai
penyakit.
Buat mereka yang suka piknik ke desa-desa
dan kota kecil Indonesia, penjual obat adalah mereka yang bisa ditemukan di
pasar-pasar. Seringkali mereka berlagak serupa pemain sirkus yang sedang
memamerkan permainan sulap atau akrobat. Mereka menampilkan atraksi sebelum
menggelar dagangan. Berkat atraksi itu massa lalu menyemut dan mengelilinginya.
Penjual obat pertama yang saya saksikan
memakai pakaian khas papua. Ia tak berbaju, melainkan rok berupa alang-alang.
Kalungnya berupa gigi-gigi hewan yang panjang. Ia memakai hiasan kepala ala
Papua. Saya menyaksikan koteka yang tersampir di pinggangnya. Saya bisa melihat
beberapa tato unik di bahunya. Di hadapannya, ia meletakkan berbagai kliping
berita tentang khasiat obat dari tanah Papua. Beberapa benda aneh juga
dipamerkannya.
Beliau tidak memakai pelantang suara sebab
suaranya menggelegar dan terdengar hingga jauh. Ia berretorika dalam banyak
bahasa. Ia menggunakan bahasa Luwu, bahasa utama yang digunakan di Belopa, lalu
bahasa Bugis, hingga bahasa Indonesia. Biarpun demikian, sebagai pendatang di
situ, saya bisa memahami jelas apa yang dimaksudkannya.
Bapak ini menjual cairan lintah, yang
diklaimnya bisa mengatasi impotensi dan meningkatkan vitalitas laki-laki.
Dengan retorika selangit, serta menampilkan atraksi ala ngebor, ia menyebut
bahwa khasiat obatnya akan bisa membuat seseorang lengkap sebagai Don Juan,
Cassanova, dan playboy yang akan membahagiakan semua perempuan di ranjang.
Khasiat obatnya bukan dirasakan laki-laki, sebagai consumer, melainkan
dirasakan perempuan sebagai pihak yang merasakan manfaat.
“Kalau kamu pakai obat ini, saya jamin
punyamu akan berdiri keras dan kuat. Kalau tidak percaya, minum obat ini,
setelah itu tunggu setengah jam. Punyamu akan berdiri keras, trus gantungkan
dua butir kelapa di situ. Saya jamin punyamu tidak akan jatuh,” katanya. Saya
tersenyum-senyum saat membayangkan apa yang dikatakannya. Mana ada sih orang
yang saat itunya lagi “bangun” tiba-tiba mau saja menggantungkan dua butir
kelapa.
![]() |
penjual obat berkostum ala Papua |
Penjual obat ini menyebut berbagai bonus
yang bisa diberikannya bagi pembeli obatnya. Rupanya di sini berlaku pula promosi
“You buy one, you get two” sebagaimana lazim kita mendapatkannya di
supermarket. Bonus yang diberikannya adalah benda yang juga punyakhasiat
meningkatkan kelelakian. Ia menyebut “kayu ular”, semacam kulit kayu asal papua
yang digigit-gigit saat laki-laki melakukan hubungan seksual. Kayu ini akan
meningkatkan vitalitas. Bonus lain adalah buluh perindu, juga merupakan obat
pusaka asal Kalimantan yang meningkatkan stamina. Lainnya adalah belut yang
sudah dikeringkan. Khasiatnya juga sama.
Seusai menyaksikan bapak yang berbaju
tradisional Papua itu, saya pindah ke penjual lainnya. Masih dengan retorika
yang sama, penjual ini punya positioning berbeda. Ia menampilkan dirinya
sebagai seorang ustad yang fasih mengutip hadis-hadis dan ayat-ayat kitab suci.
Ia menyebut banyak hadis tentang kesehatan. Setelah itu, pelan-pelan ia
mengaitkan hidup sehat ala Rasulullah itu dengan obat yang dibawanya. Obat yang
dibawanya adalah jenis herbal yang diyakini bisa menembuhkan begitu banyak
penyakit. Saya terheran-heran melihat daftar banyaknya penyakit yang bisa
disembuhkan berkat obatnya. Jika obatnya benar berkhasiat, pastilah semua
rumah sakit, klinik, dan pusat kesehatan akan tutup.
Kepada sahabat Idham Adhiatmaja yang
menemani, saya berbisik, “Tahu bedanya dokter dan penjual obat?” Idham
menggeleng. Saya lalu menjawab, “Kalau dokter, satu penyakit akan diatasi
dengan banyak obat. Tapi penjual obat, semua penyakit hanya diatasi dengan satu
obat.” Idham tertawa ngakak.
Saya masih tertarik dengan bapak
berpenampilan ustad ini. Rupanya ia mengajak beberapa orang untuk menbaui aroma
obatnya. Setelah itu ia akan berseru, “Bapak sekalian baru saja merasakan
bagaimana aroma surga. Seperti itulah nikmatnya kekuatan penyembuhan dari
Allah.” Saya tersenyum lalu meninggalkan arena itu.
Tapi sebelum pergi, saya tersentak saat
membaca namanya di spanduk: La Ode Akbar Parigi Ternyata dia berasal dari Buton,
kampung halaman saya. Hah?
***
BEBERAPA kali saya menulis tentang para
penjual obat ini. Di mata saya, keberadaan mereka dipengaruhi oleh banyak
faktor, mulai dari mahalnya biaya rumah sakit, semakin berjaraknya pelayanan
kesehatan ke masyarakat bawah, kalkulasi biaya yang murah jika membeli obat ke
penjualnya, kemudahan akses masyarakat untuk menjangkau penjual obat, hingga
kekuatan sugesti yang ditiupkan oleh para penjual obat ke benak para
penontonnya.
Saya teringat pada catatan sosiolog Daniel
Bell, mengenai modernitas yang kerap diiringi irasionalitas. Semakin kita
modern, maka semakin banyak hal irasional. Di dunia yang serba rasional,
terukur, dan dilandasi pencerahan ini, keputusan-keputusan manusia seringkali
susah dijelaskan dengan kata-kata. Makanya, kiprah para ahli retorika, para
ideolog, dan para juru kampanye masih efektif dalam menyuntikkan apa yang
disebut kebenaran di benak kita. Di titik ini kita bisa melihat kemampuan
kampanye para penjual obat.
Kekuatan para penjual obat bukan sekadar
atraksi, tapi pada kemampuan retorika yang bisa membuai semua orang. Sang
penjual akan memegang pengeras suara lalu mengoceh sepanjang pertunjukan itu.
Dia bisa mengklaim dirinya sebagai ahli segala hal. Ketika dia bicara, semua
orang akan percaya kalau dirinya adalah kombinasi dari beberapa profesi
sekaligus, mulai dari ahli pengobatan, sosok sakti mandraguna, hingga sebagai
sosok welas-asih yang hendak membantu orang banyak.
Kita mungkin menyebutnya pembual. Tapi di
lingkaran di mana penjual obat beratraksi, sabdanya selalu diamini semua
penonton. Kekuatan kampanyenya terlihat saat penonton merogoh kocek dan
mengeluarkan pundi-pundinya demi sang penjual obat. Keberhasilannya terlihat
pada seberapa banyak orang yang percaya padanya, meskipun boleh jadi ia sedang
membual.
Tunggu dulu, apakah ia membual? Entahlah.
Sebagai orang kota yang modern, mungkin kita melabelnya sebagai pembual,
kampungan, atau irasional. Tapi pernahkah anda melakukan refleksi dan
menyaksikan justru masyarakat kota yang paling banyak percaya pada bualan para
“penjual obat” yang berjubah sebagai politisi, calon gubernur, calon presiden,
hingga calon ketua RT?
Pernahkah kita bertanya pada diri, bahwa
dalam setahun kita menerima janji surga berupa kesejahteraan dari para “penjual
obat” berbaju politisi dan partai politik? Mulai tingkat presiden, provinsi,
kabupaten, hingga desa dan RT, kita menerima banyak janji-janji dan harapan
besar. Tapi sudahkah kita mengalkulasi seberapa banyak pengaruhnya bagi
kehidupan kita? Entahlah.
Di malam hari, saya masih menimang obat
yang dibeli di Masjid Belopa. Saya heran saja mengapa bisa percaya begitu saja.
Di layar televisi, saya menyaksikan debat calon gubernur. Jujur, saya lebih
menyukai retorika dari penjual obat yang saya saksikan tadi siang.
Belopa, Luwu, 14 Januari 2017
BACA JUGA:
Dari Tanjung Pinang Hingga Tanah Luwu
JIKA satu perjalanan menyimpan satu kepingan puzzle, maka perjalanan demi perjalanan akan menjadi upaya untuk menautkan banyak kepingan puzzle menjadi satu gambaran yang utuh. Dalam banyak kesempatan, saya merasakan perjalanan sebagai sesuatu yang terus bertumbuh. Pengetahuan kita tentang satu topik kian mendalam seiring dengan perjalanan, yang kemudian mempertemukan kita dengan banyak pengetahuan lain.
Dua tahun silam, saya berkunjung ke Tanjung Pinang, dan
menyaksikan jejak sejarah orang Bugis dari tanah Luwu yang datang dan berdiam
di tanah Melayu, lalu membangun kerajaan di Malaysia dan Singapura. Hari ini,
saya berkunjung ke tanah Luwu, tanah yang merupakan leluhur dari para raja di
negeri tetangga itu. Saya belajar untuk merunut ulang kisah-kisah mereka yang
memilih jadi perantau lalu membangun peradaban besar di banyak tempat.
Sekelebat tanya melintas di pikiran saya. Mengapa
orang-orang besar itu tak membangun peradaban hebat, berupa kerajaan besar dan
megah, di kampung halamannya sendiri? Mengapa mereka harus keluar dan tidak
menjelmakan ide-ide besarnya di tanah Luwu?
***
Hari itu, dua tahun silam.
DARI pompong atau perahu kecil yang saya tumpangi, Pulau
Penyengat tampak asri dipandang. Di tengah pulau itu, saya melihat warna kuning
keemasan berdiri kokoh. Batin saya tercekat. Entah kenapa, saya merasa seolah
pernah berada di sini. Kawan alfiandri berbisik kalau itulah Masjid Pulau
Penyengat. Masjid ini adalah saksi dan jejak dari banyak hal. Di antara yang
menggetarkan hati adalah masjid ini ibarat rumah bagi Raja Ali Haji, sosok
hebat di tanah Melayu, pahlawan yang menulis gurindam dan puisi tentang
kearifan, serta pejuang gigih yang hendak memerdekakan bangsanya.
Bersama sahabat Alfiandri dan Wayu, saya berkunjung ke Pulau
Penyengat. Saya ingin melihat langsung pulau yang dahulu menjadi sentrum dari
denyut nadi kebudayaan Melayu. Saya ingin berziarah ke makam Raja Ali Haji,
sesuatu yang saya yakini sebagai cara terbaik untuk mengenali dan menyerap
pelajaran dari seorang tokoh.
Di pulau itu, saya merenungi banyak hal tentang Raja Ali
Haji. Dari sekian banyak kisahnya yang mentereng, hati saya selalu saja basah
saat mengingat jejaknya di dunia syair. Ia adalah sufi yang menjadi pahlawan
nasional. Kitab yang ditulisnya mengenai bahasa menjadi patokan bagi para
peserta Kongres Pemuda saat merumuskan bahasa persatuan. Ia seorang penulis
yang produktif, sekaligus pejuang hebat dalam mengasah literasi bangsanya.
berpose di depan masjid Pulau Penyengat, Kepulauan Riau
Beberapa hari sebelumnya, saat pertama memasuki Kota Tanjung
Pinang, saya menyaksikan bagaimana syair yang dibuatnya digurat di banyak
lokasi. Pesan-pesannya yang dijejalkan dalam syair telah menjadi ikon dan
kebanggan kota itu. Raja Ali Haji adalah pengendali kata, yang bisa mengubah
kata-kata, dari sekadar sehimpunan bunyi, lalu menjadi kecipak sungai mengalir,
hingga menggelegar, menggedor, dan menggebrak kesadaran.
Lelaki yang lahir di Selangor, Malaysia, pada tahun 1808. Ia
adalah putra Raja Ahmad, yang dikenal sebagai Engku Haji Tua. Ia adalah cucu
Raja Haji Fi Sabilillah, yang merupakan saudara Raja Lumu, Sultan pertama di Selangor.
Raja Haji sendiri adalah putra Opu Daeng Cella', lelaki Bugis asal Tanah Luwu
yang pertama datang pada abad ke-18.
![]() |
di Masjid Pulau Penyengat |
Biarpun Raja Ali Haji adalah sosok besar di tanah Melayu, ia tak pernah melupakan tanah leluhurnya. Selain mengarang syair Gurindam Dua Belas yang tersohor itu, ia juga menulis kitab tentang silsilah Melayu dan Bugis demi mencari jati diri dan garis nenek moyangnya. Biarpun tak ada catatan sejarah perjalananya ke tanah Bugis, ia tetap memosisikan Bugis sebagai penanda identitasnya. Ia menulis kitab silsilah Bugis-Melayu, sebelum akhirnya membuat syair-syair yang menaikkan namanya.
Ia menjaga identitasnya sebagai orang Bugis di tanah Melayu.
***
“Kamu berasal dari mana?” Bapak berambut putih itu datang
menemui saya lalu menjabat tangan. Sepertinya, dia bisa mengenali saya sebagai
orang yang baru pertama berkunjung ke masjid itu. Saat saya menyebut berasal
dari Sulawesi, bapak itu tersenyum. Ia mengangguk, lalu merespon singkat,
“Saya juga dari Sulawesi. Saya dari Luwu,” katanya.
“Pernah ke Luwu?” tanya saya.
“Belum pernah. Kakek moyang saya Opu Daeng Cella, berasal
dari Luwu,” katanya.
Sahabat saya, Alfiandri, bercerita kalau bapak itu adalah
salah seorang keturunan langsung Raja Ali Haji. Pantas saja dirinya tetap
menyebut nama Opu Daeng Cella’, sosok yang merupakan kakek Raja Ali Haji. Tanpa
saya minta, bapak berambut putih itu lalu menjelaskan banyak hal tentang masjid
itu. Mulai dari makna empat pilar, makna syair, hingga beberapa puisi sufistik.
bersama keturunan Raja Ali Haji
Opu Daeng Cella’ adalah satu dari lima pangeran asal Luwu
yang hijrah dari kampung halamannya. Opu Daeng Cella lalu diangkat sebagai raja
muda di Riau, yang kemudian mewariskan tahtanya pada anaknya Raja Haji, ayah
dari Raja Ali Haji. Saudaranya yang lain adalah; Opu Daeng Parani, Opu Daeng
Marewa, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase. Kesemuanya memiliki riwayat
yang cukup masyhur, dan diangkat menjadi Sultan di Malaysia, Riau dan
Kalimantan Barat.
Masing-masing menempuh takdir berbeda. Opu Daeng Manambong
menjadi sultan di Mempawah, Kalimantan Barat. Opu Daeng Parani menikah dengan
puteri Raja Selangor, dan adik Raja Kedah. Ia adalah menantu Raja Selangor dan
adik ipar Raja Kedah. Opu Daeng Kamase dinobatkan menjadi raja Sambas di
Kalimantan Barat, dengan gelar pangeran Mangkubumi. Opu Daeng marewa sebelunya
adalah raja muda di Riau, yang kemudian digantikan Opu Daeng Cella.
Kelimanya masyhur dan mewariskan jejak hebat di negeri yang
dikunjunginya. Jika hari ini kita mendengar nama mereka, maka kita sedang
mendengar kisah diaspora yang tidak saja bertujuan untuk membangun kuasa, tapi
juga mewariskan jejak berharga di bumi manapun yang dikunjungi. Kita bisa
melihatnya pada sosok Raja Ali Haji yang mewariskan banyak hal baik, tak hanya
bagi tanah melayu, tapi juga Indonesia.
***
HARI ini, saya berada di Belopa, ibukota Kabupaten Luwu. Saya teringat banyak pengalaman saat di Pulau penyengat, kepulauan Riau. Saya membatin bahwa sejarah di banyak tempat di Malaysia, Riau, hingga Kalimantan, dimulai dari tanah ini. Namun, Luwu tidaklah semegah negeri-negeri yang dijelajahi para putra Luwu. Kini, Luwu adalah wilayah yang telah mekar menjadi beberapa wilayah, mulai dari Kota Palopo, Luwu, Luwu Timur, hingga Luwu Utara.
Pertanyaan yang menggelayut di benak adalah mengapa
orang-orang besar itu tak membangun peradaban hebat, berupa kerajaan besar dan
megah, di kampung halamannya sendiri? Mengapa mereka harus keluar dan tidak
menjelmakan ide-ide besarnya di tanah Luwu?
Saya menyimpan pertanyaan ini, lalu menanyakannya pada Bachrianto Bachtiar, seorang akademisi. Kata Bachrianto, Luwu adalah wilayah yang punya wiayah luas, dengan berbagai kekayaan. Katanya, semua etnik bisa ditemukan di Luwu dikarenakan banyaknya sumberdaya alam yang bisa menopang kesejahteraan.
“Kalaupun ada orang Luwu merantau, maka pastilah itu
disebabkan sesuatu yang prinsipil. Mereka memilih memegang prinsip itu,
mempertahankannya mati-matian. Kalau perlu, mereka siap binasa demi prinsip
yang dipegang erat itu,” katanya.
Saya merenungi penuturan Bachrianto. Sejarah hijrahnya orang Luwu ke Malaysia dan wilayah lain memang tak bisa lepas dari faktor politik. Hijrahnya lima bangsawan Luwu itu tak bisa dilepaskan dari faktor politik. Seusai Perang Makassar yang ditandai dengan lahirnya Perjanjian Bongaya di tahun 1669, banyak orang Bugis-Makassar yang merasa tercabik harga dirinya. Mereka merasa terhina sebab harus dipimpin oleh orang Belanda, yang telah mengalahkan mereka dalam perang dahsyat.
![]() |
bersama keturunan Raja Ali Haji |
Hijrahnya mereka ke banyak titik menjadi awal dari diaspora orang-orang Bugis Makassar yang lalu tersebar ke mana-mana. Di tanah yang baru, mereka menjadikan kecerdasan dan keahlian perangnya sebagai modal untuk menjadi pemimpin. Tak heran, banyak di antara mereka yang menjadi pemimpin sebab sukses memaksimalkan semua modal keahlian yang dimilikinya untuk menaikkan posisinya.
Sahabat saya, Helmy Ayuradi Mihardja, menjelaskan tentang
dinamika Bugis perantauan itu dengan cara meneropongnya dari sisi pandang
filsuf Pierre Bourdieu. Kata Helmy, modal budaya dan simbolik etnik Bugis
mempermudah mereka bertarung di arena sosial maupun di arena ekonomi.
Sebab, modal budaya dan simbolik telah menjadi habitus masyarakat Bugis, yang teguh memegang prinsip-prinsip kehidupan etnik Bugis termasuk prinsip siri’na passe. Prinsip Siri’ merujuk prinsip malu, yang meliputi malu hidup melarat di kampung orang lain dan malu mengambil hak orang lain. Mereka mengamalkan prinsip Passe, tidak tega melihat saudaranya hidup sengsara. Nilai-nilai passe mendorong orang-orang Bugis untuk saling bahu membahu dalam perbaikan nasib.
Di luar itu, orang Bugis punya strategi bertahan dengan memaksimalkan tiga ujung, yakni ujung lidah (cappa lila), ujung badik (cappa kawali), dan ujung kemaluan (cappa lasse). Ujung lidah adalah kemampuan diplomasi dan bersiasat. Ujung badik adlaah kemampuan tempur dan mengalahkan siapapun lawan. Ujung kemaluan adalah metafor dari prinsip akulturasi dengan budaya lain, yag ditempuh melalui perkawinan.
Filosofi tiga ujung ini pernah pula dipaparkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, yang merupakan keturunan Bugis. Ia memaparkan itu saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Hasanuddin. Najib meyebut filosofi tiga ujung ini sebagai daya-daya adaptasi dalam menghadapi ruang sosial baru.
Kita juga bisa menambahkannya dengan argumentasi tentang spirit rantau. Bahwa mereka yang merantau dibekali optimisme kuat untuk sukses agar kelak tidak membawa rasa malu saat kembali ke kampung halaman. Spirit ini menjadi kompas yang memandu sejauh manapun kaki perantau Bugis bergerak. Semangat rantau ini telah menggerakkan mereka untuk menjalin persahabatan dengan siapapun. Mereka bersahabat dengan siapapun, tapi bisa menyabung nyawa untuk hal-hal yang melanggar prinsip.
Di sini, di tanah Luwu, saya merenungi perantauan orang-orang Bugis di Luwu yang berkelana hingga jauh. Saya merenungi salah satu pasal dalam gurindam dua belas yang disusun Raja Ali Haji:
cahari olehmu akan sahabat
yang boleh dijadikan obat
cahari olehmu akan guru
yang boleh tahukan tiap seteru
cahari olehmu akan isteri
yang boleh menyerahkan diri
cahari olehmu akan kawan
pilih segala orang yang setiawan
cahari olehmu akan abdi
yang ada baik sedikit budi.
Belopa, 11 Januari 2017
BACA JUGA:
Subscribe to:
Posts (Atom)
Terpopuler Minggu Ini
-
Di Cina, mantan pemimpin lembaga pengawas anti-korupsi terpilih sebagai Wakil Presiden Cina dan mendampingi Xi Jinping. Apakah takdir yang...
-
poster film Victoria & Abdul SETELAH 130 tahun kisah yang disembunyikan itu, akhirnya dibuka ke publik. Ratu Victoria (1819-1901...
-
VALENTINE sudah kehilangan makna. Tak ada lagi mata air permenungan di situ. Tak peduli dari mana dan apa latar kisah ini, Valentine sudah ...
-
BUKU terbaru Hermawan Kertajaya berjudul Citizen 4.0 terasa seperti buku spiritual ketimbang buku mengenai marketing. Dalam bany...
-
PERNAH sekali saya menyaksikan tarian sakral Bedhaya Ketawang di Surakarta, beberapa tahun yang lalu. Sembilan orang penari perempuan ber...
-
Tinggal di satu kompleks yang banyak dihuni warga keturunan Tionghoa menyebabkan interaksi saya dengan mereka menjadi lebih intens. S...
-
ilustrasi SEBUT saja namanya Max (28). Ia adalah warga timur Indonesia, sebagaimana saya. Saya mengenalnya saat sama-sama menjadi mah...
-
poster film SETIAP kali mendengar judul buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, aku langsung terkenang pada seoran...
-
Prof Don Flournoy RUANGAN itu nampak sama dengan ruangan para profesor yang mengajar di program Media Studies. N...
-
SEBUAH pementasan berjudul Arung Palakka akan dilangsungkan di Taman Ismail Marzuki, beberapa hari mendatang. Tak banyak yang t...
