Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Yang Tak Disukai pada Gibran Jokowi



UNTUK pertama kalinya, Gibran Rakabuming, putra Presiden Joko Widodo, tampil di hadapan media massa. Di satu acara yang digelar stasiun televisi berlogo berwarna biru, ia tampil dan berdiskusi. Ia tak banyak membahas politik, ia membahas aktivitas bisnis yang sehari-hari dilakoninya.

Bersama beberapa sahabat, saya menyaksikan acara itu. Saya mendengar banyak cemooh dan sikap kasihan terhadap putra presiden itu. Saya mendengar pula suara-suara sumbang atas kelakuan lelaki yang akan segera punya anak itu. Apakah gerangan?

***

SUATU hari di tahun 2009, seorang pemuda ditahan oleh aparat berwajib di salah satu provinsi di kawasan timur Indonesia. Pemuda itu ditahan karena terbukti menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kabupaten hingga hampir mencapai angka 10 miliar rupiah. Pemuda itu bukanlah seorang pejabat. Bukan pula pimpinan satu unit usaha di lingkup pemerintah daerah. Tapi ia bebas menggunakan dana negara hingga miliaran. Dia adalah putra bupati yang sedang menjabat.

Catatan tentang transaksi yang dilakukan pemuda itu memang ada di mana-mana. Ia pernah menutup satu bar ataupun karaoke di satu kota demi menjamu semua teman-temannya. Ia seorang flamboyan yang ke mana-mana bersama para gadis. Seorang teman bercerita kalau terdapat satu kamar jenis presidental suite di satu hotel mewah di Jakarta, yang hanya bisa ditempati olehnya selama setahun. Ia membawar sewa selama setahun penuh, meskipun ia tidak setiap saat ada di Jakarta.

Mungkin, tak masalah jika prilaku berfoya-foya itu menggunakan dana pribadi. Parahnya, ia tak punya usaha ataupun bisnis yang bisa menunjang sikap berfoya-foya itu. Tapi ayahnya adalah seorang bupati yang punya kuasa atas miliaran dana pusat yang dititipkan ke daerah melalui berbagai skema anggaran. Memang, tak mudah mencairkan dana itu. Ada mekanisme yang harus ditempuh. Akan tetapi ayahnya seorang bupati yang bebas mengeluarkan memo kepada bendahara daerah.

Berbekal secarik memo, ia lalu mengontak bendahara daerah. Dengan sedikit ancaman pencopotan dari posisinya. Birokrasi bergerak laksana hamba yang setiap saat memenuhi keinginan sang putra mahkota. Tercatat beberapa kali transfer dana publik ke rekening pribadi. Tercatat pula transfer dana publik ke rumah karaoke, rumah pijat, rumah mode, salon, hingga beberapa resto mewah.

Anda jangan iri kepadanya. Ayahnya bupati. Ia merasa bebas melakukan apapun. Para pegawai negeri di daerah berada dalam posisi dilematis. Membantahnya bisa berabe. Sekali membantah, anda akan masuk dalam daftar yang akan di-nonjob atau dibebastugaskan. Jika anda seorang pejabat, siap-siaplah kehilangan jabatan atas sikap kritis. Birokrasi punya banyak mekanisme yang diperhalus dengan istilah-istilah, misalnya penyegaran, penguatan visi bupati, fit and proper test, hingga berbagai nama lain yang ujung-ujungnya adalah pencopotan birokrat yang tak bersedia menghamba pada kepala daerah. Berani membantah, siap-siap kehilangan jabatan. Jika anda masih jomblo, tentu tak masalah. Tapi jika anda seorang profesional yang punya keluarga, maka siap-siap untu menyanyikan lagu “sakitnya tuh di sini.”

Anda jangan terkejut dengan kenyataan ini. Reformasi dan desentralisasi telah memindahkan kewenangan pusat ke daerah-daerah. Di masa reformasi, terdapat banyak wacana untuk menguatkan daerah. Tapi fakta yang muncul cukup menggiriskan. Di banyak tempat, yang muncul sebagai kepala daerah adalah mereka yang tidak punya karakter melayani. Yang muncul adalah transformasi dari kerajaan atau kesultanan ke dalam birokrasi. Kepala daerah adalah raja, yang lain adalah abdi.

Putra bupati menjadi putra mahkota yang juga harus disembah. Jika tak ingin ketahuan sebagaimana kepala daerah yang disebut di atas, ada banyak mekanisme lain. Misalnya menjadikan sang putra sebagai kontraktor yang dimodali ayahnya, kemudian menadah semua proyek pemerintah daerah. Dengan cara ini, semua proyek infrastruktur masuk kas pribadi, kemudian digunakan untuk hal lain, misalnya menjadi ketua partai politik, menjadi ketua organisasi massa. Di ajang pemilihan, sang putra mahkota itu lalu menjadi caleg, yang menggunakan kekuatan uang, hingga akhirnya terpilih menjadi anggota dewan. Nanti siap-siap jadi bupati untuk menggantikan ayahnya.

Bisa pula cara lain. Sang putra mendapat jatah kuasa pertambangan, yang kemudian digunakan untuk mengeruk hasil bumi. Kalau cara ini berisiko, ada lagi yang lebih simpel, yakni membeli tanah warga dengan harga murah, setelah itu menyusun ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lalu membangun infrastruktur di sekitar tanah sang putra. Harga tanah melonjak drastis. Kalau masih berisiko, ada lagi cara lain. Buka saja satu toko bahan bangunan, toko makanan, toko alat tulis, toko foto kopi. Nanti semua rekanan pemda diarahkan untuk belanja di situ. Anggaran di-markup, sisakan untuk bagi-bagi, setelah itu simpan miliaran rupiah ke bank. Sang putra lalu kaya-raya, kemudian hepi-hepi dengan jet pribadi,

Semuanya bisa terjadi. Ayahnya kan bupati.

***

Di Metro TV, Gibran berbicara tentang aktivitasnya. Ia mengelola bisnis penjualan martabak. Hah? Martabak? Makanan yang banyak ditemukan di tepi jalan itu dikemas ulang menjadi makanan serupa pizza yang lezat. Pernah, saya ke Solo dan mencicipi martabak itu. Harus saya akui kalau rasanya lezat. Pada saat itu saya tidak punya gambaran siapa yang menjual martabak itu. Istri saya memberi tahu kalau usaha martabak itu dimiliki oleh putra seorang presiden. Usaha lainnya adalah jasa katering yang menyuplai makanan untuk acara perkawinan. Hah?

Seorang kawan kesal melihat jawaban-jawaban Gibran di televisi. Jika ia tinggal di daerah, ia sudah lama menjadi bahan tertawaan. Ia benar-benar beda dengan keluarga pejabat di daerah-daerah yang sibuk membangun dinasti lalu mewariskan kekuasaan dan juga materi hanya untuk keluarganya. Jika saja ia berpikir uang, posisinya sebagai putra presiden bisa membuatnya kaya-raya dalam sekejap, tak perlu berjualan martabak.

Ah, mungkin Gibran terlampau lugu. Dia tidak belajar dari putra-putri presiden sebelumnya yang mengeruk dana negara demi mengalirkannya ke perusahaan pribadi. Dia tidak belajar bagaimana putri presiden yang di awal-awal mendapat tender ratusan kilometer jalan tol, lalu mendapat lagi jatah saham hingga lebih 30 persen di beberapa bank terbesar. Saudaranya mendapat monopoli perdagangan cengkeh, jatah 1 dollar dari setiap barel penjualan BBM, penjualan mobil hingga mie instan, usaha penerbangan, ratusan perusahaan tambang, hingga payung hukum negara untuk proyek mobil nasional yang ternyata mobil asal Korea, yang telah dibebaskan bea-masuk agar murah dijual.

Si Gibran itu terlampau bodoh. Kenapa pula ia tidak berpikir untuk membuat banyak yayasan-yayasan, lalu mengelola dana negara di yayasan itu? Dia bisa belajar dari anak presiden sebelumnya yang membangun masjid dan rumah sakit di mana-mana, namun menyelip sisa anggaran dalam jumlah sangat besar? Atau tak usahlah jauh-jauh. Anggaplah Gibran ini malas bekerja dan ingin santai di rumah. Mengapa pula ia tak berpikir untuk menjadi komisaris dari banyak perusahaan yang dengan sukarela akan menyerahkan posisi itu kepadanya, sebagai bentuk upaya “menjilat” kepada ayahnya demi proyek-proyek besar?

Jika saja Gibran membuka mata, mengapa pula ia tak meniru orang-orang yang mengaku relawan, yang merasa berjasa besar menaikkan ayahnya sebagai presiden, lalu teriak-teriak mengkritik demi jabatan komisaris BUMN? Mengapa pula ia tak meniru para politisi yang dulu memaki dan menyebar kampanye negatif ayahnya, lalu setelah ayahnya jadi presiden, para politisi itu datang ke istana dengan bersimpuh lalu cengengesan, sembari berkata, “Apakah bisa kami berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara?” Tapi melalui apa? “Melalui proyek!”

***

BERBEDA dengan teman saya, saya justru melihat Indonesia yang lebih benderang dengan kehadiran anak muda seperti Gibran. Dengan caranya sendiri, ia menginspirasi rakyat Indonesia untuk bekerja keras dengan tangan sendiri, keluar dari bayang-bayang ayahnya, berpeluh keringat demi menegakkan kemandirian. Saya bangga melihat seorang anak muda yang memilih untuk memulai dari nol, tanpa harus memanfaatkan posisi keluarga, menggunakan aji mumpung, atau melingkar pada lapis-lapis elite kuasa demi membangun kartel.

Dengan caranya sendiri, anak muda ini telah ‘menampar’ putra-putri pejabat yang hanya bisa memanfaatkan jabatan dan posisi ayahnya demi memenuhi kebutuhan pribadi. Gibran menunjukkan bahwa menemukan jalan nasib sendiri jauh lebih terhormat daripada sikap kongkalikong dan memanfaatkan posisi serta jabatan seorang ayah.

Gibran memisahkan antara wilayah kerja bapaknya, serta wilayah yang menjadi garis edarnya, dan tak punya niat untuk mencampur-baurkan keduanya. Ia sadar bahwa jabatan presiden adalah amanah. Ia tahu bahwa pada jabatan itu melekat tanggungjawab, kerja keras, bukannya kemudahan-kemudahan dalam berbagai urusan. Ia memilih menjadi rakyat biasa yang bekerja, namun sesekali bisa mencandai ayahnya, yang kebetulan menjabat sebagai presiden di negara kepulauan terbesar di dunia.

Melalui anak muda seperti Gibran, kita bisa berharap pada tanah air Indonesia yang lebih hebat di masa mendatang. Kita berharap akan tumbuhnya lapir generasi baru yang menghadapi derasnya samudera kehidupan dengan mengayuh di atas biduk sendiri, dengan mengembangkan layar sendiri lalu memanggil angin perubahan, demi mencapai pulau kebangsaan yang indah-permai.



Riset Hebat di Balik Film Buatan Disney dan Pixar


adegan dalam film Zootopia

SETIAP kali menonton film yang dibuat Pixar dan Disney, selalu saja nurani saya basah. Keluar dari bioskop, saya merasa memetik banyak hikmah. Dalam berbagai film buatan Pixar, saya menemukan karakter yang sepintas nampak biasa, jauh dari kesan pahlawan, akan tetapi memiliki keyakinan serta mimpi yang kuat untuk mewujudkannya. Karakter itu yakin bahwa siapapun bisa menjadi apa yang diimpikan, lalu menjadikan keyakinan itu sebagai kaki-kaki yang menggerakkan.

Dalam film terbaru Zootopia, saya tak hanya belajar tentang bagaimana menemukan karakter. Tapi juga bagaimana keluar dari kerangkeng stereotype, keluar penilaian orang lain, lalu bekerja lebih cerdas dari siapapun untuk menggapai mimpi. Di film ini, karakter kuat itu ada pada sosok kelinci yang cute, lucu, tapi jangan pernah mengatai imut di hadapannya.

Saya sangat menikmati film ini. Meskipun ini kisah tentang dunia binatang, yang sebenarnya muncul adalah panggung kehidupan, di mana karakternya bisa diisi siapa saja. Dalam panggung kehidupan, kita seringkali membangun prasangka-prasangka, yang justru tak selalu mencerminkan kenyataan. Sering kita berpandangan bahwa untuk jadi sosok pahlawan, seseorang harus punya fisik yang kuat, perkasa, serta menyeramkan. Dalam kehidupan nyata, hal seperti itu tak selalu benar.

Di film Zootopia, seorang kelinci muda bernama Judy Hopps ingin menjadi polisi. Mulanya, ia mendapatkan cacian serta tertawaan karena penampilannya yang imut. Seiring waktu, dan berbagai tantangan, ia sukses membalik semua anggapan yang tak berdasar itu. Ia menjadi pahlawan yang menyelamatkan kota, lalu memgubah semua pandangan orang untuk lebih terbuka, dan tidak lagi menilai sesuatu dari tampilan luar.

Sejauh yang saya lihat, formula ini menjadi rahasia dari Pixar dan Disney untuk mengemas kisah-kisah fabel menjadi lebih bertenaga. Kekuatannya adalah bagaimana menemukan satu kisah, kemasan yang menarik, serta jalan cerita yang berliku-liku, akan tetapi mengarah pada satu ending yang melegakan. Kekuatan karakter tidak terletak pada fisik, melainkan pada pikiran yang jernih, semangat baja, lalu kerja cerdik demi menggapai impian.

Yang ditekankan adalah proses menuju hasil yang bahagia selalu tak mudah. Ada tantangan, hambatan, maupun dinamika, yang justru semakin menebalkan semangat. Dengan demikian, keberanian untuk menjalani proses yang tak mudah jauh lebih penting dari sekadar hasil. Hasil itu kita terima sebagai konsekuensi atau efek dari kerja cerdik tadi. Yang lebih penting adalah bagaimana menghadapi tantangan, lalu blajar menjadi bagian dari tantangan itu.

Di luar kisah film yang menginspirasi ini, saya menemukan banyak publikasi tentang riset serius yang dibuat untuk film ini. Ternyata, prosesnya menelan waktu cukup panjang. Tim Disney menurunkan tim untuk mengamati tingkah-polah para binatang, mempelajari gerak dan fisiologi, lalu menentukan seperti apa yang akan ditampilkan di film. Saya juga melihat ada upaya untukmengumpulkan data kultural, yakni berbagai stereotype dan anggapan manusia atas hewan. Misalnya gajah dianggap punya ingatan kuat, singa adalah pemimpin, rubah selalu licik, dan kelinci sendiri dianggap peragu serta hewan yang cute dan imut. Pesan yang saya tangkap adalah kenyataan lebih kompleks dari sekadar penilaian. Tak adil menilai sesuatu hanya dari generalisasi yang dilakukan secara berlebihan.

Kekuatan Riset

Bagi saya, riset yang dilakukan Pixar dan Disney ini menjadi sesuatu yang mahal, dan justru jarang dilakukan rumah produksi kita di tanah air. Kita sering menganggap riset itu tidak peting, riset hanya membuang-buang tenaga. Di level birokras dan pemerintahan, riset itu hanya dilakukan sekadar untuk memenuhi syarat dikeluarkannya kebijakan publik. Dalam praktiknya, riset itu hanya menjadi setumpuk dokumen yang malah tak dibaca, melainkan disimpan di laci meja.

Yang terjadi kemudian adalah riset dikerjakan dengan asal-asalan, sekadar untuk mencairkan anggaran, lalu semua pihak melupakannya. Tantangan bagi kita adalah bagaimana menjadikan riset sebagai nyawa dari banyak aktivitas, bagaimana menjadi riset sebagai upaya untuk menemukan hal baru, demi melahirkan sesuatu yag juga baru, demi menerjemahkan impian jangka panjang yang kita bangun.

Kita bisa menghasilkan film-film sekelas buatan Pixar dan Disney sepanjang ada satu lembaga riset yang kuat, memiliki dokumentasi yang lengkap atas kisah rakyat (folklor), legenda, hikayat, mitos, ataupun urban legend, yang setiap saat bisa dikemas menjadi kisah yang kuat. Sungguh disayangkan, sebagai bangsa besar yang beragam budaya, kita malah kehilangan kisah menarik untuk diolah dalam sinematografi. Kita harusnya malu dengan kualitas beberapa sinetron yang tengah tayang di televisi kita.

Saya teringat JK Rowling, pengarang kisah Harry Potter yang fenomenal itu. Dalam satu wawancara dengan Newsweek, ia mengatakan, “Saya beruntung karena lahir di Inggris, negeri yang punya banyak folklor, mitos, legenda, serta berbagai hikayat. Saya hanya mengolah semua bahan-bahan itu demi membuat kisah Harry Potter.”

Artinya, memiliki kekayaan kisah bukanlah satu-satunya alasan untuk menjadikan kita unggul dalam hal produksi budaya pop. Yang selanjutnya dibutuhkan adalah adanya lingkungan yang mendukung, pengorganisasian semua kekuatan dan potensi, payung regulasi dan insentif yang kuat, dukungan pemerintah, juga dukungan masyarakat luas bagi lahirnya karya-karya baru. Pihak sineas mesti membuka mata terhadap berbagai hal baru, lalu mengajak lembaga riset untuk duduk bersama demi mengembangkan kisah.

Jika semua hal bekerja sesuai dengan harapan, bukan tak mungkin kisah Zootopia akan muncul dari rumah produksi kita. Hey, bukankah kita punya berbagai kisah fabel, serta berbagai mahluk seperti jin, siluman, peri, setan, malaikat, ataupun dewa-dewa yang mestinya bisa dikemas menjadi kisah yang tak kalah hebat?


BACA JUGA:







Tiga Skenario untuk Saipul Jamil


Saipul Jamil

PEDANGDUT senior Saipul Jamil dilaporkan ke polisi atas tindakan amoral yang diduga dilakukannya. Publik terhenyak. Media-media online tak henti membahas kasusnya. Di tengah berbagai kontroversi atas apa yang dilakukannya, Saipul Jamil tengah menyusun tiga skenario yang akan menyelamatkan kariernya di dunia artis. Minimal ia tidak runtuh begitu saja atas persoalan ini.

Jika ranah hukum adalah arena kontestasi di mana seseorang memainkan peran tertentu, marilah kita melihat tiga skenario yang akan dilakukan Saipul Jamil di hadapan media dan rakyat Indonesia. Apakah ia akan tenggelam setelah kasus ini ataukah bertahan? Dugaan saya, ia akan mulus melewati semuanya. Nah, kita lihat tiga skenario itu.

***

BERITA itu laksana petir di siang bolong. Di tengah ketenaran sebagai penyanyi, yang didapuk sebagai juri di ajang pencarian bakat bagi pedangdut di Asia Tenggara, Saipul Jamil tiba-tiba dilaporkan ke polisi atas dugaan pencabulan. Seorang pemuda melaporkan dirinya menjadi korban atas tindakan tersebut.

Sebagai pesohor, kasus ini jelas aib yang akan menurunkan namanya. Masyarakat kita kerap mengaitkan tindakan seornag pesohor dengan penampilannya di atas panggung. Apalagi, penggemar dangdut adalah masyaraat lapis menengah ke bawah yang justru amat sensitif dengan berbagai isu moral. Maka karier Ipul, demikian panggilannya, diprediksi akan tamat.

Tapi sebagai seorang aktor panggung, Ipul tahu persis bagaimana realitas psikologis masyarakat Indonesia. Meskipun ia mesti mengadapi persidangan serta tuntutan pengacara di pengadilan, ia melakukan segala upaya untuk menghindarkannya dari ancaman hukuman puluhan tahun penjara. Sejak pertama digelandang ke kantor polisi, ia melakukan beberapa skenario atau langkah strategis untuk tetap menjaga citranya sebagai seorang pedangdut papan atas. Ia bisa juga belajar dari musibah yang pernah dihadapi artis lainnya.

Pertama, Saipul akan menampilkan kesan kalau dirinya tidak bersalah. Kalaupun publik tetap menuding bersalah, ia akan menampilkan kesan kalau dirinya adalah korban. Tentu saja, akan sulit mencari rasionalisasi dari pernyataan sebagai korban. Bisa saja, ia akan memunculkan asumsi-asumsi kalau ada pedangdut senior lain yang tak suka dengannya, lalu membuat jebakan agar dirinya jatuh seketika. Model skenario tentang keterlibatan pihak ketiga ini pernah dilakukan oleh beberapa politisi ataupun artis yang terjerat kasus.

Di beberapa media, ia menyebut kata khilaf. Ia sengaja memilih diksi itu, sebab kata ‘khilaf’ lebih bernuansa sesuatu yang tak sengaja dilakukan. Dengan mimik bersalah, serta sorot mata yang selalu berkaca-kaca saat diliput media, ia bisa sukses membangun image kalau dirinya tak sengaja melakukannya. Publik mendukung. Korban tersudut lalu mencabut laporan. Ia lalu kembali menjadi juri ajang pencarian bakat.

Kedua, tim pengacara dan teman-teman dekatnya akan segera melakukan silent operation untuk menghubungi dua pihak, yakni media massa agar sedikit lunak dalam memberitakan kasusnya, serta anak muda yang menjadi korban itu. Ia siap menggelontorkan berapapun dana yang dibutuhkan untuk mencapai kata damai, lalu menyelesaikan persoalan secara diam-diam. Ia bisa saja meniru langkah Ahmad Dhani yang harus mengatasi tuntutan hukum atas anaknya yang menabrak orang lain hingga tewas di satu jalan. Ahmad Dhani menawarkan dana santunan, serta beasiswa, juga kunjungan ke kampung tempat korban. Begitu foto bareng serta berurai air mata di depan keluarga korban, kata maaf didapatkannya. Kasusnya dinyatakan selesai.

Ketiga, ia akan sesegera mungkin menggunakan simbol-simbol atau identitas agama. Di atas panggung, ia bisa saja berjingkrak lalu memeluk para penyanyi perempuan, namun saat menghadapi kasus tuduhan, ia akan kembali pada identitas Islam. Ia akan kembali mengenakan baju gamis, memanjangkan jenggot, serta melaksanakan syariat, dengan harapan agar mendapatkan simpati publik.

Ia sudah pernah menjalankan skenario ini saat digugat cerai oleh Dewi Perssik. Tiba-tiba saja ia rajin mengenakan kopiah haji, serta berbaju gamis ala ustad di masjid-masjid. Saat diwawancarai, ia banyak menyebut kata-kata dalam bahasa Arab, misalnya Masya Allah dan Astagfirullah. Publik tersentuh oleh kalimat-kalimatnya.


Sewaktu bertugas sebagai jurnalis, saya pernah menemui Dewi Perssik dan menyakan alasan perceraiannya. Dewi ngomong banyak, namun tiba-tiba minta agar tidak dipublikasikan. Ia tahu kalau Ipul sukses mengambil hati banyak orang Indonesia dengan penampilannya yang sangat agamis. Pernyataan Dewi pasti akan ditanggapi negatif, sebab Ipul terlanjur dicap alim dan religius.

Di tanah air kita, ada dua modus yang selalu ditempuh para pesohor saat berkasus. Pertama, menyatakan diri sakit sehingga pemeriksaan selalu batal. Kedua, mendadak Islami dengan cara memakai busana Muslim, serta menampilkan identitas Islam. Saya sendiri suka geli melihatnya. Di satu media, saya melihat wawancara dengannya. Ia menolak wawancara dengan alasan tengah menunggu azan magrib. Setelah itu, media meliput dirinya yang sedang berbuka puasa.

Nampaknya, skenario terakhir ini sedang dijalankannya. Portal news.liputan6.com menampilkan berita tentang ketegaran lelaki ini. Berita itu membahas ketegaran Saipul Jamil, yang menyebut peristiwa ini sebagai “ujian dari Allah.” Di bahagian komentar, saya melihat banyak dukungan yang mengharapkan dirinya tabah atas “ujian” ini. Bagi saya sih, ini malah lucu. Seharusnya, simpati dan dukungan diberikan kepada korban agar bisa memulihkan trauma atas tindakan pencabulan. Sebab tindakan itu biasanya menimbulkan trauma yang jejaknya panjang, serta tak bisa dipulihkan dalam waktu singkat.

***

TANPA kita sadari, Saipul Jamil tengah menunjukkan watak khas para pesohor kita. Ia seolah hendak memberitahu orang-orang bahwa dunia panggung adalah dunia yang penuh dengan permainan karakter. Ia sedang memainkan peran-peran tertentu demi membangkitkan simpati, dukungan, serta membalik wacana seolah dirinya sebagai korban. Di saat bersamaan, ia menghidupkan asa dan namanya agar tidak tenggelam atas “badai” yang tengah dihadapinya. Boleh jadi, di masa depan, ia akan mengulangi perbuatannya.

Sebagai publik, tentu saja, kita berhadapan dengan praktik pembodohan, yang memosisikan kita hanya sebagai konsumen pasif, yang terus-menerus dijejali dengan satu informasi. Kita tak pernah tahu seperti apa kejadian sesungguhnya di kasus ini. Yang kita terima hanya fakta-fakta tentang seseorang yang tegar, menghadapi cobaan, sembari menggunakan gamis dan songkok haji, lalu berkata bahwa ini adalah ujian Allah.

Permainan simbol yang dimainkan Saipul ditujukan untuk memenangkan wacana publik, lalu perlahan-lahan menutupi jejak yang dilakukannya. Pola yang dimainkannya serupa dengan para politisi yang ‘mendadak Islami’ saat terkena kasus korupsi. Sebagai publik, harusnya kita bertanya, apakah saat melakukan tindakan memalukan itu, adakah dirinya mengingat indahnya ajaran serta nama Tuhan? Kita juga bisa bertanya-tanya, mengapa kita mudah iba saat simbol agama ditampilkan demi menutupi satu praktik jahat yang justru merusak nama agama itu sendiri?

Saya tiba-tiba saja teringat percakapan seorang pengacara dengan seorang politisi yang terjerat kasus korupsi. Kebetulan, politisi itu bukan beragama Islam. Sang politisi menyampaikan kehawatirannya akan dicerca oleh publik. Pengacara senior itu dengan cueknya berkata, “Gampang. Nanti lo masuk Islam, setelah itu datang ke persidangan sambil membawa zikir. Lo percaya gue deh. Orang akan memaafkan elo..”


BACA JUGA:








Dari Tom Pepinsky Hingga Faisal Basri



BELAKANGAN ini saya rajin mengikuti catatan harian dari beberapa akademisi yang diposting di blog pribadinya. Membaca catatan mereka terasa berbeda dengan beberapa publikasi di ranah akademik. Catatan mereka terasa lebih orisinil, lebih intim, lebih reflektif, dan lebih menampilkan sisi terdalam mereka. Bahwa seorang intelektual sekalipun, punya sisi lain yang tak sekadar berwajah akademik, tapi juga sisi humoris, sisi ragu-ragu, ataupun sisi gamang saat berhadapan dengan realitas.

Bahwa seorang intelektual adalah manusia biasa yang tak hanya berurusan dnegan langit-langit pengetahuan, tetapi juga bumi manusia, yang penuh urusan tetek-bengek dan remeh-temeh. Nah, kita lihat satu per satu beberapa blogger akademisi ini.

Salah satu akademisi yang selalu saya ikuti postingannya adalah Tom Pepinsky. Ia adalah salah satu ilmuwan politik, dengan spesialisasi kajian Asia Tenggara, yang mengajar di Cornell University at Ithaca. Ia meminati kajian ekonomi politik, khususnya relasi antara pasar dan negara di negara-negara berkembang. Blog pribadinya (klik DI SINI) berisikan etalase pemikirannya. Di situ terpampang data diri, data publikasi, serta beberapa makalah yang dibuatnya untuk kepentingan ilmiah. Dia seorang intelektual yang cukup disegani di bidangnya.

Blog pribadinya berisikan catatan-catatan serta renungan pribadinya tentang ekonomi politik. Berbeda dengan publikasinya yang berisikan berbagai pemikiran yang sudah utuh, blognya berisi lintasan-lintasan pemikiran. Barangkali, ia meniatkan lintasan pemikiran itu sebagai amatan awal, yang selanjutnya akan dilanjutkan pada riset yang lebih serius. Saya cukup suka dengan uraiannya tentang Asia Tenggara sebagai satu fakta sosial. Saya juga terbantu atas peta yang ditampilkannya tentang persebaran agama-agama besar dunia.

Nampaknya, beberapa akademisi asing selalu memiliki blog yang menampilkan buku-buku serta catatan-catatan hariannya. Dugaan saya, blog itu merupakan satu medium yang merekam dirinya secara utuh, serta bisa menjadi panduan bagi orang lain untuk menelusuri karya-karya mereka. Mungkin mereka berpikir bahwa pengetahuan harus didialogkan sehingga terus menyempurna. Seorang akademisi yang tak membuka ruang diskusi bukanlah akademisi tulen. Akademisi sejati akan bersifat sebagaimana ilmu pengetahuan yang selalu terbuka dan meniscayakan dialog.

Barusan, saya berkunjung ke blog milik Jared Diamond, seorang akademisi yang meraih hadiah Pulitzer berkat bukunya berjudul Guns, Germs, and Steel. Di blog pribadinya, ia menjelaskan pendekatan geographic determinism yang menjadi ruh dari semua bukunya. Ia mendefinisikan fenomena manusia, baik prilaku, ekonomi, dan politik, yang selalu dipengaruhi oleh dua faktor yakni geografi dan non-geografi. Yang dimaksud geografi adalah lingkungan, bentang alam, serta faktor hayati. Sedangkan non-geografi adalah faktor manusia dan kebudayaan.

Saya juga berkunjung ke blog Tania Murray Li, seorang etnograf hebat dari University of Toronto. Berkat blognya, saya tahu kalau ia menerbitkan buku baru berjudul Land’s End; Capitalist Relation on an Indigenious Frontier. Setiap berkunjung ke blognya, ada perasaan kagum serta malu dalam diri saya. Saya kagum karena ia sangat produktif dan melahirkan demikian banyak buku-buku bagus. Saya malu karena kebanyakan publikasinya mengenai masyarakat marginal di Indonesia, sesuatu yang justru tak banyak ditulis para akademisi kita. Hey guys.... Where are you?

Namun tak perlu terlampau berkecil hati. Ada beberapa akademisi di tanah air yang setia menulis blog. Di antara mereka, saya menyukai beberapa nama, yakni I Made Andi Arsana, Rhenald Kasali, Yohannes Surya, dan Faisal Basri. Mereka adalah akademisi yang sangat kondang, memiliki capaian akademik yang tidak diragukan lagi, dan membuka diri pada banyak orang melalui blognya. Malah mereka menantang orang lain untuk berbeda pandangan dengan mereka.

I Made Andi Arsana adalah akademisi Universitas Gadjah Mada, yang lama hidup di Australia. Spesialisasinya adalah teknik geologi. Ia mengikuti berbagai konferensi internasional di banyak negara. Dengan cara itu, ia bisa keliling dunia, lalu menulis buku mengenai bagaimana hidup di negeri luar. Blognya (bisa diklik DI SINI) berisikan catatan harian yang isinya menarik. Saya tersenyum-senyum saat membaca pengalamannya mengejar mahasiswa nakal yang sengaja melintasi genangan air hingga dirinya basah kuyup. Melalui blog ini saya menemukan sisi lain seorang akademisi, yang juga bergelut dengan hal-hal sebagaimana warga biasa lain.

Namun blog yang paling saya senangi belakangan ini adalah blog milik ekonom asal Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri. Saya menyukai perjalanan pemikirannya di blog pribadi (silakan klik DISINI). Setiap menemukan data baru akan segera dipostingnya. Saya suka melihat bagaimana karakter intelektualitasnya mencuat saat meladeni mereka yang tak sepaham dengannya. Blognya membuat saya banyak belajar hal baru. Barusan, syaa membaca tulisannya tentang the forth industrial revolution. Ia menjelaskan perubahan sosial yang dipicu teknologi, serta bagaimana negara seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan menyikapinya.

Di dunia maya, ekonom UI ini menjadi guru yang sabar mengajari para netizen, serta tak henti mencerahkan semua yang hendak belajar hal baru.

***

MENGAPA mereka menulis blog? Mengapa mereka tak fokus menulis di media-media cetak yang udah lama mapan dan punya nama besar? Pertanyaan ini harus ditanyakan kepada mereka. Saya hanya bisa menduga-duga.

Pertama, menulis blog sama dengan merayakan kebebasan. Jika menulis di media massa, maka kita harus menyesuaikan gaya menulis, serta cara bertutur agar sesuai dengan visi-misi media, serta sesuai keinginan para kru redaksi. Melalui blog, anda bebas untuk menulis dengan gaya apapun. Anda bebas untuk memilih style menulis, serta membahas berbagai topik. Beda halnya dengan media massa yang kerap menuntut anda untuk spesialis pada topik tertentu.

Kedua, karakter pengetahuan selalu menuntut keterbukaan dari berbagai gagasan lain. Pengetahuan harus terbuka sehingga bisa didialogkan. Tanpa dialog, pengetahuan akan secara perlahan mati dan layu sebelum berkembang. Melalui blog, mereka berdialog, menerima bantahan keras, serta membiarkan publik untuk memberikan penilaian. Blog menampilkan etalase diri serta menyajikan lintasan-lintasan pemikiran yang bisa didiskusikan secara terbuka.

Ketiga, blog adalah terminal yang menampung gagasan-gagasan mentah, yang selanjutnya akan menginspirasi lahirnya banyak publikasi jurnal ilmiah. Di blog Tom Pepinsky, saya banyak temukan penggalan tulisan, yang lalu dikembangkan menjadi makalah. Dengan cara itu, pengetahuan terus tumbuh.

Keempat, menulis blog adalah bagian dari tanggngjawab sosial untuk mencerahkan publik. Tugas akademisi bukanlah duduk manis di kampus, dan sesekali mengajar. Bukan pula untuk menjadikan profesi itu sebagai pijakan untuk mencari jabatan di pemerintahan. Bukan pula untuk memperkaya diri melalui kegiatan riset. Tugas akademisi adalah mencerahkan publik, memberikan cahaya pengetahuan, lalu menginspirasi perubahan sosial. Sebagaimana kata Marx, tugas mereka “bukanlah menafsirkan dunia, melainkan untuk mengubahnya.”


Dan blog dan media sosial hanyalah tangga-tangga kecil untuk merancang perubahan sosial.



Bogor, 21 Februari 2016
 


Cak Nur yang Selalu Abadi



Apakah yang diwariskan oleh seorang besar?

DI hadapan saya ada buku berjudul Banyak Jalan Menuju Tuhan, terbitan tahun 2013. Di bawahnya tertera tulisan bagian kedua. Buku ini memuat petikan gagasan, lintasan pemikiran, serta sederet kalimat bijak dari cendekiawan yang telah mangkat, Prof Dr Nurcholish Madjid. Jangan mengira isinya adalah buku utuh yang ditulis lelaki yang akrab disapa Cak Nur itu. Isinya adalah penggalan pemikiran yang rutin di-posting di twitter.

Di dunia nyata, Cak Nur telah lama meninggal dunia. Fisiknya telah lama raib dari pandangan mata. Tapi di dunia pemikiran, ia selalu ada. Ia masih wara-wiri di dunia maya dan memberikan pencerahan kepada orang-orang. Murid-muridnya menjaga asa intelektual Cak Nur melalui akun twitter @fileCaknur yang produktif membuat postingan mengenai berbagai isu, mulai dari filsafat, agama, moralitas, problem sosial budaya, hingga berbagai intisari ajaran.

Di dunia maya, Cak Nur akan selalu hidup. Melalui akunnya di twitter, dirinya tak pernah mati. Hampir setiap jam, ia datang dengan berbagai gagasan-gagasan pendek yang sungguh mencerahkan. Sebagai warga di jagad twitter, saya sungguh menyukai setiap postingan Cak Nur. Ia bisa menjelaskan satu konsep dengan bahasa sederhana, namun tetap tidak kehilangan kedalamannya.


Saya menempatkan postingan Cak Nur setara dengan postingan beberapa orang yang sukai pemikirannya. Beberapa di antaranya adalah Rumi (@Rumi_Quote), Paulo Coelho (@paulocoelho), Gede Prama (@gede_prama), Ajahn Brahm (@Ajahn_Brahm), dan Dalai Lama (@DalaiLama). Mereka bicara tentang hal-hal besar, yang disampaikan dalam hal sederhana. Postingan mereka bisa menjadi jeda atau barangkali oase di tengah kesibukan serta rutinitas yang lebih sering membosankan. Bagi saya sendiri, media sosial, seperti facebook dan twitter ibarat telaga untuk sejenak berekreasi di tengah rutinitas. Membaca satu kalimat Cak Nur ibarat membasuh pemikiran sejenak, lalu melihat ulang dunia dengan pandangan yang lebih jernih.

Tentu saja, ada beberapa kontroversi atas diri Cak Nur. Banyak yang tak setuju dengan ide-idenya. Tapi lucunya, mereka yang tak setuju itu tak menyusun satu publikasi yang utuh tentang pemikirannya. Kebanyakan hanya ngomong tak suka dalam satu kalimat atau satu komen di media sosial, tanpa menjelaskan gagasannya secara sistematis. Padahal, jika ketidaksetujuan itu disalurkan melalui kanal yang positif, betapa kayanya wacana dan pemahaman kita tentang agama.

Lagian, dianggap sebagai sosok kontroversial malah mengasyikkan. Sejarah mencatat, kontroversi selalu dilekatkan pada orang-orang besar. Bahkan para rasul pun berhadapan dnegan sikap sinis serta ketidakpercayaan dari banyak orang. Melalui dialog yang mencerahkan, kebekukan pemikiran seharusnya bisa dicairkan. Tapi tak semua orang mau melakukannya. Lebih banyak yang suka hidup dalam dunia yang penuh ketidaksukaan. Mereka yang besar adalah mereka yang tak pernah khawatir dengan perkataan orang. Mereka punya arah dan tujuan yang jelas. Bukankah kita tak terlahir untuk menyeragamkan semua opini tentang diri kita? Bukankah kita tak terlahir untuk membahagiakan semua orang?

Saya sangat menikmati petikan gagasan Cak Nur. Di mata saya, banyak gagasannya yang masih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Postingannya yang banyak dan rutin itu laksana kepingan-kepingan yang berserakan, namun membentuk satu tautan utuh tentang Cak Nur. Pada masanya, ia pernah hadir di tengah-tengah umat dan menawarkan berbagai gagasan. Melalui gagasan itu, ia membentuk barisan pengikut yang setia untuk menyebarkan semua ide-idenya. Ia punya banyak murid, yang masih tekun mengkaji pemikirannya, mendiskusikan idenya, lalu menghasilkan banyak karya-karya tentang dirinya.

Sati di antara murid itu adalah Budhy Munawar Rachman, yang bertindak sebagai editor buku ini. Sewaktu kecil, saya membaca artikel Budhy di jurnal Ulumul Quran. Saya tahu dia seorang intelektual yang sangat mumpuni. Dunianya adalah dunia pemikiran Islam yang serupa padang rumput luas yang pernah ditelusuri para filosof. Jika Budhy mendedikasikan dirinya untuk menjadi editor serta setia mengawal gagasan Cak Nur, maka kita bisa mengambil kesimpulan kalau hubungannya dengan Cak Nur tak sekadar hubungan antara guru dan murid, tapi juga hubungan antara dua orang yang penuh gagasan, dan saling mewarnai.

Barangkali, inilah warisan berharga Cak Nur. Ia mencerahkan banyak orang, yang kemudian tergerak secara suka-rela untuk mengawal gagasan-gagasannya. Cak Nur meletakkan fundasi pemikiran keislaman yang inklusif di pikiran banyak orang, lalu menjadi dasar untuk menemukan betapa indahnya ajaran ini bagi kesemua orang. Mereka yang pemikirannya pernah disentuh Cak Nur untuk melihat keindahan-keindahan itu, yang kemudian menjadi satu gerakan sosial untuk tidak kaku melihat segala yang hendak dikakukan oleh sejarah.

Kontribusi dari akademisi, periset, dan pemikir selalu berkisar pada dua hal: (1) kontribusi pada pengayaan the body of knowledge atau tubuh pengetahuan, (2) kontribusi pada pengayaan tool of analysis atau alat-alat analisis. Namun, warisan berharga yang menentukan kebesaran seseorang adalah karya-karya yang akan membuatnya abadi, serta barisan orang-orang yang secara suka-rela merawat ajaran, menumbuhkan pemikiran yang baik, serta memiliki kesadaran untuk membentuk dunia yang indah, di mana semua pihak duduk setara demi saling memperkaya nurani kemanusiaan.

Pada titik ini, saya akan mengenang Cak Nur.



Bogor di tengah malam,
21 Februari 2016

Lima Salah Kaprah tentang Indonesia Timur


sampul buku

SEBAGAI seorang warga Indonesia timur, yang kini berdiam di Indonesia sebelah barat, saya mengalami banyak salah kaprah tentang kawasan timur. Sering saya menemukan anggapan yang keliru dari penduduk di Indonesia barat terhadap kami yang di timur. 

Makanya, saya berkesimpulan kalau orang timur lebih banyak tahu tentang kota-kota, jarak, serta masyarakat di barat. Sementara orang Indonesia barat malah tak banyak tahu tentang apa yang terjadi di timur.

Kesimpulan itu semakin kokoh saat membaca catatan pengantar dari Roem Topatimasang di buku berjudul Melawat ke Timur. Catatannya membuka banyak hal. Mulai dari stereotype, pandangan tentang kemajuan, serta salah kaprah yang terus eksis dalam sejarah kita.

***

SUATU hari, Roem Topatimasang sedang berada di Tual, Kepulauan Kei. Ia dihubungi rekannya yang sedang transit di Bandara Pattimura, Ambon, Maluku. Teman itu memintanya untuk bertemu di bandara. Ada hal penting yang ingin dibicarakan. Saat Roem mengatakan sedang berada di Tual, teman itu mengatakan akan menunggu. Katanya, waktu transitnya cukup panjang yakni enam jam.

Roem bersungut-sungut lalu menutup telepon, Ia lalu berkata, “Dasar.. dorang pikir jarak Tual sampai Ambon itu sama dengan Grogol – Cengkareng kah?” Saya tersenyum-senyum saat membaca catatan Roem tentang salah kaprah atas mereka yang di barat terhadap keadaan di timur. Saya punya banyak pengalaman sebagaimana yang dialaminya.

Semasa jadi jurnalis, saya pernah meliput satu peristiwa di Makassar. Tak lama kemudian, datang telepon dari redaktur di Jakarta yang meminta saya untuk bergerak ke Bulukumba dalam waktu setengah jam. Katanya, ada kejadian besar di sana. Saya berteriak melalui telepon, “Ko pikir jarak Makassar ke Bulukumba hanya setengah jam?”

Mungkin pelajaran geografi tidak banyak diberikan di sekolah dasar. Buktinya, banyak orang yang mengira jarak tempuh antar kota di timur sama dengan jarak tempuh antar kawasan di barat sana. Tak banyak yang paham bahwa infrastruktur di timur sedemikian parah sehingga jarak tempuh itu menjadi sedemikian jauh.

Catatan yang dibuat Roem untuk buku yang berisikan pengalaman berpetualang di timur ini telah membuka banyak lapis kenyataan. Betapa banyaknya salah kaprah tentang timur di barat. Tak banyak yang tahu kalau Ternate adalah salah satu dari tiga kerajaan Islam terbesar di Nusantara, selain Samudra Pasai di Sumatra, dan Demak di Jawa. 

Wilayah Ternate mencakup seluruh Kepulauan Maluku, Sulawesi bagian tengah, selatan Filipina, hingga ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Tak banyak yang tahu kalau Papua adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore.

patung Santo Xaverius di Ambon

Tak hanya kisah tentang wilayah. Ada banyak hal unik di timur. Sultan Khairun dari Ternate bersahabat baik dengan Santo Fransciscus Xaverius, pembawa agama katolik di Maluku. Ayah Sultan Baabullah yang merupakan satu-satunya raja di Nusantara yang pernah mengalahkan Portugis, Spanyol, dan Belanda itu pernah tinggal di Biara Katolik dan mengikuti pendidikan tarekat Jesuit di Goa (India), lalu mendapatkan nama baptis: Ben Acorata.

Barangkali tak ada pula yang tahu kalau salah satu intelektual yang cemerlang di Nusantara pada abad ke-17 bernama Karaeng Pattingaloang, seorang mangkubumi di Kesultanan Goa di Makassar, Sulawesi Selatan. 

Pattingaloang mendatangkan teleskop Galileo ke tanah Makassar demi mengamati bulan dan pergerakan bintang. Ia mendirikan satu observatorium bintang, yang dalam bahasa Makassar disebut Maccini Sombala. 

Ia bercakap dalam banyak bahasa, menerjemahkan beberapa kitab ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Makassar.  Di masa itu, Makassar adalah kota dunia yang melakukan reproduksi pengetahuan untuk membangun peradaban yang kokoh.

Bahkan seorang dramawan dan penyair terbesar Belanda, yang hidup sejaman dengan pelukis Rembrandt, Joost van den Vondel, memuji Pattingalloang dalam sajak khusus yang dibuat untuknya. Tak hanya itu, peta kuno yang dibuat Joan Bleu menempatkan Pattingalloang sejajar dengan Mercator, nabi modern kartografi Eropa.

Pertanyaannya, seberapa pahamkah kita tentang beberapa keping sejarah yang menakjubkan di kawasan timur?

***

SEJAK Indonesia berdiri, kawasan timur menjadi kawasan yang seolah terabaikan. Sejarah Indonesia identik dengan apa yang terjadi di Indonesia barat. Apa yang terjadi di timur tidak menjadi memori kolektif bagi bangsa Indonesia. 

Pengetahuan dipancarkan dari pusat-pusat pertumbuhan, yakni kota-kota yang benderang oleh kebijakan pemerintah di barat sana. Timur menjadi tertinggal, sampai-sampai pernah dibentuk kementerian untuk urusan ketertinggalan di timur.

Patung Martha Christina Tiahahu di Ambon

Dikarenakan pengetahuan seolah berpusat di kota-kota di Indonesia bagian barat, salah kaprah tentang timur menyebar merata di banyak tempat. Orang-orang di barat merasa tak punya kepentingan untuk memahami timur. Mereka lalu menggeneralisir, membangun stereotype, dan menganggap orang di Indonesia tiur, sebagaimana kampung halamannya yang punya infrastruktur lengkap.

Mengacu pada pengalaman Roem Topatimasang, saya mencatat ada sekurang-kurangnya lima salah kaprah tentang timur di mata orang Indonesia barat. Saya menemukan salah kaprah ini dalam berbagai interaksi dengan banyak sahabat berbagai etnik di Jakarta.

Pertama, anggapan tentang bahasa. Sering saya susah menjelaskan ke banyak orang kalau di kampung halaman saya, Buton, Sulawesi Tenggara, terdapat begitu banyak bahasa. Orang luar mengira semua orang Buton akan berbahasa lokal yang sama. 

Padahal, faktanya tidak demikian. Pemetaan bahasa yang dilakukan beberapa peneliti menunjukkan adanya keragaman bahasa di wilayah ini, sehingga antara warga satu kampung dan warga kampung lain malah tidak saling mengerti.

Semakin ke timur, semakin banyak bahasa. Jika pernah ke Maluku Utara hingga Papua, jangan terkejut ketika menemukan begitu banyak bahasa lokal. Terkadang satu bahasa daerah hanya digunakan oleh warga satu kampung. Sungguh berbeda dengan orang Jawa dan Sunda yang bahasa lokalnya satu dan dimengerti oleh jutaan orang.

Karena bahasa yang demikian beragam, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mempersatukan dan mengikat warga yang berbeda bahasa lokal tersebut. Di timur, saya bisa menggaransi kalau semua orang bisa bahasa Indonesia. Sungguh beda dengan keluarga mertua kakak saya di Cangkringan, Yogyakarta, yang setiap hari berbahasa Jawa, dan sama sekali tak paham bahasa Indonesia.

Kedua, anggapan tentang geografis. Entah kenapa, saya banyak bertemu dengan orang yang menganggap jarak-jarak antar wilayah dekat. Dari kampung saya di Buton menuju Makassar, saya butuh waktu semalam perjalanan kapal. Beberapa orang Wakatobi yang berlayar ke Taliabu, Bacan, hingga Obi, sering membutuhkan waktu lebih sebulan dengan menggunakan kapal layar.


Saat saya ceritakan ini ke teman di Jakarta, ia malah terheran-heran. Dipikirnya, semua tempat bisa dijangkau dengan kereta, sebagaimana di Jawa. Padahal, timur itu identik dengan pulau-pulau. Tak selalu ada “kapal putih”, sebutan untuk kapal Pelni yang bisa singgah dan mengangkut penumpang. 

Perjalanan ke beberapa wilayah di timur mesti menyiapkan fisik kuat sebab seringkali harus ditempuh dengan kapal layar. Bagi yang pernah bertualang ke Papua pasti punya banyak kisah bagaimana bergerak ke satu desa bisa butuh waktu berhari-hari.

Ketiga, anggapan tentang penduduk yang mayoritas beragama Kristen. Tentu saja, anggapan ini keliru. Buku Melawat ke Timur ini menunjukkan kekeliruan itu. Maluku, yang dianggap Kristen, ternyata memiliki banyak desa-desa beragama Islam. 

Tahukah anda bahwa Pattimura, pahlawan beragama Kristen yang punya nama lengkap Thomas Mattulessy, ternyata punya saudara adat (pela-gandong) dengan pahlawan Maluku lain yang beragama Islam yakni Said Perintah. 

Tahukah anda Sekjen pertama Dewan Adat Papua adalah seorang muslim asal Fakfak bernama Thaha Alhamid? Tak banyak pula yang tahu kalau nama bandara di Ende adalah Haji Hasan Aboeroesman, yang merupakan raja terakhir, sekaligus bupati pertama. Dia seorang Muslim.

Sejarah masyarakat di timur tak pernah mempersoalkan perbedaan agama tersebut. Saat Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen membantai banyak warga Muslim di Banda pada tahun 1621, warga Kei beragama Kristen justru menyediakan tanah untuk menampung saudaranya yang Muslim itu. 

Mungkin anda akan tercengang saat tahu kalau di wilayah Kesultanan Ternate di Halmahera Utara, terdapat warga Tobelo yang beragama Kristen. Semuanya baik-baik saja.

anak kecil di perbatasan Papua

Memang, belakangan terjadi konflik atas nama agama di Maluku, akan tetapi warga menganggap konflik itu lebih bernuansa politik ketimbang agama. Perdamaian antar warga dibangun berdasarkan spirit kekeluargaan, serta keyakinan kalau mereka sama-sama orang maluku, meskipun punya keyakinan berbeda.

Keempat, hubungan antara agama dan adat. Di banyak tempat, seringkali adat disesatkan oleh agama. Makanya, kita membaca episode sejarah tentang Perang Padri di Sumatera Barat, Perang Cumbok di Aceh. Semuanya menunjukkan bagaimana benturan antara agama dan adat di masyarakat.  

Tapi di timur, adat dan agama bisa hidup berdampingan. Adat bisa menjadi wadah, sedangkan agama menjadi isinya. Agama menjadi spirit kuat yang lalu dijelmakan dalam adat.

Saya setuju dengan pernyataan Roem di buku ini yang melihat adanya pola berbeda dengan sinkretisme Islam ala Jawa. Makanya, yang harus dilakukan adalah berusaha memahami kenyataan itu secara mendalam, lalu menyusun argumentasi sendiri yang khas Indonesia timur.

Kelima, adanya stereotype tentang penduduk di timur yang dianggap kasar-kasar. Terhadap anggapan ini saya punya banyak pengalaman. Memang, dari sisi intonasi suara, orang Timur punya suara yang keras di telinga warga Indonesia barat. 

Namun yakinlah, itu bukan ekspresi kemarahan. Intonasi suara yang keras itu biasanya dimiliki warga yang tinggal di pesisir, yang berusaha mengalahkan suara ombak. Warga di pegunungan pun punya intonasi yang sama. Tak ada kaitan antara suara yang keras dengan peibadi yang kasar.

Untuk soal pertemanan, orang di timur adalah teman-teman terbaik. Saya tak menemukan solidaritas sehebat teman-teman di timur itu. Jika anda dianggap sebagai sahabat, maka mereka akan siap menyabung nyawa demi anda. Mereka siap melakukan apapun demi seorang sahabat. 

Tapi, sekali anda hendak berkonflik dengan mereka, maka mereka bisa menjadi sangat jahat. Mereka bisa nekad jika anda menyinggung kehormatannya. Tapi, kepribadian mereka selalu luwes. Jika sebelumnya marah, mereka bisa kembali menjadi baik jika ada yang bertindak sebagai pendamai. Bersama mereka, kehidupan menjadi lebih indah.

***

DAFTAR di atas memang terlampau singkat untuk menjelaskan banyak salah kaprah tersebut. Saya hanya menyederhanakannya saja. Dalam interaksi sehari-hari, saya menemukan banyak hal menarik yang semakin menguatkan pandangan saya tentang dinamika di timur dan barat tanah air kita.

Dalam hal pengetahuan tentang wilayah, saya sangat yakin kalau orang timur cukup mengenali keadaan di barat. Hampir semua orang di timur tahu tentang Bandung, Semarang, juga Surabaya. Tapi coba anda tanya tentang kawan di Indonesia barat tentang kota-kota seperti Tual, Morotai, Kaimana, Nabire, atau Paniai, pastilah mereka akan melongo. 

Kita bisa mengatakan bahwa terjadi disparitas informasi antara timur dan barat. Harus diakui, Indonesia barat lebih banyak dideskripsikan di media massa kita. Makanya, timur menjadi wilayah yang misterius dan tak banyak dikenal. Timur menjadi asing. Logat ala timur menjadi aneh di telinga.

Disparitas informasi jelas dipengaruhi tayangan media. Tentu saja, media massa akan banyak membahas daerah yang berpenduduk padat, sebab di situ ada pasar pembaca yang besar. Logika inilah yang membuat timur tak banyak dideskripsikan. 

Timur menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang eksitik dan tak banyak dikunjungi. Sejarahnya menjadi gelap dan seakan lenyap dari sejarah. Padahal, ada banyak sejarah gemilang tanah air kita yang ada di timur sana. 

Yang kita butuhkan adalah kesediaan untuk menyerap pengetahuan, lalu menjadikan timur sebagai pusat pengetahuan, sekaligus pusat pertumbuhan ekonomi.

Selama puluhan tahun tanah air kita dikelola dengan logika populasi. Timur seakan tak tersentuh pembangunan, sebab penduduknya dianggap sedikit. 

Pernah, saya mengalami perjalanan yang sangat jauh di Mamasa, Sulawesi Barat, ke satu desa terpencil. Butuh perjalanan seharian untuk menjangkau desa di pegunungan. Jalan rusak parah. Sepanjang jalan saya membatin, mengapa pula jalan kita rusak parah. Saat saya tanyakan ke warga, dijawab kalau jalan itu adalah jalan nasional, yang sejak puluhan tahun diabaikan pemerintah.

jalan rusak di Mamasa, Sulawesi Barat

Saya membatin kalau pemerintah kita lebih fokus ke daerah-daerah padat penduduk. Pemerintah lebih fokus membangun kereta cepat Jakarta – Bandung, ketimbang membangun jalan nasional di kawasan timur. Ah, kali ini saya tak bisa berkomentar apa-apa. Saya hanya bisa masygul.


Bogor, 16 Februari 2016