Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mengapa Kuliner Jawa Terasa Manis?


bubur ayam khas Resto Raminten di Yogyakarta

DALAM beberapa kali kunjungan ke Yogyakarta dan Solo, saya selalu mencicipi makanan yang terasa manis. Tadinya saya berpikir bahwa barangkali ini terkait lidah saya yang terbiasa mencicipi makanan yang terasa asin, khas kawasan timur Indonesia. Namun, setelah membaca liputan Tempo tentang antropologi kuliner, ternyata ada faktor sejarah, budaya, dan ekonomi politik di balik rasa makanan yang manis itu. Hah? Gimana ceritanya?

Jawa sangat kaya dengan tradisi kuliner. Selain resep yang terus diwariskan, orang Jawa juga mengenal weton, hari pasar bagi setiap keluarga kerajaan. Pada hari weton akan disajikan kuliner kesukaan anggota keluarga yang telah tiada. Lewat kuliner, mereka mengenang orang-orang yang telah berpulang. Selain weton, ada banyak ritual dan upacara adat yang identik dengan kuliner. Mulai dari peringatan 1 sura, jumenengan (perayaan naik tahta), hingga ritual lainnya.

Di Keraton Surakarta, dahulu ada tradisi bagi keraton untuk membagikan jenang dan sega liwet pada setiap Kamis malam. Masyarakat lalu membuat sendiri masakan itu, dan tidak harus disajikan pada Kamis malam. Malah, dua makanan itu menjadi identik dengan kota Solo.

Hedi Hinzler, peneliti Leiden University, menyebutkan bahwa tradisi ini sudah ada sejak masa-masa kerajaan. Studinya menyebutkan bahwa prasasti-prasasti Jawa telah mengisahkan tentang pembagian makanan kerajaan sejak abad ke-9. Raja selalu mengijinkan rakyat untuk memakan kulinernya, yang kemudian disebut rajamangsa. Yang bisa memakannya hanyalah para pejabat, keluarga raja, dan pemuka agama.

nasi blawong, makanan favorit para sultan di Yogyakarta

Seiring dengan kedatangan Belanda, masakan khas Eropa mulai memasuki dapur-dapur di istana Surakarta maupun Yogyakarta. Pada masa Mangkunegara IV bertahta di Solo, beberapa koki yang paham makanan Eropa diangkat sebagai kepala juru masak istana. Mereka lalu menyajikan makanan Eropa kepada para tamu, yang juga menjadi indikasi kemajuan pada masa itu. Demikian pula di Yogyakarta. Pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII, banyak resep makanan baru yang muncul. Hanya saja, resep ala Eropa itu telah mengalami modifikasi sehingga sesuai dengan lidah orang Jawa.

Rasa Manis

Namun modifikasi paling besar pada makanan Eropa itu adalah rasa manis. Terkait rasa manis, ada dua argumentasi yang bisa dikemukakan. Pertama, rasa manis telah lama dikenal sebagai rasa yang wajib ada dalam makanan. Dalam teks Jawa kuno, terdapat ajaran tentang enam rasa yakni manis, asin, asam, pedas, pahit, dan sepat. Keenam rasa ini harus ada dalam setiap makanan demi menghasilkan rasa yang sempurna.

Kedua, rasa manis itu diduga terkait dengan banyaknya suplai gula di Jawa akibat didirikannnya banyak pabrik gula.  Sejarah mencatat, pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan kebijakan tanam paksa untuk mengisi kas pemerintah yang kosong karena habis digunakan untuk perang melawan Pangeran Diponegoro. Para petani di Jawa hanya dibolehkan menanam komoditas tertentu yang aku di pasaran internasional, di antaranya adalah tebu dan kopi.

Jenang Suran, bubur yang dimasak di Pura Mangkunegaran setiap tanggal 10 Sura

Lebih 100 pabrik gula lalu didirikan di Jawa. Sejuta petani menanam tebu, yang kemudian berimbas pada menipisnya stok beras. Di saat kekeringan, petani memasak dengan air perasan tebu. Sejarawan Onghokham menulis bahwa setelah tanam paksa dihapus, bisnis gula lalu beralih ke pedagang Tionghoa dan swasta. Melalu kerjasama dengan raja-raja Jawa, semua kerajaan lalu mengalami kemakmuran. Para abdi dalem, lalu mendapatkan konsesi tanah yang kemudian ditanami gula.

Walaupun bisnis gula kemudian meredup akibat krisis ekonomi tahun 1930-an, para priyayi dan bangsawan telah terlanjur memiliki lifestyle sebagai warga kelas atas. Kebiasaan kuliner, khususnya yang manis-manis, menjadi gaya hidup masyarakat. Tak heran jika banyak yang terkena sakit gula. Konon, Sultan Hamengku Buwono VIII meninggal karena sakit gula. Ia menjadi satu dari banyak orang yang terkena dampak dari makanan yang berasa manis.

Ternyata, di balik setiap rasa makanan terdapat banyak pelajaran berharga yang bisa diserap. Melalui makanan, kita bisa memasuki rimba kebudayaan, merambah tepian sejarah, lalu membawa pulang demikian banyak inspirasi pengetahuan di sana. Melalui tradisi, kita bisa menyerap segenap masa lalu untuk memahami segala dinamika di masa kini.(*)


Bogor, 22 Agustus 2015

BACA JUGA:





Epos Cinta di Perang Surabaya


Sosok Yumna dalam Battle of Surabaya

SUNGGUH membahagiakan bisa menyaksikan film animasi Battle of Surabaya. Tak sekadar bisa menyaksikan kepingan sejarah tentang betapa heroiknya rakyat Surabaya di masa revolusi tahun 1945. Tak sekadar bisa menikmati rasa sejarah yang kaya dengan detail-detail dan disajikan dengan sangat menarik. Tak sekadar merasakan heroisme dan keberanian warga Surabaya yang sungguh menggetarkan.

Namun, kisah animasi ini hendak melihat peristiwa sejarah dari sisi warga biasa. Ada banyak sosok yang menyaksikan perang dengan getir. Ada kisah penyemir sepatu yang menjadi agen rahasia republik, warga Jepang yang simpati pada Indonesia, para samurai dari kelompok Kipas Hitam yang mencekam Surabaya, hingga serdadu Inggris yang membawa dendam pada tentara Nazi saat ke Surabaya.

Inilah film animasi cerdas, yang melihat perang dari sisi yang selama ini justru belum banyak dieksplor oleh film-film nasional. Two thumbs up!

***

BOCAH itu bernama Musa. Ia seorang penyemir sepatu. Ibunya bekerja pada pria Jepang bernama Capt Yoshimura. Musa kerap menjadi kurir bagi tentara republik. Ia ditugaskan untuk mengantarkan surat yang berisikan pesan-pesan rahasia kepada para tentara yang bertugas di luar Surabaya. Tugasnya sungguh berbahaya. Ia berhadapan dengan maut yang setiap saat bisa melepas nyawanya.

Ini Surabaya pada tahun 1945. Kemerdekaan baru seumur jagung. Tapi tentara Inggris di bawah pimpinan Jenderal Mallaby datang membawa pasukan, yang diboncengi tentara KNIL yang berasal dari Belanda. Kedatangan pasukan ini memicu murka para tentara republik. Semuanya bersiaga dan setiap saat siap menyabung nyawa.


Kemerdekaan amatlah berharga bagi semua orang. Di radio, beberapa pemimpin seperti Bung Tomo kerap menggedor kesadaran orang-orang untuk membela republik. Ia berkata, “Lebih baik Surabaya banjir dan digenangi darah, daripada harus kembali dijajah.” Pidato ini membangkitkan kesadaran semua orang. Para tentara republik bersiaga atas kemungkinan yang bisa munsul sewaktu-waktu. Surabaya mencekam.

Musa adalah remaja yang terbakar oleh nasionalisme dan digarami oleh kecintaan pada negeri merasa terpanggil. Ibunya sakit-sakitan lalu tewas ketika perkampungan dibakar oleh tentara penjajah. Musa memendam sedih dan bertekad untuk terus membantu para pejuang. Dari atas pengunungan, sembari memandang siluet kota Surabaya pada suatu sore, ia mengangkat tangan sembari berteriak “Merdeka!”

Musa tak sendirian. Seorang gadis periang bernama Yumna kerap menemani Musa untuk menjalankan misinya. Gadis periang yang serupa sosok dalam komik Jepang ini menjadi sahabat terdekat Musa. Bahkan benih-benih cinta tumbuh di antara mereka di tengah berbagai tugas rahasia yang harus dilakukan. Mereka laksana dua kupu-kupu yang terus berkejaran dengan riang. Hingga akhirnya sebuah rahasia terungkap.

Yumna memiliki masa lalu yang kelam. Ibunya ditangkap tentara Jepang dan dijadikan jugun ianfu, pemuas nafsu tentara negeri Nippon. Yumna lalu bergabung dengan perkumpulan Kipas Hitam yang anggotanya dilatih beladiri Jepang, lalu melakukan berbagai aksi-aksi spionase serta penyerangan. Meski demikian, Yumna telah bertekad untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Ia bergabung dengan palang merah, lalu bertugas di garis depan untuk membantu tentara yang terluka akibat perang.

Suatu hari Musa tertangkap akibat pengkhianatan dari Danu, seorang anggota Kipas Hitam yang memata-matai perjuangan tentara Indonesia untuk kepemtingan tentara Inggris. Ia ditahan di penjara Kali Sosok, Surabaya. Bersama beberapa tentara republik, Yumna datang membebaskan Musa. Ia membawa pedang samurai dan menebas para anggota Kipas Hitam. Gerakannya lincah. Sayangnya, ia tewas dalam serangan itu. Mendung duka langsung terasa di saat perang tak lama lagi akan berkobar.

Di sisi lain, perundingan dengan Inggris gagal mencapai kata sepakat. Para pemimpin perjuangan di Surabaya yakni Residen Sudirman, Soemarsono, Moestopo, dan Bung Tomo lalu menyatakan perang. Mereka lebih memilih mati ketimbang kembali dijajah tentara Inggris. Melalui radio, Bung Tomo langsung membakar semangat semua orang, “Selama banteng-banteng Indonesia berdarah merah yang mampu membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu, kita tidak akan menyerah,” teriaknya.

Perang lalu berkobar. Rakyat Surabaya bangkit dan menyabung nyawa di medan laga. Sebanyak 16.000 orang telah gugur dalam satu perang besar yang mengerikan. Dari pihak tentara sekutu, sebanyak 1.500 orang juga tewas. Perang merenggut banyak nyawa, memisahkan banyak bapak dengan anaknya, memisahkan ibu dan putranya, lalu menyisakan banyak perempuan yang hanya bisa meratapi keluarganya.

Musa ikut meratap. Ia kehilangan banyak orang dalam kehidupannya. Ia juga diderasa sedih kala membaca surat-surat para prajurit kepada keluarganya. Berhadapan dengan puing-puing kota Surabaya, ia hanya bisa tertegun sembari meneteskan air mata. Perang memang kejam. Tak ada kemenangan di situ. Yang ada adalah kegetiran!

***

KISAH dalam film ini tak hanya heroik, tapi juga mengharukan. Sebagai penonton awam, saya larut dalam aliran kisah yang sangat menyentuh hati. Saya bisa merasakan bagaimana perang menyisakan getir saat masuk dalam pengalaman beberapa sosok seperti Musa dan Yumna (suaranya diisi oleh artis Maudy Ayunda).


Biasanya, film-film bertema perjuangan merebut kemerdekaan selalu mengangkat sisi heroik dan menjadikan perang sebagai panggung kehebatan bagi para militer. Film ini tak demikian. Film animasi ini memotret sisi paling kelam dari setiap perang, sehingga yang tersisa adalah kehancuran yang mengoyak-ngoyak nurani.

Film ini tak terjebak dalam logika hitam putih. Semua pihak memiliki sisi baik dan sisi buruk. Seorang tentara Inggris bernama Capt John Wright ternyata punya trauma ketika anaknya ditembak tentara Nazi. Saat menginterogasi Musa, ia mengeluarkan sejata itu sembari berkata kalau dirinya tak ingin menggunakannya. Saat Musa bebas, ia sempat menemui tentara ini yang sedang sekarat, tapi ia justru tak membunuhnya. Hal yang sama dilakukan tentara ini saat berada dalam satu momen ketika senjata telah diarahkan ke Musa. Ia memilih membebaskan bocah itu.

Sosok lain yang juga baik adalah Yoshimura. Ia militer Jepang yang bersimpati pada republik. Ia pula yang menghadiahkan topi ala Jepang kepada Musa yang dikenakan di mana-mana. Yoshimura tewas di tangan tentara Inggris saat sedang berjalan di satu ruas jalan. Sebelum mati, ia masih sempat menyebut anaknya bernama Keiko yang berada di Jepang. Belakangan, sosok Keiko muncul, yang ternyata bekerja di PBB, serta aktif memperjuangkan diakuinya kemerdekaan Indonesia.

Film ini juga mengangkat beberapa perkumpulan rahasia yang tumbuh pada masa itu, salah satunya adalah Kipas Hitam. Saya pernah membaca kisah perkumpulan Kipas Hitam ini dalam buku Kuasa Jepang di Jawa yang ditulis Aiko Kurasawa. Dalam buku itu, Kipas Hitam disebut sebagai organisasi rahasia yang didirikan oleh Hitoshi Shimizu, pemimpin gerakan propaganda Jepang (sendenbu), dengan tujuan untuk membangkitkan spirit bangsa Asia demi menumbangkan Eropa.

Hitoshi Shimizu mendirikan beberapa perkumpulan rahasia yang di antaranya adalah; (1) Ular Hitam, berisi orang-orang Indo-Belanda bermarkas di Bogor; (2) Chin Pan, perkumpulan yang menampung orang-orang Tionghoa; (3) Kipas Hitam, yang dibentuk untuk mempersiapkan orang-orang Indonesia melakukan perang kemerdekaan di bawah bimbingan Jepang. Saat Shimizu ditangkap Belanda, Kipas Hitam lalu bersekongkol dengan sekutu untuk menghadang para pejuang kemerdekaan.

Tentu saja, ada beberapa kelemahan dalam film ini. Mulai dari pakaian Musa, Yumna dan Danu yang serupa pakaian remaja dalam komik Jepang. Beberapa gerakan juga agak kaku pada beberapa bagian, perpindahan adegan kadang kala kurang halus, serta adanya karakter yang kurang matang. Misalnya karakter Danu, yang suaranya diisi oleh Reza Rahadian. Rasanya aneh saja saat membayangkan sosok ini tiba-tiba saja berubah cepat, dari pengkhianat republik menjadi seorang pejuang. Proses transformasi itu terlampau tergesa-gesa.

Terlepas dari semua itu, saya cukup menikmati film animasi yang menghibur. Saya menyukai sosok Yumna yang periang, mandiri, selalu menghibur orang lain, namun ternyata punya sisi kelam yang dirahasiakan. Adegan tewasnya Yumna menjadi adegan yang paling membekas di benak saya. Saya berharap film seperti ini terus diperbanyak. Sungguh menyenangkan bisa belajar sejarah dengan cara seperti ini. Sejarah tidak menjadi kaku sebab identik dengan nama orang dan tahun peristiwa. Tapi sejarah menjadi kisah yang berdenyut dan terasa maknanya bagi kehidupan hari ini.


Pesan indah digambarkan pada adegan terakhir. Saat itu, Musa telah berusia lanjut dan diajak cucunya keluar rumah untuk menyaksikan reog di Jembatan Merah, Surabaya. Sayup-sayup ia menyaksikan sosok-sosok seperti Yumna, Danu, serta muncul Soekarno dan Hatta. Ia juga seolah menyaksikan Yoshimura dan istrinya yang berbaju kimono, lalu tentara Inggris John Wright bersama anak istrinya, serta mereka yang tewas di peperangan itu. Andaikan tak ada perang, epos cinta akan hadir di mana-mana.

Pesannya sungguh indah. Bahwa tak ada pemenang dalam setiap perang. Yang ada hanyalah kegetiran yang dirasakan banyak pihak. Mereka yang hidup justru menanggung getir dan mengais-ngais sejumput bahagia di tengah tumpukan korban. Ini sesuai pesan dalam film, “There is no glory in war!”


Bogor, 20 Agustus 2015


BACA JUGA:






Empat Teori tentang Sikap Rizal Ramli


Rizal Ramli

BARU dilantik, Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli sudah mulai melempar kritikan ke mana-mana. Tak hanya kebijakan Menteri BUMN Rini Soemarno yang dikritiknya. Ia juga mengkritik kebijakan Wapres Jusuf Kalla. Ia langsung memberikan kesan tentang pemerintahan yang belum sejalan. Ia sukses menunjukkan pada publik bahwa ada perbedaan visi di kabinet.

Publik memiliki sikap yang terbelah atas sosok ini. Ada yang mengaguminya sebab menunjukkan keberanian menyatakan sikap. Tapi ada pula yang kesal dengannya sebab seakan-akan ia merusak harmoni dalam tim kerja di level negara yang berjalan rapi di bawah koordinasi duet Jokowi-JK.

Harus dicatat. Sosok Rizal memang kontroversial sejak dahulu. Konon, ia punya prestasi. Tapi nampaknya prestasi itu tak seberapa mentereng. Ingatan publik tentang sosok ini lebih banyak pada kalimatnya yang lugas dan ceplas-ceplos ketika mengkritik pemerintah. Bahkan, publik juga mengingat dirinya yang beberapa kali hendak menjadi calon presiden, namun tak dilirik satupun partai politik. Pada titik ini, kita bisa katakan kalau dia memang punya ambisi yang belum kesampaian.

Ada pula yang menyebut-nyebut dirinya sebagai sosok ekonom anti-neoliberalisme yang sengaja dipasang pada posisi menko demi mengerem laju banyak pihak yang hendak mengarahkan ekonomi kita ke era pasar bebas. Entahlah. Yang pasti anggapan ini tumbuh subur di banyak diskusi.

Namun, bagaimanakah memahami posisi Rizal? Apakah sesungguhnya kartu yang sedang dimainkannya? Apakah ia sedang menjadi musuh bersama demi memuluskan sesuatu atau melindungi seseorang? Marilah kita mengikuti empat teori tentang Rizal Ramli.

Pertama, pemerintah sedang membutuhkan kapasitas Rizal Ramli untuk menguatkan barisan tim ekonomi. Sebagai ekonom, tentu saja tokoh ini punya analisis sendiri atas ekonomi Indonesia. Sosok yang memahami ekonomi makro sebagaimana dirinya dibutuhkan pemerintah untuk membenahi ekonomi yang digembar-gemborkan sedang lesu dan terancam krisis.

Hanya saja, argumentasi ini punya banyak kelemahan. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa harus dirinya? Mengapa bukan sosok-sosok lain yang justru punya kapasitas dan prestasi serta track record yang lebih baik ketimbang dirinya? Artinya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ini bukan soal kapasitas. Rizal dipasang di posisi menko untuk satu kepentingan yang lain, tak hanya isu ekonomi semata.

Kedua, Rizal dihadirkan di kabinet sebagai pengecoh atau pengalih perhatian semua media dan publik. Baru dua hari di kabinet, ia sudah mengeluaran pernyataan-pernyataan kontroversial yang lalu ‘digoreng’ oleh banyak media. Publik mendapat tontotan baru yang menarik untuk terus diamati. Kesan disharmoni serta kritik yang dikemukakan Rizal menjadi bahasan hangat di mana-mana.

Mekanisme pengalihan isu ini sukses diterapkan Partai Demokrat di zaman SBY ketika meminta duet Ruhut Sitompul dan Sutan Bhatugana jadi pengecoh. Gaya bicara dan sikap hantam sana-sini ala Ruhut dan Sutan sukses mengalihkan perhatian publik pada kinerja pemerintah yang biasa-biasa. Mereka menghadirkan satu drama dan tontonan menarik yang justru sangat disukai oleh media massa.

Dalam konteks Rizal, semua pernyataannya harus dilihat sebagai bagian dari drama dan skenario untuk mengecoh publik. Ia memainkan peran dalam komunikasi politik yang bertujuan untuk memecah perhatian publik agar fokus pada dirinya, lalu abai terhadap sejumlah isu strategis yangharusnya disorot. Ia menyelamatkan muka presiden dengan menjadikan dirinya sebagai sasaran kritik. Padahal, semuanya berada dalam koridor yang sudah didesain oleh ahli komunikasi politik di pemerintahan kita.

Ketiga, teori perpanjangan tangan. Sejak dilantik, Rizal Ramli tak pernah sedikitpun mengeluarkan pernyataan tentang kebijakan Joko Widodo. Malah, ia mengeluarkan kalimat-kalimat positif, misalnya presiden memintanya secara humble untuk jadi menteri, dan ia tersentuh. Padahal, sebelum jadi menteri, pernyataannya banyak yang menyerang Jokowi, misalnya pernyataan tentang kabinet Presiden Jokowi yang kualitas KW3.

Secara politik, kita juga bisa melihat bahwa Presiden Jokowi dikelilingi oleh beberapa kekuatan. Sejauh yang saya lihat, Jokowi sangat lihai dalam menempatkan posisi ketika berhadapan dengan banyak kelompok. Makanya, saya menduga kalau Rizal Ramli bersama beberapa trio Luhut Pandjaitan, Sutiyoso, dan Hendropriyono diposisikan sebagai samurai yang menghunus pedang untuk menebas banyak kelompok, demi semakin menguatkan supermasi Presiden Jokowi.

Rizal diposisikan sebagai perpanjangan tangan, sekaligus penyampai sikap presiden yang merasa dikepung oleh berbagai kelompok. Melalui sikap yang ceplas-ceplos itu, Rizal sedang melakukan testing the water agar para jagoan turun gunung lalu ikut meramaikan debat. Sejauh ini, saya melihat Pak JK dan Rini tidak seberapa serius menanggapinya.

Keempat, teori politik pasca-Jokowi. Harus dicatat kalau Rizal adalah sosok yang cukup ambisius. Ia pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden, tapi tak ada partai yang bersedia mencalonkannya. Makanya, di tahun 2004, ia pernah disebut sebagai capres ‘tanpa partai.’

Boleh jadi, ia merasa sedang berada di panggung yang penuh dengan sorot lampu dan kamera. Ia ingin mempertegas branding-nya sebagai sosok idealis yang siap menyampaikan sikap di manapun posisinya. Soal disharmoni dalam kabinet, itu soal lain baginya. Yang penting publik melihat bahwa dirinya punya sikap yang jelas sehingga tepat menjadi pemimpin Indonesia beberapa tahun mendatang. Tapi dugaan saya, Presiden Jokowi dan Wapres JK tahu persis langkah-langkah Rizal itu. Namun mereka sengaja membiarkannya sebab tentu saja paham sampai batas mana kemampuan Rizal dalam mengendalikan wacana.

Sekali lagi, ini hanyalah teori. Terserah anda mau memilih mana teori yang mana. Jauh lebih baik kalau ada teori lain di luar empat teori yang disebut di atas. Sebab dengan cara demikian, diskusi akan lebih hidup. Kita akan mendapat perspektif yang lebih holistik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Yang pasti, politik kita sangatlah dinamis, penuh drama dan intrik menarik.


Bogor, 19 Agustus 2015

BACA JUGA:




Saat Arkarna Menyanyikan Kebyar-Kebyar


Arkarna

BAND asal Inggris, Arkarna, menyanyikan lagu Kebyar-Kebyar dalam bahasa Indonesia yang fasih. Batin saya tercekat. Bukan karena syair lagunya yang penuh makna dan membangkitkan nasionalisme, melainkan satu keping sejarah dan suara-suara lirih yang selama ini terabaikan.

Melalui lagu ini, saya tersadar bahwa kemerdekaan bukan sekadar hasil dari perjuangan bersenjata di medan laga. Suara-suara pada lagu ini hendak menunjukkan bahwa kemerdekaan ibarat bangunan yang setiap bata penyusunnya adalah rakyat Indonesia yang memiliki beragam profesi. Kemerdekaan adalah akumulasi suara-suara banyak orang yang mengalirkannya dalam berbagai warna.

Tentu saja, kemerdekaan tak bisa diklaim sebagai kerja-kerja militer di medan laga. Bahwa ada banyak manusia-manusia lain yang siap sedia merebut kemerdekaan, lalu merawatnya dengan beragam cara. Di antara sosok–sosok itu terdapat para seniman yang menjaga api kemerdekaan dengan lagu-lagu yang menyentak, dan terus-menerus merawat kesadaran dan kecintaan kita pada bangsa ini.

Demikian pula dengan kerja-kerja mengisi kemerdekaan. Meskipun kemerdekaan telah direbut, bukan berarti keberadaan para patriot bangsa telah punah. Para pahlawan selalu hadir sesuai dengan spirit zaman hari ini. Tentu saja, keberadaan mereka tak bisa dinisbahkan hanya pada tentara, polisi, dan pemerintah. Kerja itu juga melibatkan para seniman dan penyair yang melalui kata telah membentuk gambaran kita tentang Indonesia.

Saya tiba-tiba saja terkenang pada Gombloh, seniman besar yang membuat lagu Kebyar-Kebyar. Sosok ini tak hanya milik rakyat Surabaya, yang menjadi rumah seninya, tapi juga seluruh bangsa Indonesia. Lagu-lagunya mengalir dalam nadi semua pencinta negeri ini. Lagu-lagunya menjadi lagu wajib para demonstran. Bahkan saat gerakan reformasi berkumandang, lagu-lagu milik Gombloh dinyanyikan bersama lagu karya Iwan Fals dan Franky Sahilatua di seluruh penjuru tanah air. Mereka adalah pahlawan besar yang merawat kecintaan pada tanah air melalui syair-syair.

Jika tak ada Gombloh, Iwan Fals, Franky Sahilatua, Leo Kristy, ataupun Ebiet G Ade, apakah momentum sejarah seperti reformasi bisa lahir? Belum tentu. Para seniman-seniman bersuara kritis ini telah memberikan sinyal kepada seluruh warga bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Melalui lagu, mereka mengisi kesadaran orang tentang perlunya menentukan sikap. Melalui syair, mereka menggedor hasrat anak-anak muda untuk segera bangkit dan meluruskan berbagai kesalahan yang dilakukan anak bangsa.

Karier Gombloh terbilang unik. Ia pernah belajar di jurusan arsitektur, Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya. Namun belajar di kampus bukanlah dunianya. Ia lalu bergabung dengan Leo Kristi dan Franky Sahilatua. Selanjutnya ia ber-solo karier. Ia menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat kecil melalui lagu Doa Seorang Pelacur, Kilang-Kilang, Poligami Poligami, Nyanyi Anak Seorang Pencuri, Selamat Pagi Kotaku. Ia juga membuat beberapa lagu bertemakan lingkungan, salah satunya adalah Lestarikan Alamku yang kerap dinyanyikan para aktivis. Lirik-liriknya khas, sedikit nakal, dan kadang misterius.

Sosok ini dikenang karena lagu-lagunya yang menggugah nasionalisme. Di antaranyaa dalah lagu Dewa Ruci, Gugur Bunga, Gaung Mojokerto-Surabaya, Indonesia Kami, Indonesiaku, Indonesiamu, Pesan Buat Negeriku, dan BK, lagu yang bertutur tentang Bung Karno, sang proklamator. Lagunya Kebyar Kebyar banyak dinyanyikan di masa perjuangan menuntut reformasi.

Gombloh

Gombloh memang sosok legendaris. Pada tahun 2012 lalu, saya bertemu Prof William Frederick, seorang profesor sejarah di kampus Ohio University, Amerika Serikat. Profesor ini amat mengagumi dedikasi dan nasionalisme yang dipancakan Gombloh. Menurutnya, pada diri musisi seperti Gombloh, kita bisa melihat bagaimana perubahan sosial perlahan disulut, bagaimana upaya menebalkan kecintaan pada atanah air, serta bagaimana mengasah kepekaan sosial atas apa yang terjadi. Bagi profesor ini, lagu-lagu Gombloh adalah jendela untuk memahami perubahan.

Tak hanya William Frederick, peneliti Martin Hitch juga banyak membahas lagu-lagu Gombloh saat mempresentasikan risetnya yang bertajuk, "Social Criticsm in the Songs of 1980’s Indonesian Pop Country Singers", yang dibawakan dalam seminar musik The Society of Ethnomusicology di Toronto, Kanada, pada tahun 2000. Ia mengutip beberapa lagu Gombloh demi menunjukkan keping-keping kenyataan yang dilihat sang seniman, yang kemudian diabadikan dalam lagu.

Saya sepakat dengan tuturan Gilderoy Lockard dalam buku Dance of Life. Popular Music and Politics in Southeast Asia, yang terbit pada tahun 1998. Ia mengatakan bahwa selalu ada hubungan antara musik populer dan situasi politik di Asia Tenggara. Ia percaya bahwa seorang penyanyi memiliki peran sebagai aktor politik, yang menggunakan musik sebagai senjata untuk menentang kemapanan satu rezim. Dalam konteks ini, lagu-lagu dan syair yang dihasilkan Gombloh adalah potret realitas sosial, yang secara perlahan telah membakar hati banyak orang tentang situasi zaman kita dan perlunya untuk mengingatkan rezim.

Pada titik ini, kita bisa mengatakan bahwa Gombloh adalah pahlawan besar yang menjadikan lirik dan lagu sebagai senjata. Ia menyajikan potret buram tanah air, sekaligus menyajikan perlunya membangkitkan semangat untuk menyeesaikan kerja-kerja yang belum tuntas. Lagu Kebyar-Kebyar menjadi pernyataan sikap Gombloh terhadap tanah air Indonesia, sebagaimana syair, “debar jantungku, getar nadiku berbaur dalam semangatmu”.

***

HARI ini saya mendengarkan lagu Gombloh dinyanyikan band Arkarna. Batin saya dibasahi oleh semangat Indonesia. Yang segera terasa adalah kebanggaan sebagai bangsa dan negara yang lagu-lagunya dinyanyikan oleh bangsa lain. Yang terasa adalah harapan bahwa bangsa ini “sejak dulu selalu dipuja-puja bangsa.” Melalui Arkarna, kita melihat kembali betapa bangsa kita selalu punya harapan dan potensi besar untuk berkibar di mana-mana.

Melalui Arkarna pula, kita bisa memperbarui kecintaan kita pada beberapa sosok seperti Gombloh. Saatnya memberikan apresiasi pada banyak warga biasa yang memberikan kontribusi pemikirannya untuk negara. Saatnya untuk melihat kemerdekaan sebagai kerja bersama, yang tidak hanya melibatkan para militer, namun juga seluruh elemen masyarakat. Adalah salah kaprah mengidentikkan kemerdekaan dengan tugas para pemanggul senjata. Selama sekian tahun, gambaran kita tentang kemerdekaan adalah perlawanan bersenjata, aksi tembak-menembak, serta prajurit yang terluka di medan peperangan.

Jika tekun membaca sejarah, kita akan menemui satu kesimpulan penting bahwa perjuangan persenjata hanyalah kepingan kecil yang menyangga rumah besar bernama kemerdekaan. Makanya, negara harus hadir untuk memberikan perlindungan kepada seluruh anak bangsa, tanpa kecuali.

Pada diri Gombloh, kita bisa menemukan cermin untuk kembali melihat Indonesia. Kita bisa menyaksikan berbagai masalah, coreng-moreng di wajah bangsa, serta betapa sedikitnya yang kita lakukan untuk mengisi bangsa ini. Pada diri Gombloh, kita menyaksikan Indonesia.


Bogor, 17 Agustus 2015


BACA JUGA:




Yang Mengesankan dari Pramuka



DI sekitar rumah, banyak orang yang berseragam pramuka. Batin saya tiba-tiba saja mengenang masa-masa mengenakan seragam itu. Saya mengingat saat-saat meninggalkan bangku sekolah demi menyusuri gunung-gunung dan sungai-sungai. Pada masa itu, saya menganggap kegiatan pramuka dan perkemahan jauh lebih penting dari belajar di sekolah.

Puluhan tahun berlalu, saya tetap merasa bahwa pendapat itu benar. Kegiatan mengarungi alam bebas itu justru menjadi kenangan paling indah yang pernah saya kenang di masa sekolah. Kegiatan itu beberapa kali menyelamatkan hidup saya di masa kini.

Belakangan ini, saya berkeliling ke banyak desa untuk melakukan penelitian, kegiatan menulis, serta memfasilitasi warga desa. Saya berpindah ke banyak titik di tanah air sembari terus-menerus belajar di berbagai tempat. Pada setiap desa-desa itu selalu saja saya bertemu banyak orang baik yang juga berpengetahuan. Mereka adalah guru-guru hebat yang mengajari ilmu-ilmu kehidupan.

Setiap kali melakukan perjalanan, saya selalu terkenang perjalanan di masa-masa remaja, saat masih bergabung dalam Pramuka. Dahulu, perjalanan ke alam bebas amatlah menggembirakan. Saya sungguh beruntung sebab bisa mengenali banyak desa serta punya sahabat di mana-mana.

Saya menggemari suasana perkemahan. Di situ, selalu ada pembagian tugas. Biasanya, saya akan memilih tugas sebagai korfei atau juru masak. Mengapa? Sebab seorang juru masak tak diwajibkan untuk mengikuti upacara malam. Bagian lain yang paling saya sukai adalah pesta di api unggun. Saya punya banyak koleksi lagu-lagu serta permainan yang bisa mengundang tawa.

Memang, pada saat itu ada juga kenakalan-kenakalan. Misalnya, menyelundupkan kue-kue, menyembunyikan tas para perempuan, ataupun memanjat kelapa milik penduduk. Semuanya dilakukan untuk sekadar mengaktualisasikan keisengan.

Andaikan tak ada Pramuka, barangkali saya tak punya hasrat kuat untuk berpetualang. Organisasi ini sejak dini telah mengenalkan nikmatnya perkemahan di alam-alam bebas. Pengetahuan yang masih membekas adalah pengetahuan tali temali serta bagaimana menghindarkan diri dari ular dan binatang melata lainnya. Saya masih ingat persis bahwa saat berkemah, kami sering menabur garam di sekitar tenda. Tujuannya, agar ular tak mendekat.

Melalui Pramuka, saya belajar untuk mandiri serta berpetualang. Ternyata, organisasi ini sangat efektif mengajari anak-anak kebiasaan berkunjung ke desa-desa dan bertemu masyarakatnya. Organisasi inilah yang paling awal mengajarkan bagaimana terjun ke masyarakat demi memgasah kepekaan. Saat aktif di organisasi ini, saya mengelilingi banyak desa, menjalin persahabatan dengan banyak orang di berbagai kampung, bersahabat dengan pekatnya malam serta tidur beratapkan bintang-bintang. Semuanya dilakukan pada usia muda.

Sayangnya, perkembangan organisasi ini belakangan agak mengecewakan saya. Pernah saya membaca liputan media tentang perkemahan anak-anak yang di sekelilingnya, ada banyak restoran fast food membuka gerai. Pernah pula saya melihat perkemahan yang diadakan di dalam sebuah mal atau kawasan perbelanjaan. Perkemahan di zaman kini tak semandiri perkemahan di zaman dahulu yang lebih menekankan pada keberanian, kerjasama, serta petualangan menelusuri desa-desa dan kawasan.

Setiap zaman punya cerita. Saya beruntung pernah bergabung dengan organisasi yang telah menajamkan kemandirian, mengasah kepekaan, serta memperkuat solidaritas dengan banyak orang di berbagai desa. Saya bahagia dengan pengalaman itu, meskipun kerap miris saat mengenang nasibnya di masa kini yang kian terpinggirkan oleh keadaan.

Satya kudarmakan, darma kubaktikan!


Bogor, 14 Agustus 2015

Empat Teori atas Pergantian Andrinof



RASANYA, tak ada yang kurang pada diri Andrinof Chaniago. Ia seorang akademisi dari Universitas Indonesia yang menulis buku Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik Akar Krisis Indonesia. Ketika dirinya diserahi tugas untuk mengatur perencanaan pembangunan, prestasinya dianggap tidak mengkilap. Malah ia di-reshuffle dan digantikan sosok lain. Lantas, apa penjelasannya mengapa ia diturunkan setelah bekerja keras selama 10 bulan?

Ada beberapa teori yang bisa dikemukakan. Pertama, barangkali Andrinof kurang bisa memahami apa yang diinginkan oleh presiden. Selama sepuluh bulan, ia tidak tahu mana prioritas dan mana bukan prioritas. Namun, rasanya argumentasi ini amat lemah sebab beliau telah lama mendampingi presiden. Ia jelas tahu mulai dari A sampai Z gagasan sang pemimpin. Malah, boleh jadi ia yang menyusun ide-ide dan visi-misi bagi presiden di sepanjang tahap kampanye hingga eksekusi program.

Kedua, digantinya Andrinof adalah sinyal dari takluknya para ilmuwan sosial politik dalam perencanaan pembangunan. Nampaknya, pemerintah sedang membutuhkan karakter seorang ekonom untuk mengembalikan keadaan yang nyaris terpuruk. Figur ekonom lebih dibutuhkan untuk menstabilkan rupiah, ketimbang seorang ahli ilmu politik yang barangkali kesulitan untuk menata kelembagaan Bappenas. Kehadiran ekonom dianggap penting untuk menghidupkan kegiatan ekonomi ketimbang menyusun basis perencanaan yang kuat untuk prioritas jangka panjang bangsa ini.

Semua paham bahwa selama puluhan tahun, arah pembangunan nasional dikendalikan para ekonom yang dianggap lebih memahami jalannya pembangunan. Apalagi, mainstream pembangunan kita diukur dengan beberapa indikator yang kuantitatif, dan mengabaikan aspek sosiologis dan budaya. Pada titik ini, kita bisa paham mengapa Andrinof akhirnya digeser. Ia hanya bisa meletakkan landasan, di saat pemerintah butuh lesatan ekonomi.

Ketiga, harus diakui kalau Andrinof kurang bisa membumikan gagasannya yang hebat-hebat di level praktis. Dunia akademisi jelas berbeda dengan dunia praktisi, khususnya dunia pengambilan kebijakan. Dunia akademik berkaitan dengan salah-benar, serta sejauh mana pengetahuan itu bisa dituliskan dalam jurnal ilmiah, yang kemudian meningkatkan branding seorang ilmuwan. Andrinof bisa melihat celah-celah dari pelaksanaan pembangunan, tapi dia belum tentu bisa menyusun formula untuk mengatasinya. Mempraksiskan satu gagasan jauh lebih sulit dari sekadar melihat celah-celah dan menyusun rekomendasi akademis.

Keempat, Andrinof sedang memasang badan untuk menyelamatkan presiden. Bisa jadi, tekanan yang dihadapi presiden dari semua partai politik memberikan ruang bagi reshuffle kabinat untuk sekadar memberikan permen atau pemanis bagi partai politik. Yang dikorbankan adalah figur yang tidak punya back up partai yang kuat, serta punya kesetiaan hebat pada presiden. Figur yang diganti adalah figur yang punya risiko politik paling kecil.

Mungkin saja, Andrinof bersedia menjadi tameng atau perisai untuk menyelamatkan presiden dari partai politik. Ia bersedia digeser demi memberikan napas dan ruang bagi sang presiden. Namun ia tahu persis bahwa presiden itu tak akan meninggalkannya. Barangkali setelah ini, ia akan mendapatkan satu posisi strategis yang kelak akan menjadi ruang bermain yang cukup lapang bagi dirinya. Hal yang sama bisa juga menjelaskan mengapa Andi Widjayanto diganti dari posisi Sekretaris Kabinet. Biaya politik dan sosial atas penggantian mereka lebih kecil ketimbang mengganti sosok politisi murni.

Sekali lagi, ini hanya teori. Anda berhak untuk memilih mana teori mana yang benar. Boleh jadi pula, tak ada satupun teori di atas yang paling mendekati kenyataan. Itu hak anda untuk menilai. Tabik.


Bogor, 13 Agustus 2015

Di Balik Terkuaknya Misteri Kematian Rian



DI berbagai media, saya menyaksikan berbagai kisah tentang terkuaknya misteri kematian seorang asisten direktur sebuah perusahaan seluler. Berita seperti ini bukanlah hal baru. Saya tak suka kalau berita itu mengulang-ulang kalimat bahwa perempuan yang jadi korban itu seseorang yang cantik dan kaya-raya. Lantas, apakah harus cantik dulu untuk bisa merebut atensi media sehingga selalu diberitakan?

Tapi ada hal yang membuat saya terharu menyaksikan berita ini. Terkuaknya misteri kematian perempuan bernama Rian itu berkat kegigihan seorang ibu yang mencari anaknya selama delapan bulan. Terbukanya misteri itu karena firasat dan kecurigaan seorang ibu yang ingin mengetahui apapun keadaan anaknya.

Inilah kekuatan seorang ibu. Betapa dirinya tak bisa tenang saat mengetahui anaknya lama menghilang. Ia bersabar mengumpulkan fakta demi fakta, lalu nekad mendatangi rumah kekasih anaknya. Ia melabrak lelaki itu kala menyaksikan mobil anaknya di situ. Ia ngotot mempertanyakan nasib anaknya, hingga akhirnya tetangga berdatangan dan membantu untuk melerai.

Ibu itu tak berhenti. Ia mengontak polisi dan menyampaikan kecurigaannya terkait mobil anaknya. Polisi lalu bergerak. Fakta demi fakta disisir, hingga akhirnya lelaki itu lalu ditangkap karena dugaan pemalsuan surat kepemilikan mobil. Di sinilah misteri mulai tersibak. Saat sang ibu bertemu lelaki itu, misteri akhirnya terjawab. Interogasi sang ibu berbuah hasil ketika lelaki itu mengakui perbuatannya.

Saya sangat yakin kalau ibu itu hanya menginginkan kejelasan nasib anaknya. Ia ingin tahu bahwa pencariannya selama delapan bulan akan berakhir sebab keadaan anaknya telah diketahui. Mungkin saja ia kehilangan harapan dan memiliki firasat kalau anaknya telah tewas. Akan tetapi, kebenaran harus ditemukan agar sang ibu tak terombang-ambing di tengah misteri dan ketidakpastian.

Seorang ibu adalah seseorang yang meletakkan semua bahagianya pada bahagia anaknya. Saat anaknya dizalimi, batinnya ikut merasakan derita anaknya. Seorang anak ibarat organ seorang ibu yang lepas, lalu tumbuh mandiri. Namun ikatan abadi itu tetap kokoh bertahan. Meski waktu dan garis takdir memisahkan mereka, firasat seorang ibu akan selalu menjadi telaga yang membuat anak itu kembali dan menemukan air yang mengatasi rasa haus.

Pada diri ibu itu, kita menyaksikan kegigihan serta kasih sayang. Dalam keadaan apapun, seorang ibu pasti ingin memastikan keadaan anaknya. Ia tak akan mungkin duduk diam di rumah dengan tenang saat mengetahui bahwa sang anak telah lama menghilang. Ia akan bangkit, menelusuri berbagai fakta dan tempat, hingga akhirnya menemukan titik terang tentang keadaan anaknya.

Sayang, kepastian nasib itu adalah sesuatu yang amat menyedihkannya. Dugaan saya, ibu itu telah siap dengan apapun hasil pencariannya. Ia hanya ingin memastikan semua kebenaran, dan tidak tenggelam dalam berbagai spekulasi. Bahkan ketika anaknya telah tewas sekalipun, ia tak akan pernah berhenti mencurahkan kasih sayangnya, yang semoga menjadi jalan terang bagi Rian di alam sana.

Pada diri setiap ibu terdapat butiran cinta yang paling bening untuk anaknya, sebagaimana tercatat dalam syair, “Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.”


Bogor, 9 Agustus 2015


BACA JUGA:



Peradaban yang Meminggirkan Lautan


“Somahe ke kehage”
Gelombang adalah tantangan kehidupan

--Syair orang Talaud


BOCAH itu bersorak ketika perahu layar yang dikemudikannya melesat. Ia tertawa gembira ketika angin bertiup kencang hingga perahu itu ke tengah lautan. Ia amat bersuka-cita tatkala perahu itu mengikuti irama gelombang lalu terus melaju. Ia terus mengayuh sembari bersenandung, “Nenek moyangku orang pelaut. Gemar mengarung luas samudera!”

Setahun silam, di pesisir Pulau Buton, saya menyaksikan bocah kecil itu. Dalam usia belia, ia justru tak sedikitpun merasakan takut kala menyusuri lautan. Ia menjadikan laut sebagai tempat bermain yang mengasyikkan. Ia tak khawatir akan tenggelam, ditelan gelombang, atau barangkali perahunya akan pecah. Ia justru menemukan kegembiraan saat berada di laut.

Di berbagai pulau lain, saya menyaksikan pemandangan yang sama. Di Berau, Kalimantan Timur, saya menyaksikan bocah-bocah belia dari Suku Bajo mengemudikan perahu layar. Mereka menjadi atlet yang kerap membawa nama daerah itu di ajang perlombaan perahu layar. Mereka melihat lautan serupa pelukis yang sedang menyaksikan kanvas untuk digores dengan aneka warna.

beberapa anak suku Bajo yang berlatih perahu layar di Berau



Bocah-bocah yang riang gembira di lautan itu telah menggedor kesadaran saya tentang lautan sebagai mata air kebudayaan. Betapa lautan telah lama menjadi sahabat bagi berbagai suku bangsa. Betapa lautan telah mengasah kemampuan berbagai suku bangsa hingga mereka sanggup menaklukan samudera-samudera luas. Betapa lautan telah menjadi ibu bagi peradaban dan kebudayaan yang seharusnya menjadi pilar-pilar penyangga negeri ini.

Lantas mengapa selama sekian tahun kita hanya memperhatikan darat sebagai rumah, tanpa memandang lautan?

Sejarah kita memiliki catatan emas tentang beberapa peradaban yang menguasai lautan. Sayang, beberapa peradaban itu justru runtuh karena kegagalan untuk menjaga ritme dan dinamika peradaban menjadi sesuatu yang positif dan menguatkan. Sejarawan Hilmar Farid benar, setelah eranya Sriwijaya dan Majapahit yang digdaya karena perkasa menaklukan laut, kita nyaris tak punya peradaban hebat yang bisa dibanggakan.

Peradaban hari ini dibangun di daratan. Kita telah lama memunggungi lautan. Kita berkhianat pada peradaban yang pernah melahirkan tradisi dan budaya kita. Lebih parah lagi, kita telah memosisikan pulau-pulau sebagai wilayah terjauh, menjadi wilayah terdepan republik ini. Sungguh lucu, salah satu direktorat di Kementerian kelautan dan Perikanan dinamakan Direktorat Pulau-Pulau Kecil dan Terluar. Mengapa harus dinamakan terluar? Mengapa tak dinamakan sebagai pulau terdepan yang merupakan teras dan halaman utama rumah negeri ini?

Menggunakan kata terluar seolah menegaskan cara pandang yang menempatkan kota (urban area) sebagai pusat dari peradaban. Padahal, sejarah mengajarkan kita bahwa lautan adalah rahim peradaban yang menghubungkan banyak peradaban, serta menjadi perekat berbagai tradisi dan etnik di bangsa ini.

perahu layar di Pelabuhan Paotere, Makassar

Dalam berbagai kebudayaan, lautan adalah jantung dan urat nadi kehidupan kehidupan. Kalimat pembuka tulisan ini adalah syair orang Talaud yakni “Somahe kei kehage” yang bermakna “gelombang adalah tantangan kehidupan.” Syair ini menggambarkan bahwa lautan adalah unsur pokok bagi masyarakat yang bercorak bahari. Lautan adalah metafora kehidupan masyarakat. Dalam banyak budaya, ombak di lautan adalah simbol dari berbagai tantangan yang dihadapi. Mereka yang berhasil meniti ombak adalah mereka yang sukses melalui lautan.

Orang Buton di Sulawesi Tenggara juga memiliki istilah terkait lautan. Mereka memiliki metafor tentang Kesultanan Buton sebagai perahu yang berlayar. Tugas kesultanan adalah menjaga keseimbangan perahu sehingga semua penumpang –metafor dari masyarakat—bisa tiba dengan selamat ke tujuan. Mereka juga punya menyebut seorang sahabat dengan kata “sabangka”, yang bermakna teman seperahu.

Tak hanya Buton, orang-orang Bajo banyak menciptakan istilah-istilah yang terkait lautan. Semua istilah itu kian terang menunjukkan pada kita bahwa lautan sangat penting bagi masyarakat kita. Lautan adalah semesta kehidupan itu sendiri.

Dalam berbagai ujaran, kita sering mendengar ungkapan ‘Jangan Lupa Daratan.’ Jika direnungi lebih dalam, ungkapan ini muncul dari satu masyarakat yang kebanyakan menjalani hari di lautan. Daratan seolah sesuatu yang tidak lagi penting sehingga tiba-tiba dilupakan. Dalam berbagai budaya, persahabatan sering disimbolkan sebagai keadaan ketika dua orang berada dalam perahu. Mereka akan saling bahu-membahu dan menolong agar tiba di tujuan. Kuat tidaknya satu persahabatan akan dilihat pada sejauh mana keduanya bisa saling menautkan kerjasama dan rasa saling membutuhkan.           

Sayangnya, selama beberapa dekade, orientasi kekuasaan kita memusat ke daratan, dan bersifat konsentris. Sejarawan Dennys Lombard pernah menggambarkan karakter kuasa beberapa kerajaan agraris yang menempatkan keraton sebagai pusat, lalu kutaraja, hingga akhirnya pulau-pulau terbelakang. Paradigma ini kemudian mempengaruhi cara berpikir kita yang melihat daratan sebagai unsur yang jauh lebih penting ketimbang lautan.

Kini, saatnya mengubah cara berpikir itu. Lautan harus dilihat kembali sebagai pusat dari segala aktivitas. Sungguh membahagiakan saat menyadari, bahwa seiring dengan keberpihakan pemerintah pada sektor maritim, istilah pulau-pulau terdepan mulai sering dipergunakan oleh masyarakat dan media massa. Ini menunjukkan adanya kesadaran maritim yang mulai tumbuh di kalangan warga masyarakat. Ungkapan “Jalesveva Jayamahe" yang bermakna "Di Laut Kita Jaya" harusnya dibumikan menjadi kenyataan. Negeri ini harus memperkuat armada maritim demi mengawal kedaulatan bangsa. Negeri ini harus menegakkan marwahnya di lautan dan samudera.



Namun menegakkan marwah pada lautan tak selalu bermakna membangun pelabuhan-pelabuhan besar, kapal-kapal dagang, serta perdagangan antar pulau. Keberpihakan pada laut hanya akan bangkit tatkala kesadaran maritim mengisi segenap ruang-ruang kebangsaan kita, saat spirit maritim menjadi napas yang menghidupkan gerap pembangunan, saat nilai-nilai solidaritas di lautan selalu menjadi buhul yang mengikat seluruh negeri menjadi kesatuan hebat yang tak terkalahkan oleh arus utara.

Di lautan, kita punya banyak pekerjaan rumah. Bocah-bocah penakluk lautan itu telah menunjukkan jalan yang harus digapai. Saatnya bergegas dan memasuki lautan kehidupan dan melalui berbagai ombak yang menggulung tinggi. Saatnya menaikkan layar kebangsaan dan menggapai pulau tujuan bersama.


Bogor, 9 Agustus 2015
Catatan lama yang terserak di laptop

BACA JUGA: