Strategi Senyap untuk Kalahkan AHOK

Megawati bersama Ahok dan Djarot


AKHIRNYA, deklarasi untuk mendukung Ahok-Djarot dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai merah ini sukses memilih satu exit plan yang memukau setelah sebelumnya dalam dilema dalam menentukan siapa kepala daerah. Partai ini seakan meninggalkan beberapa partai lain seperti Nasdem, Golkar, dan Hanura, yang lebih dahulu pasang badan terhadap Ahok. Di satu sisi semuanya berjalan lancar, tapi di balik itu, setitik konflik mulai menjalar saat partai lain dinomorduakan.

Di luar ekspektasi yang sedemikian tinggi, terdapat begitu banyak celah yang bisa dimanfaatan oleh publik. Di atas kertas, Ahok akan melenggang sebagai pemenang. Tapi siapapun yang pernah membaca ujaran filsuf Lao Tze bahwa di balik setiap masalah, selalu terdapat banyak peluang, maka selalu ada celah untuk mengalahkan lelaki asal Belitung itu. Kuncinya terletak pada kemampuan memainkan ritme, tidak fokus pada strategi lawan, serta tetap mencari kekuatan sendiri

Pilkada DKI Jakarta akan menjadi ajang pertaruhan besar bagi semua partai. Pilkada ini menjadi ajang penting sebagai pemanasan sebelum pemilihan legislatif dan piplres mendatang. Kehadiran Megawati dalam berbagai langkah Ahok dibalas dengan rapat di Cikeas yang mempertemukan semua ketua partai besar, termasuk mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semuanya beradu taktik dan strategi untuk menguasai satu titik penting dalam gravitasi politik nasional. Jika melihat tensi dan rapat-rapat di belakang layar, bisa dipastikan duel pilkada akan slebih seru dari pilkada manapun.

Kawan, Djakarta adalah koentji!

***

PERTEMUAN di Cikeas itu tak menghasilkan keputusan apapun. Hampir semua ketua partai hanya membahas hal-hal yang umum. Mereka membahas sesuatu yang sejatinya menjemukan dan tak perlu dibahas. Yang dibicarakan adalah bagaimana agar Pilkada DKI bisa berjalan lancar dan aman. Seorang kawan berkisah bahwa semua ketua partai tak hendak terbuka dalam menyampaikan sikap.

Sejatinya, semua ketua partai datang untuk membahas satu agenda yakni siapa figur yang akan didorong untuk melawan Ahok-Djarot. Di layar televisi, mereka menyaksikan betapa gegap-gempita dan riuh muncul saat deklarasi pasangan yang ditemani oleh Megawati Soekarnoputri itu. Para ketua partai itu sama sepakat bahwa cara strategis untuk mengalahkan Ahok adalah sesegera mungkin menemukan satu sosok yang bisa menjadi anti-tesis atas Ahok.

Di atas kertas, nama yang beredar adalah Yusril Ihza Mahendra. Beliau sosok yang piawai berdebat tentang hukum dan aturan. Kapasitas akademiknya jauh di atas Ahok. Hanya saja, sosok ini dianggap tidak punya positioning yang bagus untuk menghadapi Ahok. Sosoknya tempramental. Emosinya gampang tersulut sehingga kadang-kadang menjadi hilang nalar lalu menjatuhkan lawan debatnya.

Keberatan juga disampaikan pihak PPP. Yusril dianggap punya sejarah menjatuhkan kepemimpinan Romahurmuzy di pengadilan. Ia adalah pengacara yang mendukung Suryadharma Ali dalam persidangan. Walaupun dia melakukan tugasnya sebagai seorang pengacara profesional, semua pernyataannya masih membekas sebagai luka yang sulit disembuhkan di kalangan partai berambang ka’bah itu.

Partai-partai lain pun setengah hati mendukungnya. Pertimbangannya sederhana. Semua partai ingin mendapatkan satu manfaat dari proses politik ini. Minimal nama mereka akan terkerak dan bisa mendulang banyak manfaat pada proses politik mendatang. Menaikkan seorang ketua umum partai yang suaranya kecil, hanya akan menaikkan elektabulitas partai kecl itu. Para ketua partai itu menganggap tak ada manfaat bagi mereka.

Opsi nama lain harus dibuka. Nama yang muncul adalah Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Baswedan. Figur Agus sudah lama disiapkan Demokrat. Langkah politik untuknya telah lama terbentang, sampai-sampai mengorbankan Anas Urbaningrum yang dianggap hendak mbalelo terhadap SBY. Akan tetapi, mengajukan Agus juga sangat berisiko. Sebab jika dalam ajang ini Agus kalah dan salah langkah, maka cita-cita besar untuk menempatkannya sebagai RI 1 akan sedikit tercoreng. Satu-satunya strategi yang dipilih adalah menyiapkannya untuk momen yang paling penting. Jauh lebih baik menunggunya hingga “matang” dan berpangkat jenderal lalu menempati posisi penting di militer ataupun pemerintahan. Setelah itu mulai berpacu untuk RI 1. Kalaupun Demokrat mengajukannya, maka langkah itu mengandung risiko.

Satu nama yang masih tersisa adalah Anies Baswedan. Sosok ini telah didorong oleh PPP berkat lobi Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla. Anies dianggap sosok yang tepat sebab menjadi antitesis Ahok. Jika Ahok identik dengan marah-marah, tidak santun, bermulut kasar, maka Anies identik dengan kelembutan, sikap menganyomi, serta santun dalam berdebat. Anies punya kapasitas yang bagus dalam debat dan membangun impresi, meskipun dia sering dianggap tidak memiliki kapasitas mumpuni untuk wilayah teknis.

Tapi setidaknya Anies adalah nama yang bisa diterima semua partai. Namanya layak jual jika dibandingkan dengan Sandiaga Uno, Rizal Ramli, ataupun Yusril sendiri. Keberadaannya yang ukan orang partai manapun bisa menjadi perekat dan pemersatu semua partai dalam koalisi. Kerja besar adalah membawanya memasuki sudut-sudut Jakarta sehingga keterpilihannya bisa mengalahkan Ahok.

***

DUNIA politik kita adalah dunia penuh kalkulasi, yang seirngkali harus berjarak dengan dengan realitas. Dalam dua tahun ini, Ahok telah melakukan beberapa mission impossible yang menempatkan dirinya di posisi sekarang. Dia bekerja keras dan membalikkan prediksi banyak orang bahwa dirinya hanya mendompleng pada Jokowi, dan tak memiliki elektabilitas. Dia menunjukkan lewat kerja-kerja dan ketegasan, di tengah berbagai celaan dan segala kecaman yang berlabel SARA.

Kekuatan Ahok adalah bisa membaca momen politik, lalu menentukan sikap di situ. Di saat banyak tuduhan korupsi menghajar dirinya, ia justru berani tampil di pengadilan lalu membuka satu demi satu fakta, tanpa mengeluarkan pernyataan seolah dirinya menghindar. Dia bisa mengambil point di tengah bayak peristwa besar yang nyaris menjungkalkan dirinya. Image berani dan jujur masih sedemikian kuat melekat pada dirinya. Ini menjadi kekuatan yang harus dihadapi oleh semua pesaing-pesaingnya.

Image berani dan bekerja yang identik pada Ahok harus dihadapi sosok yang juga berani dan bekerja. Pada diri Agus Harimurti Yudhoyono dan Anes Baswedan belum terlihat kerja-kerja keras serta prestasi yang mengesankan publik. Publik hanya tahu Agus sebagai putra SBY. Barangkali dia hanya akan diterima publik karena faktor ganteng dan santun. Tapi kalau membahas kerja-kerja serta prestasi, maka nama Agus tidak seberap mentereng. Anies justru telah dikenal publik. Satu-satunya kekuarangan Anies adalah fakta kalau dirinya pernah di-reshuffle oleh Jokowi, sesuatu yang hingga kini masih misteri alasannya.

Di atas kertas, cara terbaik untuk mengalahkan Ahok adalah memahami kelemahannya, serap kekuatannya, lalu menari lebih cepat. Salah satu filosofi Tao Te Ching menyebutkan, “Apa yang kaku dan keras adalah sahabat kematian. Apa yang lembut dan lentur adalah kehidupan.” Dalam konteks strategi politik, filosofi ini bermakna, hadapi kekerasan Ahok dengan segala kelembutan. Jangan pernah masuk dalam arena penuh debat dan tudingan, sebab arena itu sudah lama menjadi milik Ahok. Masuklah lewat tema-tema sederhana yang lembut, namun punya kekuatan besar. Pastikan pula, kandidat yang didukung adalah kandidat yang tepat.

Seorang ahli strategi perang pernah mengatakan, “Do’t put your eggs into one basket.” Ini bermakna para penantang Ahok tidak boleh meletakkan semua strategi dalam satu skenario. Berbagai pilihan harus ditempuh, lalu dibiarkan bekerja demi berbagai skenario pemenangan yang disusun. Perbanyak skenario pemenangan, dan tidak harus berjalan seiring. Dalam banyak kasus, biarkan skenario itu saling berpotongan, sebab bisa bertemu pada satu titik yakni menggerus Ahok dan menaikkan elektabilitas kandidat yang diusung.

Dalam tulisan sebelumnya, telah saya paparkan bahwa untuk mengalahkan Ahok, maka kita bisa menerapkan lima strategi penting itu. Pertama, fokus pada gagasan dan tidak membawa isu SARA. Sebab pemilih Ahok adalah kelas menengah yang rasional dalam bersikap. Kedua, lakukan perekrutan tim profesinal untuk megelola media sosial dan media massa. Tim ini harus memiliki gagasan yang kuat, yang lalu dialirkan ke sejumlah kanal media. Ketiga, tebar jejaring sosial ke berbagai lini, Kenali siapa saja tokoh kunci yang bisa menaikkan elektabilitas. Gunakan tokoh itu sebagai “juru bicara” dan reawan.  Keempat, fokus pada kelemahan gagasan dan impelementasi Ahok. Angkat celah-celah dan kelemahan Ahok melalui berbagai fakta obyektif dan potret realitas lapangan. Kelima, tetap bermain sabar dan tenang.

Pertanyaannya, bisakah semua strategi itu dilaksanakan dalam waktu yang tak seberapa lama lagi?

***

BERBAGAI strategi itu akan efektif di lapangan jika kita memahami dengan baik jantung kekuatan Ahok. Sejauh yang saya amati, kekuatan Ahok terletak pada diri Joko Widodo, yang sosok yang nampak lemah dan biasa, tapi sukses menjadi politisi yang langkahnya paling mulus ke kursi kepresidenan. Sejauh ini, Jokowi masih menjadi tokoh kunci yang mengamati semua langkah-langkah Ahok sembari memberikan dukungan kuat dari belakang. Dalam banyak hal, Jokowi adalah sosok paling jeli membaca dinalika politik dan membuat semua orang bergerak untuk dirinya. Tanpa Jokowi, Ahok akan menjadi sosok rapuh yang bisa dijatuhkan kapan saja. Tanpa Jokowi, Ahok akan kelilangan perisai besar yang selama ini membentengi dirinya dari berbagai tuduhan, serta melancarkan semua rencana-rencananya untuk membenahi Jakarta.

Sebagai seorang presiden, Jokowi paham betapa pentingnya kursi Gubernur DKI dalam setiap perhelatan politik. Di satu media besar, Jokowi telah mengisyaratkan satu pesan pnting agar kursi gubernur tidak jatuh ke “kubu seberang.” Isyarat dari Jokowi inilah yang kemudian memanaskan perhelatan menuju DKI 1.

Tak mengejutkan jika tokoh sekelas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin menjadi king maker, yang lalu ikut wacana dalam mendorong anaknya. Tidak mengejutkan jika semua ketua umum partai sibuk berkonsolidasi dan menyiapkan barisan demi mencari peluang untuk menang di posisi penting itu. Tidak mengherankan ketika rapat-rapat di Cikeas digelar agar semua ketua partai menemukan formasi terbaik yang menguntungkan semua pihak.

Langkah untuk mengalahkan Ahok harus dimulai dari memastikan Presiden Jokowi tidak memberikan pernyataan terbuka. Presiden harus dipagari dalam satu ruang netral yang memastikan dirinya tidak berkampanye atau tampil di media bersama-sama. Jokowi harus dibingkai dalam skenario tidak memihak siapapun. Ia harus diyakinkan kalau siapapun yang memimpin ibukota adalah sosok penting yang akan menjadi pelayan masyarakat banyak. Namun jika Jokowi masuk arena, dan muncul dalam banyak acara bersama Ahok, maka saya menduga tak ada satupun kekuatan yang bisa menghalangi Ahok menuju kursi Gubernur DKI.

Pada titik ini, pemenangnya akan seperti yang dikatakan Sun Tzu, yakni “Dia yang mengenali dirinya, dan dia yang mengenali lawannya.”


Bogor, 22 September 2016

BACA JUGA:





5 komentar:

Imron Fhatoni mengatakan...

Izin share di fb bang Yusran

Yusran Darmawan mengatakan...

silakan share.

Salam Fadillah Alzah mengatakan...

Keren *HatOff ... Materi kuliah saya ada yang ngena disini, jadi ngerti 😄

intanohana mengatakan...

Keren mass!!

kurniawan mengatakan...

salam kenal mas Yusran... Saya baru menenukan dan baca beberapa artikel mas.. ijinkan saya menjelajahi satu persatu... terima kasih...

Posting Komentar