Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Cerita tentang Penyaksi Mary Jane

Dewi Themis, dewi keadilan


DARI Nusakambangan, Cilacap, sebuah berita terkirim. Eksekusi terhadap seorang pekerja migran asal Filipina, Mary Jane, akhirnya ditunda. Di Manila, sorak-sorai membahana. Ada riang yang dilepas ke udara. Namun saya tiba-tiba saja teringat pada seorang sahabat di Cilacap sana, yang mendapat tugas sebagai penyaksi atas perempuan Filipina itu. Bahagiakah dirinya?

***

SORE hari, 28 April 2015, teman itu mengirim gambar. Dirinya berpose di depan lembaga pemasyarakatan di Cilacap. Ia bekerja sebagai jaksa yang menuntut Mary Jane agar dihukum mati. Ia hadir di Nusakambangan untuk menyaksikan proses eksekusi. Ia menjadi penyaksi atas takdir Mary Jane, apakah dieksekusi sesuai rencana ataukah tidak.

Sejak bulan lalu, ia bercerita bahwa hari itu akan tiba, cepat atau lambat. Ia dalam posisi dilematis, sebab dirinya harus menyaksikan eksekusi. Sebagai manusia biasa, ia tak nyaman ketika menyaksikan proses saat jiwa mennggalkan raga. Tapi panggilan tugas mengharuskannya untuk berada pada saat-saat penting itu.

Sebagai jaksa, ia tak punya banyak pilihan. Ketika diminta untuk menjadi penuntut, ia mesti taat asas dan prosedur. Jika seseorang membawa narkoba dalam jumlah besar, maka jaksa harus menuntut setinggi-tingginya. Selanjutnya, seorang hakim yang akan menentukan apa hukuman yang diberikan. Apapun putusan hakim, jaksa berkewajiban untuk mengeksekusi, dan memastikan semuanya sesuai dengan keputusan pengadilan.

Kita terlanjur mempercayakan pengadilan sebagai penentu dan pengadil atas berbagai perkara. Pengadilan adalah wakil Tuhan yang berhak untuk memberikan vonis. Keberadaannya diikat oleh tatanan hukum, dikuatkan oleh konsensus, serta dilegitimasi oleh semua warga negara. Jika pengadilan mengatakan A, maka semua pihak wajib patuh. Bahkan para pemimpin pun harus tunduk pada keputusan pengadilan.

Kawan itu dalam posisi dilematis. Ia tak boleh mendengarkan berbagai opini publik saat persidangan. Opini adalah produk rekayasa dari segelintir orang yang mengendalikan wacana. Sementara hukum justru menutup mata atas berbagai opini. Ia hanya berurusan dnegan berbagai fakta yang diungkap di meja persidangan. Kalau fakta mengatakan A, maka sedahsyat apapun tekanan publik yang menghendaki bukan A, maka hukum akan memihak pada apa yang tersaji di persidangan. Di luar itu, hanyalah opini buatan para spin doctors yang tujuannya adalah menyesatkan informasi dan memenangkan wacana.

Kawan itu terikat pada berbagai aturan. Sebagai jaksa, ia sudah tahu bahwa jenis kesalahan yang disangkakan pada Mary jane mesti dituntut dengan hukuman mati. Barangkali, ia bisa saja menolak tuntutan itu. Akan tetapi, jika ia benar menolak, maka hukum bisa menjeratnya. Korps Kejaksaan akan memeriksanya, dengan asumsi kalau dirinya memiliki relasi dengan tersangka. Ia bisa dituduh menerima sesuatu, yang bisa mencemarkan perjalanan kariernya. Jika taat asas, ia mesti mengajukan tuntutan hukuman mati. Biar hakim yang memutuskan.

***

SENJA temaram di ujung Nusakambangan. Semuanya masih berjalan sesuai rencana. Sembilan tahanan akan dieksekusi oleh para penembak dari Brimob. Mereka sudah paham bahwa tak ada lagi celah hukum yang bisa ditempuh. Mereka pun telah berpamitan dengan keluarga, yang telah datang untuk menjemput jenazah.

Kawan itu sejenak melewati para demonstran yang membawa spanduk berisikan permintaan agar Mary jane segera bebas. Mary Jane dianggap hanyalah korban dari satu sindikasi internasional yang selama ini beroperasi di banyak negara. Tak ada yang tahu bahwa kawan itulah yang menjadi jaksa dan memberikan tuntutan hukuman mati. Semua berjalan biasa saja di tengah kecaman pada eksekusi yang akan segera di lakukan.

Demonstrasi dan suara-suara penolakan atas eksekusi perempuan Filipina itu merebak di mana-mana. Berbagai organisasi buruh dan pekerja internasional ikut bergabung. Ikut pula berbagai lembaga perempuan dan buruh migran internasional. Perempuan itu dianggap hanya sebagai sekrup kecil dari satu mata rantai besar bernama sindikasi internasional.

Kawan itu masih mengalami dilema. Ia masih harus mendamaikan dirinya yang sebentar lagi akan menjadi saksi atas proses eksekusi. Ini bukan soal benar dan salah. Ini adalah soal seberapa kuat dirimu kala menyaksikan tubuh manusia ditembus peluru, lalu tersungkur dan bersimbah darah.

Tengah malam. Semua tahanan dibawa ke lapangan tembak. Dari sembilan tahanan, hanya ada delapan orang yang dibawa ke sana. Tak ada Mary Jane di situ. Ada apakah gerangan? Tak lama kemudian ada pemberitahuan kalau eksekusi atas Mary Jane ditunda oleh pemerintah. Di Filipina, seorang perempuan, yang dahulu merekrutnya, telah menyerahkan diri. Kasus ini bisa terus berlanjut. Di Cilacap, warga Filipina yang hadir berteriak gembira dan memuji keagungan Tuhan.

Dor!!!

Suara tembakan aparat menyalak. Kawan itu telah meninggalkan Cilacap dengan sedikit lega. Ia tahu bahwa persidangan atas kasus itu akan digelar kembali. Ia akan kembali memasuki arena persidangan. Satu hal yang sedikit melegakannya, tak ada tubuh terbujur kaku yang harus disaksikannya malam itu. Sesaat ia tersenyum, sebelum memulai perjalanan. Tapi senyum itu hanya sesaat. Ia kembali tercekat kala mengingat delapan orang lain yang terkapar.


Bogor, 29 April 2015

Pantai Tak Menarik di Pesisir Jakarta



SEMUA orang butuh rekreasi. Semua orang butuh meregangkan urat saraf demi melepaskan beban kerja selama seminggu. Di Jakarta, rekreasi menjadi kanal dari segala kelelahan. Pada akhir pekan, orang-orang berbondong ke pantai-pantai di kawasan utara. Orang-orang memadati kawasan wisata Ancol lalu berenang di tepi salah pantainya.

Dari atas gondola, sejenis kabel ban, saya menyaksikan pantai-pantai yang diserbu orang-orang. Di mataku, pantai itu tak menarik. Pantainya berlumpur hitam. Pantai itu juga tidak begitu lebar. Malah, ada timbunan tanah yang menjorok di beberapa bagian. Mungkin tujuannya adalah memberi kaplingan atau penanda tentang daerah mana saja yang bisa digunakan untuk berenang.

Dari ketinggian sekitar 15 meter, saya mengambil gambar. Melihat pantai-pantai itu, saya tiba-tiba saja merasa miris. Saya membayangkan betapa indahnya pantai-pantai di kawasan timur. Di sana, pantai-pantai sedemikian eksotik dan memukau mata. Para pengunjung pantai di timur tak henti berdecak kagum atas keindahan pantai. Sementara di sini, saya justru merasa biasa saja.

Namun apakah orang-orang yang hadir di sini memiliki perasaan yang sama dengan saya? Ataukah mereka justru tak butuh pantai-pantai indah. Jangan-jangan, yang mereka butuhkan adalah tepian laut di mana mereka bisa sedikit berenang, tanpa perlu mendapatkan pemandangan hebat. Barangkali pula mereka hanya ingin melakukan rekreasi yang murah, dan tak perlu mengeluarkan biaya besar. Barangkali, mereka ingin menghemat biaya rekreasi. Tak perlu jauh-jauh, cukup dekat saja. Yang penting murah. Mungkin.





Di Balik Kisah “Seteru 1 Guru”



TUNTAS sudah saya membaca novel berjudul Seteru 1 Guru, terbitan Qanita (Mizan) tahun 2015. Novel ini berkisah tentang bagaimana pergulatan dari tiga murid Tjokroaminoto yakni Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo. Isinya menarik sebab membahas satu kepingan sejarah ketika tiga sosok itu tinggal bersama di satu rumah dan belajar pada satu guru. Kelak, ketiganya terpencar karena soal perbedaan ideologi dan garis perjuangan.

Di mata saya, Tjokroaminoto adalah seorang guru yang hebat. Ia tak pernah memaksakan semua muridnya untuk memilih jalan tertentu. Ia memberikan kebebasan sebagaimana burung merpati kepada semua murid-muridnya. Mereka bebas berkelana dan mempelajari beragam ideologi, sepanjang tetap dalam satu bingkai yakni kecintaan pada tanah air Indonesia.

Murid-muridnya lalu mengikuti takdir sejarahnya masing-masing. Ketiganya memilih jalan berbeda, yang kemudian dicatat secara berbeda pula oleh sejarah. Bahkan Tjokroaminoto sendiri pun menjalani jalannya sendiri. Ia meletakkan fundasi organisasi modern yang memantik kebangkitan nasional. Ia pula yang gagal mempersatukan berbagai model dan strategi perjuangan dari berbagai kelompok yang lahir sesudahnya. Takdir Tjokro adalah takdir seorang petani yang tak sempat menuai apa yang pernah ditanamnya.

Akan tetapi, ia sukses membakar semangat murid-muridnya yang dahulu tinggal di rumahnya, Gang Peneleh VII, Surabaya. Di rumahnya, ia menyemai ideologi perlawanan pada pemerintah kolonial. Ia membangkitkan satu kesadaran ideologis tentang pentingnya melihat bangsa sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dengan segenap energi.

Buku ini membuat saya sesaat merenung, betapa kuatnya pengaruh ideologi dalam menentukan gerak langkah seseorang. Tak peduli anda pernah bersahabat dengan seseorang, ketika ideologi memanggil, anda akan berhadap-hadapan. Pengalaman bersahabat hanya akan menjadi kenangan yang sesekali diingat kala berjumpa. Namun di belakang, perbedaan ideologi selalu akan mencuat ke permukaan.

Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo memilih jalan berbeda. Soekarno memilih jalan nasionalisme, Musso memilih komunisme, dan Karto memilih jalan Islam radikal. Meskipun gagasan Soekarno yang kemudian menempati ruang sejarah, bukan berarti gagasan dua yang lainnya tak punya cahaya kebenaran. Di dalam ruang sejarah, perbedaan harus selalu dilihat dari kacamata siapa yang mengendalikan rezim kebenaran. Soekarno hanya menang pada satu masa, namun di masa lain ia terjungkal.

Informasi dalam buku ini memang kaya dan dikemas menjadi cerita. Hanya saja, ada kekecewaan yang merembes saat membaca lembar demi lembar. Kesan saya, buku ini terlampau setiap pada naskah sejarah. Saya tak menemukan satupun informasi baru yang tak ada dalam beberapa catatan sejarawan. Hampir semua informasi yang dibahas pernah saya temukan dalam buku karya sejarawan Takashi Shiraishi yang berjudul An Age of Motion, diterjemahkan sebagai Zaman Bergerak. Beberapa informasi lainnya ada di buku Soekarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, serta buku tentang nasionalisme Indonesia karya Akira Nagazumi. Buku lain adalah karangan Korver yang berjudul Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?

Sebagai karya fiksi, harusnya pengarang buku lebih berani dalam mengutak-atik fakta sejarah. Ia tak perlu terlalu setia dengan detail-detail. Ia bolehlah sedikit bermain-main dengan berbagai warna dan fakta sejarah. Harusnya, fiksi membuatnya bebas dalam memainkan berbagai fakta-fakta umum yang selama ini dipegang oleh para sejarawan.

Yang saya sukai dari setiap fiksi sejarah adalah kejutan-kejutan yang bisa muncul dan tak terduga. Pengarang bebas untuk menafsirkan satu teks sejarah dan mengungkap berbagai kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja muncul. Bisa saja, pahlawan dalam versi sejarah resmi adalah sosok berbeda ketika ditampilkan dalam fiksi. Ini senantiasa terkait dengan posisi pijak (standpoint) seseorang ketika meneropong satu peristiwa. Entah kenapa, novel ini datar-datar saja.

Pengarang novel ini terkesan menjadikan Soekarno sebagai satu-satunya ikon kebenaran, sedangkan dua sosok lain sebagai pihak yang kalah. Padaal, jika dilihat secara substansi ideologi, ada kebenaran yang juga hendak disampaikan oleh dua sosok lain, kebenaran yang kemudian tenggelam oleh sejarah. Mestinya, fiksi bisa membuat kita berada di banyak sisi, mengasah mata batin kita untuk tidak terpaku pada apa yang tampak, menembus berbagai lapis kenyataan demi memahami bahwa manusia memang kompleks dan selalu memiliki penjelasan di balik setiap kejadian.


Bogor, 27 April 2015

Kebahagiaan Para Penulis



KEBAHAGIAAN terbesar seorang penulis adalah ketika menemukan namanya tertera pada sebuah buku. Kebahagiaan itu semakin betambah ganda ketika bertemu seseorang yang mengaku telah membaca buku tersebut. Bahagia itu semakin berlipat-lipat ketika orang tersebut mengakui mendapatkan banyak pelajaran, hikmah, dan inspirasi dari buku tersebut.

Kebahagiaan ini tak pernah bisa ditakar dengan materi sebesar apapun.


Bogor, 27 April 2015

Saat Orang Kota Kembali ke Kampung



HIDUP ini seringkali menyimpan banyak paradoks. Saat tinggal di kampung, saya membayangkan bahwa mereka yang tinggal di kota akan sangat bahagia dengan fasilitas yang ada. Ternyata justru sebaliknya. Orang kota kini harus membayar mahal demi gaya hidup seperti orang kampung. Lantas, mengapa pula ada yang malu menjadi orang kampung?

***

BEBERAPA hari silam, saya singgah ke Pasar Ah Poong di Sentul, Bogor. Saya mengajak keluarga untuk rekreasi di pusat kuliner yang terletak di tepi sungai, serta ada banyak perahu-perahu di situ. Saya melihat beberapa keluarga naik perahu dan mengelilingi telaga kecil yang panjangnya hanya sekitar 500 meter.

Anak saya merengek-rengek untuk naik perahu. Ia memang belum pernah naik ke perahu. Barangkali ia membayangkan kesenangan saat berkeliling telaga di atas air. Istri saya pun penasaran. Sejak dulu, ia membayangkan nikmatnya naik gondola di Venesia. Ia melihat aktivitas berperahu di telaga ini mirip dengan kartu pos bergambar gondola di Venesia. Ia ingin mencobanya.

Saya lalu bertanya ke seorang tukang perahu. Ternyata, untuk naik perahu itu selama 30 menit, kami harus membayar 50 ribu rupiah. Hah? Jumlah itu terlampau mahal untuk aktivitas yang barangkali cuma menelan waktu sekitar 30 menit. Lagian, saya bertanya-tanya dalam hati, apa sih nikmatnya berperahu di kolam sesempit itu?

Saya lahir dan besar di pulau kecil. Hampir setiap hari saya bersentuhan dengan laut. Saya terbiasa bermain bola di pasir putih lalu bermain dan berlari di situ. Kakek saya adalah nelayan. Ia sering menandai perahunya dengan dedaunan. Saya sangat mengenali perahu kakek, dan selalu saya gunakan saat bermain. Semua aktivitas itu dilakukan secara bebas dan penuh keriangan khas warga kampung.

Makanya, saya terheran-heran ketika harus membayar mahal demi naik ke perahu. Ternyata, orang-orang kota harus membayar mahal untuk satu aktivitas yang biasa dilakukan orang-orang di kampung nelayan. Bagi orang kota, berperahu adalah pengalaman unik dan mengasyikkan, sementara bagi orang kampung, berperahu adalah aktivitas biasa yang dilakukan setiap hari.

Nampaknya, sedang terjadi pergeseran. Di saat orang-orang di pedesaan ingin meniru gaya hidup orang perkotaan, maka orang kota justru sedang gandrung-gandrungnya dengan aktivitas orang kampung. Di kota, rumah-rumah ditata dengan taman rimbun, hutan kota, serta sungai-sungai jernih, sebagaimana yang biasa disaksikan di kampung. Bedanya, orang kota mesti membayar mahal untuk itu.


Tak hanya perahu. Beberapa hari silam, saya berkunjung ke satu sekolah alam yang menyediakan pendidikan untuk anak usia dini. Saya ingin tahu konsep yang diterapkan di sekolah, serta mengecek berapa biaya pendaftaran di sekolah itu. Kunjungan itu mengejutkan saya. Yang dimaksud sekolah alam adalah aktivitas sekolah yang lebih banyak dilakukan di alam terbuka. Anak-anak langsung belajar dan bermain di tepian hutan, setelah itu berdiskusi dan saling tukar pikiran.

Saya lebih terkejut saat mengetahui bahwa biaya pendaftaran sekolah alam adalah 9 juta rupiah. Hah? Demi untuk belajar di tepi hutan, anak-anak harus membayar mahal? Sewaktu kecil bermain di tepi hutan adalah bagian dari rutinitas. Saya malah menembus hutan-hutan demi memuaskan hasrat bertualang. Di kampung saya, semua pemukiman terletak di tepi hutan. Tak ada yang melarang anak-anak untuk bermain hingga ke dalam hutan.

Di kota, anak-anak harus membayar mahal demi belajar di sekolah yang materinya adalah bermain di tepi hutan. Nampaknya, hutan hijau, laut biru, sungai jernih, dan udara segar menjadi sesuatu yang amat mahal di kota. Manusia kota hidup di dalam ruang yang pengap, di sela-sela gedung bertingkat tinggi, hingga tak ada lagi lapangan dan tepian hutan untuk bermain.

Semua yang dianggap biasa di desa dan kampung justru menjadi sangat bernilai di kota-kota. Makanya, gaya hidup kembali ke alam yang tengah bergema di kota, harusnya dilihat sebagai kerinduan untuk kembali ke kampung dan menjalani kehidupan yang lebih sehat secara fisik dan spiritual. Kampung tak hanya menyediakan lahan bermain dan alam yang lebih sehat, namun juga memberikan kedamaian, sesuatu yang diupayakan agar disemai di berbagai lembaga pendidikan di kota-kota.

Tengoklah di berbagai kota. Gaya hidup yang selaras dengan ekologis, kampanye pangan lokal, penggunaan herbal untuk penyembuhan, konsep rumah penuh tanaman, hingga trend batu akik, menunjukkan betapa hasrat kuat untuk kembali ke kampung itu sedemikian kuat di benak orang kota. Betapa kampung dan desa menjadi ikon dari sesuatu yang romantis dan lebih mendebarkan, ketimbang kota yang penuh kemacetan.

saat anak saya di atas perahu

Itu yang saya saksikan di Pasar Ah Poong. Saya terkenang betapa mewahnya kehidupan sebagai anak kampung. Saya bersyukur tak lahir di tengah masyarakat kota, yang demi berperahu selama 30 menit harus membayar sebesar 50 ribu rupiah. Saya bangga tumbuh di kampung pesisir yang kini banyak didatangi orang kota turis asing yang hobi berenang dan menyelam.

Tapi saya agak sedih saat melihat anak saya yang tak mengalami kebahagiaan serta petualangan sebagaimana yang saya alami dahulu. Anak saya tumbuh sebagai generasi kota yang mulai tak mengenali indahnya bermain di pasir putih setiap hari. Ia menjadi bagian dari mereka yang harus membayar demi sekadar berperahu.

“Ayah, perahunya sudah datang. Horeee...! teriak anak saya.

Kali ini, saya tak merasakan kegembiraan sepertinya. Saya hanya bisa memandang perahu itu sembari mengenang hal-hal biasa yang dianggap hebat oleh orang-orang di telaga ini.(*)



Bogor, 23 April 2015

Sepucuk Pesan dari GHANA


SEPUCUK pesan memasuki email pribadiku. Penulisnya bernama Prince Adu, seorang sahabat asal Ghana. Aku dan dia adalah sahabat semasa di kampus Ohio. Ia mengirim kabar singkat yang kalimatnya menyentuh hati. “Semoga Konferensi Asia Afrika di Bandung menorehkan sejarah baru bagi dunia. Everyone has the right to choose their own history,” katanya.

Aku tiba-tiba saja terkenang pada diskusi-diskusi kami. Mulai dari bagaimana tatanan dunia, posisi negara-negara berkembang. Hingga satu saat ketika kami sama-sama mendiskusikan Konferensi Asia Afrika (KAA) serta peran besar Sukarno di situ. Ternyata, nama Sukarno bergema hingga negeri Ghana, merasuk dalam pikiran banyak orang, termasuk di antaranya adalah sosok nasionalis Ghana, Kwame Nkrumah, yang kemudian menjadi presiden pertama.

Prince Adu

Pada mulanya kami tak bersahabat. Kami hanya sesekali ketemu di acara yang melibatkan mahasiswa internasional. Pernah, aku diundang mahasiswa Afrika untuk menyaksikan atraksi tari dan musik etnik. Aku cukup menikmatinya. Prince Adu datang sebagai salah satu pemimpin organisasi mahasiswa Afrika. Ia mengenakan pakaian etnik yang khas. Bahu yang legam nampak kokoh. Di situlah kami mulai mengobrol.

Suatu hari, kami mengambil kelas yang sama yakni Communication and Development yang diasuh Dr Cambridge. Pada sesi perkenalan, aku dan Prince Adu duduk berdampingan. Saat dia memperkenalkan diri berasal dari Ghana, dan aku menyebut berasal dari Indonesia, Dr Cambridge langsung bersemangat. “Saya serasa melihat dua sosok penting yakni Sukarno dan Kwame Nkrumah. Keduanya adalah pemantik nyala konferensi hebat di Bandung tahun 1955,” katanya.

Aku paham bahwa Dr Cambridge hanya bercanda, Namun aku melihat sisi lain dari pesan itu. Bahwa peristiwa Bandung adalah awal mula dari peristiwa besar yang kemudian menyebar sebagai berita gembira bagi bangsa-bangsa yang merasakan kolonialisme.

“Pertama kalinya saya menyaksikan bangsa-bangsa kulit berwarna duduk bersama lalu menyatakan sikap anti pada penjajahan. Pesan dari Bandung itu lalu tersebar ke seluruh dunia, membangunkan seluruh bangsa-bangs ayang tengah berjuang untuk menggapai kemerdekaan. Semuanya dimulai dari Bandung,” kata Dr Cambridge.

Seusai kelas Dr Cambridge, aku mulai akrab dengan Prince Adu. Aku mulai mendapatkan satu perspektif lain tentang Sukarno di mata orang Afrika. Ia bercerita tentang persahabatan abadi antara pendiri dan presiden pertama Ghana yakni Dr Kwame Nkrumah. Katanya, Sukarno bersama Nkrumah pernah mencatat sejarah paling brilliant sebagai pemimpin negara dunia ketiga. Bersama tokoh lainnya yakni Nehru (India), Gamal Abdul Nassser (Mesir), dan Tito (Yugoslavia), mereka mengadakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dan menjadi momen bersejarah yang kemudian menggelorakan semangat bangsa Asia Afrika untuk bangkit melawan penjajahan. 

Pemrakarsa KAA. Kwame Krumah (dua dari kiri)

“Harap dicatat. Saat itu Ghana belum berdiri. Ia masih bernama Gold Coast. Tapi Sukarno memberikan kepercayaan kepada Nkrumah untuk sama-sama berdiri sebagai pemimpin negara yang berdaulat. Mereka lalu menantang negara-negara maju yang saat itu sibuk berkonflik. Mereka mendeklarasikan kesepahaman bahwa bangsa-bangsa Asia Afrika mesti bangkit dari penjajahan dan tekanan bangsa asing. Bukankah itu luar biasa?” katanya. 

Sebagai pendiri Ghana, nama Nkrumah memang sangat membekas di hati semua orang Ghana. Sebab pria itu bukan saja mendirikan Ghana, namun juga dicatat sebagai salah satu intelektual Ghana yang cemerlang di zamannya. Sebagai seorang penganut paham sosialisme, ia menulis banyak buku yang kemudian jadi rujukan. Buku karya Nkrumah berjudul Coensciencism: Philosophy and Ideology for De-Colonisation menjadi buku wajib untuk dibaca. Lewat buku ini, tergambar jelas betapa jernihnya pemikiran Nkrumah untuk bangsa Afrika. Jika Nkrumah menempati posisi istimewa, bagaimanakah halnya dengan Sukarno yang di masa silam sangat menjaga persahabatan dengan Nkrumah? 

Prince Adu menunjukkan sebuah foto tentang kedatangan Sukarno di Ghana. Saat itu, Sukarno disambut sebagai seorang pemimpin dunia. Semua orang mengelu-elukan kedatangannya sebagai pemimpin bangsa dunia ketiga. Setelah mengecek pada beberapa kliping lama, kunjungan tersebut terjadi pada tanggal 16 Mei 1961. Saat Sukarno datang, ia disambut dengan 21 dentuman meriam sebagai tanda penghormatan. 

***

Bersama Prince Adu
LAMA tak berjumpa dengannya, aku tersentak saat membaca pesan dari Prince Adu. Rupanya, ia masih setia mengikuti berbagai perkembangan dunia. Ia masih menjadi shaabat yang idealis dan rajin membaca. Aku teringat pada kebanggaannya karena terlahir sebagai orang Afrika. Semoga saja dirinya menggapai impiannya untuk menghasilkan sesuatu yang inovatif dan bermakna bagi masyarakatnya.

Kesan kuat yang tertanam di benakku adalah gagasan hebat akan selalu menjadi benih yang tumbuh di mana-mana, kelak akan jadi pohon rindang yang menghadirkan banyak buah manis. Pada satu masa, ada gagasan kuat tentang perdamaian serta sikap atas kolonialisme, gagasan itu lalu tumbuh dan memiliki akar kuat di masa kini.

Pada mulanya, bangsa Asia Afrika adalah pariah di tengah pergaulan global. Kini, mereka adalah tuan sekaligus subyek yang bisa menentukan jalan sejarahnya sendiri. Jika dahulu jalan sejarah itu adalah sikap anti-kolonialisme, maka jalan sejarah hari ini adalah keberanian untuk membangun ekonomi yang mandiri, dengan desain yang ditentukan sendiri, bukan ditentukan oleh bangsa lain.

Pesan Prince Adu dari Ghana itu terus membekas. Memang, tanggungjawab sejarah itu tidak kecil. Aku teringat kalimat Sukarno bahwa kemerdekaan adalah gerbang emas untuk memasuki era baru. Kini, saatnya menyusun refleksi, apakah kita telah tiba di era baru itu ataukah tidak? Ataukah kita masuh berada di posisi yang sama dengan era Sukarno ketika keberanian memang dibutuhkan untuk mengalahkan segala bentuk penjajahan?

Entah.


Bogor, 23 April 2015

Mereka yang Menghadirkan Cahaya


ilustrasi

PEREMPUAN itu berwajah manis. Ia alumnus Cornell University, satu universitas terkenal di negeri Paman Sam. Tadinya saya mengira dirinya bekerja sebagai karyawan dari sebuah korporasi internasional. Saya pun sempat menyangka dirinya bekerja sebagai konsultan, atau minimal menempati posisi penting di satu lembaga internasional. Semuanya keliru. Perempuan itu ingin jadi fasilitator masyarakat desa di pulau-pulau terluar.

“Saya ingin merasakan bagaimana denyut nadi tanah air di pulau-pulau terluar. Saya ingin merasakan bagaimana detak jantung warga perbatasan yang didera ketidaknyamanan. Saya ingin lebih mencintai tanah air sebagai rumah besar bagi semua orang,” katanya saat saya temui di sela-sela pembekalan fasilitator.

Sebelumnya, ia menjadi relawan program Indonesia Mengajar yang digagas Prof Anies Baswedan. Kelar dari program itu, ia mencari program lain yang bisa menematkan dirinya di desa-desa terpencil. Ia lalu melamar sebagai fasilitator pada Destructive Fishing Watch (DFW). Kini, ia siap ditempatkan di pulau-pulau terluar demi membantu masyarakat desa pesisir yang menjadi target pendampingan program pemerintah. Ia ibarat prajurit yang siap setiap saat menuju medan laga.

Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah gerangan yang dicarinya? Dengan ijazah dan pengalamannya, ia bisa saja bekerja di tempat bonafid di sepanjang Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman. Namun ia memilih jalan berbeda. Ia bergerak mengikuti kata hatinya untuk menggapai sesuatu yang menjadi passion-nya sejak lama yakni bekerja bersama masyarakat pedesaan.

Ia tak sendirian. Saya juga bertemu dengan perempuan bergelar magister dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Pengalamannya segudang. Ia pernah bekerja dengan berbagai lembaga internasional di bidang konservasi. Ketika ijazah magister di tangan, ia tak melamar sebagai konsultan atau sebagai policy analist di satu lembaga internasional. Ia ingin bekerja di pulau-pulau kecil.

Seusai berkenalan dengan dua sosok tadi, saya juga bertemu dengan seorang perempuan yang baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pegawai bank. Ia memilih jadi fasilitator demi idealismenya untuk bekerja di tempat-tempat terjauh. Ia seorang pemimpi yang tak cuma bisa bermimpi. Ia membumikannya dalam langkah-langkah kecil sebagai fasilitator di desa pesisir.

Tahun ini adalah tahunnya masyarakat desa. Di berbagai instansi pemerintah, terdapat demikian banyak program untuk memberdayakan masyarakat desa. Hari ini, smeuanya berbicara tentang desa. Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hendak membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di beberapa pulau terpencil. Bekerjasama dengan DFW, dua kementerian itu lalu merekrut puluhan fasilitator yang akan ditempatkan di pulau-pulau terluar.

Mengapa pulau-pulau terluar? Sebab pulau-pulau itu selama ini terabaikan. Sejatinya, posisi mereka terdepan di republik ini. Harusnya, pulau-pulau kecil menjadi etalase yang menampilkan wajah bangsa sekaligus menunjukkan betapa hebatnya bagsa kita mengelola semua aset yang dimilikinya. Sayang, pulau-pulau dan warganya menjadi marginal karena tiadanya perhatian negara.

***

DI sela-sela pelatihan para fasilitator, saya bertemu dengan perempuan-perempuan hebat. Saya sungguh bahagia bisa bertemu dan berdiskusi dengan mereka. Tadinya, saya hadir ke situ untuk membagikan pengalaman tentang pesona pulau-pulau terluar. Tapi, saya memutuskan untuk menundanya. Biarlah mereka menemukan sendiri bagaimana kehidupan masyarakat pulau. Suka dan duka akan menjadi bagian dari petualangan yang harus mereka lalui demi merasakan pesona menjadi masyarakat pulau. Lewat suka dan duka itu, mereka akan menempa dirinya sekaligus membagukan pengetahuan pada orang lain.

Para perempuan ini sungguh beda dengan beberapa anak muda yang kerap saya temui di kota-kota. Banyak anak muda yang justru berbangga diri karena dekat dengan kekuasaan. Banyak yang bisanya hanya mencari sesuap nasi di jalur politik, entah itu menjadi tim bayangan ataupun menjadi demonstran bayaran. Banyak pula yang berbangga diri dengan kenderaan seri terbaru, atau memiliki rumah mentereng di usia muda.

Banyak anak muda kita yang bisanya menghardik kapitalisme, namun perilakunya adalah membawa proposal ke mana-mana. Banyak yang mengakui idealis, namun yang dilakukannya adalah membodohi massa untuk memilih cukong yang memberinya fasilitas. Jauh lebih banyak yang melihat sesuatu dengan tolok ukur materi. Hidup dilihatnya serupa sinetron yang menampilkan aktor ganteng dan kaya-raya.

Di banyak kota yang saya saksikan, penyakit anak-anak muda adalah pragmatisme dan keinginan untuk memperkaya diri. Mereka menjual suara dan menjanjikan gerakan. Mereka membawa-bawa proposal permintaan duit ke berbagai instansi pemerintah. Sesekali mereka memberikan ancaman demi mendatangkan uang bagi gaya hidup ala jetset.

beberapa fasilitator (foto; La Abdie)

Tapi beberapa perempuan muda yang saya temui ini sungguh beda. Mereka membuat saya terkagum-kagum. Saya tak menyangka, bahwa di tengah iklim masyarakat kita yang kian pragmatis, selalu saja ada manusia-manusia hebat yang berani menyimpang dari arus besar. Keberanian dan keikhlasan mereka untuk tinggal di pulau-pulau terluar ibarat matahari yang akan menerangi bangsa ini.

Kepada mereka, kita bisa menaruh keyakinan bahwa negeri ini akan selalu memiliki harapan untuk bangkit. Mereka mengingatkan saya pada ucapan Bunda Theresa: “Daripada terus-menerus mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin.”

Yup, merekalah lilin yang menerangi bangsa.


Jakarta, 21 April 2015
Selamat Hari Kartini

Kopi, Film, dan Sebutir CINTA



DARI sedemikian banyak film adaptasi karya tulis ke medium visual, barangkali hanya Filosofi Kopi yang membuat saya sangat puas dan tersenyum bahagia saat meninggalkan bioskop. Saya menikmati dialog-dialog filosofis yang bernas, namun dikemas menjadi santai. Saya menyenangi chemistry antara aktor-aktornya. Hanya saja, saya merasa tetap saja ada yang hilang seusai menonton film ini. Ada ruang kosong yang menganga di film ini.

***

LELAKI itu namanya Ben. Ia seorang barista yang mengklaim dirinya paling hebat. Ia terobsesi pada kesempurnaan. Ia siap melakukan apapun demi kesempurnaan itu. Ia mengenali kopi sampai sumsum terdalam. Hari-harinya adalah meracik kopi yang menghadirkan decak kagum bagi penikmatnya. Baginya, kopi dengan rasa hebat akan selalu dicari orang-orang. Makanya, ia meracik kopi dengan segala cita rasa dan taste seorang pencinta seni.

Indranya amat peka untuk mengenali kopi dengan aroma terbaik. Semakin baik bijih kopi yang dipilih, maka semakin sempurna pula rasa kopi. Ia meracik kopi laksana seorang maestro lukis yang mengenali setiap inchi dari kanvas yang digoresnya. Ia menggemari kopi lebih dari apapun.

Ia teramat idealis. Baginya, di tengah dunia yang sedemikian pragmatis, selalu saja ada ruang bagi yang menggemari kesempurnaan. Kopi tak sekadar minuman yang disajikan di saat seseorang sedang santai. Di balik minuman itu, terdapat makna-makna yang harusnya diurai dan ditemukan demi memperkaya pandangan atas hidup. Ben seorang pembelajar yang terus berusaha menemukan filosofi di balik setiap kopi yang dipilihnya.

“Kopi tubruk adalah simbol kesederhanaan,” katanya suatu ketika. Sebab kopi itu disajikan dengan amat simpel. Namun, sekian detik setelah kopi itu disajikan, aroma wangi kopi akan memencar. Di situlah letak kenikmatan kopi yang nampak biasa, namun luar biasa bagi para pencinta kopi.

Namun, Ben hanyalah satu sisi dari mata uang koin.

Jody adalah sisi koin yang lain. Berbeda dengan Ben, ia terobsesi dengan kesuksesan. Ia ingin mengelola kedai kopi dan menggapai banyak sukses. Di luar dari melayani pengunjung kedai, ia sibuk memperhatikan catatan laporan keuangan dari kedai yang dirasanya tak begitu indah angkanya. Ia tak begitu peduli dengan kualitas kopi yang disajikan. Bisnis jauh lebih penting dari apapun.

Ia dan Ben punya banyak perbedaan. Bagi Ben, orang-orang akan mencari kopi terbaik, di manapun itu. Bagi Jody, keuntungan material itu jauh lebih penting sebab merupakan napas dan oksigen bagi sebuah usaha kopi. Ia seorang kapitalis yang cermat dalam memilih harga kopi.

Hingga suatu hari, datang sebuah tantangan untuk menghadirkan kopi terbaik. Ben melakukan segala cara demi menemukan kopi itu. Ia berhasil menghadirkan sesuatu dengan rasa yang mendekati sempurna. Dipikirnya ia sudah menjadi yang terhebat. Hingga akhirnya, satu kenyataan telah menampar keras dirinya.

Kopi terbaik ternyata dihasilkan oleh satu petani di satu desa terpencil. Sang petani itu menyajikan kopi secara tradisional, di tengah perkebunan yang amat indah bersahaja. Sang petani tak punya banyak rahasia. Ia punya satu rahasia, yang tak dimiliki Ben, untuk menyajikan kopi ternikmat.

Petani itu punya banyak butiran CINTA.


***
 
DUA karakter itu saya temukan dalam film Filosofi Kopi, yang diangkat dari cerpen karya Dewi Lestari. Sebagai pembaca cerpennya, saya sangat terhibur dengan film ini. Tentu saja, filmnya disajikan lebih menarik. Karakternya disajikan lebih matang. Sebagai penonton, saya diajak untuk menelusuri sisi lain di balik aroma wangi kopi. Ada kisah tentang manusia. Ada kisah tentang suka dan duka di balik wanginya aroma kopi.

Saya menyukai karakter Ben dan Jody yang diperankan Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. Dialog keduanya mengalir alamiah dan lancar. Karakter keduanya berbeda, namun tetap dalam bingkai persahabatan. Perdebatan dan interaksi keduanya laksana bunyi dari dua genre musik yang saling bersahut-sahutan, akan tetapi tetap dalah satu harmoni.

Saya suka dengan bentang alam perkebunan kopi, serta suasana khas pedesaan. Sebagai penikmat kopi, kesadaran saya digedor satu hal penting; di balik secangkir kopi, terdapat banyak petani yang bekerja dengan cinta demi menghasilkan kopi terbaik.


Satu-satunya karakter yang menurut saya tak begitu kuat adalah El yang diperankan Julie Esteele. Tadinya, sosok ini dihadirkan agar film tak begitu monoton. Namun entah kenapa, saya merasa Julie Esteele bukan orang yang tepat. Ia tak punya satu rasa unik yang bisa mempengaruhi aroma dan wangi dari keseluruhan karakter. Ia seakan tenggelam di tengah memukaunya permainan karakter lain, khususnya Chicco dan Rio.

Sepertiga akhir kisah film, terasa ada satu ganjalan dalam alur film. Terungkap banyak trauma yang disimpan rapat-rapat oleh Ben. Ia lahir dari keluarga petani kopi yang pernah dipaksa untuk menebang tanaman kopi, lalu menggantinya dengan sawit. Ayahnya pencinta kopi yang menolak untuk berpindah ke tanaman lain. Satu tragedi muncul ketika ibu Ben tewas terbunuh di kebun kopi. Sang ayah menghardik anaknya. Misteri yang muncul adalah mengapa ayah Ben melarang anaknya untuk menyentuh kopi?

Tak semua penonton memahami apa yang terjadi di desa. Tak semua pernah mendengar riset dari peneliti Claudia D’Andrea yang pernah tinggal bersama masyarakat petani kopi di Tore Lindu, Sulawesi Tengah.[1] Claudia menemukan bahwa petani kopi adalah subyek yang hendak disingkirkan oleh pemerintah yang datang membawa program lahan sejuta hektar untuk sawit dan tanaman produktif lainnya.

Di desa-desa kita, para petani bukanlah para penanam kopi yang bebas. Sejarah mencatat tentang petani yang senantiasa dipaksa tunduk oleh aturan dari rezim manapun. Sejak masa kolonial, mereka dipaksa untuk menanam komoditas ekspor, tanpa pernah ditanyai apa gerangan yang mereka inginkan. Saat membangkang, mereka akan mendapat cap sebagai komunis, atau dianggap sebagai kelompok radikal yang harus dienyahkan oleh negara.

Di balik semua kisah nestapa dan memilukan itu, terdapat satu wangi aroma kopi yang begitu memukau banyak orang. Ben dan Jody hanyalah satu dari sedemikian banyak tangan yang membawa kopi dari desa-desa untuk mengisi waktu senggang orang kota, hingga orang-orang manca-negara.

Film Filosofi Kopi menghadirkan banyak lubang yang menganga di dalam diri. Saya terkenang para petani kopi yang tak mendapatkan bayaran yang layak. Mereka hanyalah sekrup kecil dari perputaran bisnis kapitalisme, yang menjadikan kopi di desa-desa mereka menjadi komoditas mahal di kedai kopi sekelas Starbuck.  Bahwa seringkali kenikmatan yang tersisa di lidah kita justru bermula dari kerja keras dan keringat orang-orang kecil yang dalam diamnya justru berkontribusi besar untuk membangun peradaban kita hari ini.

Orang-orang kecil itu adalah mereka yang bekerja dengan sebutir CINTA.


Bogor, 19 April 2015


[1] Baca D’Andrea, Claudia F (2013) Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Bogor; Sajogyo Institute


Gadis-Gadis Pencinta Doraemon



DI satu waktu libur, saya menemani anak dan istri berkunjung ke pameran 100 alat ajaib Doraemon. Mulanya saya berpikir bahwa pengunjung pameran adalah barisan anak kecil yang mengidolakan Doraemon. Ternyata saya keliru. Pengunjung pameran itu adalah orang-orang dewasa.

Di acara itu, saya menyaksikan bagaimana Doraemon bisa menjelma sebagai semesta yang mengawetkan ingatan para pengunjung tentang masa kecil yang ceria, masa kecil yang bertumbuh, dan masa lalu yang selalu membayangi masa kini. Ada satu tanya yang mendesak batin, “Apakah ada jejak yang diwariskan oleh sosok kartun masa silam itu?”

Entahlah. Yang pasti, anak saya, yang berusia tiga tahun, tak seberapa menggemari Doraemon. Ia menghapal bentuknya yang unik, serta mengenali nama sosok kucing berwarna biru itu. Namun ia tak terlalu suka. Ia tak histeris saat menyaksikan puluhan patung-patung kucing robot masa depan itu. Ekspresinya datar saja. Malah, saat setengah jam di acara itu, ia merengek untuk segera pulang.

Namun tidak dengan banyak remaja dan orang dewasa di ruangan itu. Saya berkeliling dan menyaksikan tingkah para penggemar sosok kartun itu. Mereka datang berombongan, berfoto narsis dengan patung Doraemon, lalu tersenyum bahagia kala melihat hasil jepretan kamera.

Generasi hari ini adalah generasi narsis. Generasi hari ini tak seberapa peduli dengan nilai dan makna di balik satu komoditas. Anak-anak muda yang saya saksikan ini tak seberapa tertarik untuk menelusuri ingatan tentang sosok Doraemon. Barangkali mereka hanya mengingat kantung ajaib yang bisa mengeluarkan berbagai benda. Mungkin mereka tak menangkap makna bahwa kantung ajaib itu adalah simbol dari inovasi serta rasa lapar akan teknologi yang tak berkesudahan.


Tapi, barangkali mereka sedang menjaga ingatan tentang sosok itu. Mereka yang menggemari Doraemon adalah mereka yang dahulu menjadi remaja pada era 1990-an dan 2000-an, era ketika ekonomi Indonesia sedang membaik, dan televisi telah menjadi barang murah yang bisa ditemukan di mana-mana. Mereka adalah generasi X yang perilakunya perlahan ditentukan oleh televisi sebagai benda ajaib yang menjadi juri atas apa yang hebat dan tak hebat.

Doraemon menjadi jembatan atas masa-masa ketika mereka berdiam di rumah dan menikmati tontonan komersial. Doraemon menjadi ‘technologies of memory’ yang secara perlahan merawat ingatan mereka tentang masa silam yang menyenangkan. Doraemon menjadi satu wahana rekreasi pikiran di tengah sumpeknya hari-hari yang penuh deadline dan tugas-tugas mendesak. 

Yup, kita memang butuh rekreasi.

Bogor, 18 April 2015

Jejak Jepang di Sawah Kita


persawahan

DI banyak desa-desa kita, sawah-sawah nampak hijau dan tanaman padi berbaris dengan rapi. Siapa sangka, di balik keindahan sawah-sawah kita yang tertata itu, terdapat cerita tentang kontribusi bangsa Jepang saat menjajah bangsa kita. Inilah berbagai kisah menarik yang ditemukan oleh sejarawan Jepang Aiko Kurasawa.

***

SEBUT saja nama pria itu adalah Kenji. Ia seorang insinyur pertanian Jepang yang didatangkan ke Jawa pada tahun 1942. Ia bertugas untuk menjalankan misi penting yakni meningkatkan produksi pertanian di Jawa demi menyuplai kebutuhan Jepang pada perang Pasifik.

Jepang datang ke Jawa dengan membawa pasukan sebanyak 10.000 hingga 15.000 tentara. Sebagian besar pasukan itu lalu dibawa ke front pertempuran di Pasifik. Pertempuran itu membutuhkan logistik yang cukup besar. Mesti ada upaya agar para prajurit mendapatkan pakan yang cukup, sekaligus bisa menggenjot ekonomi daerah jajahan.

Demi tujuan perang itu, Jepang datang ke Indonesia sembari membawa janji-janji tentang kemerdekaan. Demi angan-angan kemerdekaan, Jepang mendapatkan simpati anak negeri. Jepang lalu masuk ke desa-desa demi melakukan ekspoitasi ekonomi, serta menopang kebutuhan perang. Tak hanya tentara, Jepang juga mendatangkan sejumlah insinyur untuk menata pertanian.

Kenji bertugas sebagai zosan shidokan atau pengawas peningkatan produksi, Ia bertugas di karasidenan Pekalongan. Sebagai insinyur, ia bekerja dnegan patokan ilmiah, melakukan riset, dan merekomendasikan sejumah program. “Tugas saya adalah meningkatkan produksi beras dan mendidik masyarakat untuk bertani dengan benar,” katanya.

Kisah Kenji ini saya temukan dalam buku Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945, yang ditulis Aiko Kurasawa, terbitan Komunitas Bambu, tahun 2015. Buku ini sebelumnya menjadi disertasi di Cornell University yang berjudul Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java 1942 – 1945.

Di mata saya, buku ini sangat menarik sebab selama ini literatur tentang Jepang hanya mengisahkan tentang kekejaman tentara itu di masa perang. Ternyata, terdapat sisi lain dari perang, yakni sejauh mana transformasi terjadi di pedesaan, yang kemudian mengubah tatanan kelembagaan, serta dinamika kelembagaan warga desa.

Mulanya, negeri Sakura itu merasa frustasi melihat rendahnya produksi beras di Jawa. Mereka berambisi untuk memindahkan ilmu pertanian ke para petani Jawa. Yang dilakukan pertama adalah mendatangkan ahli pertanian yang bertugas untuk melakukan alih teknologi kepada petani. Jepang lalu mendidik dan melatih para perantara atau penyebar pengetahuan mengenai teknk pertanian.

Mereka membangun Noji Shinkeyo (Stasiun Percobaan Pertanian) di Bogor. Beberapa insinyur dan peneliti Jepang lalu merekomendasikan untuk mengganti bibit padi yang dipakai petani pada masa itu. Sebab bibit padi itu dianggap tidak bisa menghasilkan produksi yang besar. Insinyur Jepang menggantinya dengan beras horai dari Taiwan.

Kenji dan para insinyur lain lalu merancang inovasi teknik. Salah satunya adalah teknik penanaman dengan garis-garis lurus pada jarak tanam tertentu. Teknik ini disebut larikan. Sebelum perang, para petani Jawa menanam padi secara acak dan tidak mengikuti garis lurus. Jepang melihat cara menanam itu mempengaruhi rendahnya produktivitas padi. Mereka memerintahkan agar petani mengikuti cara petani Jepang, yakni mengikuti daris lurus.

buku karya Aiko Kurasawa

propaganda bangsa Jepang

pamflet propaganda

Setelah melalui serangkaian percobaan yang dilakukan para insinyur negeri matahari terbit itu, didapatkanlah jarak tanam yang ideal adalah 20 centimeter antar padi. Untuk menjaga agar jaraknya sama, maka petani diminta memegang tali panjang dengan simpul pada setiap jarak 20 cm. Petani lain diminta menanam padi pada setiap simpul tersebut. Jepang juga meminta agar petani tidak menanam bibit lebih dalam dari 2 cm.

Yang menarik, Kenji dan para insinyur Jepang itu memberikan contoh pada para petani melalui sepetak tanah percobaan yang disebut shikenden. Tanah ini disediakan di setiap desa, yang kemudian menjadi patokan bagi petani untuk menanam padinya. Mulanya, petani keberatan karena penanaman yang mengikuti garis lurus ini membutuhkan banyak tenaga kerja dan lebih menyusahkan. Lantas, bagaimanakah cara mempengaruhi warga desa?

Cara yang ditempuh adalah memaksimalkan segala bentuk propaganda serta menggelar kampanye secara massif. Selain memanfaatkan sejumlah tokoh nasionalis, Jepang menggunakan segala media indoktrinasi, mulai dari film, radio, surat kabar, serta memanfaatkan sjeumlah kiai di desa-desa. Semua mesin propaganda itu digerakkan untuk mendapatkan tenaga warga desa secara gratis untuk program seperti romusha, perekrutan tentara, serta kebijakan agar petani menyerahkan hasil panen kepada bangsa Jepang.

Masa penjajahan yang singkat itu akhirnya menyisakan trauma dan kengerian, sebab di dalamnya terdapat banyak nestapa dan kesedihan, khususnya pada program seperti kerja paksa (romusha), perekrutan perempuan yang menjadi pemuas hasrat seksual (kerap disebut jugun ianfu), dan tekanan dari kenpetai atau tentara yang bertugaS sebagai pengawas warga desa.

Buku ini membuka mata saya atas banyak hal. Pertama, tenyata penjajahan tak selalu berisikan cerita sedih tentang pertempuran dan nestapa kehilangan keluarga. Ternyata, peperangan juga menyimpan sisi lain, khususnya proses saling belajar, alih pengetahuan, serta proses perubahan di masyarakat. Salah satu jejak yang tersisa dari kehadiran Jepang adalah berbagai inovasi pada sektor pertanian.
           
Kedua, dalam waktu yang relatif singkat, Jepang mengubah kelembagaan masyarakat desa sehingga mengikuti model dari Jepang pada periode agraris. Kita bisa melihat itu pada lahirnya struktur Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang di Jepang disebut sebagai tonarigumi, yang merupakan unit gabungan dari beebrapa rumah. Kelembagaan ini sengaja dibentuk untuk memaksimalkan kontrol dan mobilisasi dari Jepang demi mendukun perang. Para pemimpin nasional dan ulama digerakkan untuk menggiring kesadaran rakyat agar terus menjadi pendukung Jepang.

padi yang berbaris rapi

Ketiga, dalam situasi penuh indoktrinasi dan tekanan, maka perlawanan bisa muncul. Itu terlihat ketika beberapa kiai di Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, menyatakan perlawanan kepada Jepang. Para ulama itu tak sudi dipimpin oleh rezim yang terus menindas dan menyengsarakan rakyat.

***

SAYANG sekali, kehadiran Kenji dan insinyur lain gagal meningkatkan produktivitas sektor pertanian di Jawa. Aiko Kurasawa mencatat, para insinyur itu diberi target, namun tidak diberikan waktu yang cukup untuk melakukan riset lapangan. “Saya kesulitan ketika diberi target. Saya belum mengenali pertanian jawa dengan baik. Tiba-tiba diminta mengajari penduduk yang bertahun-tahun menjadi petani. Waktu saya lebih banyak habis untuk memancing,” katanya.


Bogor, 14 April 2015