Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Delapan Tahun Pramoedya Berpulang


Pramoedya Ananta Toer

HARI ini adalah tepat delapan tahun sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer yang meninggal dunia pada 30 April 2006 lalu. Aku mengenang kepergian pengarang paling besar yang pernah dilahirkan di negeri ini. Ia tak hanya mewariskan karya-kaya yang menjadi puncak pencapaian tertinggi dalam sejarah sastra Indonesia. Ia juga mewariskan tafsir ulang pada sejarah Indonesia, yang diharapkan bisa menjadi cahaya terang bagi perjalanan menggapai masa depan.

Takdir Pramoedya adalah takdir yang penuh kontroversi. Ia pernah menjadi pengarang yang paling dibenci penguasa di tanah air. Akan tetapi di luar negeri, ia dikagumi banyak orang. Karya-karyanya direkomendasikan sebagai karya wajib bagi siapapun yang hendak mengkaji Indonesia pada periode kebangkitan. Karyanya tak hanya menyediakan data sejarah, namun juga suasana kebatinan serta rasa hayat sejarah yang dirasakan oleh pelaku sejarah, atau orang-orang yang hidup pada masa itu.

Setiap kali mengenang Pramoedya, setiap kali pula aku mengenang impianku yang gagal tercapai. Dahulu, aku punya impian untuk makan malam lalu berbincang-bincang dengannya. Beberapa kali teman di kampus UI mengajakku ke rumahnya. Entah kenapa, aku selalu menolaknya karena sedang ada urusan penting. Hingga suatu hari, aku menerima berita duka tentangnya. Dan impianku tak akan tercapai.

Yah, apa boleh buat. Jalan takdir seringkali tak bisa ditebak. Pramoedya telah lama berpulang. Aku hanya bisa menundukkan kepala demi dirinya. Barangkali aku mesti mengatur jadwal untuk mengunjungi peristirahatan terakhirnya di Pekuburan Karet sana. Aku ingin menghayati setiap bait kemanusiaan yang ditulis dengan indah dalam karyanya.

Selamat jalan Pram.



Inspirasi Kupang untuk Perubahan Iklim


bersama Noverius Nggili (Frits) yang memakai baju merah

SETAHUN silam, aku menghadiri pertemuan yang digagas Oxfam, bertemakan Jaringan Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Timur Indonesia. Tak kusangka, pertemuan yang hanya digagas selama tiga hari itu justru telah menginspirasiku selama hampir setahun. Pertemuan itu menjadi embun yang membasahi rasa dahaga akan kekuatan masyarakat untuk menemu-kenali masalah, sekaligus menemukan solusi yang digali dari segenap khasanah kearifan lokal.



SENYUM lebar langsung nampak di wajah pria itu ketika sejumlah masyarakat datang berkunjung ke rumahnya, setahun silam. Di rumah, yang kerap disebutnya sebagai markas, ia menanti bersama sejumlah anak muda yang tergabung dalam Geng Motor Imut. Mulanya aku heran mendengar kata ‘imut’ sebab mengesankan kalau geng itu beranggotakan gadis-gadis ABG. Ternyata Imut adalah singkatan dari Aliansi Masyarakat Peduli Ternak.

Lelaki itu bernama Noverius Nggili. Ia kerap dipanggil Frits. Ketika kutemui, ia menunjukkan upayanya untuk berkeliling ke desa-desa di sekitar Kupang, berdiskusi dengan masyarakat desa, lalu sama-sama menemukan solusi demi mengatasi masalah ternak. Ia memang inspiratif. Pantas saja jika ia mendapat banyak penghargaan atas dedikasinya untuk belajar dan bekerja dengan masyarakat.

Setahun silam, ia bercerita tentang sesuatu yang terus terngiang-ngiang di telingaku. Ia berkata bahwa ia tengah mengumpulkan berbagai pengetahuan lokal yang dahulu snagat efektif untuk mengatasi beberapa penyakit ternak. “Saya sering heran. Peternakan ini kan ilmu tua. Tentunya, masyarakat kita sudah lama punya solusi untuk mengatasi berbagai penyakit pada sapi. Sayangnya, kita sering mengabaikan solusi tersebut karena menganggapnya tidak modern,” katanya.

Frits mencontohkan tentang sakit mata yang kerap menimpa sapi di Flores. Katanya, masyarakat setempat memiliki cara pengobatannya yaitu dengan mengoleskan getah kayu tertentu, yang ternyata jauh lebih efektif daripada obat medis yang diberikan oleh dokter hewan.  “Pertanyaannya, mengapa kita mengabaikan kearifan yang selama ratusan tahun telah memberikan jawaban atas msalah yang dihadapi rakyat kita?” tanyanya.

Pada acara yang digelar oleh Oxfam, kalimat-kalimat yang dibisikkan Frits tetap membekas hingga kini. Bagiku, Frits sedang berbicara tetang sesuatu yang nampak sepele, namun sesungguhnya hendak menjawab berbagai isu-isu besar yang melanda masyarakat global. Ia berbicara tentang bagaimana menemukan solusi atas perubahan iklim yang dampaknya kian terasa.

Isu penyakit ternak dan penanganannya telah lama menjadi kekhawatiran dunia. Di tahun 2009, sidang tahunan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menyatakan bahwa perubahan iklim telah mnyebabkan munculnya banyak penyakit hewan hewan yang muncul kembali. Banyak penyakit yang diyakini merupakan dampak dari perubahan iklim. Dunia tengah mencari bagaimana mengatasi berbagai masalah tersebut.

Dengan menggali gagasan dari masyarakat setempat, Frits menunjukkan bahwa solusi atas perubahan iklim bukanlah sesuatu yang digali dari luar, bukan juga sesuatu yang bersumber dari banyak literatur ilmiah, namun sesuatu yang hidup dalam masyarakat, sesuatu yang telah lama menjelma sebagai tradisi dan budaya. Hanya saja, tradisi dan pengetahuan itu telah lama terkubur oleh penetrasi modernisasi dan globalisasi di berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Pada acara yang digelar Oxfam di Kupang itu, aku belajar banyak hal. Selain bertemu Frits, aku juga bertemu dengan sejumlah anak muda Kupang yang mengajarkan masyarakat kota untuk berkebun di tengah tembok-tembok sempit perkotaan. Melalui caranya yang sederhana, mereka memberi andil pada upaya untuk menghidupkan kota.

Anak-anak muda itu menginspirasi banyak orang bahwa gagasan tentang ekologis tak selalu harus disampaikan dalam kampanye-kampanye dan kalimat yang diteriakkan sekuat tenaga, namun bisa dnegan langkah-langkah kecil yang efektif untuk membangkitkan kesadaran banyak orang. Mereka membangkitkan sebuah revolsi gagasan yang laksana api kecil perlahan menyebar menjadi kesadaran untuk mengingatkan banyak orang bahwa bumi ini mesti dirawat dengan segenap cinta.

Kita memang membutuhkan banyak inspirasi untuk menyalakan kesadaran kita bersama.

Aku teringat literatur yang menyatakan bahwa di beberapa negara, perubahan iklim telah mendatangkan malapetaka bagi masyarakat. Pada tahun 2000 - 2004, ada sekitar 262 juta orang terkena bencana iklim (climate disaster). Dari jumlah tersebut, sebanyak 98 persen dari mereka adalah penduduk dunia ketiga. Mengapa? Sebab masyarakat dunia ketiga hendak meniti jalan modernisasi dari bangsa lain, dan melupakan segenap kearifan lokalnya. Yang terjadi kemudian adalah hilangnya daya-daya adaptif ketika melihat alam yang berubah, disertai munculnya berbagai masalah.

kegiatan Oxfam di Kupang

Dalam catatanku, Beberapa lembaga internasional ikut membantu untuk menyebarkan akibat dari perubahan iklim. Salah satu di antaranya adalah Oxfam yang merupakan konfederasi internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.

Bersama lembaga lain dan akademisi, Oxfam menjadi bagian dari faktor eksternal yang kemudian membawa pengaruh bagi upaya masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim. Namun, hal paling penting yang sering terabaikan adalah kapasitas internal masyarakat, yakni pengetahuan lokal, pengelolaan sumber daya alam, teknologi yang berbasis kearifan lokal, serta modal sosial (social capital) yang mencakup kemampuan masyarakat untuk saling percara dan membangun jejaing solidaritas.

Setahun silam, aku melihat kapasitas lokal itu pada sosok seperti Frits dan anak-anak muda pengagas gerakan Kupang Berkebun. Mereka menunjukkan solidaritas, kekuatan, serta pengetahuan tentang mengatasi masalah yang digali dari tradisi. Mereka menjadi obor yang memberi cahaya terang bahwa seberat apapun masalah yang dihadapi, maka selalu ada jalan keluar, sepanjang kita mau berusaha menemukan jawaban.

Pertemuan di Kupang itu meninggalkan jejak mendalam bagiku. Ketika berkunjung ke banyak desa, aku menemukan banyak pribadi-pribadi hebat yang memahami alam, dan mengalir bersamanya. Di Bogor, aku bertemu seorang pria yang melestarikan varietas kopi-kopi lokal dengan cara pertanian tradisional, tanpa bahan kimia. Di beberapa pulau di Indonesia timur, aku bertemu banyak nelayan hebat yang punya banyak strategi ketika badai sedang berkepanjangan. Terakhir, beberapa hari silam, aku bertemu sjeumlah petani di Mamasa, Sulawesi Barat, yang memahami tanda-tanda bintang demi menentukan waktu tanam padi.

Alam memang selalu berubah. Namun manusia-manusia hebat itu justru selalu menemukan cara adaptasi demi mengalir bersama alam semesta. Mereka tak hendak menaklukan alam. Mereka ingin hidup bersama alam. Inilah kekayaan Indonesia yang tak terperi, kekayaan yang harus dijaga dan menjadi pusaka bersama. Kekayaan itu adalah seluruh pengetahuan lokal.(*)




Melihat Buku di Hari Buku


buku-buku baru

HIDUP seringkali menyisakan kejutan yang tak terduga. Tiga hari silam, aku berkunjung ke Kampung Buku di Kota Makassar. Di sana, aku puas mengamati banyak buku, membuka lembaran-lembaran di dalamnya, dan setelah itu membeli beberapa buku. Sepulang ke rumah, barulah aku menyadari bahwa hari itu telah ditahbiskan sebagai hari buku internasional. Kebetulankah?


JIKA suatu saat kalian berkunjung ke Kota Makassar, sempatkanlah berkunjung ke Kampung Buku. Letaknya di Jalan Abdullah Dg Sirua. Bangunannya berupa rumah kecil, yang di terasnya terdapat banyak buku. Ketika singgah, aku melihat banyak buku-buku bagus. Namun mataku fokus pada beberapa buku lokal yang diterbitkan dan dipajang di situ.

Beberapa buku yang kulihat adalah karya tulis para peneliti yang menuliskan hasil pengamatannya tentang Sulawesi Selatan. Beberapa di antaranya adalah Thomas Gibson yang menulis The Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar. Tulisannya membahas tentang bagaimana kuasa pengetahuan bekerja di Makassar. Beberapa tahun lalu, aku pernah meresensi buku ini.

Aku juga melihat karya Darmawan Salman berjudul Sosiologi Desa. Buku ini menarik sebab gambarnya adalah beberapa pria Kajang dalam balutan baju berwarna hitam. Gambarnya eksotik dan membuatku tertarik untuk membacanya. Aku lalu memutuskan untuk membeli buku itu.

Aku juga sempat membuka-buka buku Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit yang ditulis Kees Buijs. Buku ini membahas tentang bagaimana struktur dan transformasi agama orang Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat. Sejauh yang kuketahui, karya Kees Buijs inilah yang paling lengkap membahas ritual dan agama orang Mamasa. Yup, buku ini masuk dalam daftar belanjaku.

Melihat banyak buku, aku berkesimpulan kalau yang dipajang di sini adalah hasil riset lapangan. Teman-teman di Kampung Buku bisa memosisikan dirinya sebagai peneliti yang bisa mengemas hasil riset menjai sesuatu yang mudah dibaca dan populer. Mereka juga bisa membuat satu pusat dokumentasi yang menampung khasanah buku tentang Indonesia Timur. Sungguh menarik.

Bagi sebagian orang, buku-buku ini mungkin memusingkan. Namun bagiku, buku-buku itu amatlah penting sebab menjadi suluh penerang bagi siapapun yang hendak menelusuri belantara Sulawesi Selatan, bertemu dengan masyarakatnya di pedalaman, serta menikmati hangatnya sinar matahari

Di sela-sela mengamati buku, aku bertemu dengan Jimpe, pengelola Kampung Buku. Jimpe bukanlah sosok yang asing bagiku. Selain sama-sama berasal dari kampus Unhas, kami juga dahulu sering nongkrong di Baruga Andi Pangerang Pettarani dan ngobrol ngalor-ngidul ditemani secangkir kopi yang diminum beramai-ramai.

Kembali, kami ngobrol-ngobrol sambil menyeruput kopi. Yang kusenangi dari setiap obrolan adalah banyaknya pengetahuan baru, pengalaman yang sama-sama dibagikan, serta seluk-beluk dunia perbukuan. Usai ngobrol, aku kian menyadari bahwa Makassar hari ini telah berkembang begitu pesat. Ada banyak kafe buku baru yang dibuka. Budaya literasi berkembang. Sayangnya, budaya menulis masih stagnan di tempat. Entah apa sebabnya, tapi kuyakin teman-teman di Kampung Buku paham letak masalahnya.

Ketika nongkrong di Kampung Buku, aku terkenang kembali pada mimpi-mimpi yang dahulu kupelihara. Aku ingin memiliki sebuah rumah kecil, yang di dalamna ada perpustakaan yang memiliki banyak koleksi buku. Aku ingin di situ ada kafe baca, serta tempat cukup luas untuk menonton film. Aku ingin ada rumah seni dan pagelaran teater yang rutin digelar. Aku ingin mendengar diskusi yang berpadu denan celoteh dan tawa anak kecil yang berlarian untuk menyaksikan lukisan.

Di sela-sela kegiatan itu, aku ingin memiliki meja kecil di sudut ruangan. Dngan ditemani secagkir kopi Toraja, aku ingin membekukan kenyataan yang indah yang kusaksikan. Aku ingin mencatat semua kenangan dalam lembar-lembar yang kemudian kubagikan secara gratis, yang kuharapkan bisa mecerahkan orang lain. Semoga mimpi itu terpenuhi. Semoga Yang Maha Menggenggam tak pernah melepaskan genggaman-Nya atas semua mimpi yang kuucapkan serupa mantra di satu siang ketika sedang membolak-balik buku di Kampung Buku.

Semoga...




Jokowi, Prabowo, dan Kurusetra Dunia Maya


Jokowi dan Prabowo di pilkada DKI


PUBLIK dunia maya tanah air tengah menyaksikan satu palagan pertempuran paling seru di dunia politik kita hari ini. Bukan pertarungan gagasan atau adu cerdas, melainkan duel kampanye negatif. Relawan bayangan capres Prabowo Subianto dan relawan Joko Widodo tengah adu kuat untuk berebut wacana demi menebar keburukan lawan politiknya. Pelajaran apakah yang tersisa bagi publik saat menyaksikan duel sengit di kurusetra internet ini?


LELAKI itu baru saja mengaktifkan jaringan internet di rumah kecilnya di kota Makassar. Ia lalu membuka situs facebook dan twitter demi mengetahui informasi tentang teman-teman serta keluarganya. Sebagai profesional muda, ia rajin berselancar di dunia maya dikarenakan dirinya tak cukup waktu untuk menemui semua sahabatnya yang tersebar di banyak kota.

Baginya, internet adalah ruang untuk memperbarui kabar, sekaligus belajar memahami berbagai  wacana yang tengah marak. Dunia maya serupa oase untuk sejenak melepaskan diri dari rutinitas kerja kantoran yang tensinya kadang tinggi hingga mulai menjenuhkan. Kemarin, ketika lelaki itu membuka facebook, ia lalu bersungut-sungut dan menunjukkan kekesalan. Ketika kutanya ada apa gerangan, ia menjawab singkat, “Saya kesal melihat orang-orang saling menjelekkan di dunia maya.”

Lelaki itu benar. Bagi mereka yang mencari kedamaian, dunia internet tanah air bukanlah rumah yang nyaman. Seiring dengan momentum politik, banyak yang memanfaatkan internet untuk berbagi pesan-pesan politik. Belakangan ini, pesan itu tak lagi dikemas dengan santun sebagaimana seorang sales berwajah ramah. Pesan itu mulai dikemas menjadi bahasa penuh sindiran, saling klaim kehebatan, hingga saling menjelekkan kandidat lain. Dunia maya serupa padang kurusetra, yang dalam kisah Mahabhatrata menjadi arena pertempuran akhir. Dunia maya kita telah menjadi tempat berbagi energi negatif.

Malah, belakangan ini istilah-istilah dalam dunia peperangan mulai sering disebut. Tim sukses satu presiden Prabowo Subianto membuat cyber army (pasukan maya), yang bertujuan untuk menyosialisasikan pesan tentang Prabowo di dunia maya. Di facebook, saya menemukan banyak teman yang hari-harinya adalah mempromosikan Prabowo.

Awalnya positif. Belakangan, ketika Jokowi mulai memproklamirkan diri sebagai capres, tim itu mulai mereproduksi isu-isu yang berisi serangan. Muncullah isu tentang keterlibatan asing, permainan para cukong, hingga mempersoalkan religiusitas seorang kandidat. Serangan itu justru disulut oleh beberapa akun anonim, yang datang dengan membawa banyak info-info yang menjadi api untuk menyirami bensin. Tanpa verifikasi, info itu menyebar cepat dan seolah menjadi kebenaran. Puncak dari serangan itu adalah munculnya puisi dari pimpinan partai yang isinya adalah kecaman kepada tim pendukung Jokowi.

Sayangnya, puisi itu justru membangkitkan macan tidur. Tim dan relawan Jokowi langsung bangkit dan tak mau lagi berdiam diri. Jika selama pemilu legislatif tim ini bungkam, maka belakagan ini mereka mulai unjuk kekuatan. Meskipun di twitter, akun Jokowi sangatlah lemah sebab tidak dikoordinir dengan baik, tim ini mendapat banyak bala bantuan dari relawan yang tersebar di mana-mana.

Dari berbagai tempat, banyak orang bersedia untuk menjadi tameng dan membalas komentar. Beberapa dari mereka adalah relawan Jasmev, yang merupakan singkatan dari Jokowi-Ahok Social Media Volunteer, yang dahulu menjadi relawan untuk pemenangan pilgub DKI. Mereka muncul di berbagai tempat, susah terdeteksi, dan secara simultan mulai membalas semua cacian dan hinaan pada Jokowi. Mereka tak hanya membentengi Jokowi, namun juga mulai menyerang Prabowo. Melalui sejumlah status dan komentar, mereka hendak menunjukkan bahwa Prabowo tidaklah lebih baik dari Jokowi. Entahlah.

Jika dirunut, kehadiran perang di dunia cyber ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, tim sukses Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lebih dulu membentuk jejaring dunia maya demi melawan habis-habisan semua kecaman atas partainya, sekaligus ajang promosi. Sayangnya, relawan yang idealnya bisa menyuarakan hal positif ini belakangan justru ikut menebar energi negatif yang menghabisi kelompok lain. Maka kian ramailah dunia maya dengan mereka yang saling menebar isu, menebar berita, serta energi kritik yang dikemas dalam pesan-pesan penuh kebencian.

Suara Publik

BAGAIMANAPUN juga, pertarungan sengit di dunia maya itu bukanlah representasi dari suara publik. Para petarung dunia maya itu laksana pedagang kecap yang saling klaim bahwa kecapnya nomor satu. Di luar lingkaran mereka, ada publik yang tengah menimbang-nimbang mana yang terbaik. Tanpa disadari para ‘prajurit’ itu, banyak orang yang justru jenuh dan mulai muak menyaksikan adu kebencian di dunia maya itu.

Saya mengenal seorang sahabat yang kerap memblokir akun dari tim sukses atau simpatisan capres yang setiap saat menebar kebencian pada kandidat lain. Kata sahabat itu, dunia internet sejatinya menjadi tempat untuk  menemukan inspirasi. Nmaun banyaknya kabar penuh kebencian pada orang lain justru menghadirkan rasa tak nyaman. Meskipun pesan penuh kebencian itu biasanya musiman, dalam artian hanya pada musim tertentu, tetap saja menimbulkan ketidaknyamanan.

Pertanyaannya, mengapa para kandidat capres itu tidak belajar dari pengalaman di tempat lain bahwa mereka yang memulai serangan atau ikut-ikut menjelekkan kandidat lan adalah mereka yang akan mendapat cap negatif di mata publik? Mengapa mereka tak juga mengubah pola kampanye menjadi arena untuk menyerap berbagi inspirasi dan kebaikan, lalu menjadikannya sebagai spirit untuk membangun tanah air?

Dua tahun lalu, saya menyaksikan bagaimana kampanye presiden Amerika Serikat di media sosial. Ketika menghadiri kampanye Obama, tim sukses akan mencatat alamat email semua orang. Setelah itu, semua orang mulai mendapatan pesan email  dari Obama, Michelle (istri Obama), atau tim kampanye seperti Hillary Clinton yang berisikan inspirasi atau pesan-pesan positif agar orang lain bisa memulai hari dengan penuh inspirasi. Saya masih menyimpan salah satu pesan positif Michelle Obama yang meminta agar semua orang memahami betapa beratnya perjuangan suaminya untuk kemasalahatan orang banyak.

Jika di negeri Paman Sam itu, kampanye politik dikemas menjadi ajang persuasi yang serupa gadis manis sedang menawarkan dagangan, maka di tanah kita, politik laksana arena pertarungan antar para bandit yang saling pukul, saling piting, saling kunci, dan saling menghabisi. Saya tiba-tiba saja berpikir, apakah model saling serang di dunia maya ini adalah sisi yang sejatinya menunjukkan karakter bangsa kita yang tak suka membicarakan gagasan secara terbuka? Mengapa setiap perbedaan tak diselesaikan dengan saling adu argumentasi dengan menghampar data dan fakta lalu membiarkan publik menilainya?

Yup. Yang pasti, publik sedang menilai. Gara-gara politik dan anggapan bahwa kandidat capresnya adalah segala-galanya, dua orang sahabat bisa tak tegur sapa dan terlibat konflik. Gara-gara kampaye politik ala duel preman pasar itu, publik tidak mendapat banyak pencerahan dan pencerdasan. Kedepannya, publik harus dicerahkan untuk lebih kritis memandang siapapun yang membawa informasi. Peran-peran edukasi dan program media literasi mesti digelar demi mengasah kesadaran kritis. Partai politik juga mesti memiliki tim public relation yang handal, yang setiap saat bisa memberikan jawaban atau klarifikasi atas semua isu yang dilontarkan di dunia maya.

Yang pasti, publik tidak sedang diam. Banyak yang paham bahwa dalam dunia politik semua serangan ibarat melempar bumerang. Jika tak hati-hati, serangan itu akan kembali dan melukai diri sendiri. Nah, bisakah kita berharap banyak pada mereka yang suka menjelekkan sesama anak bangsa?





Hadiah untuk Ara (2)


hadiah baju untuk Ara

DARI kota gudeg Yogyakarta, sebuah kado terkirim. Pengirimnya adalah Meike Karolus, seorang perempuan cerdas yang kerap kupanggil Athena. Isinya adalah baju batik untuk kanak-kanak. Di situ, ada pula sebuah kartu pos tua yang bertuliskan pesan indah yang ditulis di Jalan Malioboro. Tertera tulisan kalau baju itu untuk anakku Ara, beserta pengharapan agar baju itu pas untuknya. Hatiku tiba-tiba saja mekar.

Sungguh menyenangkan memiliki sahabat di mana-mana. Lebih membahagiakan lagi ketika banyak sahabat yang rajin memberi hadiah buat Ara. Bagiku, semua hadiah itu adalah perlambang kasih sayang, simbol persaudaraan, serta pengharapan agar si kecil Ara kelak bisa menjadi anak yang selalu bahagia dan menjadi pribadi yang membahagiakan.

kartu pos dari Meike
pesan untuk Ara

Ini bukan yang pertama. Seorang sahabat di Jerman pernah menghadiahkan coklat. Ada juga seorang ibu dari Chile yang memberikan hadiah berupa baju gaun yang cantik. Seorang shabat dari Cina juga memberikan gaun cantik. Emma, sahabat istriku pernah menghadiahkan baju putri-putri yang amat cantik. Aku bahagia karena Ara mendapat limpahan kasih di mana-mana, meskipun ia sendiri belum menyadarinya.

Kelak akan kukisahkan padanya tentang mereka-mereka yang mencintainya dari kejauhan, mereka yang meluangkan waktu demi mencari hal-hal yang membahagiakannya, serta mereka yang memperlakukan ayah ibunya sebagai orang-orang dekatnya.

Terimakasih buat Meike.


BACA JUGA:




Sebuah Tanya di Pohon Kehidupan



DI kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, aku melihat pohon besar berdiri kokoh di depan rektorat. Konon, pohon itu berasal dari Afrika, dan telah beberapa tahun ditanam di Subang, Jawa Barat. Setiap unsur dari pohon itu bisa dimanfaatkan oleh manusia, baik akar, batang, daun, dan buah. Ketika kurenungi, pohon itu adalah simbol dari falsafah kehidupan. Semakin kamu berguna, semakin kamu disayangi.

Pohon itu disebut pohon baobab, yang merupakan nama genus Adansonia. Pohon ini menyimpan air di dalam batangnya, dengan kapasitas diatas 120.00 liter untuk bertahan dalam kondisi lingkungan sekitarnya. Batangnya bisa diolah seperti sagu. Daunnya bisa dimakan sebagai lalapan. Buahnya manis dan menyegarkan.

Pohon itu ditanam  di sisi kanan dan sisi kiri Rektorat UI di kampus Depok. Pohon ini merupakan hibah dari Pabrik Gula Rajawali II dan PT Sang Hyang Sri (Persero) untuk UI dalam rangka konservasi. Menurut satu sumber, pohon ini adalah sebuah pohon yang sangat langka yang usianya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Saat ini pohon-pohon yang dipindahkan ke UI usianya di atas 100 tahun.

Di Afrika, pohon itu sering disebut pohon kehidupan, mengingat usianya yang sangat tua. Bisa jadi, pohon ini menjadi saksi dari silih bergantinya kehidupan, pasang surut dinamika manusia menemukan dirinya, hingga bagaimana satu kehidupan hadir dan menggantikan kehidupan lain. Alam semesta laksana sebuah siklus atau daur yang terus melingkar dan tak berkesudahan.


Pohon itu mengingatkanku tentang banyak hal. Bahwa kehidupan ini tidaklah sepanjang usia pohon itu. Hanya mereka yang berguna bagi sesamanyalah yang kelak akan bertahan melintasi waktu. Mereka yang berguna itu bisa punah, namun nama baik serta karyanya akan terus diawetkan, dilestarikan, dan dijadikan pelajaran bagi generasi mendatang.

Ketika memotret pohon itu, ada kata tanya yang tiba-tiba menusuk batinku. “Apakah diriku akan seberguna pohon itu sehingga ditanam di mana-mana dan dilestarikan?” Entahlah. Aku sendiri ragu. Namun aku tak ingin menanam ambisi terlampau dalam. Aku tak mimpi mewariskan banyak jejak di belantara peradaban. Aku hanya ingin berguna di lingkup kecil. Minimal di keluarga kecilku. Minimal aku bisa menghadirkan senyum bahagia serta cinta di wajah Ara, kekasih hatiku, yang saat ini selalu bahagia ketika melihatku datang lalu berteriak "Ayaahhh!!!"



Nujuman Jusuf Kalla di Arena Pilpres


Jusuf Kalla (foto: new.uai.ac.id)

DARI sekian banyak politisi tanah air yang bertarung di kancah kepresidenan, Jusuf Kalla adalah satu dari sedikit politisi yang paling pandai membaca peta politik lalu menempatkan dirinya pada posisi paling strategis. Di ajang pemilihan umum (pemilu) kali ini, ia telah didekati beberapa calon presiden (capres). Ke manakah gerangan ia berlabuh? Inilah kisah terbaru tentang beliau.


HARI itu, di akhir tahun 2003, aku ikut dalam obrolan di satu ruangan kecil di sebuah showroom mobil di Makassar. Bersama beberapa sahabat jurnalis dan politisi, kami sama-sama bercerita tentang pemilihan umum (pemilu) yang akan berlangsung setahun berikutnya. Diskusi kami ngalor-ngidul dan tak jelas arahnya. Kami sama-sama tak bisa menebak seperti apa pemilu mendatang, serta siapa yang akan memenangkan kursi presiden.

Di tengah kebuntuan diskusi, pintu ruangan itu tiba-tiba berderit. Masuklah beberapa orang yang kemudian ikut bergabung dengan kami. Seorang di antaranya adalah Jusuf Kalla, mantan Menko Kesra. Pada saat itu, ia didampingi Aksa Mahmud, pemilik grup Bosowa, yang juga menjadi bos dari perusahaan media tempatku bekerja. Kami memang sengaja menunggu Pak JK untuk diskusi dengan tema-tema politik. Di tengah kesibukannya, ia mau saja datang demi berbagi ilmu.

Obrolan dikemas dalam suasana santai dan penuh canda. Pak JK mengambil spidol dan mencoret-coret di papan. Pemilu masih setahun. Tapi ia sudah tahu partai apa yang akan memenangkan pemilu.. Saat itu, ia adalah peserta konvensi Partai Golkar untuk memilih calon presiden. Namun, ia sudah yakin kalau dia tak akan terpilih.

Sebagaimana lazimnya pertandingan, sebuah prediksi hanyalah penghampiran dan jelas bukanlah kemutlakan sebab politik Indonesia laksana pertandingan yang sukar dibaca hasil akhirnya. Saat itu, aku tetap mencatat semua nujuman JK tersebut. Ia menebak lima besar hasil pemilu serta peluangnya sendiri ketika berpasangan dengan seorang calon presiden. Dengan nada bergurau, ia menantang semua yang menghadiri diskusi itu dengan kalimat, “Lihat setahun lagi. Apakah tebakan ini tepat ataukah tidak.“

Usai pemilu di tahun 2004, aku tersentak sebab tebakan tersebut tak meleset sama sekali. Bahkan, usai pemilihan presiden, lagi-lagi langkahnya tepat dan sesuai dengan prediksinya sendiri setahun sebelumnya.

Sebagaimana dikatakan banyak pengamat, JK adalah politisi yang unik sebab bisa mengkalkulasi sebuah peta politik yang berlangsung. Pengalamannya sebagai saudagar, telah menempanya dengan baik sehingga prediksi dan analisisnya punya presisi (ketepatan) yang tinggi ketimbang para pengamat politik yang kadang terlampau akademis dan mendewakan beragam survei. Kalkulasinya terukur dan langsung bisa menebak fenomena keakanan hanya dengan mengamati sekeping realitas kekinian.

Makanya, menafsir langkah JK laksana menafsir sebuah pertandingan yang dinamis dengan hasil yang sukar ditebak. Sebagaimana dicatat antropolog Christian Pelras, sosok JK adalah prasasti hidup dari dinamika manusia Bugis yang unik dan melanglangbuana ke beragam penjuru. Ia bukanlah tipe pemain politik yang diam, efisien, dan taat asas dalam dinamika politik. Ia lincah dan menerabas sana-sini, suatu kemampuan yang tak terlalu disenangi mereka yang mendambakan politik sebagai mesin yang berjalan rapi dan teratur dengan pola tertentu.

Sayang, duetnya dengan SBY tidak berlanjut. Meskipun akhirnya maju dalam pemilihan presiden di tahun 2009, ia sudah tahu kalau kansnya sangat kecil. Hitung-hitungannya kembali memang tidak keliru. Tetapi ia ingin menjaga sesuatu yang lebih besar, mulai dari soliditas partainya hingga marwah atau wibawa partainya.

Seorang sahabat di lingkaran Pak JK menuturkan kalau yang tak menginginkan Pak JK adalah Ibu Ani. Kubu Pak SBY mengkhawatirkan popularitas Pak JK yang akan terus meroket. Selain itu, kubu Pak SBY justru mempersiapkan Ibu Ani untuk memenangkan pemilu di tahun 2014. Jika Ibu Ani tak diterima publik, maka akan ada anggota keluarga lain yang akan bisa memantik simpati publik. Ternyata, hitung-hitungan kubu SBY tak satupun yang sesuai prediksi. Malah, setelah turun dari kursi kepresidenan, SBY terancam akan terjerat oleh banyak kasus.

***

HARI itu, di tahun 2011, rumah Pak JK di Pondok Indah kebanjiran tamu. Ia mengundang banyak orang untuk hadir di acara berbuka puasa. Aku datang dan melihat ada banyak tokoh di situ. Di antaranya adalah Anwar Nasution (mantan Gubernur BI), Aksa Mahmud, Sofjan Wanandi, Anies Baswedan, Mahfud MD, Ferry Mursyidan Baldan, Effendi Gazali, Quraish Shihab, Akbar Faizal, Yudi Latif. Aku juga sempat melihat Ippank Wahid, seorang konsultan politik ternama. Aku sendiri hadir untuk menemani seorang teman yang naksir pada Chaerani, putri bungsu Pak JK.

Seusai buka puasa dan salat magrib, Pak JK lalu bercerita bahwa dirinya kerap diminta Pak SBY untuk menyelesaikan konflik di beberapa daerah. Beberapa orang yang hadir langsung memprotes. Saat itu, Anies Baswedan beberapa kali mengingatkan Pak JK untuk tak menghadirinya. Ia tak ingin Pak JK menjadi bagian dari permasalahan yang sedang disulut oleh pemerintahan SBY-Boediono. Di tengah protes dan komentar itu, Pak JK tiba-tiba mengeluarkan kalimat yang membekas di pikiranku. “Selagi bangsa ini membutuhkan saya, maka saya tak mungkin menolak,” katanya.

Kulihat Pak JK ingin menunjukkan kepada banyak orang bahwa meskipun pilihan politik berbeda, namun kecintaan pada negara harus tetap dijaga. Ketika negara memanggil, ia akan tetap datang. Terbukti, ia tak pernah menolak panggilan Pak SBY untuk diskusi tentang penanganan konflik, meskipun rekomendasi Pak JK lebih sering diabaikan Pak SBY.

Jusuf Kalla di acara PMI (foto: kompas.com)

JK memang tak pernah menghilang dari lapangan pengabdian. Ia memimpin Palang Merah Indonesia (PMI) yang selalu hadir di tengah bencana. Ia juga tak pernah memerintahkan anggotanya memosting apa yang dilakukan lembaganya di media sosial. Ia juga memimpin Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang aktif untuk menggalang dana perbaikan beberapa masjid. Ia juga masuk ke detail-detail, seperti renovasi masjid, hingga sound system masjid yang katanya sering membuat jamaah tak bisa mendengarkan suara khatib. Tak hanya itu, ia juga memboyong Jokowi dari Solo ke Jakarta demi menjawab tantangan yang lebih besar.

Ia menunjukkan bahwa kerja-kerja keras membangun bangsa bisa dilakukan dari mana-mana. Pengaamannya menebar damai tak hanya diterapkan di tanah air, ia pun memberikan kontribusi di Rohingya, Myanmar.  Ia pun dundang ke berbagai negara demi membagikan pengalamannya sebagai juru damai.

Seusai bercerita tentang kesediaannya untuk hadir memenuhi undangan Pak SBY, diskusi lalu mengalir, sebagaimana biasa. Kembali, Anies Baswedan menyebut tentang janji kemerdekaan yang harus ditunaikan. Ia lalu meminta Pak JK untuk mempertimbangkan dengan serius jika ada anak bangsa yang memintanya menjadi calon presiden. Anies punya pernyataan menarik tentang usia sepuh yang sering digunakan sebagai jurus serangan pada Pak JK. “Usia itu tidak dilihat dari seberapa lama seseorang menjalani hidup. Namun seberapa segar dan progresif idenya untuk bangsa ini,” katanya.


***

DUA hari lalu, aku sedang minum kopi bersama seorang staf pribadi Pak JK di dekat Sarinah, Jakarta. Kami sama-sama membahas peta politik yang terus berubah. Pemilu telah usai. Peta koalisi mulai terbuka. Kami juga membahas tentang para pengamat politik yang seolah lebih pandai dari para politisi. Kami jarang menemukan pengamat yang netral. Semua bekerja berdasarkan pesanan pemberi order, lalu berusaha mengarahkan peta-peta koalisi capres. Namun, saat bahas posisi JK, kami sama terdiam. Entah ke mana gerangan ia akan berlabuh, yang pasti ia akan menjawab panggilan berbakti pada negara, di lapangan apapun.

Kring... Kring... Kring ...

Telepon kawanku berbunyi. Mulanya ia serius. Beberapa detik berikutnya, wajahnya seketika cerah. Ketika menutup telepon, ia lalu berkata dengan suara pelan, “Jokowi telah menemui Pak JK. Ia membawa mandat Ibu Mega sebagai capres. Ia berharap Pak JK bersedia mendampinginya sebagai cawapres.”

Hah?




Belajar Bahagia di KRL Jakarta-Bogor



TAK kusangka, warga Jakarta adalah mereka yang punya daya tahan luar biasa. Di tengah situasi yang tak nyaman, mereka tak pernah protes. Palingan mereka hanya menggerutu. Namun sekian detik kemudian, mereka lalu tenang, seolah tak ada apa-apa. Mereka sungguh hebat karena bisa tenang di tengah situasi yang tak nyaman.


SEBULAN ini, aku lebih banyak di Jakarta dan Bogor. Hari-hariku adalah perjalanan dengan kereta rel listrik (KRL) tujuan Jakarta Bogor. Aku menjadi bagian dari ribuan orang yang menghabiskan waktu demi menunggu kereta datang, berjejalan di kereta, lalu berkawan dengan bau peluh dan keringat. Aku mesti siap sedia jika tiba-tiba kereta bermasalah hingga tak bisa tepat waktu tiba di tujuan.

Dua hari lalu, aku naik kereta dari Stasiun Duren Kalibata. Baru jalan beberapa meter, kereta tiba-tiba berhenti. Ada pengumuman tentang masalah jaringan listrik di Stasiun Pasar Minggu. Kereta tak bisa melaju. Di sebelahku, seorang perempuan muda sempat melepaskan napas kekecewaan. Lelaki di ujung sana sempat menggerutu. Setelah itu keduanya lalu diam dan meneruskan aktivitas dengan handphonenya. Mereka bisa dengan cepat berpindah dari marah dan kecewa menjadi cuek dan tenang.

Aku teringat tulisan peneliti Jepang Hisanori Sato. Katanya, warga Jakarta adalah warga paling hebat sedunia. Mereka tak pernah protes terbuka atas kemacetan dan ketidaknyamanan pelayanan publik di Jakarta. Mereka juga punya daya tahan karena meskipun didera ketidaknyamanan. Mereka tetap melanjutkan kehidupan sebagaimana biasa.

Kupikir Sato benar. Sebagai warga baru Jakarta, aku bisa merasakan ketidaknyamanan. Di beberapa negara, warga akan mudah protes ketika ada pelayanan publik yang tidak memuaskan. Mereka bisa membuat petisi, mengajukan protes, atau menggalang opini lewat media massa. Namun di Jakarta, tak banyak warga yang memprotes.


Jangan-jangan ini terkait dengan budaya nrimo di kalangan warga kita. Dalam banyak hal, kita lebih suka menerima keadaan secara apa adanya, tanpa hendak memprotes dan mengajukan beragam pertanyaan kepada pemerintah. Padahal, dalam satu negara demokrasi, adalah hal biasa jika seorang warga mempertanyakan banyak ketidaknyamanan yang dialaminya kepada pemerintah.

Bisa pula kita mengatakan kalau kepasrahan warga itu muncul karena paham bahwa tak ada gunanya marah dan kecewa. Lagian, kalaupun hendak protes, maka diajukan ke mana. Apakah pemerintah mau mendengar? Jangan-jangan malah dipimpong ke birokrasi, yang seiring waktu, suara protes itu menguap entah di mana.

Aku memang harus belajar banyak pada warga biasa Jakarta yang sedemikian tahan dnegan berbagai keidaknyamanan. Naluri protes yang sering tumbuh dalam diriku mesti ditebas. Saatnya meluaskan hati, menerima kenyataan bahwa Jakarta bukanlah kota yang nyaman. Saatnya menerima kenyataan bahwa kereta yang kunaiki bisa macet kapan saja. Di titik itu aku mesti bahagia dengan semua ketidakberesan. Hiks...




Pesona Papua di Indonesian Idol


saat Nowela bernyanyi (foto: tribunnews.com)

DI ajang Indonesian Idol, pesona seorang perempuan Papua telah menyengat tanah air Indonesia. Perempuan itu menjadi magnet yang menawan hati banyak orang ketika berani membawakan lirik berbahasa Papua di ajang pencarian bakat bermusik paling spektakuler itu. Maka Indonesian Idol menjadi panggung untuk meneriakkan eksotika tanah Papua. Perempuan itu adalah Nowela Mikhaela Elizabeth Auparay.

***

“Kaka... Tidak lama lagi Nowela akan tampil. Kaka harus lihat pesona Papua.”

Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Pengirim pesan itu adalah Albert Komboy, seorang pemuda Papua yang tinggal di di Kaimana, Papua. Aku bukan penggemar acara Indonesian Idol. Namun pesan yang disampaikan dari tepi laut biru dengan pemandangan sunset terindah di dunia itu membuatku sedemikian penasaran.

Aku akhirnya menyaksikan penampilan Nowela. Melalui layar televisi, aku melihat tayangan warga Papua yang memenuhi studio. Mereka berteriak-teriak menyebut nama Papua. Di berbagai jejaring sosial, nama Nowela digemakan sebagai ikon kawasan timur. Ia dianggap sebagai representasi kawasan timur di layar televisi yang lebih banyak menampilkan wajah-wajah putih keturunan Eropa atau Asia Timur.

Beberapa malam lalu, Nowela tampil menyanyikan lagu Sang Dewi, yang dipopulerkan Titi Dj. Sebagaimana biasa, ia kembali membuat semua juri terkesan. Salah satu juri, Titi Dj memberikan standing applause untuknya. Namun aku paling terkesan dengan penampilannya tiga minggu lalu saat ia menyanyikan lagu Let It Go, yang merupakan soundtrack film Frozen.

Saat itu, kupikir ia akan menyanyi sebagaimana Demi Lovato, penyanyi aslinya. Ternyata tidak. Ia mulai lagunya dengan berteriak nyaring dalam bahasa yang baru pertama kudengar. Setelah itu, gendang ditabuh. Ada suara-suara yang mengingatkanku pada lagu Circle of Life dalam film Lion King yang menggambarkan rimba Afrika dengan hutan-hutan lebat. Seorang teman berbisik bahwa ia telah menambahkan lirik berbahasa Papua dalam lagu itu. Pantesan, bahasanya agak asing di telingaku.

Mendengar lagunya, pikiranku terbawa ke tanah Papua. Aku membayangkan pepohonan lebat dengan dahan yang menjulang tinggi ke angkasa. Aku membayangkan rimba raya yang dilalui kasuari serta burung cenderawasih. Aku membayangkan alam liar Papua yang begitu diidamkan oleh semua penjelajah dan penikmat bumi yang perawan. Sayang, sebuah perusahaan besar berbendera negara asing tengah mengeruk bumi Papua yang amat indah itu.

“Akhirnya, ada juga orang Papua di tivi kita,” canda Albert melalui ponsel. Aku tercenung memikirkannya. Ia benar. Televisi kita memang lebih banyak menampilkan sinetron tentang sosok-sosok berkulit putih dan terang. Di berbagai acara sinetron di televisi kita, wajah yang tampil adalah wajah yang itu-itu saja. Kalau bukan oriental khas Asia Timur, wajah yang sering muncul adalah peranakan Eropa.

Dalam hal selera, bangsa kita adalah bangsa yang terbelah. Di satu sisi, kita berulang-ulang menyebut kecintaan pada tanah air, namun di sisi lain kita justru seringkali lebih menaruh kekaguman pada mereka yang berwajah khas bangsa lain. Entah, apakah pemikiran kita adalah warisan dari penjajahan bangsa asing yang berlangsung sedemikian lama ataukah tidak. Yang pasti, jejak-jejak yang mengagungkan wajah khas asing itu masih bisa ditemukan dengan jelas di mana-mana.

Namun di tengah penyeragaman selera dan pengidolaan wajah khas asing itu, ada saja sejumlah warga kawasan timur Indonesia yang tampil di televisi dan secara konsisten membantu kita untuk menautkan mozaik keindonesiaan. Sepanjang ingatanku, di masa Orde Baru, wajah yang sering tampil di televisi adalah Luther Kalasuat. Ia menjadi salah satu presenter berita di TVRI.

Setelah era Luther Kalasuat, selanjutnya adalah era Edo Kondologit. Pemuda asal Sorong ini pertama muncul dari ajang pencarian bakat bermusik Asia Bagus. Meskipun ia tak juara di ajang ini, ia akhirnya sukses melenggang ke Jakarta sebagai seorang penyanyi dengan suara unik dan menggetarkan. Kemunculan Edo menjadi ikon bagi tanah Papua dan kawasan timur lainnya yang sukses wara-wiri di berbagai stasiun televisi kita.

aksi panggung Nowela (foto: merdeka.com)

Meski tak banyak, beberapa talenta dengan kemampuan seni asal kawasan timur mulai merambah stasiun tivi di dekade kekinian. Arie Kriting, pemuda asal Pulau Buton, telah lebih dulu menjadi ikon timur di ajang Stand Up Comedy yang tampil di satu stasiun televisi. Ia juga sukses bermain film Comic 8, yang kemudian melambungkan candaan khas orang timur.  Selain Arie, ada pula sosok Albert Fakdawer dan Minus Karoba yang bermain dalam film Denias, juga ada Michael yang pernah menjajal Indonesian Idol.

Melengkapi kesuksesan mereka, Nowela hadir di acara Indonesian Idol. Kehadirannya menjadi pertanda di ruang hati banyak orang bahwa sesungguhnya ada bakat-bakat hebat dalam bidang seni di belahan timur Indonesia. Bahwa kawasan timur tidak hanya menyimpan talenta hebat dalam sepakbola, sebagaimana ditunjukkan oleh Boaz Salossa atau Patrich Wanggai.

Mozaik Keindonesiaan

Pesan yang disampaikan Albert Komboy tentang jarangnya warga Papua tampil di televisi membuatku tercenung. Hari-hari kita dijejali oleh tayangan yang tidak berkualitas dan mendidik. Televisi kita gagal pula menyuguhkan mozaik keindonesiaan kita yang sedemikian luas dan kaya. Aku teringat pada berita bahwa warga di perbatasan Kalimantan lebih menggemari tayangan televisi Malaysia ketimbang televisi Indonesia. Mengapa?

Sebab mereka menemukan representasi dirinya di televisi Malaysia itu. Mereka menemukan para aktor dan aktris yang berbicara dengan logat sehari-hari mereka, yang membahas problem-problem kecil yang sehari-hari mereka hadapi. Sementara tivi kita sibuk memberitakan politik dan isu-isu yang hadir di Jakarta, Jawa, dan Bali. Media kita amat jarang melirik ke timur, di kawasan-kawasan yang sedemikian eksotik dan seyogyanya mendapat porsi pemberitaan yang seimbang.

“Kaka harus tahu kalau ada banyak emas di Papua. Tidak hanya di Freeport, tapi juga di Indonesian Idol,” kata Albert melalui SMS yang dikirimkannya. Ia benar. Kita memang jarang melirik ke timur. Padahal, ada banyak talenta hebat yang serupa mutiara di tepi laut Yapen Waropen. Emas tak akan pernah berkilau jika tak ditempa dengan teknik dan cara yang benar.

Jika hari ini talenta Nowela, seorang perempuan asal Suku Arnus, kian cemerlang bersinar, maka itu menjadi cerminan dari bakat-bakat terpendam di kawasan timur yang harusnya diangkat ke permukaan demi merepresentasikan identitas keindonesiaan yang sedemikian beragam dan kaya-raya. Semoga hadirnya Nowela tak hanya memantik kebanggaan pada tanah Papua, namun juga tanah air Indonesia yang kecintaan atasnya mengalir dalam nadi setiap nadi anak bangsa.