Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

17 Logika Keliru di Media Sosial


APAKAH anda suka berdebat di media sosial? Apakah anda suka saling serang dengan berbagai argumen di media ini? Saran saya, pilih-pilihlah dengan siapa anda hendak berdebat. Berdebatlah hanya dengan orang pandai. Apapun hasilnya, pasti akan membuat anda lebih pandai. 

Pikiran Anda akan lebih waras. Sebaliknya, berdebat dengan orang bodoh tidak akan pernah membuat anda lebih pandai. Malah, debat itu bisa berujung penghinaan pada diri anda.

Ulama besar Imam Syafi'i pernah berkata, “Aku mampu berhujjah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah faham landasan ilmu.” 

Rupanya, di abad lampau, ulama ini paham bahwa ada orang yang tak bisa dijadikan partner dalam berdiskusi, sebab landasan ilmunya tak memadai.

Di medsos seperti facebook, kita sering melihat banyak adu argumentasi dan perdebatan. Jauh lebih banyak perdebatan yang tidak akan pernah mencerahkan. Yang banyak adalah saling serang dan saling caci. Debat itu tidak produktif, sebab masing-masing pihak tidak saling mendengarkan. 

Nampaknya, banyak orang yang mengklaim orang lain sesat pikir, tapi sesungguhnya, dirinya yang sesat pikir. Banyak orang yang justru mengalami kesalahan berpikir dan mengira sesuatu sebagai benar. Padahal logikanya justru keliru.

Saya teringat kuliah-kuliah logika beberapa tahun silam. Dalam ilmu logika, terdapat banyak kesalahan berpikir yang kerap dialami orang-orang. Nah, marilah kita sama-sama mengindentifikasi beberapa kesalahan logika yang sering sekali kita temukan di media sosial. Marilah kita buat daftar sederhana. Saya hanya menuliskan ulang apa-apa yang sudah dibahas para ahli logika.

Pertama, ad hominem, yang berarti menyerang karakter atau kehidupan personal lawan untuk melumpuhkan argumennya. Nama panjangnya adalah argumentum ad hominem. Bentuknya adalah kita berhadapan dengan argumentasi, namun kita justru menyerang si pemberi argumentasi itu dengan hal-hal lain tentang pribadinya yang tak ada hubungannya dengan argumentasi itu.

Misalnya, Bob Dylan adalah musisi hebat. Kita lalu menyerang argumentasi itu dengan pernyataan bahwa “Bob Dylan kan seorang pemabuk, artinya musiknya tidak bagus.” Nah, jika kita berargumentasi seperti ini, kita telah mengalami kesalahan berpikir sebab kita menyerang hal negatif yang tak ada kaitannya dengan apa yang sedang dibahas. 

Di satu grup WhatsApp, seseorang mengirim link tulisan profesor bidang ekonomi. Seseorang teman lalu merespon. “Saya gak percaya profesor ini. Saya tidak suka sikapnya yang mendukung pemerintah.” Nah, ini juga salah pikir dalam logika sebab kita tidak mencerna argumentasinya lebih dahulu.

Kedua, Post Hoc Ergo Propter Hoc. Kesalahan berpikir ini ketika menganggap dua hal memiliki kaitan secara langsung. Saat X terjadi, Y juga terjadi. Tiba-tiba kita menyimpulkan X adalah penyebab terjadinya Y. Misalnya seorang politisi tiba-tiba terpilih jadi pemimpin. 

Pada saat terpilih, semua harga daging langsung meroket naik. Orang yang mengaitkan naiknya harga daging karena naiknya politisi itu bisa jadi mengidap salah berpikir.

Kedua, pars pro toto. Ini adalah anggapan satu bagian kecil merupakan cerminan keseluruhan. Misalnya, seseorang dikhianati kekasihnya yang berasal dari Makassar. Ia lalu mengumpat dan mengatakan, "Semua orang Makassar adalah buaya." Nah, dia mengalami kekeliruan berpikir sebab pengalaman bertemu satu orang, tiba-tiba dianggap mewakili keseluruhan orang Makassar.

Dalam diskusi politik, kita sering menemukan pemikiran seperti ini. Misalnya, seseorang membaca berita tentang ada warga keturunan yang divonis korupsi. Ia lalu menggeneralisir bahwa semua warga keturunan seperti itu. Ia lalu membenci setengah mati. 

Padahal, faktanya, pelaku korupsi itu berasal dari berbagai etnik dan agama. Malah, ada pula pelaku korupsi yang rekan sekampungnya. Ada yang ketahuan, dan ada yang tidak ketahuan.

Ketiga, argumentum ad baculum. Berusaha memaksa lawan untuk menerima pendapat dengan cara memberikan rasa takut. Misalnya pernyataan, "Kalau kamu tidak terima kebenaran ini, silakan keluar dari agama. Saya akan keluarkan fatwa agar anda kafir, lalu anda akan jadi sasaran kemarahan publik." Nah, ada beberapa hal yang bisa disoroti dari pernyataan ini; (1) sejak kapan dia seolah jadi juru bicara satu keyakinan, (2) sejak kapan kebenaran harus dipaksakan dnegan ancaman?

Keempat, anecdotal. Yakni menggunakan cerita personal untuk membuktikan "fakta" universal, khususnya untuk melumpuhkan data dan statistik. Ini juga seirng ditemukan. Misalnya ada survey yang menyebutkan bahwa orang Indonesia rata-rata bahagia, tiba-tiba kita merespon. “Ah saya justru merasa tidak bahagia. Riset itu malah ngawur.” 

Nah, ini juga termasuk anecdotal atau salah pikir. Artinya, kita menggunakan cerita pribadi untuk menggugurkan satu argumentasi yang sifatnya universal.

Contoh lain adalah klaim seseorang mengenai banyaknya tenaga kerja asal Cina. Bahkan ketika disodorkan fakta, ia malah tidak percaya. Ia mengaku pernah naik pesawat dan bertemu orang Cina. Ditambah lagi membaca situs abal-abal, muncullah keyakinan kalau mereka memang banyak. Saat disodorkan data pun, ia akan mengeluarkan berbagai teori konspirasi demi menyatakan dirinya benar.

Kelima, black or white. Kepercayaan bahwa hanya ada dua alternatif kemungkinan. Kalau bukan A yang benar, maka pastilah B yang benar. Pikir seperti ini banyak muncul seusai ajang pilpres di Indonesia. Ketika Jokowi berkata A, maka kemungkinannya hanya dua yakni mendukung pernyataan Jokowi atau menolaknya. 

Di kalangan para netizen terbagi dua yakni kubu suporter dan kubu haters. Keduanya bersahut-sahutan. Masing-masing saling caci. Padahal, ada banyak kemungkinan yang bisa dikembangkan, tak harus masuk dalam satu kubu itu.

Keenam, argumentum ad verecundiam. Pandangan ini adalah pandangan yang mendewakan pendapat seseorang, dan menganggap pendapat itu sudah pasti benar. Dalam politik, hal ini sering terjadi. Saat idolanya, yakni Si A, mengeluarkan fatwa, maka ia lantas beranggapan bahwa itu sudah pasti benar. Saat ada suara kritis, orang itu akan balik bertanya, "Anda berani mengkritik dia. Apakah anda sehat?"

Dalam logika, seringkali argumentum ad verecundiam ini dipersamakan dengan “halo effect.” Ini juga cara berpikir yang sering kita temukan di media sosial. Halo effect adalah bias subyektif saat pertama bertemu seseorang, yang lalu digunakan untuk menganggap semua kalimatnya benar. 

Istilah “halo effect” boleh jadi dipengaruhi oleh kisah tentang para santo atau manusia suci sebagaimana lukisan dari abad pertengahan yang di kepalanya ada lingkaran (halo). Kesan saat bertemu “manusia halo” seperti ini adalah kita akan menganggap dirinya suci sehingga semua argumennya diterima mentah-mentah.

Misalnya, saat pertama bertemu seseorang, kita melihat pakaiannya seperti orang suci, kita lalu mengaminkan semua yang dikatakannya, apapun itu. Atau barangkali saat melihat postingannya yang penuh kalimat Tuhan, kita lalu selalu mengatakan “Yes” pada apapun yang ditulisnya. Padahal belum tentu demikian.

Ketujuh, appeal to emotion. Ini adalah memanipulasi tindakan emosional untuk menyatakan kebenaran. Misalnya, anda pernah dikasari seorang yang agamanya adalah menyembah pohon. Saat diskusi dengan penganut agama itu, anda langsung emosional dan menangis terisak demi meyakinkan betapa jahatnya para penyembah pohon. Perdebatan yang harusnya jadi ajang positif untuk menumbuhkan pengetahuan, kok malah jadi baper.

Kedelapan, strawman. Dalam logika, ini disebut melebih-lebihkan, menyalah-artikan, atau bahkan memalsukan argumen seseorang demi membuat argumen Anda yang menyerangnya terdengar lebih masuk akal. 

Misalnya pejabat A berargumen bahwa berdasarkan pengamatannya di lapangan, nelayan dan petani tidak senang dengan koperasi karena yang mendapatkan modal hanya pengurusnya saja, sehingga hal ini perlu diperbaiki. Mendengar hal tersebut, lawan politik si A menyatakan bahwa si A menolak koperasi. Bahwa si A berkata koperasi tidak diperlukan di desa.

Contoh lain bisa dikemukakan. Seorang pejabat berkata, “Kita harus fokus memperkuat industri kita.” Seseorang lalu merespon, “Kalau memperkuat industri, berarti anda mengabaikan pertanian dan pedesaan. Berarti anda benci dengan sektor pedesaan. Mengapa anda membenci desa?” Nah, ini dia yang disebut strawman.



Kesembilan, slippery slope. Mengasumsikan jika situasi P terjadi, maka Q akan juga terjadi, tanpa didukung dengan bukti atau penalaran yang masuk akal. Karena itu, P tidak boleh terjadi. Misalnya, seorang pejabat pemerintahan menolak melegalkan pernikahan beda keyakinan, sebab jika diperbolehkan kelak mereka akan melegalkan pernikahan sesama jenis di masa depan. Ini juga kekeliruan logika, sebab dua hal itu adalah hal berbeda.

Kesepuluh, tu quoque. Menghindar dari kritik sekaligus mendiskreditkan lawan dengan menggunakan kritik yang sama yang disampaikan pada dirinya. Misalnya seorang ayah mengingatkan anaknya, "Nak, kamu jangan merokok ya. Merokok itu merugikan kesehatanmu." Lalu, si anak menjawab, "Ah, Ayah merokok tiap hari masih kelihatan sehat kok. Berarti merokok itu tidak ada hubungannya dengan kesehatan."

Atau pernyataan lain. Misalnya: “Berhati-hatilah main proyek. Bisa-bisa kamu akan masuk penjara.” Tiba-tiba ada yang menyanggah: “Siapa bilang main proyek harus berhati-hati? Buktinya situ sejak dulu selalu main proyek, Artinya aman dong.” Nah, kita membalas kritikan dengan cara mendiskreditkan si pengkritik.

Kesebelas, burden of proof. Menyatakan bahwa orang lainlah yang harus membuktikan suatu klaim, bukan si pembuat klaim. Misalnya seseorang mengklaim bahwa jumlah pekerja asal Cina di Indonesia adalah 10 juta orang. Karena tidak ada yang membuktikan informasinya salah, maka dia terus-terus berargumen seperti itu. Dia lalu menganggap dirinya benar hanya karena tidak ada yang membantahnya.

Seorang kader partai berhaluan agama di Yogyakarta sering berpikir seperti ini. Ia melempar berbagai isu-isu tanpa data dan fakta. Dikarenakan tidak ada yang menanggapinya, ia merasa di atas angin. Ia pikir dirinya benar. Saat seseorang tersinggung lalu melaporkan dirinya ke polisi, ia malah ingin minta maaf dan minta kasusnya dianggap selesai. Aneh.

Dalam logika, burden of proof ini hampir sama dengan argumentum ad ignorantiam, yakni menganggap suatu hal sebagai kebenaran, hanya karena orang-orang diam atau tidak ada orang yang menyanggahnya. Padahal, orang lain memilih diam karena merasa tak ada gunanya berdebat dengan seseorang. Kata satu ujaran, “Yang waras, ngalah!”

Keduabelas, badwagon. Keyakinan bahwa jika suatu hal itu populer dan dipercayaii oleh banyak orang, maka hal itu adalah kebenaran yang valid, tanpa perlu menyelidikinya lebih lanjut. Misalnya banyak orang yang menganggap bahwa si A itu seorang penista agama. Karena pandangan itu dianut mayoritas orang, ia pun ikut-ikutan percaya dengan apa yang disampaikan.

Ia ibarat gerbong (bandwagon) yang ditarik oleh satu lokomotif. Mungkin ia berpendapat berbeda, cuma karena ia takut untuk berbeda pandangan dengan publik, ia ikut saja ke mana arus akan menyeretnya. Di tataran politik kita, banyak lembaga survei yang hendak berperan sebagai penarik bandwagon opini publik.

Ketigabelas, appeal to authority. Kepercayaan pada otoritas. Misalnya saat pemerintah menyatakan satu informasi benar, maka ia lantas dengan mudahnya percaya. Ia lalu mengabaikan berbgai penalaran lain yang belu tentu sejalan dengan pemikiran pemerintah. Atau kita ambil contoh lain. Saat ada lembaga menyatakan sesuatu itu haram, maka ia dengan serta-merta langsung dipercaya, tanpa mengujinya secara kritis.

Keempatbelas, personal incredulity atau menganggap sesuatu tidak benar hanya karena susah dipahami. Misalnya seorang politisi mengklaim ia punya ribuan relawan, yang bisa digerakkan karena adanya kesamaan visi serta pola kerja yang efektif. 

Seseorang tiba-tiba saja menolak mentah-mentah kalimat itu, hanya karena dirinya tidak memahami bagaimana konsep partisipasi publik serta strategi membangun tim yang kokoh. Dia tidak paham, malas menalar, lalu menganggap ide itu keliru.

Kelimabelas, appeal to nature. Ini adalah kepercayaan bahwa sesuatu itu valid atau benar karena sifatnya yang natural seperti itu. Misalnya kepercayaan bahwa seorang pemimpin itu harus gagah, penuh keberanian, serta punya seragam militer. Keberanian seolah identik dengan seragam. 

Ketika seorang pemimpin tampak seperti warga biasa yang sering ditemui di terminal atau pasar-pasar, maka muncullah penolakan. Seolah-olah pemimpin itu harus jagoan, dan bukan kategori yang pantas didapatkan seorang warga biasa.

Keenambelas, genetic. Menilai satu pernyataan baik atau tidak hanya berdasarkan pada dari mana pernyataan itu berasal, tanpa disertai argumentasi yang valid. Misalnya hanya karena diberitakan korupsi, petinggi satu partai lalu menyatakan, kita harus berhati-hati pada informasi dari media A karena sering mendiskreditkan kita. Harusnya ia akan mengintropeksi diri lalu menjelaskan duduk perkara, bukannya menyalahkan pihak lain.

Ketujuhbelas, non causa pro cause. Ini adalah penarikan kesimpulan yang keliru. Misalnya pernyataan bahwa Sukarno menjadi presiden pertama Indonesia karena dia orang Jawa. Pernyataan ini dibuat tanpa memperhatikan berbagai aspek lain. Pastilah akan munculkan pernyataan, mengapa harus Sukarno? Bukankah ada banyak orang Jawa lainnya?

***

SAYA hanya mencatat tujuhbelas. Orang-orang yang belajar logika ataupun epistemologi punya lebih banyak penjelasan tentang mana yang benar dan mana yang keliru. Kita bisa terus mengembangkan, lalu mencatat berbagai argumen yang kita temukan dalam berbagai interaksi. 

Ada hal-hal yang kita sadari, banyak pula hal yang tidak disadari. Namun dengan cara belajar terus-menerus, kita bisa mengasah keperkaan kita dalam berargumentasi dan menemukan kebenaran.

Jangan pula terjebak pada sikap nyaman. Jangan pula berpandangan bahwa ketika orang diam, berarti kita benar. Jangan pula menganggap hanya karena kita yang paling sering berkomentar, maka kita berhasil menguasai wacana. Padahal belum tentu. 

Boleh jadi orang lain tidak nyaman dengan cara anda berdiskusi atau membangun argumentasi. Boleh jadi orang lain akan memilih diam sebab tidak ingin menghabiskan waktu untuk berdebat dengan anda yang maunya menang sendiri tanpa menyerap kebenaran dari orang lain.

Imam Syafi’i menasehatkan  “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati.”



Bogor, 24 Desember 2016

Suatu Hari Bersama George Aditjondro

Geroge Junus Aditjondro di masa muda

LELAKI penuh cambang itu datang ke ruangan saya di tahun 2004. Pada saat itu saya bekerja sebagai Litbang di Harian Tribun Timur, media milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG) di Makassar, Sulsel. Dia meminta waktu untuk berdiskusi. Dia memperkenalkan diri sebagai George Junus Aditjondro, warga Makassar yang lama bertualang di luar sana.

Dengan senang hati, saya menerimanya. Dia menunjuk satu artikel yang saya buat di koran itu. Seminggu sebelumnya, saya menulis tentang peristiwa bom meledak di Makassar selama lima tahun. Saya mengandalkan bank data yang kami miliki tentang apa saja peristiwa bom di kota itu. Rupanya, catatan saya telah dibingkai lelaki itu. Ia datang menemui saya untuk menanyakan beberapa nama yang saya sebutkan.

Saya memberinya informasi sebanyak mungkin. Tak hanya itu, saya pun membekalinya dengan semua arsip liputan media, yang telah saya simpan dalam bentuk pdf. Kami bertukar nomor hape. Dia sempat mengajak saya untuk ngopi di satu warung kopi di Makassar demi mendiskusikan beberapa data yang saya serahkan.

Saya dan seorang rekan jurnalis dimintanya menjadi informan. Tadinya saya ragu-ragu. Ia meyakinkan saya kalau yang dibutuhkannya hanyalah berdiskusi serta sharing beberapa data dan temuan. Ia tak menjanjikan materi atas permintaan itu. Tapi saya justru dengan ikhlas bersedia menemaninya diskusi serta berbagi informasi. Pada lelaki itu, saya tak menemukan satupun niat jahat. Malah saya merasa senang bisa mendapat kawan diskusi yang setiap saat bersedia menjawab semua pertanyaan saya.

Pada saat itu, saya masih berusia 23 tahun. Saya baru saja lulus dari satu perguruan tinggi. Pengalaman pertama saya bekerja adalah menjadi jurnalis dan staf litbang di koran itu. Tugas saya adalah mengumpulkan semua arsip lalu memperkaya liputan dengan berbagai data. Meskipun media itu masih baru, saya diberi akses ke berbagai bank data dan sumber informasi, yang kelak bisa digunakan untuk berbagai keperluan.

Saat itu, saya hanya mengenal nama George Junus Aditjondro dari beberapa buku yang dibuatnya. Saya tahu kalau dirinya adalah jurnalis Tempo, yang kemudian melanjutkan program doktoral di Cornell University. Setahu saya, dia malah menjadi dosen di Australia, yang kemudian ditinggalkannya demi rasa haus atas riset dan investigasi di tanah airnya sendiri.

Di awal reformasi saya mengumpulkan bukunya yang kebanyakan berkisah tentang konflik sumber daya alam. George beda dengan banyak peneliti lainnya. Dia tak hanya mengurai apa saja dampak ekologis yang disebabkan oleh merajalelanya pembangunanisme serta keserakahan manusia, tapi juga menginvestigasi siapa saja aktor-aktor yang bertanggungjawab di balik itu.

Dari sisi metodologi riset, saya menilai George terlampau cepat menarik kesimpulan. Saya memandang riset itu harus dimulai dengan niat untuk mencari tahu, tanpa langsung mengambil kesimpulan yang terlalu dini. Namun George punya banyak argumentasi yang bisa menjelaskan posisinya.

Sebagai peraih gelar doktor di Cornell University, ia cukup punya amunisi untuk membahas metodologi riset, dari A sampai Z. Makanya, dalam banyak kesempatan, saya memosisikan diri hanya sebagai pembelajar yang menyerap informasi darinya.

Saya sering terperangah saat dia membahas bagaimana konflik sumber daya di Sulawesi. Dia menyebut beberapa jenderal, perwira, pejabat, hingga konglomerat yang telah mengapling-ngapling pulau kami. Tak sekadar menyebut, ia punya catatan lengkap yang sangat detail, termasuk aliran transsaksi di beberapa bank asing.

Pada diri George, saya mengagumi soal investigasi, dan kekuatan riset. Sebagai jurnalis, saya rajin mencatat semua informasi. Namun, saya hanya mencatat saja, lalu memuatnya di media, tanpa sempat membuat analisis, menghubungkan berbagai fakta, lalu mengujinya dengan informasi dari berbagai sumber.

George berbeda. Ia menunjukkan bagaimana ketekunan seorang peneliti mencatat berbagai kepingan informasi, lalu menggunakan analisis itu untuk membela kepentingan rakyat banyak. Ia ingin menyelamatkan kekayaan alam Indonesia dari sejumlah orang yang hendak menumpuk kekayaan dengan cara merampok berbagai izin pengelolaan, lalu menyulut api konflik di mana-mana.

Buku-buku yang ditulis George memang kelewat berani. Ia bisa menyajikan buku yang penuh dengan data dan hasil investigasi. Di tahun 1999, ia menulis Tangan-Tangan Berlumuran Minyak, yang membahas bagaimana tragedi perebutan minyak yang memicu konflik di Timor Leste.

Selanjutnya, ia menulis Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: dampak pendudukan Timor Lorosa'e dan munculnya gerakan pro-Timor Lorosa'e di Indonesia. Setelah itu menulis Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, yang berisi bagaimana bau konflik sumberdaya yang bersembunyi di balik konflik Ambon. Tahun 2003, ia juga menulis buku Pola-Pola Gerakan Lingkungan, yang isinya adalah refleksi atas gerakan lingkungan.

Tulisan-tulisannya membuat gerah para politisi hingga pejabat di istana negara. Beberapa bukunya adalah Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia, yang terbit tahun 2002, hingga Kebohongan-Kebohongan Negara: Perihal Kondisi Lingkungan Hidup di Nusantara, tahun 2003. Ia juga menulis buku berjudul: Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Hingga akhirnya, ia menulis buku yang lalu fenomenal dan sering diulas media yakni Gurita Cikeas.

Buku-bukunya membuat jengkel banyak penguasa. Tapi anehnya, tak ada yang bisa membantah argumentasinya dengan sistematis serta punya kekuatan riset dan data-data. Ia memang dimaki dan dijelek-jelekkan, tapi justru tak ada yang bisa meng-counter argumentasinya dengan riset yang sama serius.

Kita nyaris tak punya iklim diskusi dan debat yang konstruktif, sebab orang hanya mudah menghakimi dan tidak memberikan data pembanding. Andaikan semua kecaman terhadap George dibuat dalam bentuk buku yang sama mendalamnya, maka betapa bagusnya itu bagi iklim diskusi dan debat di tanah air kita.

Pernah, saya bertanya, apa ia tidak takut dengan berbagai pubikasinya yang ‘menelanjangi’ banyak aktor? Ia justru tersenyum. Saya masih ingat persis kalimatnya: “Seorang peneliti bukanlah mereka yang selalu ikut konferensi penelitian di hotel mewah. Peneliti harus memihak pada rakyat. Peneliti harus mendedikasikan temuan-temuannya untuk masa depan yang lebih baik.”

Kalimatnya membuat saya tertegun. Pada diri lelaki itu, saya menemukan sosok “intelektual organik”, sebagaimana disebutkan Antonio Gramsci. Dia memilih keberpihakan pada rakyat biasa, lalu menjadikan semua aksara yang ditulisnya sebagai peluru untuk memberondong mereka yang rakus sumberdaya alam lalu menyulut konflik. Pada dirinya, kita melihat sosok yang menggunakan riset sebagai cara untuk melawan pihak serakah.

Di masa kini, George adalah intelektual dan jurnalis yang amat langka. Dia bukan tipe orang yang hanya menyebar berbagai info hasil kopi-paste di berbagai media sosial. Ia menulis buku-buku serius yang penuh investigasi mendalam, yang tak sekadar sekeping info yang lalu beredar di WhatsApp.

Dia juga bukan tipe intelektual selebriti, yang sekali tampil di media, lalu sibuk menyebarkan screenshot televisi yang menampilkan dirinya. George adalah sosok langka yang sukar ditemukan di abad ini.

Dua hari lalu, saya mendengar dirinya berpulang ke Yang Maha Mengadili. Saya menundukkan kepala lalu mengirimkan doa untuknya. Saya berharap karya-karya, riset, dan investigasinya akan menjadi cahaya terang baginya saat diadili oleh Yang Maha Mengadili.

Selamat jalan George Aditjondro. Saya masih kangen dengan diskusi kita pada suatu sore di satu warung kopi.




Sisi Lain MUNIR


HARI ini (8 Desember 2016) adalah hari lahir aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir. Mengenang Munir adalah mengenang bagaimana seorang aktivis yang berjuang dari tepian hingga titik darah penghabisan. Ia bukan saja simbol dari perjuangan melawan sistem yang korup dan menindas, tetapi juga menjadi monumen tragis bagi anak bangsa yang tewas misterius.

Hingga lebih 12 tahun sejak meninggalnya, Munir digambarkan sebagai pahlawan yang berjuang di garis terdepan menghadapi rezim. Tak banyak yang menyadari kalau Munir adalah manusia biasa yang menjalani hari-hari sebagaimana manusia biasa lainnya. Dia seseorang yang amat suka bercanda. Dia seorang suami yang menyayangi istri dan kedua anaknya. Dia juga seorang penakut, sesuatu yang berlawanan dengan gambaran orang atas sosoknya.

Sisi lain Munir itu bisa ditemukan dalam film dokumenter berjudul Bunga Dibakar, karya Ratrikala Bhre Aditya, yang pertama ditayangkan setahun setelah Munir meninggal. Dalam suasana yang masih berkabung atas meninggalnya Munir, film itu diluncurkan dan membahas sisi lain sosok pembela HAM itu.

Dikisahkan dalam film kalau di masa kecilnya, Munir dikenal sebagai anak yang suka berkelahi layaknya anak-anak lain. Ia mudah emosi dan terlibat dalam perkelahian dengan anak sebayanya. Ia juga bukan anak kecil yang patuh di sekolah. Ia tercatat tidak pernah menjadi juara kelas. Prestasi akademiknya biasa saja.

Masa kuliah menjadi masa yang penting untuk penemuan diri. Dia menjadi aktivis mahasiswa. Dia bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang, hingga posisi ketua komisariat. Selanjutnya ia berkiprah sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Ia juga mengasah dirinya dalam sejumlah kegiatan advokasi dan pendampingan pada masyarakat.

Dari trackrecord itu, Munir seharusnya menjadi sosok yang tak pernah mengenal kata takut. Namun, dirinya adalah sosok manusia biasa yang ternyata juga mengenal rasa takut. Satu kalimatnya yang menyentuh hati adalah: “Kita harus lebih takut kepada takut itu karena rasa takut itu menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita.”

Munir dibunuh di era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Kematiannya adalah noktah hitam yang harus terus dikenang oleh seluruh bangsa sebagai pengingat agar negra segera menuntaskan kasus kematiannya, serta menyeret pihak yang bersalah ke meja hijau.

Hingga akhir hayatnya, Munir menyuarakan perlawanan pada militerisme dan kekerasan atas nama negara. Mereka yang mengenang Munir seyogyanya meneruskan kerja-kerja besar yang teah dilakukan lelaki itu. Jika tidak, Munir akan menjadi monumen yang sepi, tanpa memiliki pelanjut estafet perjuangan.

Munir dalam Film Dokumenter

Kisah Munir ibarat sungai yang mengalirkan banyak inspirasi. Selain film Bunga Dibakar yang disebutkan di atas, beberapa sineas juga telah mendokumentasikan kisah Munir dari berbagai sisi. Berbagai dokumenter itu kini bisa disaksikan melalui kanal Youtube demi mengenali lebh mendalam kisah lelaki hebat itu.

Film dokumenter lain yang membahas Munir adalah:

Pertama, Tuti Koto: A Brave Women. Film ini dibuat sutradara Riri Riza yang menokumentasikan perjuangan seorang ibu yang terus mencari anaknya, setelah sang anak dihilangkan secata paksa pada tahun 1997. Riri, yang kondang karena menyutradari film laris yang diantaranya adalah Ada Apa dengan Cinta 2, menampilkan sosok Munir sebagai pendamping Tuti Koto yang menguak tabir ketidakadilan. Film berdurasi 21 menit ini dibuat tahun 1989, sebelum Munir meninggal.

Kedua, Garuda’s Deadly Upgrade, yang disutradarai David O’Shea dan Lexy Rambdeta. Film ini mereportase perjalanan pengungkapan fakta kematian Munir, muai dari pemeriksaan para saksi dan pihak maskapai penerbangan yang mengangkut Munir ke Belanda, Garuda. Rapat di Dewan Perwakilan Rakyat, tim pencari fakta, hingga upaya keluarga dan sahabat Munir mencari tahu sendiri.

David O'shea dan Lexy terus mengejar narasumber yang enggan berbicara mengenai fakta di balik tewasnya Munir. Termasuk menggali keganjilan-keganjilan, seperti rekaman CCTV Munir di bandara yang tiba-tiba hilang. Film 45 menit ini dirilis pada 2005.

Ketiga, His StorySteve Pillar Setiabudi merekam proses pengadilan kasus pembunuhan Munir melalui film sepanjang 28 menit. His Story yang dirilis pada 2006 itu menceritakan bahwa perkara ini melibatkan Badan Intelijen Negara dan Garuda Indonesia.  Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto diketahui mengajak Munir bertukar kelas di pesawat yang mereka tumpangi. Pada saat kejadian, pilot senior Garuda itu tidak sedang bertugas.

Keempat, Kiri Hijau Kanan Merah. Film yang dibuat oleh Dandhy Dwi Laksono ini menggali masa kecil Munir. Dia mewawancarai para sahabat dan keluarganya. Film pada 2009 dan berdurasi 45 menit ini juga mengisahkan sejarah pergeseran ideologi pendiri Kontras itu. Misalnya, tampak dari sejumlah advokasi yang dilakukan Munir.

Kelima, Cerita tentang Cak Munir. Meski wafatnya Munir telah lewat sepuluh tahun lalu, Hariwi berusaha merangkai biografi pria asal Malang itu, yakni dengan cara merangkum kesaksian orang-orang terdekatnya. Film berdurasi 90 menit ini diluncurkan pada 2014.

***

KISAH Munir adalah kisah yang mengusik rasa keadilan. Lebih sepuluh tahun kematiannya, selalu saja terdapat banyak misteri. Dua rezim pemerintahan gagal menemukan siapa sosok yang bertanggungjawab atas kematian sosok hebat yang namanya menggetarkan para pengoyak keadilan.

Keadilan memang harus ditegakkan. Negara harus terus digedor agar berani mengungkap siapa pelakunya. Negara harus diingatkan kalau kematian seorang aktivis kemanusiaan adalah kematian sekeping nurani bangsa. Negara harus ditekan agar segera menyelesaikan sebaris noktah sejarah agar bangsa ini bisa menatap masa depan dnegan segala spirit dan nurani seluruh anak bangsa yang mencintai kemanusiaan dan keadilan.



Menanti Kisah Terbaru JK Rowling



JOANNA Kathleen (JK) Rowling memang tak ada habisnya. Ia serupa Raja Midas yang bisa mengubah apapun menjadi emas. Apapun yang digarapnya selalu bernilai jutaan dollar. Setelah pekan ini film Fantastic Beasts and Where to Find Them, yang skenarionya dibuat Rowling, menjadi film laris yang memberi pemasukan hingga di atas 155 juta dollar, tak lama lagi, salah satu naskah yang dibuat Rowling akan tampil dalam teater Broadway.

Naskah itu berjudul Harry Potter and the Cursed Child, yang dijadwalkan tampil di Broadway, New York, pada tahun 2018 mendatang. Sebagaimana dilansir Reuters, pertunjukkan yang mengisahkan karakter penyihir buatan Rowling itu akan digelar di Lyric Theater Broadway. Kehadiran kisah baru Harry Potter ini diyakini akan mengatasi dahaga semua penggemarnya di negeri paman Sam.

Sebagaimana dicatat Pottermore.com, produser acara ini mengakui kalau pementasan ini akan membutuhkan uang hingga lebih sejuta dollar. Pementasannya akan diadakan di Lyric Theater, yang dikenal sebagai salah satu tempat terbesar Broadway yang memiliki hampir 1.9000 kursi, dan telah menampilkan berbagai pertunjukan seperti "Chitty Chitty Bang Bang" pada 2005 dan "Spider-Man: Turn Off the Dark," pada 2010 hingga 2014.

Sebagai persiapan, Lyric Theater akan direnovasi dengan mengurangi kursinya menjadi 1.500, “demi mengakomodasi tampilan dan nuansa dramatis” dari pertunjukan tersebut.

Tiket “Cursed Child” ludes di Palace Theater London hingga 2018, meski diperkirakan ada tiket lagi yang dijual pada Januari mendatang. Pertunjukan itu berlatar belakang 19 tahun setelah buku terakhir “Harry Potter dan Relikui Kematian” yang diterbitkan pada 2007.

Pertunjukan ini ditulis oleh Jack Thorne bersama Rowling, dan berpusat pada kehidupan Harry Potter yang sudah dewasa putranya. Buku skenario “Cursed Child”, yang diterbitkan bertepatan dengan hari pertama pertunjukan, telah menjadi buku terlaris tahun ini, lebih dari tiga juta kopi terjual di AS dalam sebulan pertama.

Kisah Rowling

Kisah Rowling sama ajaibnya dengan penyihir bernama Harry Potter. Perempuan yang lahir di Yate, Inggris, 50 tahun silam itu sejak kecil identik dengan perjuangan. Dia terpuruk saat harus menjadi single mom dan harus membesarkananak perempuannya dalam kondisi serba terbatas. Sebagai penulis, kariernya juga tidak mulus.

Inspirasi bisa datang dimana saja, seperti inspirasi tentang seorang anak laki–laki yang memiliki kemampun sihir dan sekolah sihirnya itu tiba–tiba muncul di pikiran Rowling saat melakukan perjalanan kereta api dari Manchester ke London pada tahun 1990.

Ia singgah di satu kafe, lalu menulis kisah itu di selembar tisu. Tanpa fasilitas memadai, ia lalu menulisnya dengan mesin ketik, lalu mengedarkannya ke beberapa penerbit. Jalan yang dilaluinya semakin terjal saat naskahnya ditolak oleh delapan penerbit. Hingga akhirnya penerbit kesembilan bersedia menerima naskahnya, kemudian menerbitkannya.

Keajaiban itu dimulai dari kisah Harry Potter. Kisah ini laris di seluruh dunia, diterjemahkan ke banyak bahasa, lalu menempatkan Rowling sebagai salah seorang penulis terkaya di dunia. Kisah ini juga sukses diadaptasi dalam bentuk film sehingga mencapai delapan film. Bisa dibayangkan, berapa banyak pundi-pundi yang dimiliki Rowling. Saat ini, satu film dengan skenario yang dibuat Rowling sedang tayang di bioskop, yakni "Fantastic Beasts and Where to Find Them.”

Tak berhenti di situ, Rowling juga membuat situs Pottermore.com bagi para penggemar Harry Potter di seluruh dunia. Pengunjung situs ini serasa memasuki dunia Harry Potter, mulai dari seleksi dengan sorting hat atau topi seleksi, setelah itu pengalaman memasuki asrama Hogwarts. Tak ketinggalan, ada pula pemilihan tongkat sihir di toko Ollivander yang menentukan tongkat yang akan kita dapat. Di situ juga terdapat kuis yang menyenangkan,

Penasaran? Silakan klik pottermore.com.




Filosofi dan Mimpi Jackie Chan



SETIAP orang memiliki mimpi-mimpi yang hendak digapai. Bahkan seorang aktor pun memiliki mimpi. Aktor Jackie Chan seumur hidup memendam mimpi untuk mengenggam Piala Oscar kehormatan yang berukir namanya. Saat piala itu dalam genggaman, ia mengenang banyak hal. Mulai dari negara, keluarganya, hingga pencapaiannya di dunia industri hiburan.

Dua puluh tiga tahun silam, Jackie Chan berkunjung ke rumah actor laga Sylvester Stallone. Di situ, ia melihat Piala Oscar. Tiba-tiba saja dirinya bermimpi untuk mendapatkan piala yang sama. Sabtu silam, aktor kungfu asal Cina itu menerima Piala Oscar atas dedikasinya dalam dunia film.

“Setelah 56 tahun di industri film, membuat lebih dari 200 film, setelah banyak tulang patah, akhirnya berhasil juga,” kata Jackie di acara gala dinner. Dia mengaku kalau ayah dan keluarganya selalu bertanya mengapa dirinya belum juga mendapatkan Piala Oscar atas dedikasinya di dunia film. Kini, semua pertanyaan itu terjawab.

Ia juga menyampaikan rasa bangga pada Hong Kong yang memberinya identitas Cina, dan berterimakasih kepada semua fans. Para fans adalah alasan baginya untuk melakukan banyak hal. “Saya akan lanjut buat film, melompat melalui jendela, menendang, meninju, lalu mematahkan tulang saya,” katanya.

Jackie menerima Oscar setelah sebelumnya diperkenalkan oleh aktris Michelle Yeoh dan Tom Hanks, sosok yang menyebutnya sebagai “Jackie ‘Chantastic’ Chan.” Hanks merasa bangga diminta memperkenalkan kerja-kerja Jackie Chan karena seni berkelahi dan film komedi action adaah dua genre yang sering dibedakan.

Seusai menerima penghargaan itu, Chan menulis di kanal Facebook-nya kalau dirinya adalah orang pertama dalam sejarah Cina yang menerima penghargaan itu. Dia tak salah. Selama lima tahun terakhir, hanya Sembilan actor kulit berwarna yang dinominasikan dalam kategori acting di ajang Academy Award. Setahun silam, Chris Rock, yang memandu acara itu, membuat sindiran di Facebook tentang kurangnya keragaman di Oscar. Dia membuat lelucon betapa sulitnya orang Asia mendapat penghargaan itu. Postingan ini lalu memicu banyak reaksi. Tapi di banyak sisi, Chris Tucker benar.

Filosofi dan Disiplin

Jackie Chan memang identik dengan film kungfu, sebagaimana aktor laga lainnya seperti Bruce Lee dan Jet Li. Bedanya, Chan bisa mengemas beladiri menjadi sesuatu yang tak hanya indah ditonton, tapi juga penuh gelak tawa.

Dalam kehidupan sehari-hari, Chan adalah figur yang serius. Ia juga filosofis. Katanya, kungfu adalah sesuatu yang tak berbentuk, namun hidup. Sebuah energi yang mendesak keluar dari tubuh kemudian mengaum lepas ketika disalurkan dalam pukulan atau gerak tubuh. Seorang pelukis juga pemain kungfu sebab melepaskan energinya pada kanvas. Bahkan penyair sekalipun adalah pemain kungfu sebab menjelmakan kata menjadi gemuruh yang menggelegar dan menyentak kesadaran kita. Kungfu adalah seni yang lahir dari proses mengolah dan “memasak” energi dalam tubuh manusia. Pandangan ini jelas berasal dari ajaran Buddha dan Tao yang sangat kuat menekankan pada peran manusia dalam upaya menggapai kesempurnaan. Suatu cahaya pencerahan yang kemudian menjadi pemandu atas nilai dan dan ziarah melayari dunia.

Sepanjang 1960-an hingga 1970-an, Shaw Brothers menjadi pemasok utama berbagai film kungfu dengan tokoh utamanya yaitu Bruce Lee. Kehadiran pria yang lahir di Washington dengan nama Lee Siu Lung ini menjadi awal dari genre film martial arts yang mengandalkan pada adegan perkelahian yang apik di mana karakter manusia hanya dibelah ke dalam dua bahagian yaitu baik dan jahat. Kita sedih ketika menyaksikan si baik menjadi bulan-bulanan. Dan kita langsung bersorak ketika si baik kemudian menang dan si jahat kalah. Seakan ada naluri yang menggerakkan kita untuk selalu memenangkan si baik atau pendekar budiman.

Dengan kesederhanaan pandang seperti itu, kita seakan membangkitkan naluri purba dalam diri untuk selalu memenangkan yang baik. Kaidah moral menjadi sangat penting demi menjaga kelestarian nilai agar dunia aman dan terang benderang. Inilah yang menjadi tema sederhana dari berbagai film kungfu klasik.

Sejak era Bruce Lee, perfilman Cina seakan menjadi mata air dari begitu banyaknya aktor laga di Hollywood dengan beragam ciri atau jurus masing-masing. Tokoh yang kini paling menonjol dan sukses di bidang ini adalah Jackie Chan dan Jet Li (kadang ditulis Jet Lee). Keduanya sukses di perfilman Cina dan kemudian membawa gaya bertarung itu untuk merasuki Hollywood.

Beberapa tahun silam, Majalah Time membahas Chan dan Li yang bermain dalam film Forbidden Kingdom. Dengan hanya menjelaskan sekilas tentang isi film, Time langsung mengajukan pertanyaan yang cukup menohok, “Is Hongkong Movie Will Never End?”. Tampaknya Hollywood mulai resah atau “takut kehabisan piring” seiring dengan ekspansi aktor Cina yang tak pernah henti. Bagaimanapun, aktor Cina punya kelenturan dan kemampuan yang tidak dimiliki aktor laga Hollywood seperti Chuck Norris ataupun Steven Seagal.

Yang menarik dari analisis Time adalah deskripsi tentang keuletan dan disiplin dari aktor Cina yang menempa diri sejak masih kecil demi menguasai ilmu bela diri. Bela diri Kungfu butuh sebuah tindakan disiplin luar biasa serta sendi dasar spiritualitas yang kokoh. Chan mulai latihan sejak masih kanak-kanak hingga remaja –saat itu ia menjadi cameo (pendatang baru) dalam film Bruce Lee. Sedangkan Li juga belajar wushu sejak kecil dan pernah tampil di hadapan Presiden Nixon dalam satu eksibisi tahun 1974.

Meski demikian, Time juga cukup jujur menyisipkan pernyataan bahwa Jackie Chan dan Jet Li justru berguru banyak pada sejumlah komedian dan aktor pertama di Amerika yaitu Charlie Chaplin, Buster Keaton dan Harold Lloyd. Artinya, ada proses dialogis dan menyerap realitas yang dilakukan aktor Cina untuk memperkaya khasanah bermain di film genre seperti ini.

Sejak awal meniti karier di jalur film beraliran laga (wu xia), Chan memiliki ciri khas serta jurus maut yang menggetarkan jagad film kungfu pasca kematian legenda kungfu Bruce Lee.  Chan mulai populer sejak tahun 1978 ketika berperan sebagai Wong Fei Hung, pendekar mabuk, dalam film The Drunken Masters. Perannya sebagai pendekar mabuk itu begitu membekas di benak fansnya sehingga di akhir tahun 1990-an dibuat kembali sekuel film tersebut. Selanjutnya, ia menjajal sekitar 100 film, di antaranya Rumble in The Bronx, My Lucky Stars, Supercop, Thunderbolt, hingga film Hollywood seperti Shanghai Noon, The Medallion, Around the Worlds in 80 Days, hingga seri Rush Hour, bersama Chris Tucker.

Dengan dedikasi dan disiplin yang sedemikian hebat, amatlah wajar jika Chan sukses menggondol Piala Oscar. Selamat!