Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Saat Obama dan Bill Gates Begadang



Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka  yang masuk menemui malam

-- Chairil Anwar (1922 – 1949)


JAUH sebelum Rhoma Irama memopulerkan lagu Begadang, aktivitas begadang atau tidak tidur di waktu malam telah lama dilakoni orang. Di banyak tempat, ada banyak orang hebat yang justru bekerja keras di waktu malam. Mereka mengurangi waktu tidur, dan fokus untuk melakukan sesuatu yang kemudian mengubah dunia. Perubahan banyak dirancang pada malam hari, pada saat banyak orang terlelap.

Marilah kita mengikuti kisah tentang Barrack Obama. Presiden Amerika Serikat (AS) ini selalu mengisi malam hari dnegan banyak kegiatan. Ia amat bangga menyebut dirinya sebagai night owl atau burung hantu demi menggambarkan dirinya yang selalu terjaga di waktu malam. Ia menyiapkan berbagai hal dengan teliti, sebelum melakoninya pada keesokan hari.

Ia selalu bangun pada pukul 07.30 pagi. Ia tak pernah terlambat. Sekali terlambat, agendanya akan berantakan. Ia akan memulai hari dengan berolahraga di gym, selanjutnya mandi dan memulai aktivitas sampai sore. Sebagai presiden, ia akan menerima banyak tamu, menyelesaikan beberapa hal penting, hingga melakoni beberapa seremoni.


Bagi Obama, waktu berjalan rapi, tanpa banyak perubahan. Sesibuk apapun pekerjaan, ia akan menghentikan aktivitasnya pada pukul 06.30 sore. Ia akan kembali ke rumah, lalu menjalani peran sebagai suami bagi istrinya, Michele, serta sebagai ayah bagi dua anaknya. Seusai makan malam, ia akan meluangkan waktu untuk bercengkerama dan bermain bersama anak-anaknya hingga pukul 20.30. “Sesibuk apapun, saya akan selalu punya waktu untuk keluarga. Itu jauh lebih penting dari apapun,” katanya.

Ketika istri dan anaknya istrahat, mulailah lelaki ini memulai aktivitas. Ia akan membaca berbagai dokumen, lalu mempelajari banyak hal. Ia membaca banyak berkas briefing hingga pukul 22.30 malam. Setelah itu ia akan membaca buku terbaru selama setengah jam atau lebih. Kadang-kadang ia akan menelepon beberapa staf senior, hingga akhirnya tidur pada pukul 1.00 dini hari.

Ternyata, ia tak selalu bekerja. Kadang-kadang ia menghidupkan televisi dan menonton American Football, berselancar di internet melalui Ipad, hingga menelepon beberapa kepala negara lainnya. Sebelum tidur, ia akan kembali membaca buku hingga akhirnya terlelap. Apakah gerangan? Ternyata ia membaca novel. Baginya, novel sama pentingnya dengan buku-buku yang dibaca dengan kening berkerut. Sebab novel mengasah rasa, menajamkan nurani, serta menjernihkan pikiran dengan perspektif baru. “Kelola harimu dengan penuh antisipasi,” katanya suatu ketika. Persiapkan segala hal yang kamu lakukan dengan matang hingga akhirnya kamu menjalaninya.

Kebiasaan Obama sama dengan kebiasaan Bill Gates, yang dikenal sebagai manusia terkaya di dunia. Sejak masih muda, ia dikenal sebagai seorang kutu buku. Ia akan menghabiskan hari-harinya dengan membaca buku. Tak hanya komputer ciptaannya yang harus di-upgrade, wawasannya pun harus selalu dikembangkan. Kepada teman-temannya, ia rajin merekomendasikan buku. Di antara buku yang direkomendasikan adalah Made in USA dan Making the Modern World: Materials and Dematerialization yang ditulis Vaclac Smill.

Pemilik Microsoft ini mengisi malam harinya dengan membaca. Ia membantah anggapan yang menyebutkan bahwa seorang pebisnis tak perlu banyak membaca. Baginya, membaca adalah inspirasi yang membawa dirinya berkelana ke tempat-tempat yang jauh. Melalui membaca, ia bisa berkelana ke manapun, belajar berbagai pengetahuan baru, lalu merancang berbagai ide-ide baru. Ia seorang pembelajar yang tak pernah puas.

Kebiasaan lain di malam hari adalah mencuci piring. Entah kenapa, ia menyukai aktivitas mencuci piring di malam hari. Kebiasaan ini dilakukannya sejak masih muda. Barangkali, ia menemukan banyak inspirasi saat mencuci piring. Saat melakukan itu, mungkin ia memikirkan banyak ide-ide brilian yang kemudian diterapkan dalam bisnisnya. Ia bisa berkontemplasi di saat melakukan aktivitasnya. Entah.

***

DUA kisah di atas saya temukan tanpa sengaja saat membaca buku yang membahas rutinitas malam beberapa tokoh hebat dunia. Banyak orang yang menemukan inspirasi dan pikiran jernih pada malam hari, pada saat orang lain sedang beristirahat. Di malam hari, mereka menemukan ketenangan lalu me-recharge pikirannya dengan berbagai gagasan baru demi menatap esok hari yang lebih matang.

Mereka tak sekadar begadang atau bermain gitar di malam hari, sebagaimana dilakukan Bang Rhoma. Mereka mengasah diri, membaca, ataupun menulis demi menjaga agar sungai gagasan tak pernah surut dalam dirinya. Mereka melakukan banyak hal demi menghadapi hari-hari mendatang. Melalui persiapan yang matang, mereka siap mengadapi segala skenario yang bisa muncul.

Beberapa sosok hebat yang kisahnya saya baca justru mengurangi waktu istirahat menjadi empat atau lima jam. Waktu diubah menjadi lebih produktif.. Mereka disiplin dalam mengisi waktu dengan hal positif, serta memastikan hari-hari berjalan sesuai perencanaan yang sebelumnya telah disusun.

Jujur, manusia Indonesia akan kesulitan untuk menjalani hari yang sedemikian tertata. Barangkali, kita akan lebih suka dengan melakukan sesuatu tanpa perencanaan, lalu membiarkan segala hal terjadi. Di satu sisi, sikap ini menunjukkan kita sebagai bangsa yang tak terbiasa menyusun rencana dan antisipasi. Tapi di sisi lain, sebagaimana dicatat peneliti Hisanori Sato, sikap hidup itu mencerminkan nurani kita yang selalu merasa cukup serta rasa bahagia yang tak habis-habis.

Artinya, selalu ada pelajaran di balik setiap tindakan-tindakan kita. Akan tetapi, mengisi malam dnegan aktivitas positif jauh lebih baik ketimbang menjalani hari yang biasa dan terjebak rutinitas. Bukankah kehidupan memiliki gelombang yang sering tak menentu dan kerap menghempaskan kita dengan amat kejam?


Bogor, 28 Juli 2015
Saat sedang begadang



Menguak Rahasia Youtube dan Instagram


ilustrasi

DI satu toko buku, saya melihat buku yang berkisah tentang para pebisnis dunia. Saya tiba-tiba saja tertarik untuk membaca sambil berdiri. Dalam waktu singkat, saya menelusuri kisah pendiri Youtube dan Instagram. Ternyata dibalik produk hebat, terdapat gagasan-gagasan sederhana yang dirawat dengan tekun hingga akhirnya menjadi kuat mengakar. Di balik kisah hebat, terdapat banyak sinisme dan nujuman akan gagal.

Saya akhirnya mendapat definisi baru tentang kehebatan. Bahwa mereka yang hebat bukanlah mereka yang meraup pundi-pundi hingga jutaan dollar. Bukan pula mereka yang memiliki harta berlimpah serta rumah mewah di mana-mana. Mereka yang hebat adalah mereka yang selalu bisa bangkit dari kegagalan, mereka yang bisa mengabaikan semua sikap sinis dan ketidakpercayaan orang lain, mereka yang bisa menemukan passion yakni sesuatu yang disukainya dan bekerja untuk merawat kesukaan itu.

Kita mulai dari Youtube, situs yang paling banyak menayangkan video, serta menyediakan ruang bagi siapapun untuk memposting video.  Kisah tentang Youtube bermula dari tiga anak muda bernama Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim yang selalu kumpul-kumpul dan membahas banyak hal. Ketiganya sama-sama bekerja di PayPal, perusahaan pembayaran online.

Ketiganya selalu begadang dan ngobrol tentang ide-ide bisnis. Mereka sering bertengkar dengan sengit dan tak menemukan satu ide brilian yang sama-sama disukai. Suatu hari mereka menyadari bahwa mereka punya hobi yang sama yakni mendokumentasikan sesuatu. Mereka sama-sama narsis dan suka memamerkan videonya.

Ide untuk membuat Youtube bermula dari kekesalan. Mereka sama-sama kesal karena kesulitan meng-upload video di internet. Mereka lalu berpikir untuk membuat sebuah situs yang bisa memungkinkan mereka untuk meng-upload video dengan secepat mungkin sehingga bisa memperlihatkannya pada rekan-rekannya

Dari sebuah garasi di San Francisco (Amerika Serikat) pada tahun 2005, mereka lalu mendiskusikan situs web yang kelak akan sangat populer di dunia maya. Sejarah itu bermula dari video pertama yakni Jawed yang sedang berada di kandang gajah. Tak punya modal, mereka lalu membuat promosi dari mulut ke mulut, lalu mengirimkan email ke banyak orang.

Kesuksesan tak lantas datang. Di masa awal, situs itu tak juga ramai dikunjungi. Hingga akhirnya, ketiganya menemukan satu formula hebat untuk menggapai kesuksesan. Formula itu disebut Tiga C yakni Content, Community, dan Commerce. Mereka menyadari bahwa sebuah situs harus seperti warung kopi yang memiliki komunitas, punya rasa kopi yang hebat, serta sukses membuat orang akan selalu datang.

tiga pendiri Youtube: Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim

Mereka lalu membenahi sistem. Youtube dibuat lebih simpel, bisa diakses siapapun, serta bisa membuat betah. Untuk commmunity, mereka membuat fitur ‘related videos’ yang membuat pengguna bisa lebih betah dan ingin melihat lebih banyak video. Mereka membenahi fitur share.

Tak disangka, dari garasi itu telah lahir sebuah revolusi besar di dunia visual. Dahulu, tayanganvisual hanya bisa dilahirkan oleh perusahaan-perusahaan besar, kini semua orang bisa memproduksi konten yang kemudian menjadi viral dan ditonton banyak orang, disebarkan melalui media sosial, lalu mendatangkan banyak pengiklan.

Youtube lalu menjadi fenomena baru yang bernilai jutaan dollar. Para pendirinya kaya-raya dan terus bertambah kaya. Jangan terkejut, Steve Chen dan Jawed karim baru berusia 36 tahun, sedangkan Chad Hurley baru berusia 38 tahun. Diusia muda itu mereka sukses membuat situs yang serupa ayam bertelur emas. Youtube masih akan terus-menerus mengeluarkan telur emas. Tak disangka, dari garasi sempit, sebuah gagasan bisa tumbuh dan mengubah dunia. Revolusi sedang terjadi.

***

KISAH Youtube tak berbeda dengan kisah pendiri Instagram. Sejarahnya bermula dari anak muda bernama Kevin Systrom. Lelaki yang pernah belajar di Stanford University ini dahulunya adalah karyawan di Google. Sejak awal, ia bermimpi untuk membuat wadah yang bisa menyalurkan hobi fotografi serta kegemarannya bermain-main di ranah internet. Ia lalu mulai merancag Instagram.

Demi mewujudkan impiannya, ia berani menolak pinangan Mark Zuckerberg untuk bekerja di facebook. Orang-orang menganggapnya gila sebab berani menolak kesempatan emas untuk mendapatkan gaji tinggi. Ia memilih untuk menjalankan idenya sendiri, apapun hasilnya. Ia bahagia apapun hasilnya, sepanjang ia punya kuasa untuk membumikan gagasannya. Demi impian, ia siap untuk menantang arus dan melaukan sesuatu.

Ia berpikir, jika dirinya bisa sukses di perusahaan orang lain, maka pastilah akan bisa sukses di perusahaan sendiri. Ia lalu mengajak beberapa orang, lalu mengembangkan beragam fitur. Ia menyajikan fitu yang menawa, di mana orang-orang bisa mengedit foto sendiri dan menambahkan beberapa efek yang disediakannya. Instagram dirancangnya fleksibel sebab hanya bisa dioperasikan dnegan menggunakan mobile phone. Prinsipnya, semua orang bisa menjadi fotografer, dan bisa membagikan pengalaman memotret kepada orang lain.

Kevin Systrom, pendiri Instagram

Tepat pada 6 Oktober 2010, ia mendaftarkan Instagram ke Apple Aps Store. Hanya dalam waktu sejam, aplikasi itu telah diunduh hingga lebih dari 10 ribu kali. Dalam sebulan, apikasi itu telah diunduh hingga lebih 100 ribu orang. Pada titik ini, Instagram sukses memikat hati banyak orang, yang kemudian saling terhubung dan setia berkirim kabar melalui gambar. Perlahan, semua pengiklan datang dan menjadikannya sebagai seorang yang kaya-raya.

Systrom mengaku tak terkejut dengan kian meroketnya Instagram yang menghasilkan jutaan dollar baginya. Kesuksesan itu, dianggapnya, datang karena gagasan yang dimilikinya adalah hal baru bagi pengguna internet. Kekuatannya bukan karena menghadirkan filter dan fasilitas edit, tapi kemampuan untuk membangun komunitas yang saling terhubung dan bertukar rasa melalui gambar.

***

DUA kisah di atas memberikan banyak inspirasi. Ada bayak kisah lain yang juga menakjubkan. Di antaranya adalah Evan Williams (pembuat Twitter), Ben Silberman (Pinterest), Dave Morin (Path), Jan Koum (WhatsApp), hingga Jeff Bezos (Amazon). Mereka semua adalah para penguasa dunia digital yang masih berusia muda.

Di tangan anak-anak muda seperti mereka, ada banyak lompatan berpikir serta revolusi di bidang bisnis. Mereka yang muda ini justru bisa melihat celah dan peluang, yang justru diabaikan oleh generasi tua. Melalui kemampuan melihat celah itu, gagasan-gagasan besar bisa dibumikan ke dalam langkah-langkah kecil yang kemudian menjadi lompatan besar.

Saya teringat pada buku Grown Up Dgital yang ditulis Don Tapscott. Ia menjelaskan keajaiban berpikir anak-anak muda yang kemudian mengubah dunia. Kata Tapscott, tak semua orang bisa memahami bahwa kaum muda kita berkembang dengan pesat sehingga sebelum usia dewasa, mereka telah memiliki kerajaan bisnis yang dibangun di atas fundasi hobi bermain mereka. Fenomena ini mengingatkan pada lirik yang dibuat Bob Dylan, “There’s something happening here but you don’t know what it is.”


Fenomena ini menjelaskan banyak hal. Selain sebegitu kuatnya ideologi American Dream yang membuat obsesi anak-anak Amerika hendak menggapai kemakmuran, juga menggambarkan bahwa impian yang ditanam sejak kecil akan menjadi kompas bagi seseorang untuk bergerak ke arah yang diidam-idamkannya. Hanya melalui kerja keras dan sikap tahan banting demi menggapai impian, seseorang akan menjadi sosok hebat di masa mendatang. Hanya dengan memeberikan kebebasan dan kemerdekaan, soerang anak bisa mengembangkan bakat bermain menjadi sesuatu yang kemudian menjadi industri bernilai jutaan dollar.

Kekuatan generasi yang saat ini berusia di bawah 40 tahun adalah kemampuan untuk menjadi konsumen sekaligus produsen bagi berbagai produk. Nilai-nilai generasi ini didapatkan melalui proses belajar sosial dan kolaborasi melalui teknologi. Di Jepang inovasi teknologi dan kemajuan itu diwakili oleh sosok Nobita yang selalu menginginkan teknologi baru dari kantung Doraemon. Melalui kisah itu, rasa lapar dan rasa haus pada teknologi terus dibangkitkan sehingga generasi baru tertantang untuk terus berinovasi dan melahirkan hal-hal baru.

Akan tetapi, satu hal yang saya saksikan, daya-daya inovasi itu hanya bisa lahir di tengah komunitas dan masyarakat yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi pengembangan bakat dan hobi. Penulis Malcolm Galdwell dalam Outlier menjelaskan bahwa hanya pada tanah yang gembur, sebuah bibit bisa tumbuh subur dan kelak menjadi pohon rindang. Artinya, hanya pada masyarakat yang mendukung kebebasan dan sikap positif, bakat-bakat besar akan bermunculan lalu mewarnai dunia masa depan. Di negara seperti Amerika Serikat dan Jepang, sikap positif dan dukungan terus dimunculkan demi melejitkan potensi anak mudanya agar bisa berpretasi besar.

Sewaktu saya tinggal di Amerika Serikat, saya bisa merasakan begitu kuatnya sikap positif serta dukungan masyarakat untuk kemajuan seseorang. Masyarakat dan dunia sekolah benar-benar menjadi lahan gembur yang memberikan dukungan agar seorang anak bisa tumbuh kokoh dan kelak dahan dan rantingnya akan menjangkau mega-mega.

Nah, pertanyaan yang kemudian mengganjal saya adalah bisakah bakat-bakat besar akan tumbuh di negeri ini ketika ruang-ruang maya justru dipenuhi oleh mereka yang selalu berpikir negatif dan menyebarkan virus-virus kebencian dan ketidakpercayaan pada banyak anak muda kita? Bisakah kita menciptakan generasi yang tangguh tatkala masyarakat kita justru memeihara kebencian pada sesamanya serta masih melihat tetangganya sebagai sosok yang harus dibenci hanya karena berbeda agama dan pilihan politik?

Biarlah, waktu yang kelak akan menjawab semuanya.



Bogor, 24 Juli 2015


BACA JUGA:


Merawat Denyut Bumi di Rimba Kalimantan



DI tengah belantara kota, di tengah hamparan manusia-manusia yang mengejar karier dan prestasi, di tengah banyaknya orang-orang yang memikirkan pencapaian materi, terdapat sejumlah anak muda yang mendapatkan bahagia melalui penjelajahan ke pulau-pulau terjauh.

Tak sekadar melakukan perjalanan dan memosting foto-foto di media sosial, mereka menjadi aktivis yang melakukan misi-misi penting untuk memberikan fasilitasi, pendampingan, dan penguatan pada masyarakat di tempat terpencil itu. Mereka mendedikasikan dirinya untuk mencintai alam, mengalir dalam gerak semesta, dan mewariskan bumi yang hijau untuk generasi mendatang.

***

SELAMA tiga hari, lelaki Ali Sasmirul menyusuri hutan, memasuki rimba raya Kalimantan, demi menemukan jejak orangutan. Bersama rekan-rekannya pada tim ekspedisi yang berada di bawah naungan The Nature Conservancy (TNC), ia melacak jejak orangutan lalu menyusuri habitatnya.

Perjalanan itu tak serupa ekspedisi menemukan harta karun. Ali dan temannya tak hendak menangkap, menjual, hingga mengekspor orangutan ke negara tetangga. Mereka ingin memahami hewan itu, berusaha untuk bersahabat dengan primata itu, lalu memahami suara-suara lirih orangutan yang kian tergusur dari habitatnya. “Perjalanan itu cukup berbahaya. Kami nekad melakukannya,” katanya.

Dari Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur, Ali menyusuri beberapa perkampungan Dayak. Di kampung-kampung itu ia menyerap kisah bahwa pada setiap musim buah, warga kampung kerap kali diganggu oleh orangutan yang juga datang untuk mengambil buah. Makanya, warga kampung kerap membawa tombak, mandau, parang, sumpit, dan anjing pemburu demi berjaga-jaga.

Braangkali Ali merasa masygul. Ia tahu persis bahwa posisi orangutan kian terjepit. Rumah rimba kian sempit akibat meluasnya pemukiman manusia. Yang lebih parah adalah hutan rimba menjadi konsesi yang diperuntukkan bagi banyak perusahaan sawit, pemegang hak pengelolaan hutan, hingga perusahaan tambang terus-menerus mengeruk bumi Kalimantan. Faktanya, hutan semakin sempit. Orangutan kekurangan bahan makanan, lalu masuklah mereka ke perkampungan penduduk demi mengambil buah, yang dahulu adalah hak mereka.

Perjalanan lalu dilanjutkan. Ali dan kawan-kawannya menelusuri Sungai Segah dnegan perahu katinting. Perjalanan itu menjadi berbahaya sebab sungai Kalimantan mengalir deras dan banyak batu-batu cadas. Setelah itu, mereka lalu masuk hutan hingga kawasan perbukitan. Mereka menyaksikan sendiri betapa ruang hidup orangutan semakin terbatas.

Perjalanan itu gagal menemukan orangutan, tapi Ali dan rekan-rekannya belajar banyak hal tentang betapa kritisnya bumi, dan betapa menyedihkannya menjadi orangutan yang kian kehilangan ruang. Namun, ketimbang menyalahkan perilaku manusia, jauh lebih baik melakukan sesuatu untuk mengembalikan alam sebagai rumah bersama bagi seluruh entitas mahluk bumi.

***

KISAH ekspedisi menemukan orangutan itu saya temukan dalam buku Sekolah di Atas Bukit, Kumpulan Kisah Inspiratif tentang Pengalaman Konservasi di Kalimantan Timur, terbitan Gramedia (2015). Buku ini memuat kumpulan kisah yang ditulis para aktivis konservasi saat menelusuri sisi paling dalam dari tanah air, merasakan denyut alam yang semakin melambat, lalu menyusun langkah-langkah antisipasi untuk menyelamatkan bumi di masa depan.

Bagian yang paling menarik buat saya adalah suka-duka saat memasuki rimba, menyaksikan langsung hutan yang tak seindah gambar-gambar di iklan keberhasilan pemerintah, lalu menyusun program untuk membumikan impian-impian kecil untuk bumi yang lebih baik dan lebih sejuk bagi semua pihak. Langkah-langkah kecil kaki anak muda ini digerakkan untuk mengenali alam, menelusuri sisi paling menarik tanah air, lalu menemukan diri mereka di situ sebagai noktah kecil di tengah semesta alam yang amat luas.

Di buku ini, saya menemukan kisah menarik dari Gilang Ramadhan, seorang volunteer  yang mengembangkan kurikulum untuk muatan lokal bagi warga pedalaman hutan. Ia mencatat dengan rapi bagaimana kondisi sekolah-sekolah di pedalaman yang sungguh miris. Ia menulis tentang guru yang bertugas di pedalaman namun berumah di kota serta keterbatasan jumlah pengajar. Di ebebrapa sekolah di atas bukit, ia hanya menemukan dua guru yang megajar. Jumlah ini sangat jauh dari ideal untuk meningkatkan kapasitas intelektual anak-anak.

Bagian paling dramatis adalah ketika Gilang menemukan satu surau yang tetap kosong pada saat salat Jumat. Ia bertanya mengapa surau itu kosong. Ia mendapat jawaban yang cukup mngiris hati. Guru mengaji yang terbiasa menjadi imam salat serta mengajari anak-anak di surau itu telah meninggal dunia. Hingga kini, tak ada yang bisa menggantikan sang guru. Surau itu menjadi sepi, bukan karena tiadanya guru mengaji itu, namun karena tiadanya satupun kader atau penerus yang bisa meneruskan semangat relawan dari sang guru. Surau itu sepi karena tiadanya kepedulian dan hasrat berpetualang dari para guru yang lebih suka bermukim di kota.

***

BUKU ini membersitkan kesadaran bahwa kegiatan konservasi pada dasarnya kegiatan yang selalu terkait dnegan masyarakat. Mustahil untuk menjaga alam semesta tanpa melibatkan partisipasi dari masyarakat lokal. Posisi para fasilitator dan peneliti hanyalah datang untuk satu program, dan setelah itu akan berpindah untuk menjalani misi yang lain. Makanya, penguatan masyarakat serta pendampingan sangatlah penting agar kelak mereka bisa menjadi penyelamat bumi dan semesta.

Buku ini menunjukkan bahwa kegiatan konservasi adalah kegiatan penuh daya hidup. Para penggiat konservasi adalah para penyelamat kehidupan yang harus berakrab-akrab dengan segala ketidaknyamanan di alam demi menemukan daya-daya hidup satu lingkungan yang akan disebarkan ke mana-mana.


Satu hal yang tak saya temukan di buku ini adalah upaya advokasi kepada pihak korporasi perkebunan dan pertambangan. Studi yang pernah saya lakukan menunjukkan bahwa para pelaku perkebunan dan pertambangan inilah yang lebih banyak membuat kerusakan alam sebab dikuasai oleh hasrat mencari untung di tengah rimba-raya. Para korporat ini kerap membuat peta konflik di masyarakat, kongkalikong dnegan pelaku kepentingan lain, lalu merusak bumi untuk kepentingan jangka pendek. Merekalh musuh nyata yang dengan mudahnya ditemukan di lapangan.

Idealnya, buku ini juga menyajikan fakta-fakta mendebarkan ketika para aktivis bertemu dengan para pelaku kepentingan itu. Maka kegiatan konservasi tak selalu berupa wisata melihat alam, lalu menumbuhkan ikhtiar untuk menjaganya, tapi juga misi-misi yang menyisahkan duka-duka dari mereka yang  berada di garda terdepan untuk melindungi bumi dan melindungi masyarakat adat.

Seusai membaca buku ini saya lalu berguman, bahwa pelaku konservasi adalah mereka yang menanam idealisme, lalu menjaga tanaman itu hingga kelak menjadi pohon rindang yang berbuah manis bagi alam. Tentu saja, buah manis itu tidak hanya dirasakan oleh mereka, tapi seluruh masyarakat dunia yang setiap harinya membutuhkan udara segar dan lingkungan yang baik untuk tumuh dan berkembang.

Bekerja untuk koservasi adalah bekerja untuk keabadian demi masa depan yang lebih baik. Saya sepakat dengan pernyataan bahwa tujuan kita merawat alam adalah untuk mewariskannya kepada anak cucu kelak. Sebab mereka pun berhak atas bumi yang hijau dan lestari, yang kelak akan kita wariskan.


Bogor, 23 Juli 2015

Pesan Lewat Twitter (1)



Lebih baik saya membenahi diri agar bisa masuk surga, daripada sibuk membuktikan orang lain akan masuk neraka.

Lebih baik saya mengulurkan tali persahabatan pada siapa saja, daripada sibuk memelihara kebencian pada siapa saja

Lebih baik saya selalu merasa kurang agar terus mengasah pengetahuan, daripada memelihara keangkuhan seolah diri yang terhebat.

Lebih baik saya menebar cinta dan kasih pada siapa saja, daripada sibuk menebar keresahan dan ketidaksukaan pada sesama.

Lebih baik saya menjadi segelas air yang mengatasi rasa haus dan mendatangkan kesegaran, daripada menjadi air bah yang menebar ketakutan dan menghancurkan pemukiman.

Lebih baik saya menyayangi, daripada saya menghinakan.

#edisirenungan


Nak, Tunjukkanlah Cahaya Kebaikan



Kalau agamamu memang membawa kebaikan bagi semesta, tunjukkanlah itu melalui cahaya kebaikan yang kau pancarkan kepada dunia sekitarmu. Buktikan pada orang-orang bahwa kebaikan agamamu itu menyatu dengan segala sikap, keikhlasan dan tindakanmu yang selalu ingin melihat dunia sebagai ladang amal kebaikan. Jangan sesekali berbangga dengan ibadahmu, sementara tetanggamu sedang kelaparan.

Kalau agamamu memang membawa kebenaran, tunjukkanlah itu melalui ikhtiarmu untuk selalu menemukan cahaya kebenaran. Perlihatkan semangat kebenaran itu melalui kesediaan untuk mendengarkan berbagai pendapat berbeda, lalu menerimanya dengan lapang dada. Jika kau tak sepakat, jelaskan dengan argumentasi yang logis dalam kalimat-kalimat yang tidak menghinakan, melainkan justru membahagiakan siapa saja yang berbeda pendapat denganmu. Bukankah perbedaan bisa membawa kebaikan?

Kalau agamamu memang menghadirkan kejujuran dan sikap terpuji, buktikanlah itu melalui sikapmu yang selalu menyebar kebaikan pada sesama. Bagikanlah selalu hal-hal yang menginspirasi dan membuat orang-orang melihat dunia dengan cara pandang positif. Jangan sesekali kau menyebar fitnah dan kebohongan yang justru bisa menyebabkan orang lain membencimu. Buka hatimu untuk selalu menyaring semua informasi. Jika baik teruskan, jika tak baik bagi sesama, luruskan.

Kalau agamamu memang bisa menyempurnakan karaktermu, tunjukkanlah dirimu sebagai pemilik karakter yang dapat dipercaya, sebagaimana pernah diperlihatkan Muhammad putra Abdullah. Jadilah pembawa kebaikan yang bisa dipercaya siapapun. Ubahlah semua musuh menjadi sahabat terdekatmu. Rekatkan tali silaturahmi dengan siapa saja, tanpa memandang apa agama dan keyakinannya. Perbaiki semua hubungan sosialmu dengan siapapun. Kesempurnaanmu terletak pada kekuatan karaktermu yang menyentuh hati banyak orang.

Jika kamu tak punya karakter itu, bukalah pikiranmu untuk selalu menyerap kearifan dan hikmah pada setiap jejak peradaban. Telusuri pengalaman semua sosok besar dan agung di masa silam dan masa kini, lalu buatlah sintesis bahwa mereka yang besar bukan karena keperkasaan dan kehebatannya, melainkan karena kekuatan karakternya yang membasahi dunia dengan embun kebajikan.

Kamu tak perlu sesempurna para nabi dan rasul. Kamu cukup jadi dirimu sendiri yang hendak menyapa dunia dengan senyum terbaikmu. Kamu cukup menjadi satu titik cahaya di tengah pekatnya kegelapan. Kamu cukup menjaga satu niat baik, dan menyingkirkan ribuan niat jahat dalam dirimu. Kamu cukup menjaga bara niat baik itu hingga kelak membesar dan membakar dunia yang penuh angkara.

Kutitipkan pesan ini untukmu Ara, my everything.


Kesempurnaan adalah Hasil dari Proses



Salah satu nikmat memiliki sahabat di mana-mana adalah selalu saja ada banyak orang yang mengirimkan buku. Seminggu silam, seseorang mengirimkan buku mengenai filsafat timur yang berjudul The Dance of Change. Saya suka sampulnya, yang terdapat kaligrafi indah Yin dan Yang, sebagai simbol dari maskulinitas dan feminimitas, dua sisi yang ada pada setiap manusia.

Pada bagian dalam buku, sang pengarang, Jusuf Sutanto, menjelaskan maksud kaligrafi itu adalah SABAR. Apa kaitan sabar dan kehidupan? Dalam filsafat Tionghoa, sabar adalah posisi aktif ketika seseorang terus-menerus menyempurnakan dirinya.

Seperti belajar ilmu pedang, kesempurnaan adalah hasil dari proses (fruit of direct experience), bukan sesuatu yang harus dikejar (something to grasp). Maka hidup harus dilihat sebagai sesuatu yang terus mengalir. Hidup adalah proses untuk terus belajar dan memperkaya endapan pengalaman. Hidup adalah gerak untuk menggapai kearifan demi merawat bumi dan menyelamatkan peradaban manusia di masa depan.

Ah, tiba-tiba saya teringat kata-kata Ali bin Abi Thalib. Bahwa kearifan itu berceceran di mana-mana. Tugas seorang Muslim adalah mengumpulkan dan menyerap semua ceceran kearifan dan hikmah itu demi memperkaya pengalaman batin kita, demi menajamkan visi tentang hidup yang lebih baik.



Mohon Maaf Lahir Batin



Kepada semua sahabat. Saya mohon maaf atas semua catatan blog yang tak berkenaan di hati. Saya akan merasa amat bersalah jika postingan itu telah melukai hati semua sahabat. Anggaplah semua postingan itu bertujuan untuk menguatkan silaturahmi, memperpendek jarak antar hati, serta didorong oleh niat untuk terus belajar.

Semoga kita bisa memulai kembali untuk meluruskan niat dan menata hati untuk tetap bisa saling mencerahkan dan menginspirasi di jagad media sosial yang begitu luas dan hiruk-pikuk ini. Mohon maaf atas segala khilaf. Mohon maaf atas segala kesalahan, baik yang disengaja, maupun yang tak disengaja. Happy Eid Mubarak 1436 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Bogor, 17 Juli 2015

Tolikara, Inspirasi, dan Benci yang Mengoyak


seorang remaja di Raja Ampat, Papua Barat

KENANGAN saya tentang para sahabat asal Papua adalah keceriaan, tawa riang, kebahagiaan, dan persahabatan. Sungguh tak adil jika mereka yang amat baik hati itu terus-terusan dianggap sebagai penebar konflik yang menyakiti hati banyak orang, yang justru berumah di luar Papua. Saatnya menegakkan hukum, dan kembali mempererat solidaritas sosial di tanah surga itu.

***

SAHABAT itu bernama Umar Werfete. Ia berasal dari Kaimana, negeri yang amat tersohor dengan senja yang indah di tanah Papua. Kami berkenalan saat sama-sama mendapatkan beasiswa untuk bersekolah ke luar negeri. Dikarenakan bahasa Inggris yang pas-pasan, kami harus memperdalam kemampuan berbahasa Inggris di kampus Universitas Indonesia. Kami teman sepejuangan yang berusaha meningkatkan kemampuan bahasa dalam waktu terbatas.

Sejak pertama mengenalnya, saya tahu kalau kami akan menjadi sahabat. Meskipun saat itu saya belum pernah ke Papua, namun kultur tanah itu dan kampung halaman saya tak jauh beda. Di kawasan timur Indonesia, ada banyak dialek serta bahasa, tapi entah kenapa, ada semacam benang merah komunikasi yang bisa menautkan berbagai etnik. Sejak awal, saya sudah bersahabat dan sering kali bersama-sama.

Pada masa itu, kami sama-sama khawatir tak bisa mencapai skor Toefl minimal untuk bisa berangkat sekolah. Kebanyakan kawan lain mati-matian belajar dan setiap hari latihan. Malah, beberapa di antara mereka meminta kepada sahabat yang bahasa Inggrisnya hebat untuk belajar di rumah. Segala persiapan ditempuh demi lulus tes.

Di tengah situasi itu, justru Umar yang saya lihat tetap tenang. Hampir tak pernah saya melihatnya panik saat menjelang ujian. Sehari sebelum ujian, ia masih berkeliaran di Monas sembari menenteng kamera. Ketika banyak sahabat belajar keras, ia tetap santai dan bersikap easy going saat menunggu hasil tes. Pada titik ini, saya sepaham dengannya.

Sosoknya identik dengan keceriaan. Ia tipe sahabat yang tak mau memikirkan hal yang susah-susah. Bersamanya, tak ada hal yang bisa membuat pusing kepala. Hampir setiap hari ia membawa segudang kisah-kisah lucu khas Papua yang selalu sukses membuat semua orang terpingkal-pingkal. Uniknya, ia sering juga mengeluarkan joke yang mengkritik orang Papua sendiri. Salah satunya adalah kebiasaan makan sirih. Ia pernah berkata, “Untuk apa makan sirih. Kau mau jadi burung kah?”

Pernah kami membahas agama. Ia seorang Muslim. Tapi di Papua, ia punya dua nama. Di kalangan Muslim, ia dipanggil Umar. Akan tetapi di kalangan orang Kristen, ia dipanggil Marthen. Meskipun ia sendiri seorang Muslim, agama tak pernah menjadi kategori sosial yang menghambat interaksinya dengan siapa saja. Sebab keluarganya sendiri ada yang Muslim, namun banyak pula yang Kristen. Tak ada hal yang membedakan mereka sebab sama-sama menyadari bahwa mereka adalah orang Papua yang satu tubuh, satu jiwa.

“Di Papua, kami tak pernah bahas agama. Malah kadang saya tidak tahu apa agamanya keluarga atau teman. Teman-teman juga sering mengira saya Kristen. Makanya saya sering dipanggil Marthen. Saya tak pernah persoalkan itu. Kami semua adalah keluarga,” katanya.

***

Saya juga dekat dengan sahabat asal Papua bernama Richardus Keiya. Lelaki yang dipanggil Riki ini berasal dari Nabire. Saya mengenalnya ketika sama-sama bergabung di tim IPB untuk melakukan riset tentang pemetaan desa berbasis masyarakat di Berau, Kalimantan Timur. Sebagaimana Umar, sosok ini juga sangat ceria sehingga disukai banyak orang di lokasi penelitian. Ia bisa menghidupkan suasana sehingga kegiatan riset menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan.

saya dan penari Papua
pinang, buah yang dikonsumsi bersama sirih di Papua

Kata seorang kawan, Riki adalah seorang penganut Kristen. Anehnya, saya tak pernah mendengar dirinya ke gereja atau membahas tentang Al Kitab. Saat kami berdiskusi, ia menunjukkan ketertarikan pada filsafat. Saat itu, saya merekomendasikan buku Sophie’s World, karangan Jostein Gardner, yang berisikan petualangan seorang anak perempuan yang belajar filsafat secara kronologis.

Rupanya buku itu amat disukai Riki. Ia pernah meminta saya untuk menjelaskan tentag kaitan antara permainan lego dan ajaran filsuf Democritus yang menemukan teori tentang atom. Saat itu saya mengatakan bahwa seorang lelaki adalah sekeping atom. Ia membutuhkan perempuan sebagai atom lain demi membentuk satu senyawa.

Ia tersenyum lalu mengeluarkan dompetnya. Ia memperlihatkan foto kekasihnya yang kini menjadi seorang tentara. Ternyata pacarnya adalah perempuan asal Jawa yang mengenakan jilbab. Mereka sama-sama sepakat untuk mengabaikan perbedaan, dan mencari persamaan-persamaan. Cinta menjadi kekuatan yang merekatkan hubungan mereka.

Hebatnya, Riki tak pernah mempersoalkan keyakinan mereka yang berbeda. Baginya, agama harus bisa mendekatkan jarak antar sesama manusia. “Abang, kami juga tak pernah bahas perbedaan. Biar waktu yang akan jawab kami akan ke mana setelah ini.”

***

PADA dua sosok ini saya belajar banyak untuk memahami Papua. Bagi mereka yang melihat sesuatu berdasar pengkotakan agama, pasti akan sukar menjelaskan fenomena dua sahabat ini. Mereka memang memeluk agama, tapi interaksi mereka sangatlah cair sebab agama tidak pernah mengelompokkan mereka ke dalam satu kubu.

Siapapun yang datang ke tanah ini, apapun agamanya, pasti akan disambut sebagai sahabat selagi membawa niat baik. Namun sekali seseorang membawa niat jahat, maka orang-orang akan enggan mendekat. Pada setiap kunjungan ke tanah ini, saya mendapat kehangatan dan persaudaraan yang amat erat, tanpa memandang agama dan asal-usul. Tanah ini serupa rumah yang selalu terbuka pada siapapun yang hadir.

Beberapa hari terakhir ini, ada berita tentang rusuh di Tolikara, Papua. Orang-orang dengan entengnya langsung menuding itu sebagai konflik agama. Mereka yang sejak awal mudah emosi itu langsung menyerukan kutukan dan makian melalui berbagai kanal media sosial. Kekerasan hendak dibalas dengan kekerasan. Fakta-fakta dipilah berdasar kepentingan. Fakta tentang masjid dibakar telah diperbesar, lalu mengabaikan fakta tentang penembakan yang telah menewaskan warga sipil.

Kita sungguh menyesalkan tragedi penyerangan dan pembakaran kios serta rumah ibadah. Tapi kita juga harusnya menyesalkan tragedi penembakan warga sipil yang kemudian menewaskan warga dan melukai banyak orang. Kios dan rumah ibadah itu bisa dibangun lebih mewah, tapi bagaimanakah mengembalikan nyawa warga yang tewas di sana? Siapakah pelaku dan korban di sana? Bagaimanakah mengembalikan tanah itu sehingga kembali menjadi tanah yang damai setelah darah bersimbah, dan publik dari berbagai tempat menyerukan kecaman?

Fakta lain yang kerap terabaikan adalah sejarah panjang konflik politik dan kepetingan di tanah itu. Sejak lama, Papua menjadi arena bagi berbagai korporasi dan pebisnis skala dunia yang tiba-tiba saja mengklaim tanah itu, hanya berdasarkan selembar surat dari pemerintah pusat, serta dukungan aparat keamanan. Posisi warga lokal hanya sebagai sekam yang sewaktu-waktu bisa dibakar demi menutupi satu praktik kejahatan korporasi yang sudah lama berlangsung di sana. Mereka bisa didor oleh para preman yang kerap berbaju penegak hukum. Warga lokal hanya sebagai penonton yang seaktu-waktu bisa dibakar emosinya, setelah sebelumnya dipanas-panasi oleh banyak orang yang tinggal di luar Papua.

seorang ibu tengah melayani pembeli di Sorong, Papua Barat

seorang anak sedang memancing

Tentu saja, di sana ada juga benih konflik. Tapi sejarah pulau itu yang panjang telah menunjukkan bahwa masyarakatnya sanggup mengelola kebaragaman serta perbedaan menjadi perekat hubungan sosial. Malah, mereka yang bertengkar di media sosial itu kerap mengabaikan fakta sosiologis orang Papua memang sejak awal tak pernah mempersoalkan perbedaan. Mereka yang banyak berdebat adalah mereka yang justru tak pernah menginjakkan kaki di tanah itu. Kenyataan lalu dipotret sederhana, yang sejatinya hanya sekadar melegitimasi benih konflik yang telah lama bersemayam di kepala masing-masing.

Di Tolikara memang ada konflik. Tapi benih-benih konflik yang paling besar justru tumbuh dalam benak kita semua yang berada di luar Papua. Benih itu muncul pada ketidaksiapan untuk menghadapi perbedaan, keinginan untuk menjadi mayoritas yang berkuasa segalanya, serta ketidakmampuan untuk menemukan cara-cara mengelola perbedaan menjadi sesuatu yang menguatkan masyarakat dan bangsa ini. Benih itu muncul pada setiap kutukan dan kecaman kita yang seolah merasa lebih tahu apa yang sedang terjadi di sana, padahal informasi kita hanya berdasar media-media penghasut dan selebaran yang datang entah dari mana.

Benih itu muncul pada liputan penuh hasutan dari berbagai media yang menginginkan pertengkaran dan debat runcng menjadi arena jihad. Benih konflik itu muncul pada sikap kita yang selalu melegalkan konflik melalui sejumlah kutipan ayat dan dalil.Benih konflik itu muncul pada keengganan kita untuk menemukan solusi bersama yang bisa kembali menyatukan solidaritas yang sempat terkoyak oleh rasa benci  dan amarah.

***

Di tengah eskalasi debat panjang di media sosial itu, saya tak pernah menyaksikan satupun kalimat atau komentar dari Umar dan Riki. Keduanya tak pernah satupun mengeluarkan kalimat yang memanasi konflik sosial sehingga semakin ramai. Keduanya malah tenang-tenang saja. Keduanya paham bahwa konflik hanya bisa diselesaikan oeh orang Papua sendiri, tanpa harus membiarkan berbagai kelompok masuk ke sana. Mereka punya kearifan, serta daya lentur menghadapi beragam perbedaan. Perekat mereka adalah semangat orang Papua yang ceria, selalu bersahabat, dan tak pernah memandang orang berdasarkan agama dan keyakinan.

Di saat konflik mulai mencuat, Riki mengirimkan pesan singkat, “Abangku menurut saya: di papua jarang sekali terjadi masalah agama. Yang saya tahu sejauh ini mereka aman2 dan akur. Yang saya takutkan adalah kasus ini di jadikan "permainan" oleh beberapa oknum.”

Saya sepakat dengan Riki. Saatnya menunggu tangan negara yang tak hanya menangkap para perusuh, tapi juga siap menangkap polisi yang melakukan penembakan. Saatnya negara menjadi Oediphus yang siap menegakkan hukum, meskipun kelak hukum itu akan menjerat dirinya sendiri. Saatnya menanam kembang perdamaian bersama seluruh warga Papua yang kelak akan menkar dan semerbak wangi di tanah surga itu. Saatnya mengembalikan energi besar dan keriangan orang Papua agar selalu menjadi inspirasi bagi bangsa kita. Saatnya menguatkan warga di negeri yang disebut vokalis Edo Kondologit sebagai "Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi, seluas tanah seluas madu, adalah harta harapan."


Bogor, 20 Juli 2015

BACA JUGA:




Senyum Manis di Jungleland




PEREMPUAN itu tersenyum manis ketika kamera saya arahkan kepadanya. Di Jungleland, tempat wisata yang penuh wahana bermain di Sentul, Jawa Barat, ia menjadi penari yang berbaju warna-warni. Beberapa detik kemudian, ia menuju panggung dan mulai menari. Gerakannya membuat saya terperangah. Wow.

Perempuan itu bekerja sebagai penari yang bisa melipat-lipat tubuhnya. Ia memeragakan gerak serupa kayang, lalu mengangkat kaki tegak lurus ke atas, serupa gerakan seorang penari balet yang lentur. Ia juga bersalto, yang gerakannya mengingatkan saya pada Nadia Comanechi, pesenam asal Rumania yang pernah mendapatkan nilai sempurna di ajang Olympiade.

Jungleland adalah wisata bermain yang mulai marak dikunjungi banyak orang. Kemarin, saya berkunjung ke areal wisata ini sembari membawa keluarga. Saya terpengaruh oleh brosur yang menyebutkan bahwa lokasi wisata ini lebih luas dari taman bermain yang terletak di Ancol, Jakarta. Ternyata, promosi itu memang benar.

Di areal parkiran bisa saya saksikan kalau pengunjung Jungleland kebanyakan berasal dari Jakarta. Maklumlah, posisi tempat bermain ini tak jauh dari pintu tol Sentul sehingga mudah ditemukan. Daya tarik utama tempat ini adalah alamnya yang masih sangat hijau lestari, hawa segar pegunungan, serta tempat bermain yang penuh dengan berbagai wahana.

Yup, di areal seluas 35 hektar, saya menemukan begitu banyak permainan. Sejak di loket masuk, saya sudah dibekali peta yang menampilkan semua wahana bermain. Tempat pertama yang saya kunjungi adalah tempat bermain untuk anak-anak. Semua wahana dibuat berukuran kecil dan memang hanya bisa dinaiki oleh anak-anak. Di banding tempat hiburan lain, tempat ini sangat ramah pada anak.

Saya melihat ada banyak permainan yang khusus digunakan oleh anak-anak. Di situ anak saya sangat senang dan mencoba semua wahana. Ia mencoba kereta, mobil balap, mobil yang bisa melompat, sepeda helikopter, mobil yang digunakan Optimus Prime dalam kisah Transformer, kincir angin, hingga komidi putar. Ia menikmati saat-saat mencoba permainan itu, serta tersenyum ceria saat turun. Ia selalu mengulang-ulang kalau dirinya berani mencobanya. Yah, semoga kelak ia akan berani dalam berbagai lapangan kehidupan.





Wahana selanjutnya yang saya kunjungi adalah beberapa wahana ekstrim. Ada pesawat yang bisa berputar 360 derajat, ada bandul yang bisa mengayun tinggi dan berputar, ada pula rumah jalangkung yang di dalamnya terdapat banyak pocong, dedemit, serta hantu. Sayang, saya tak berniat untuk mencobanya. Saya memilih untuk melihat-lihat histeria orang-orang yang mencobanya. Yang saya pikirkan adalah dalam diri orang dewasa, selalu ada hasrat untuk bermain, histeris, lalu tertawa lepas. Hidup menjadi lebih plong.

Puas menyaksikan berbagai wahana, saya lalu singgah ke rumah dinosaurus. Wahana ini lebih edukatif sebab menampilkan berbagai patung dinosaurus yang bisa menggerakkan badannya. Ada pula T-Rex yang bisa berteriak keras dengan suara yang menggelegar. Saya tiba-tiba saja ingin bertanya, bagaiamana sampai pembuat patung ini tahu suara dinosaurus? Kalau bentuk tubuh, maka bisa dirancang dengan melihat fosil. Lantas, bagaimana dengan suara?

Hingga akhirnya, saya bertemu dan terperangah menyaksikan perempuan penari itu.

Di area ini, tarian, karnaval, drama, serta parade kostum menjadi menu hiburan yang kerap ditampilkan. Seusai menari, perempuan itu ikut dalam rombongan karnaval. Ia berganti baju yang lain. Di sepanjang karnaval ia akan tersenyum ceria pada semua pengunjung. Nampaknya, tugasnya adalah menghibur semua orang agar sejenak melupakan segala gundah.







Ketika pengunjung dipersilakan untuk mengambil gambar, saya lalu mendekatinya. Setelah mengambil beberapa pose, saya memberanikan diri untuk bertanya sesuatu. Ia pun merespon pertanyaan itu dengan baik. Nampaknya, tugasnya memang membahagiakan semua orang.

“Apakah semua penari harus bahagia?” saya bertanya.
“Iya. Tugas kami kan untuk membahagiakan semua orang,” katanya.
“Trus, seusai menari, apakah kamu juga bahagia?”
“Iya. Saya bahagia,”
“Kalau kamu sedang tak bahagia, apakah harus tetap memaksakan diri untuk tersenyum?”

Ia tiba-tiba saja terdiam. Mukanya memerah. Entah, apakah pertanyaan itu salah ataukah benar. Yang pasti, ia langsung bergerak ke arah lain. Ia masih sempat tersenyum kepada seorang pengunjung, setelah itu bergerak ke arah satu bangunan. Saya tiba-tiba merasa bersalah. Barangkali ia sedang bersedih. Barangkali pula, pertanyaan saya tiba-tiba membuka satu lapis kesedihan dalam dirinya. Entahlah. Saya tak ingin berspekulasi.

Di ufuk sana, matahari tampak memerah. Saatnya bergegas pulang. Tiba-tiba saja saya teringat bahwa saya belum tahu nama perempuan itu. Saya juga belum mencatat nomor hapenya. Ah, semoga kelak bisa bertemu lagi.


Bogor, 18 Juli 2015