Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mencaci Itu Ibarat Melempar Bumerang

ilustrasi

LELUHUR kita amatlah arif ketika mengatakan bahwa seringkali semut di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata justru tak tampak. Maksudnya, seringkali kita lebih sibuk mengurusi kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, tanpa bercermin bahwa ada banyak kesalahan besar yang kita lakukan.

Kali ini aku hendak bercerita tentang orang-orang yang amat suka mencaci orang lain. Di media sosial, selalu saja kutemukan orang-orang yang suka menghina atau mencibir orang lain. Selalu saja ada keburukan yang disebar dengan amat telanjang sehingga diharapkan agar orang lain ikut mencibir. Dalam konteks politik, barangkali amat penting mengetahui plus minus dari seseorang. Namun dalam konteks hubungan-hubungan sosial, mereka yang suka mencaci adalah mereka yang sebaiknya berkonsultasi pada ahli jiwa. Mungkin ada korslet di otaknya sehingga selalu mengurusi orang lain lalu mencibirnya.

Mereka yang hobinya mencaci orang lain adalah mereka yang gagal menemukan sisi positif dari dirinya, sehingga terus-menerus berbagi energi negatif. Tindakan yang sibuk memperhatikan orang lain lalu mencacinya adalah potret dari rasa cemburu atas sesuatu yang dimiliki orang lain, yang tak dimiliki. Cacian adalah jalan pintas untuk menghina, melecehkan, dan hendak menurunkan nama baik seseorang, sehingga kelak ada yang menuai keuntungan dari hinaan tersebut.

Tapi benarkah ia akan mendapat keuntungan? Aku justru pesimis. Mencaci orang lain ibarat melempar bumerang, yang jika gagal akan segera berbalik dan menghantam sang pelempar. Jika sasaran meleset, maka bersiaplah untuk menerima lemparan bumerang, yang nantinya akan melukai dan menghancurkan diri sendiri.

Hari ini aku teringat pada satu kearifan lokal. Bahwa ketika satu jari menunjuk, maka empat jari lain akan menunjuk diri sendiri. Maksudnya, sekali anda melakukan hal yang tak baik, maka bertubi-tubi ketidakbaikan akan menyerang diri anda. Benarkah?




Kenangan Bersama Prof Amiruddin


diriku (paling kiri) bersama dr Yusuf (Walikota Tarakan), Prof Razak Thaha, Wagub Syahrul Yasin Limpo, dan Prof Achmad Amiruddin (mantan Rektor Unhas dan Gubernur Sulsel)


SUATU hari di tahun 2005, aku diundang jadi pembicara diskusi yang isinya adalah refleksi dan mimpi di kampus Universitas Hasanuddin. Ternyata aku tak sendirian. Para pembicaranya adalah Wagub Sulsel Syahrul Yasin Limpo (kini beliau adalah gubernur), Walikota Tarakan Yusuf Kasim, serta satu lagi bapak berambut putih. Ketika bapak itu datang, semua orang mendekat dan mencium tangannya. Bahkan gubernur pun demikian. Siapakah dirinya? Sepenting apakah bapak itu?

Seorang teman lalu berbisik kalau bapak itu adalah Prof Achmad Amiruddin. Ia adalah mantan rektor Unhas, yang kemudian menjadi Gubernur Sulsel selama dua periode. Ia juga pernah jadi Wakil Ketua MPR RI di Jakarta. Tak cukup dengan itu, sang teman lalu menjelaskan kalau sebelumnya Prof Amir adalah guru besar ITB, yang kemudian dipercaya untuk ikut membangun Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).

Sosok itu memang kharismatis. Saat itu, aku melihat Prof Razak Thaha (kerap disapa Prof Acca), mantan bosku di Pusat Studi Gizi dan Pelayanan Kesehatan (PSGPK) mendatanginya, kemudian mencium tangannya. Tapi Prof Amir justru menolak saat tangannya hendak dicium. Ia memeluk Prof Acca sebagaimana seorang ayah yang memeluk anaknya. Ia juga memeluk Wagub Syahrul lalu berbincang-bincang.

Satu hal yang kusukai di Makassar adalah adanya penghargaan pada seseorang yang sudah sepuh. Orang-orang di Makassar paling mudah mengabaikan segala perbedaan kepentingan, faksi politik, ataupun haluan ketika bertemu seseorang yang lebih tua. Mereka yang muda langsung memosisikan dirinya sebagai seorang anak ketika berhadapan dengan yang lebih tua. Yang muda lebih banyak menunduk.

Tapi barangkali sikap menunduk itu jelas dipengaruhi oleh siapa sosok yang dituakan itu. Prof Amir adalah nama yang sangat populer dan melegenda. Di kampus Unhas dan di Gubernuran Sulsel, ia adalah nama besar yang meninggalkan banyak karya. Semua warga Unhas mengetahui namanya. Ia adalah sosok yang memindahkan kampus Unhas ke wilayah seluas 220 hektar di Tamalanrea. Ia pula yang membangun kantor Gubernur Sulsel di areal bekas kuburan Cina.

Namanya kian melegenda ketika memopulerkan konsep ‘petik-olah-jual’ yang kemudian sukses mendongkrak penghasilan para petani di Sulsel. Sebagai rektor dan gubernur, ia menghasilkan banyak karya yang dengan mudah bisa diamati. Pesonanya teramat kuat sehingga banyak orang yang dengan ikhlas datang menciumi tangannya. Itulah yang kusaksikan.

Kemarin, aku mendengar berita tentang kepulangannya. Kembali aku mengingat kenangan ketika duduk dan menjadi pembicara bersamanya. Dan setiap kali orang baik menghadap Tuhan, maka selalu saja ada kenangan yang diungkap, kemudian diserap hikmahnya. Selama beberapa tahun ini, Prof Amiruddin seakan lenyap. Beritanya tak kedengaran, hingga akhirnya ia meninggal dunia.

Pertanyaan yang mencuat di pikiranku adalah mengapa kenangan itu diungkap hanya ketika seseorang berpulang? Mengapa tak ada yang menyerap kenangan ketika orang tersebut masih hidup?

Entahlah. Aku hanya bertanya dalam hati.





Buku Gratis dari Penerbit


buku yang kuterima dari penerbit

DAHULU, para peresensi merayu-rayu media massa agar bersedia memuat tulisannya. Di era internet ini, para penerbit justru lebih aktif. Mereka bekerja sama dengan beberapa social blog, kemudian meminta rekomendasi tentang beberapa orang yang bisa menulis resensi. Lalu, mengirimkan buku secara gratis dengan permintaan agar buku itu bisa diresensi. Tak hanya itu, penerbit juga menyiapkan hadiah yang cukup besar. Enak khan?

Dua hari lalu, aku mendapat kiriman buku bagus dari sebuah penerbit besar. Aku diminta untuk membaca, kemudian menulis preview-nya sebulan mendatang. Jelaslah aku sangat gembira. Dari sedemikian banyak hal menyenangkan minggu ini, maka pekerjaan membaca dan menulis ini menempati rengking pertama. Tanpa dibayarpun aku bersedia melakukannya. Apalagi jika dibayar.

Nampaknya, banyak hal yang bergeser di era internet ini. Para penerbit justru lebih agresif demi menemukan orang yang bersedia meresensi bukunya. Sebelumnya, mereka juga agresif dalam menemukan siapa para penulis yang karyanya akan diterbitkan. Mereka telah lama membentuk tim pencari bakat yang akan menemukan karya hebat demi penerbitannya. Hari ini, mereka juga telah menyeleksi para penulis resensi, dan memesan resensi secara eksklusif.

Yah, perubahan sedang terjadi. Nampaknya, kita mesti siap dengan banyak hal yang akan terjadi nantinya.



Kiat Cerdik Kalahkan Jokowi



JIKA panggung kampanye politik kita ibarat arena peperangan, maka para pengeritik Joko Widodo (Jokowi) sedang mempraktikkan strategi yang amat mudah dibaca. Mereka tak sanggup mengenali karakter media sosial, serta di mana letak kekuatan sang capres kerempeng itu. Jika serangan atas Jokowi terus-menerus gencar di media sosial, maka hasilnya bisa ditebak: Jokowi akan menang telak sebelum pertandingan. Tak percaya?

***

LELAKI itu berdiri dan menyaksikan arena pertempuran. Ia memandang dua pasukan yang sedang berhadapan. Ia melihat satu pasukan sibuk melancarkan yel-yel untuk menjelek-jelekkan musuhnya. Pasukan yang satu justru diam, bermain dalam tenang, sembari mengamati gerakan lawan, kemudian setia mengawasi angin.

Lelaki itu adalah Sun Tzu (535 SM), seorang ahli strategi perang. Melihat tingkah kedua pasukan itu, ia dengan mudahnya menebak akhir pertempuran itu. Ia melihat pasukan yang menunggu adalah pasukan yang lebih pandai menempatkan posisi. “Pemenangnya adalah pasukan yang menahan diri dari untuk menyerang musuh yang benderanya berdiri dalam posisi sempurna. Mereka tak benar-benar menunggu. Mereka setia mengawasi, sambil menyiapkan banyak ranjau. Inilah seni mempelajari kondisi. “

Dalam strategi Sun Tzu, pengenalan diri dan pengenalan musuh adalah kunci untuk memenangkan pertempuran. Mereka yang sesumbar akan lebih mudah dikalahkan. “Dia yang menang adalah dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri. Dia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko kalah dalam setiap pertempuran.”

Panggung kampanye politik Indonesia laksana sebuah arena peperangan. Semua kandidat calon presiden tengah memainkan posisi yang tengah disorot publik. Seuruh energi publik seakan ‘dipaksa’ untuk menyaksikan orkestra adu strategi serta taktik untuk memperebutkan citra positif di benak seluruh masyarakat.

Seminggu terakhir, kehebohan di panggung kampanye itu kian memanas. Segera setelah pengumuman tentang mandat yang diberikan Megawati kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon Presiden RI, berbagai kecaman kepadanya secara bertubi-tubi mengalir di media sosial. Yang menarik, kecaman itu justru dilontarkan secara massif oleh mereka yang jelas-jelas menjadi tim sukses.

Berbagai jurus serangan telah dilancarkan. Mulai dari menyebut Jokowi didukung para taipan Cina, mengangkat isu agama, menghantam dengan isu ingkar janji atas sebuah perjanjian. Hingga puncaknya adalah menyebutnya sebagai capres boneka. Strategi serangan ini sejatinya bermuara pada harapan bahwa Jokowi akan meladeninya. Namun ketika Jokowi justru diam saja, dan membiarkan para pengeritik itu berbicara sendirian, maka hasilnya akan tertebak. Boleh jadi, publik akan lebih mengapresiasi sosok yang tenang serta fokus untuk menggapai apa yang hendak dituju. Publik akan lebih peduli pada dia yang diam, tapi setiap gerakannya selalu mengejutkan.

Mereka yang sering wara-wiri di media sosial itu justru tak paham karakter media sosial. Semakin anda membicarakan satu sosok, maka semakin populerlah sosok tersebut. Semakin anda menyerang seseorang, maka semakin terkenal seseorang tersebut. Proses ini akan berujung pada dua kemungkinan, apakah sosok itu akan disukai ataukah dibenci. Sebab alam semesta telah mengajarkan, semakin keras lentingan sebuah bola, maka semakin keras pula pantulannya.

Ketika Jokowi tak meladeni semua serangan atasnya, maka ia semakin menunjukkan kematangannya. Ia mendapatkan kekuatannya lewat simpati publik yang terus mengalir. Ketika ia mengabaikan semua serangan, maka ia menempatkan dirinya pada posisi yang lebih strategis.  Ia semakin menyentuh hati publik sebab mengubah semua energi negatif yang mengarah ke dirinya, menjadi energi positif. Inilah yang dimaksimalkannya.

Ada banyak pakar komunikasi di media sosial. Entah kenapa, tak banyak yang memahami bahwa strategi Jokowi itu bukanlah strategi pencitraan sebagaimana yang diajarkan dalam kelas-kelas kuliah. Kampanyenya berbiaya murah. Ia tak perlu membayar mahal semua televisi untuk mengiklankan dirinya, sebagaimana Prabowo, ARB, dan Wiranto. Ia juga tidak memaksimalkan media luar ruang seperti baliho ataupun pamflet demi memajang gambar dirinya bersama

Pencitraan Jokowi ditopang oleh desas-desus dan opini publik yang setiap saat membicarakan dirinya, terlepas dari segala pro dan kontra. Jika dipikir-pikir, strategi kampanye seperti ini lebih efektif dari miliaran rupiah iklan televisi dan baliho. Desas-desus tentang dirinya, yang justru dihembuskan oleh para lawan politiknya, bisa dikemas menjadi strategi efektif yang semakin mengokohkan namanya. Mereka yang menyerang Jokowi melalui media sosial justru tak sadar bahwa serangan itu ibarat energi yang makin mengokohkan posisinya.

Mereka yang menyerang Jokowi tak juga bisa mengidentifikasi bahwa kekuatan Jokowi adalah bisa menggerakkan banyak media untuk selalu membuat berita tentangnya. Mengapa? Sebab ia tahu apa yang diinginkan oleh media. Meskipun media punya calon presiden sendiri, media selalu butuh berita. Selagi definisi berita adalah sesuatu yang unik, aktual, serta menarik, maka berita tentang Jokowi tak akan pernah sepi.

Jika anda ingin dicitrakan media sebagaimana pria itu, kenalilah apa yang ingin diketahui publik tentang sosok yang anda inginkan. Mereka yang hendak mengalahkan Jokowi, pastilah paham bahwa sosok itu sejatinya punya banyak kelemahan. Tapi sosok itu justru tak hendak menutupi kelemahan. Ia mengakui bahwa banjir di Jakarta belum bisa diselesaikannya. Namun ia berhasil menunjukkan kepada orang banyak bahwa dirinya tidak sedang lari dari masalah. Ia bekerja menyelesaikan banjir, meskipun langkah itu belum juga selesai. Pantas saja jika survei membuktikan bahwa dirinya tidak dianggap sebagai faktor yang menghambat upaya penanganan banjir dan masalah lainnya di Jakarta. Positioning-nya beda dengan pemimpin sebelumnya yang justru dianggap tak melakukan apa-apa.

Nah, bagaimanakah kiat mengalahkan Jokowi? Mengacu pada Sun Tzu, pria itu hanya bisa dikalahkan dengan dua cara.

Pertama, kenali kekuatannya. Sejauh ini, Golkar dan ARB bisa memahami kekuatan itu, makanya mereka tak pernah menyerang Jokowi di media sosial. Mereka paham watak media sosial, sehingga lebih fokus pada hal-hal besar. Hnya saja, Golkar belum menemukan model kampanye efektif yang bsia membuat kandidat mereka unik, sebagaimana Jokowi.

Kedua, kenali kekuatan sendiri, lalu pahami masyarakat. Kata Sun Tzu, “Kita tidak akan bisa menggunakan keuntungan dari alam kecuali bila kita mendapat petunjuk dari penduduk setempat.” Makanya, jauh lebih baik jika fokus pada segala kelebihan dan kekuatan sendiri, ketimbang menghabiskan energi untuk menyerang Jokowi, yang justru semakin melambung namanya. Temukan cara yang lebih cerdik untuk mengarahkan energi dan menemukan model kampanye efektif yang bisa berbicara lebih nyaring kepada banyak orang tentang harapan besar untuk negeri yang lebih baik.

Mohon maaf. Saya bukan pendukung Jokowi. Saya hanya mengamati apa yang terjadi di panggung politik kita. Tabik!



Inspirasi Athirah, Ibunda Jusuf Kalla


Jusuf Kalla (tengah) diapit oleh orangtuanya, Athirah dan Hadji Kalla, saat menikah

DI balik setiap manusia besar selalu ada kisah manusia-manusia besar. Di balik setiap keberhasilan, selalu saja ada kisah tentang mereka yang setia menebar benih-benih keberhasilan. Di bumi Anging Mammiri, terdapat satu kisah yang menyentuh hati tentang seorang anak yang tak meninggalkan ibunya selama lebih 40 tahun, serta kelembutan seorang ibu yang serupa embun dan mengantarkan anaknya hingga kursi Wakil Presiden RI. 
.
Ibu itu adalah Athirah, ibunda dari Muhammad Jusuf Kalla.

***

SUATU hari, di akhir tahun 1940-an. Nun jauh di desa Bukaka, Bone, Sulawesi Selatan, seorang ibu tengah menidurkan putranya. Ibu itu berbaju khas seorang wanita pedesaan. Ia bersenandung untuk anaknya dengan syair berbahasa Bugis, “Anakku. Semoga engkau panjang umur dan menjadi orang yang melampaui apa yang dicapai orang dalam kebaikan.”

Ibu itu menatap anaknya dengan penuh kasih. Langit dan bumi menjadi saksi betapa dirinya amat mencintai anaknya. Ia kemudian berzikir sembari melepas ribuan harapan agar kelak sang anak bisa menjadi manusia berguna. Hari itu, di pertengahan bulan puasa, sang ibu lalu membagikan sarung kepada banyak warga Bukaka, sembari berpesan, “Doakan supaya Ucu bisa jadi bupati.”

Bone terletak tak jauh dari pesisir laut Sulawesi. Lelaki Bone adalah para petarung yang menjadikan laut sebagai arena untuk mengasah kecakapan. Mereka berlayar hingga ke tempat-tempat yang jauh. Para pelaut Bugis telah lama masyhur dan memijakkan kaki di banyak tempat, mulai dari tanah Johor hingga Madagaskar.



Banyak pula di antara mereka yang menjadi pedagang dan sukses berniaga di mana-mana. Salah satu dari sekian banyak pedagang sukses itu adalah Hadji Kalla. Lelaki asal kampung Nipa di Bone ini adalah tipikal pedagang tahan banting yang telah berdagang sejak usia muda.

Mulanya ia pedagang biasa di dekat Pelabuhan Bajoe. Selanjutnya, ia merambah ke bisnis transportasi, perdagangan lintas benua, hingga akhirnya membuka perusahaan NV Hadji Kalla. Ia kemudian dijodohkan dengan Athirah, perempuan lembut yang di kemudian hari selalu bersenandung untuk anaknya.

Sejarah kemudian mencatat bahwa sang anak, yang dipanggil Ucu itu, telah jauh melampaui harapan orangtuanya agar dirinya menjadi bupati. Anak itu menjadi pemilik banyak perusahaan besar yang mempekerjakan ribuan orang. 

Anak itu melangkahkan sebagai seorang wakil presiden, pada sebuah jabatan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Anak itu telah menjadi pejuang kemanusiaan dan perdamaian, memberikan banyak kontribusi bagi tanah air dan nusa bangsa.

Semuanya berkat seorang ibu.

Tak banyak yang tahu kalau sukses Hadji Kalla dan putranya Jusuf bersumber dari mata air seorang perempuan bernama Athirah. Perannya tak kecil. Athirah bukanlah seorang perempuan yang terpenjara di rumah dan hanya menanti suami sepanjang hari. 

Athirah adalah seorang pekerja keras yang punya visi hebat dalam bisnis. Ia sukses mengelola bisnis kain sutera dengan pelanggan yang tersebar ke mana-mana. Ia pulalah yang kemudian membimbing Jusuf Kalla memasuki dunia bisnis.

Perempuan itu lahir tahun 1924 di kampung Bukaka, Bone. Ayahnya Muhammad adalah Kepala Kampung dan mantan penasehat Kerajaan Bone. Ibunya Hj Kerra adalah seorang pedagang kecil-kecilan sekaligus ibu rumah tangga. Meskipun Athirah dijodohkan dengan Hadji Kalla pada usia 13 tahun, ia mencintai suaminya sepenuh hati. Biarpun pendidikan formalnya hanya di level sekolah dasar, ia ikut terjun dalam bisnis penjualan kain sutra.

Secara rapi ia mencatat semua pembukuan usaha dalam dua huruf yakni huruf latin dan huruf lontara, yang digunakan oleh orang Bugis. Ia rutin menghitung hasil penjualannya setiap hari menjelang tidur dan kemudian dimasukkan ke dalam brankas (peti uang) dan dikelolanya sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain termasuk Hadji Kalla dan anak-anaknya. Catatan pembukuan dilakukannya setelah salat subuh.

Visi Athirah sangat kuat. Jusuf menuturkan bahwa pada pada tahun 1965, bisnis sedang lesu. Beberapa tahun sebelumnya, Athirah telah memiliki firasat akan iklim bisnis yang akan terpuruk. Athirah lalu membeli banyak emas batangan, yang kemudian ditanam di bawah tempat tidurnya. 

Hanya Hadji Kalla, Athirah, dan Jusuf sendiri yang tahu posisi emas tersebut. Ketika krisis ekonomi menghantam dan nilai rupiah terjun bebas, ibunya lalu memerintahkan Jusuf untuk mengambil emas itu sedkit demi sedikit untuk membayar semua gaji karyawannya.

Ketika ekonomi membaik, emas itu kemudian menjadi awal dari usaha NV Hadji Kalla yang lalu mengibarkan bendera di banyak ranah bisnis. Tanpa visi Athirah, tak akan pernah ada kisah tentang salah satu kelompok usaha pribumi paling kuat di Sulawesi Selatan.

Pada ayahnya, Jusuf belajar tentang ketangguhan dalam bisnis serta kemampuan melihat sisi baik dari setiap masalah. Sedang pada ibunya Athirah, ia belajar bagaimana menjadi seorang manusia yang memberi manfaat bagi sesamanya. Ibunya menitipkan banyak filosofi kehidupan, yang kemudian menjadi pegangan hidupnya. 

Kata Jusuf, ibunya pernah berkata, “Kalau kau sudah naik mobil, lihat orang naik motor, dan kalau kau naik motor lihat orang naik sepeda. Kamu akan merasa lebih baik dan mensyukuri hidup. Jangan berpikir bahwa ketika kamu naik motor tiba-tiba iri saat melihat orang naik Mercy, maka pastilah kamu akan susah tidur.”

***

Banyak yang bertanya, mengapa Jusuf Kalla justru tetap setia berkarier dan berbisnis di Makassar? Mengapa ia tak berpikir untuk berekspansi ke Jakarta lalu membangun usaha besar di sana?

Pertanyaan ini amat menarik. Saya pun berusaha untuk menemukan jawabannya. Pada awal Orde Baru, banyak pengusaha yang berbondong-bondong ke Jakarta dan memulai bisnis ketika ekonomi sedang membaik. Tapi Jusuf justru memilih tetap bertahan di Makassar. Ia juga tak tergoda untuk bekerja di instansi lain setamat kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin.

novel Athirah

Saya menemukan jawabannya pada novel Athirah, yang ditulis Alberthiene Endah, terbitan Noura. Ternyata, Jusuf bertahan di Makassar demi untuk menemani sang ibu yang saat itu merasa sendirian. Satu fakta mencuat bahwa di balik kisah kesuksesan keluarga itu, terdapat satu kisah mengharukan tentang prahara keluarga yang dialami Athirah. Tak banyak yang tahu bahwa sejak muda, Jusuf telah melihat langsung kesedihan ibunya Athirah yang hanya bisa dipendam sejak ayahnya berpoligami.

Tahun 1955 adalah tahun paling berat bagi Jusuf. Ia menyaksikan kesedihan ibunya yang menjalani hari-hari serba berubah sejak suaminya menikah lagi. Bapaknya mulai jarang pulang ke rumah. Jusuf menjadi tempat bagi ibunya untuk bercerita banyak hal. 

Pada Jusuf, ibunya menitipkan semua perasaan serta kegalauannya. Dalam usia muda, keadaan telah ‘memaksa’ Jusuf untuk menjadi lelaki dewasa yang mendampingi semua aktivitas ibunya, sekaligus menjadi ayah bagi empat saudaranya.

Sebagaimana halnya wanita Bugis pada masa itu, Athirah tidak banyak bercerita tentang perasaannya pada sang suami. Ia lalu mengalihkan energinya pada usaha yang dikelolanya. Ia menjadi amat kreatif dan selalu bergerak untuk membesarkan usaha. 

Ia aktif berorganisasi di Muhammadiyah. Ia juga mengajak anak lelakinya Jusuf untuk terjun langsung dan mengawal banyak usaha. 

Hingga akhirnya, Hadji Kalla pun memercayakan Jusuf untuk menangani semua unit usaha lainnya. Di tahun 1982, Athirah meninggal dunia dalam pelukan Jusuf. Tiga bulan setelahnya, Hadji Kalla juga meninggal saat menyadari kesedihan istrinya sejak dirinya berpoligami.

Selama 40 tahun, Jusuf menjadi sahabat terdekat sekaligus tempat bercerita ibunya yang membesarkan semua anaknya. Semua kearifan itu diserap dan diterapkannya ketika mengembangkan bisnis NV Hadji Kalla dan melebarkannya di kawasan Indonesia timur.

Kisah mereka mengingatkan saya pada tuturan Malcolm Galdwell dalam buku Outlier (2008) bahwa di balik setiap pribadi besar, selalu ada konteks sosial serta manusia-manusia yang berperan besar. Bahwa di balik kisah tentang kehebatan satu tokoh, selalu saja ada pengalaman dan latar keluarga yang kemudian membesarkan seseorang untuk mengambil banyak peran strategis.

Peran besar Athirah pada Jusuf, mengingatkan saya pada syair Kahlil Gibran: “Ibu adalah segalanya, dialah penghibur di dalam kesedihan. Pemberi harapan di dalam penderitaan, dan pemberi kekuatan di dalam kelemahan. Manusia yang kehilangan ibunya berarti kehilangan jiwa sejati yang memberi berkat dan menjaganya tanpa henti...”





Perginya Seorang Perempuan Bersuara Lembut




PEREMPUAN itu tersenyum seusai menyapaku. Selanjutnya ia menunduk. Hatiku tiba-tiba saja mekar. Suatu hari, aku mengenalnya. Kami sama-sama baru saja kembali dari kampus, di hari pertama kami sebagai mahasiswa. Di dalam mobil kampus, aku berkenalan dengannya. Ia membuatku tersenyum setelah sebelumnya kami sama-sama ‘disiksa’ oleh para senior.

Sesekali aku curi pandang ke arahnya. Sosoknya tak seberapa tinggi. Ia semanis Yuni Shara, penyanyi yang saat itu sedang naik daun. Model rambutnya juga mirip. Satu yang membuatku terkesima adalah suaranya yang selalu lembut. Sungguh beda dengan intonasi suara oang-orang sekampungku, yang lebih banyak teriak-teriak, walaupun kadang lawan bicaranya itu sedang di hadapannya.

Selanjutnya kami sama-sama menjadi mahasiswa. Kami tak menjadi teman akrab. Pada masa itu, aku sering merasa minder. Aku agak menjauh dari para perempuan, apalagi kalau perempuan itu cantik. Aku sering merasa sebagai orang udik yang tak pantas berada dalam iklim pergaulan kota besar. Aku semakin minder ketika seorang sahabat sering menyebut diri seperti kotoran. Di tengah rasa minder itu, aku tetap memperhatikan sosoknya.

Suatu hari, ia menyuruh temanku untuk mengangkat dua jergen air. Suaranya sangat lembut ketika menyuruh. Dengan semangat 45, temanku mengangkat jergen besar itu. Aku yakin persis, kalau aku yang memintanya, pastilah teman itu akan menolak. Beda dengan dirinya yang bersuara lembut. Lagian, siapa sih yang akan menolak jika diperintah dengan suara lembut?

Di luar dugaanku, ia tak sombong. Pernah, ia datang dan duduk di dekatku, sembari ikut membaca buku wayang yang tengah kubaca. Ia bisa menjelaskan beberapa istilah Jawa yang tak kupahami. Sebagai balasannya, aku lalu membaca garis tangannya. Tentu saja, demi memudahkan proses membaca garis tangan, aku mesti memegang tangannya. Saat itu kulihat barisan teman lain menatap iri karena aku bisa menyentuhnya.

Pada masa itu, aku sukses menanamkan keyakinan di mata banyak orang bahwa aku ini seorang cenayang. Dengan teknik ala dukun sakti, aku mengaku bisa membaca garis tangan seseorang. Maka antrilah para cewek untuk diramal masa depannya. Mereka tak tahu kalau aku hanya seorang pembual yang ingin mengambil kesempatan untuk memegang tangan mereka. Sementara para cowok justru marah karena aku tak mau meramal mereka. Enak saja, ramalanku hanya buat cewek!

***

SEMALAM, aku membaca informasi di layar facebook. Ia telah berpulang ke Rahmatullah. Ia meninggalkan seorang suami, serta dua anak kecil yang manis. Dua anak itu semanis dirinya. Barusan pula kuketahui kalau ia cukup lama bertarung dengan penyakitnya. Dan tiba-tiba saja hatiku merasa kosong. Aku terdiam sesaat ketika ucapan duka mengalir melalui jejaring sosial.

Kenangan itu ibarat porselen yang tersimpan dalam lemari hati. Dalam hidup, kita menyimpan satu demi satu porselen kenangan, kemudian terus bergerak mengumpulkan porselen lainnya. Hidup seringkali menjadi gerak untuk mengumpulkan beragam porselen kenangan, lalu menyimpannya secara rapi dalam banyak rak-rak hati. Ada porselen yang terlupakan, namun ada pula yang sesekali muncul dan membanjiri ingatan kita.

Tatkala mendengar berita tentangnya, semua informasi menyangkut dirinya hadir dalam benakku. Porselen ingatan tentangnya muncul seketika. Kami pernah melalui hari-hari yang sama. Ada suka dan ada duka, yang kesemuanya berpadu menjadi satu kenangan yang susah dilenyapkan. Kepergiannya mengingatkanku pada seorang sahabat dekat di Papua yang meninggal dunia karena kecelakaan, dua tahun silam.

Dalam kurun waktu lima tahun, telah ada beberapa sahabatku yang berangkat untuk menemui Yang Maha Mencipta. Hidup ini serupa antri KTP di kelurahan. Tak ada aturan siapa yang duluan. Bahkan datang lebih awal pun tak jadi jaminan akan dipanggil duluan. Kamu mesti siap setiap saat jika dipanggil. Ketika saat itu tiba, kamu tak akan pernah bisa menolak. Kamu harus patuh dan ikhlas menjalaninya.

Rupanya ia telah dipanggil. Namun ia telah menunaikan tugas-tugas mulianya sebagai seorang istri dan ibu yang baik. Semoga saja, tugas mulianya yang ditunaikan dengan baik itu akan menjadi cahaya terang yang menuntunnya di alam sana, di alam penuh keabadian. Kuyakin kalau jalannya amat baik, sebaik kesan yang ditanamkannya pada banyak orang.

Yah, perempuan bersuara lembut itu telah pergi. Tapi porselen kenangan baik tentangnya, masih tersimpan baik di sini. Di hati kami.

Selamat jalan sahabatku Nining Indrajaya.



Seribu Inspirasi untuk Menulis Blog


Apakah anda pernah mengalami kebuntuan saat menulis blog? Pernahkah anda mengalami gejala kosong ide pada saat anda ingin menulis sesuatu di blog anda? Jika ya, ada baiknya jika anda mengikuti beberapa kiat untuk menemukan ide melalui infografik di bawah ini.


Infografik di atas dibuat oleh positivewriter.com. Lengkapnya bisa dibaca DI SINI. Sengaja saya posting di blog ini sebagai penyemangat bahwa ada ribuan hal yang bisa menjadi inspirasi yang lalu diolah menjadi bahan tulisan. Selama ini, saya hanya berpatokan pada satu hal yakni searching dulu di internet, kemudian menemukan ide menarik. Ternyata ada banyak jalan untuk menggali dan mengembangkan gagasan.

Apakah anda punya kiat lain untuk menemukan gairah menulis? Ataukah kiat di atas tak memadai untuk anda? Jika ya, tuliskan pada kolom komentar. Kita akan sama-sama memecahkan semua kebuntuan menulis tersebut. Thanks.



Di Sana Jokowi, di Sini Acara Joged


ilustrasi

DI saat semua orang sibuk membahas Jokowi, baik pro maupun kontra, di kampung halamanku warga tak banyak tahu tentang wacana tersebut. Warga amat menikmati berkah jelang pemilihan umum (pemilu). Ada banyak hajatan dan kumpul bersama serta makan-makan. Ada banyak orang yang tiba-tiba sering tersenyum, berbagi kebaikan, dan setelah itu menitipkan poster kampanye serta ajakan untuk memilih. Seorang warga bertanya, mengapa tak setiap bulan ada Pemilu?

***

DUA malam ini, musik tak henti berdentam-dentam di sekitar rumahku di Pulau Buton. Jika biasanya jalanan lengang dan orang-orang beristirahat pada pukul sembilan malam, kini tak lagi demikian. Selama sepekan terakhir, ada banyak acara berkumpul serta makan bersama yang dihadiri banyak orang.

Dalam banyak kesempatan, aku sering ikut dalam acara kumpul-kumpul itu. Biasanya pengundang hajatan adalah sosok yang dituakan di kampung. Kadang, pengundangnya adalah politisi lokal. Setelah makan-makan dan ngobrol, lalu acara dilanjutkan dengan presentasi seorang politisi atau calon anggota legislatif (caleg). Biasanya tak banyak pertanyaan. Semua orang manggut-manggut, bersepakat, kemudian memberi komitmen untuk memilih.

Aku sering penasaran dengan apa yang mereka kemukakan. Tak ada diskusi tentang politik akal sehat atau mimpi-mimpi untuk membangun daerah. Yang ada hanya sebuah janji atau komitmen bahwa akan ada ‘amunisi’, tapi sering disebut ‘peluru’ yang akan dikirimkan kepada semua orang yang akan memilihnya. Warga kampung sama mahfum bahwa ‘amunisi’ yang dimaksud adalah sejumlah uang.

Kadang-kadang, usai makan akan ada acara joged. Penyelenggara acara mengundang pemusik elekton dan penyanyi seksi untuk menghibur. Orang-orang berjoged, tertawa bersama, lalu pulang dalam keadaan lelah. Tak puas, sejumlah anak muda lalu melanjutkan acara dengan membeli minuman tuak lokal, kemudian lanjut bermain domino. Dalam keadaan mabuk, beberapa anak muda akan berbisik, “Tenang bos. Kami akan memilih.”

Maka selesailah kampanye untuk memilih seseorang yang akan mengemban amanah orang banyak, menyuarakan keinginan dan aspirasi, menitipkan segala idealisme dan visi untuk membangun negeri. Usai kumpul, joged, dan mabuk, politik kemudian diaktualkan dalam bentuk janji untuk memberikan sesuatu. Tak ada panwas. Tak ada polisi. Semua sama larut dalam pertunjukan bersama untuk mendukung seseorang dengan banyak cara. Hanya ada satu teori yakni transaksi politik!


Jika di tempat lain, politik dikelola dengan basis rasional serta upaya-upaya persuasif untuk menggaet pemilih, maka di kampung ini tidaklah demikian. Para politisi berebut basis dukungan keluarga, lalu membangun lobi-lobi dan negosiasi dengan keluarga lain, lalu menjalin kesepakatan untuk dukung-mendukung.

Aku menikmati saat-saat ketika melihat betapa banyaknya teori dan wacana politik yang tak sesuai dengan kenyataan di kampung. Dalam banyak definisi politik, sering disebutkan bahwa politik adalah arena untuk mempraksiskan ideologi dan visi pergerakan partai. Sebuah partai politik jelas memiliki angan-angan tentang Indonesia masa mendatang.

Namun di kampung, tak ada yang disebut ideologi partai. Seorang pemabuk yang kerjanya hanya berjudi bisa menjadi pangurus teras sebuah partai berlabel agama. Apakah dia akan terpilih? Tentu saja. Sang pemabuk itu memiliki basis dukungan keluarga yang ril serta dana yang cukup untuk memenangkan pertarungan menuju parlemen.

Jika saja ilmuwan politik Robert Dahl ada di kampung ini, barangkali ia akan menyadari bahwa ada banyak definisi tentang politik yang perlu diluruskan. Barangkali ia akan paham bahwa politik ibarat sarang lebah yang di dalamnya terdapat banyak sel atau kamar-kamar yang meiliki wacana sendiri-sendiri.

Di satu tempat orang-orang bicara tentang mimpi-mimpi dan gagasan tentang hidup lebih baik, di tempat lain orang-orang hanya bicara mengenai bagaimana memenangkan dukungan, dan di tempat jauh lainnya, orang-orang menjadikan partai politik hanya sebagai jendela biasa untuk memenangkan kursi. Partai hanya pintu masuk saja, setelah itu diabaikan.

Barangkali demikianlah hakekat politik di tanah air kita. Ada kesenjangan yang cukup jauh antara politik di tingkat ideal, dan poltiik di level praktis. Ada jarak yang cukup lebar antara visi dan misi partai erta bagaimana visi itu dijabarkan seorang kader di level kampung. Para pengkaji politik seyogyanya sering-sering turun lapangan, dan memahami bagaimana politik bekerja pada cakupan yang paling kecil, melihat langsung bagaimana politik menjadi kekuatan yang menggerakkan dinamika, serta konflik-konflik yang kemudian muncul.

Namun, jika direnungi lebih jauh, antara kampung dan kota sama-sama memainkan bahasa politik yang seragam. Bahkan di level nasional sekalipun, semua orang berbicara tentang hal yang sama yakni kuasa. Ada seorang calon presiden yang selalu berbicara rakyat, tapi prusahaannya justru meruikan rakyat. Ada juga calon presiden yang selalu bicara kemandirian ekonomi, namun sehari-harinya dia justru tak menampilkan keteladanan. Malah, masa lalunya justru amat mengerikan untuk dibahas. Nah, bukankah politik di level nasional dan kampung tak beda jauh? Bukankah mereka sama berimpitan dan berada di rel kepentingan yang sama?

Di balik layar politik ada sejumlah individu yang sedang mengejar sesuatu. Politik hanya baju yang bisa diganti-ganti setiap saat. Ini adalah dunia tanpa integritas. Segala sesuatu bisa dimaksimalkan demi mendapatkan keuntungan. Politik kita menjelma sebagai panggung simbol yang menipu rakyat banyak. Banyak dari politisi kita yang hanya bermodal materi, tanpa memikirkan bagaimana menjaga amanah dan harapan pada banyak orang.  Yang membedakan hanyalah cara.

Kalau di level pusat, yang dibahas media sosial adalah Jokowi, Ical, atau ARB, maka di kampung ini yang dibahas adalah beberapa caleg di acara joged bersama sejumlah tuak. Substansinya sama. Lantas, masihkan kita membedakan politik di level nasional dan di level kampung kalau semuanya memainkan praktik yang sama?



Mereka yang Mendadak Tersenyum




Selalu saja ada sisi positif dari ajang pemilihan umum (pemilu). Setidaknya bagi para caleg yang akan bertarung. Jelang pemilihan, tiba-tiba saja mereka jadi lebih banyak tersenyum, lebih ramah kepada semua orang. Mereka tiba-tiba mendadak baik serta mendadak rajin memberikan pertolongan.

Di sekitar rumahku, para caleg itu tiba-tiba saja rajin berkunjung. Seorang ibu, yang dahulu tak pernah senyum dan menyapa, tiba-tiba saja menjadi sangat baik. Ia berkunjung ke rumah, menanyakanku dan saudara-saudara lainnya. Ia juga mengajak ibuku berbincang-bincang. Padahal, sebelumnya ia tak pernah menginjakkan kaki ke rumah kami.

Seringkali ada keheranan yang muncul, mengapa banyak orang mendadak baik? Aku justru amat menyenanginya. Beberapa urusanku jadi lebih dimudahkan. Malah, beberapa kali aku ditraktir. Seminggu ini hampir setiap hari aku mendapatkan ikan bakar secara gratis. Entah kenapa, setiap kali aku hendak membeli ikan bakar, selalu saja bertemu seorang caleg.

Makanya, setiap kali ke tempat pembelian ikan bakar, aku berdoa agar bertemu seorang caleg. Tiga hari lalu, aku menunda membeli ikan karena sang caleg belum datang. Di setiap hari, aku bertemu caleg berbeda. Mereka sama baiknya sebab sama-sama membayarkan semua ikan bakar, cumi-cumi, serta udang yang kubeli. Asyik khan?

Kadang kupikir, momen Pemilu ternyata punya power yang lebih besar dari para ustad di kampungku. Betapa tidak, selama bertahun-tahun para ustad rajin menghimbau semua orang untuk berbuat baik dan tersenyum kepada semua orang. Hasilnya nihil. Sementara Pemilu, tak pernah menghimbau. Seiring kedatangannya, banyak yang berubah jadi orang baik, rajin tersenyum, dan sukses membuat mereka menyumbang banyak karpet ke masjid-masjid. Pemilu sukses mengubah mereka jadi orang baik.

Setiap kali menerima bertemu orang-orang mendadak baik itu, aku selalu berharap dalam hati. Semoga saja Pemilu ini bisa dilaksanakan setiap bulan. Sebab Pemilu ini jelas-jelas membawa kebaikan bagi warga kampung, membuat insyaf banyak orang, serta memberikan manfaat bagi banyak orang seperti diriku. Bisakah?



Lima Buku di Tahun 2014


buku pertama di tahun 2014

SETELAH bekerja keras selama beberapa hari, akhirnya satu draft buku bisa selesai. Sebagaimana buku sebelumnya, kali ini aku menyiapkan buku yang isinya adalah himunan catatan-catatan blog ini. Aku mengumpulkan beberapa catatan yang belum sempat terbit, kemudian mengompilasikannya dalam satu terbitan. Semoga saja catatan ini bisa terbit.

Sebagaimana buku sebelumnya, targetku sederhana. Aku hanya ingin agar catatan itu bisa terbit. Aku tak peduli dengan kriteria bagus dan tidak bagus. Aku juga tak peduli pada pertanyaan apakah laku ataukah tidak laku. Bagiku, sepanjang karya itu terbit, maka itu sudah cukup. Sebab ketika sebuah karya terbit, maka karya iu bisa menyapa banyak orang, bisa menginspirasi orang lain, yang kemudian tergerak untuk melakukan sesuatu.

Tahun ini aku cukup ambisius. Aku menargetkan untuk menulis lima buah buku. Satu buku telah terbit di bulan Februari lalu. Dua buku lainnya akan mengikuti jejak yang pertama yakni catatan-catatan ringan yang diambil dari catatan blog. Sedang dua buku lainnya adalah buku yang agak serius, yang diolah dari hasil riset. Inilah targetku. Jikapun target itu gagal, maka aku akan mencanangkannnya lagi di tahun depan. Tapi sejauh ini, aku belum melihat alasan kuat untuk gagal. Aku amat optimis akan menggapainya. Semoga.



Cengkeh Terakhir di Bumi TERNATE


pemandangan dari bebukitan Ternate

DI Bumi Moloku Kie Raha (Maluku Utara), tanaman cengkeh masih berbunga di setiap tahun. Tanaman yang dahulu menjadi pemantik kedatangan bangsa asing di tanah air kini nasibnya semakin menggiriskan. Hidup petani cengkeh kian terpinggirkan karena kurangnya perhatian pemerintah. Cengkeh seakan kehilangan kesaktiannya sebagai pusaka asli Nusantara yang dahulu telah membius bangsa Eropa. What?

***

BAPAK tua itu sedang memandang sebatang pohon besar yang tak berdaun. Ia lalu mendekat dan menyentuh batang pohon itu. Ketika saya mendekatinya, ia lalu bercerita tentang bagaimana pohon itu telah mati dan kini bekas-bekasnya akan segera lenyap. 

Padahal, katanya, pohon itu punya nilai sejarah yang amat tinggi, Pohon itu pernah membuat Nusantara amat kondang di seluruh dunia. Pohon itu adalah cengkeh Afo, yang merupakan pohon cengkeh tertua di dunia.

Pohon itu terletak di Kelurahan Tongole, sekitar enam kilometer dari pusat kota Ternate. Kondisinya memang memprihatinkan. Di pohon itu, ada tebasan parang yang entah dilakukan oleh siapa. Apakah itu sebuah keisengan? Mungkin. Bisa pula batang pohon itu dijual ke beberapa lembaga asing. Sungguh disayangkan sebab pohon ini adalah aset yang bernilai sejarah di jajaran pulau-pulau di kawasan timur Indonesia.

Bumi Ternate memang serupa surga yang jatuh ke bumi. Setiap kali berkunjung ke tanah ini, saya tak pernah berhenti berdecak kagum menyaksikan hamparan pulau-pulau yang seakan mengitari Gunung Gamalama. 

Di sini, waktu seakan diam di tempat, sebab semua orang terlampau asyik dengan apa yang disaksikannya. Di sini, sejarah dan juga hasil bumi menjadi dua energi yang menggerakkan laju pertumbuhan ekonomi, juga memberikan penghidupan bagi demikian banyak orang.

Di pulau-pulau di jazairah Maluku Utara, cengkeh adalah komoditas utama. Pada tahun 1512, Tome Pires menyebut tentang catatan penjelajah bernama Francisco Rodriguez tentang empat pulau berwarna biu yang disebut sebagai kepulauan rempah-rempah. Empat pulau itu adalah Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. 

Cengkeh lalu menyebar ke pulau lain seperti Banda, hingga akhirnya menjangkau negeri Eropa. Di sepanjang perjalanannya, cengkeh telah menggores peradaban, mempengaruhi banyak tradisi dan kebudayaan, lalu menjadi benih bagi industrialisme bangsa Eropa.

Saya tak terlalu paham tentang sejarah cengkeh. Tapi bapak tua di dekat cengkeh afu itu mengajarkan banyak hal. Ia bercerita tentang pohon cengkeh afu yang berumur 416 tahun. Dengan tinggi 36,60 meter dan lingkaran 4,26 meter, pohon ini mampu menghasilkan sekitar 400 kilogram cengkeh setiap tahunnya. 

Pohon ini menjadi penanda dari banyak kejadian penting. Mulai dari kedatangan bangsa-bangsa asing di Nusantara yang hendak berebut cengkeh, hingga bagaimana komoditas itu menjangkau tanah Eropa, lalu menjadi komoditas paling mahal.

Pelayaran Columbus

seorang petani yang menunjukkan cengkeh

Cengkeh memang menjadi saksi banyak hal. Dahulu, pelayaran yang dilakukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492 bertujuan untuk menemukan India. Saat itu, India dianggap sebagai tempat mendapatkan rempah-remah dengan kualitas terbaik. Di masa itu, bangsa Eropa mengira bahwa India adalah penghasil rempah-rempah. 

Jalur pelayaran ke kepulauan Maluku pada akhirnya diketemukan melalui tanjung Harapan di ujung benua Afrika. Sejak itulah bangsa kulit putih (Inggris, Belanda dan Portugis) berdatangan untuk mencari rempah-rempah, khususnya cengkeh.

Pada masa itu, krisis pangan kerap melanda  angsa-bangsa berkulit putih. Sebelum lemari es ditemukan, pengawetan daging hanya dilakukan dengan eugenol dari bunga cengkeh. Makanya, bangsa Eropa sangat tergantung dengan bunga cengkeh sebab daging sapi dan domba adalah menu utama. 

Di musim dingin, ternak yang jantan harus segera dipotong supaya tidak menghabiskan persediaan jerami. Untuk mengawetkannya, daging tersebut dilumuri dengan serbuk bunga cengkeh kering.

Cengkeh juga identik dengan gaya hidup kelas atas. Sebelum memutus perkara, para hakim di Eropa mengunyah cengkeh terlebih dahulu. Harum-haruman cengkeh adalah gaya hidup kelas atas para bangsawan Eropa, yang kemudian menjadikan cengkeh sebagai komoditas utama yang dikejar hingga ke ujung dunia. Inilah penanda era kapitalisme yang melahirkan kongsi-kongsi dagang yang lalu datang untuk merambah Nusantara.

Cengkeh lalu didagangkan lintas pulau. Dari Maluku, cengkeh dibawa ke Jawa, lalu ke Sumatera, hingga Semenanjung Malaya. Setelah itu, cengkeh menempuh dua jalur perdagangan. Pertama melalui laut ke India dan jazirah Arab, Balkan lalu ke Eropa. Kedua ke Cina lalu melalui jalur perdagangan sutera langsung ke Timur Tengah dan Balkan. 

Cengkeh lalu menyisakan nestapa berkepanjangan. Datangnya kongsi-kongsi dagang Inggris dan Belanda lalu melahirkan monopoli, yang berujung pada kolonialisme. Nusantara menjadi tanah terjajah demi memuluskan hasrat mengejar kekayaan bangsa-bangsa Eropa.

***

BAPAK tua itu terdiam sesaat. Ia lalu bercerita masa kecilnya di kebun cengkeh. Ia masih ingat persis bahwa di tahun 1960-an dan 1970-an, para petani cengkeh bersorak kegirangan. Harga cengkeh melambung tinggi seiring pertumbuhan industri rokok kretek. Bahkan masyarakat lalu tergoda untuk menanam cengkeh besar-besaran. Banyak sawah disulap menjadi kebun cengkeh. 

Apalagi, menteri pertanian di masa itu adalah Prof Thoyin Hadiwijaya, seorang pakar cengkeh. Puncak kejayaan itu berakhir pada era 1990-an. Pemerintah untuk membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dalam praktek justru menjalankan sistem monopoli. Para petani semakin terlantar karena tidak bisa menjual cengkeh. Banyak yang kemudian menebang pohon cengkeh.

saat saya ikut bermain 'bambu gila' di depan Kedaton Ternate
bersama dua gadis Ternate

Bapak itu masih mengingat jelas bahwa harga cengkeh pernah mencapai 80 ribu rupiah per kilogram. Inilah zaman keemasan baginya sebagai petani. Selanjutnya, keadaan mulai kontras ketika pemerintah melalui BPPC menangani pemasaran cengkeh. 

Komoditas ini hanya dihargai 7 ribu per kilogram. Kontras bukan? Itupun, para petani hanya akan menerima harga Rp 4.000,- per kilo. Itu pun banyak yang ditipu dan tidak dibayar. Untunglah, BPPC telah dibubarkan seiring dengan tumbangnya Orde Baru.

Di tanah Ternate, cengkeh menjadi saksi bisu atas banyak kejadian. Meskipun kini, masa depan cengkeh tetap saja tak jelas. Hingga kini, Indonesia belum juga punya pakar yang menguasai tanaman cengkeh. 

Di pasar global, India menjadi eksportir minyak cengkeh terbesar, padahal mereka tak punya cengkeh. Di dalam negeri, industri rokok kretek juga terancam tutup karena aturan pemerintah. “Tak lama lagi, keemasan cengkeh akan berakhir, sebagaimana era 1990-an,“ kata bapak itu dengan sedih.

Sungguh ironis. Negeri yang masyhur karena cengkeh, negeri yang banyak rakyatnya menggantungkan hidup pada cengkeh, justru tak bisa menjamin hidup para petaninya. Barangkali, bapak tua itu benar. Kelak, bunga cengkeh tidak seharum di abad-abad sebelumnya. Kelak, hanya akan akan satu cengkeh terakhir di tanah Ternate. Semoga tidak demikian.