Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mereka yang Gila dan Bersumpah



MEREKA-mereka yang dahulu berikrar tentang sumpah pemuda adalah anak-anak muda gila yang kegilaannya kemudian mempengaruhi zaman. Saya membayangkan dahulu, mereka adalah anak-anak muda yang berani berpikir berbeda, menemukan ruh kebersamaan, lalu mmbangun cita-cita tentang bangsa di masa depan. Mereka memikirkan masa depan, bukannya masa kini, yang saat itu berada dalam rahim kolonialisme.

Ikrar kebersatuan itu dimulai dari sebuah kegilaan. Jika mereka normal, maka mungkin saja, mereka hanya akan mengejar karier, menyelesaikan sekolah dokter, kemudian hidup kaya-raya bersama gadis tercantik yang dipersunting sebagai istri. Jika mereka normal, maka mereka tak akan pernah mempertaruhkan masa kemahasiswaaannya pada dunia aktivis, serta membiarkan diri mereka dalam pengawasan polisi kolonial. Pertanyaannya, mengapa mereka berani mempertaruhkan masa mudanya untuk sesuatu yang kemudian disebut sebagai makar?

Setiap membayangkan masa silam, saya selalu berpijak di masa kini. Sejak dulu, saya meyakini bahwa yang membedakan masa silam dan masa kini hanyalah cara atau metode menjalani hidup, namun substansinya tetap atau sama. Contoh, jika di masa silam manusia berperang menggunakan busur dan panah, maka di masa kini, manusia menggunakan nuklir. Tapi substansinya tetap sama yakni peperangan. Iya khan?

Jika demikian halnya, anak-anak muda yang dahulu mengemukakan ikrar bersatu itu ibarat anak-anak muda masa kini yang berani menyatakan sikap pada pemerintah berkuasa. Mereka adalah anak muda yang saban hari berpanas-panas di jalan raya demi mengingatkan orang-orang bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Mereka adalah para martir atau pejuang, yang tak ingin hidup nyaman sebagai mahasiswa, namun memilih hidup yang bergejolak, berdinamika, penuh dengan gelora dan karang-karang.

Setiap zaman selalu punya kegilaannya masing-masing. Hanya saja, ada kegilaan yang kemudian menjadi sejarah, sementara kegilaan lainnya hanya tersisa sebagai catatan sebaris atau dua baris di media massa. Kegilaan yang tercatat sebagai sejarah adalah kegilaan yang kemudian menang dalam sebuah persabungan gagasan.

Dan anak-anak muda yang berikrar di tahun 1928 itu telah memenangkan wacana tentang lahirnya sebuah negara modern yang lepas dari belenggu kolonialisme, lepas dari belenggu feodalisme ala kerajaan, serta punya visi bahwa semua manusia sejajar tanpa harus dijajah oleh keadaan.

Kepada anak-anak muda itu, kita berutang sejarah bangsa kita yang panjang serta ikatan kuat bernama Indonesia. Anak-anak muda itu telah memenangkan sebuah momentum bahwa kegilaan yang diikat oleh visi besar akan berbunyi nyaring di sepanjang momen sejarah. Mereka punya orisinalitas gagasan yang melawan arus dan kemudian menjadi api yang menyala di zaman kita hari ini.

Sementara generasi hari ini tengah mencari bentuk. Mereka belum punya gagasan orisinil yang menyimang arus serta menjadi ruh pergerakan. Mengapa? Sebab mereka hidup di zaman yang kompleks. Di zaman yang anak-anak mudanya menghamba pada uang dan kekayaan. Di zaman para artis serta hasrat untuk bermobil mewah serta hidup mapan. Di zaman ketika politisi bisa menjadi jauh lebih perkasa ketimbang militer atau polisi kolonial. Anak muda ini mudah dikalahkan oleh sihir Lionel Messi di televisi, ketimbang sihir kaum kaya yang memperdayai kaum miskin.

Apa boleh buat. Dinamika hari ini jauh lebih kompleks ketimbang dahulu. Tapi setidaknya kita punya visi yang disulut sejak tahun 1928. Tanpa itu, mungkin kita telah lama tercerai-berai sebagai bangsa.(*)


Baubau, 28 Oktober 2013
Saat mengenang sumpah pemuda

Duhai Jokowi, Pilih Topeng Monyet Ataukah Monyet Bertopeng?


saat monyet mendekati anakku

GUBERNUR DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk menyingkirkan semua topeng monyet di wilayahnya. Topeng monyet adalah atraksi monyet yang dirantai dan ditarik oleh sang pawang. Atraksi ini dengan mudah bisa ditemukan di banyak tempat di Jakarta, mulai dari lampu merah hingga yang keliling di gang-gang. Atraksi ini dianggap kumuh, kotor, serta mengeksploitasi binatang.

Pro kontra tersulut. Berbagai partai politik ikut menyerang gubernur yang digadang-gadang menjadi presiden itu. Duhai Gubernur Jokowi, saya punya pertanyaan, mengapa hanya topeng monyet yang disingkirkan? Mengapa tidak menyingkirkan para monyet bertopeng manusia yang menjarah uang rakyat di kantor-kantor birokrasi lalu terus-menerus membodohi kita melalui layar kaca?

Jauh sebelum topeng monyet masuk Jakarta, ribuan monyet bertopeng telah bertebaran di kota besar itu. Mereka tersebar di birokrasi, militer, parlemen, lembaga sosial masyarakat, perusahaan swasta, hingga kantor polisi. Monyet-monyet bertopeng itu telah lama meninggalkan jubah monyet. Mereka memakai jubah manusia yang tampak gagah dan cantik. Mereka wangi dengan dandanan yang necis-necis, di saat kita semua berpeluh dan dipanggang matahari.

Mereka memajang posternya yang sedang tersenyum di mana-mana demi mencitrakan diri. Bahkan di layar-layar kaca, monyet bertopeng itu berseliweran dan terus-menerus membodohi orang. Di birokrasi, monyet bertopeng itu mengklaim kinerjanya sembari menyembunyikan miliaran uang rakyat. Mereka menganggap diri sedang mengemban amanah penderitaan rakyat lalu secara diam-diam mengatur proyek demi pundi-pundi pribadi.

Di dunia bisnis, monyet bertopeng itu nampak santun dan berpeluh karena mencari nafkah. Padahal, yang mereka lakukan hanyalah mengatur proyek-proyek agar jauh ke perusahaannya, lalu menyuap sana-sini. Monyet bertopeng itu bersahabat dengan para tikus kantor, lalu secara bersama-sama menilep uang kita, uang rakyat. Para monyet bertopeng manusia itu lalu saling sindir di televisi, berdebat tentang uang triliunan, sementara kita hanya makan sejumput nasi dan sekerat tempe.

Duhai Gubernur Jokowi. Tak ada yang salah dari topeng monyet dan para monyet beneran itu. Kalaupun menjarah kebun warga, monyet itu melakukannya hanya untuk bertahan hidup. Kalaupun mencuri, monyet itu melakukannya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sungguh beda dengan monyet bertopeng itu. Mereka mencuri demi memperkaya diri, demi dikira orang hebat, demi untuk memperbanyak ternak mobil mewah di pekarangan rumahnya.

Duhai Gubernur Jokowi. Monyet-monyet itu masuk kota Jakarta karena hutan-hutan kita sudah lama habis. Hutan hijau yang dahulu menjadi rumah dan taman bermain bagi para monyet secara perlahan menyempit. Hutan itu telah lama dikuasai oleh para cukong dan pemodal yang emngicar kayu, kemudian menanaminya dnegan sawit. Monyet-monyet itu telah lama kehilangan rumah, dan menjadi gelandangan yang lalu masuk kota dan bekerja sebagai penari demi satu atau dua keping koin yang dilemparkan para penonton.

Duhai Gubernur Jokowi, kita harusnya kasihan dengan para monyet itu. Kita juga harus sama kasihan pada pawangnya. Mereka adalah dua sisi mata uang koin yang bekerja keras dan memikul beban sejarah untuk mendapatkan penghasilan. Di belakang mereka, ada wajah-wajah lain yang perlu dihidupi, diberikan makanan dan minuman, serta diyakinkan tentang masa depannya yang lebih baik dari sekadar menari bersama monyet di tepi jalan raya.

Duhai Gubernur Jokowi, kami menanti-nanti pedang kekuasaanmu untuk memenggal para monyet bertopeng yang telah menyingkirkan monyet asli. Jangan pernah gunakan pedangmu untuk menebas monyet-monyet asli. Mereka hanya mencari makan. Tebaslah monyet palsu yang bertebaran di banyak kantormu, lalu datang ke rumah-rumah dengan wajah serupa debt collector yang menakuti-nakuti rakyatmu.

Jika engkau takut mengusir monyet bertopeng itu, segera umumkan siapa saja mereka. Biar kami yang keluar dari rumah-rumah untuk mengusir mereka bersama-sama. Biar kami yang akan mementung mereka, lalu memaksa agar mengembalikan semua jarahan uang rakyat yang seharusnya menjadi milik kita. Biar kami yang akan mengemplang dan memagari tanah air dengan kesaktian pancasila yang digali dari bumi kita. Kami akan berjibaku dan membantumu dengan seluruh jiwa raga untuk mengusir para monyet bertopeng itu agar enyah dari tanah air kita.

Di dalam dirimu ada pengharapan sekaligus keyakinan tentang masa depan negeri ini yang lebih baik. Di dalam dadamu ada jantung hati kami yang kami titipkan agar selalu berdenyut dan mengingatkan dirimu bahwa monyet-monyet bertopeng itu harus kita bereskan. Mereka harus kita basmi hingga akar-akarnya. Mereka harus paham bahwa tanah air ini hanya milik kita yang tak bertopeng. Tanah ini juga milik para monyet itu yang juga berhak tinggal di bumi kita, bumi Indonesia.


Baubau, 26 Oktober 2013

Kuliah di Amerika, Magang di Kompasiana


saat berkunjung ke Patung Liberty, New York

JANGAN kira nama Kompasiana hanya bergema di tanah air. Di negeri seperti Paman Sam sekalipun, nama Kompasiana cukup ampuh ketika disebut. Kompasiana bukan saja membantu saya untuk mendapatkan satu beasiswa di salah satu kampus bergengsi di Amerika Serikat (AS), namun juga bisa memberikan rekomendasi internship atau magang demi penyelesaian studi di kampus tersebut. Bahkan nama Kompasiana disejajarkan dengan Voice of America (VOA). What? Bagaimana ceritanya?

***

HARI itu, di bulan Juni 2012, sebuah surat terhampar di meja apartemen saya di Athens, Ohio, AS. Surat itu datang dari kantor berita Voice of America (VOA) yang berisikan persetujuan untuk mengambil kuliah internship atau magang. Program yang saya ambil di Ohio University mensyaratkan kuliah internship bagi setiap setiap mahasiswa sebagai syarat penyelesaian studi.

Di musim panas (summer), semua mahasiswa Amerika ramai-ramai mengikuti internship di beberapa kota besar ataupun beberapa negara. Kampus menginginkan agar mahasiswa bisa memiliki pengalaman bekerja sekaligus mengalikasikan pengetahuan yang dipelajari. Para mahasiswa lalu tersebar di kota-kota besar seperti Chicago, New York, ataupun Washington DC.

Saat itu, saya telah diterima sebagai peserta magang di kantor berita VOA. Kantor berita ini memiliki banyak institusi seperti radio, televisi, bahkan internet. Sebelumnya, saya telah menghubungi mereka untuk rencana magang. Mereka antusias dan menyambut dengan tangan terbuka.

Ketika rencana itu kian matang, saya tiba-tiba saja mengalami dilema. Saat itu, saya sedang menyelesaikan beberapa tugas kuliah yang menuntut waktu untuk lebih lama di perpustakaan. Saya akhirnya memutuskan untuk tidak berangkat ke Washington DC. Dalam situasi kebingungan hendak mencari tempat internship, saya tiba-tiba saja teringat pada Kompasiana, di mana saya telah menjadi anggotanya sejak tahun 2009.

Yup. Meskipun Kompasiana jauh di tanah air, namun namanya tersebar hingga Paman Sam. Professor Don Fluornoy, seorang profesor terkemuka di bidang media studies, pernah menyebut Kompasiana sebagai ikon jurnalisme warga yang mengemuka di beberapa negara. Saat itu, Prof Fluornoy menjelaskan fenomena maraknya media-media alternatif, yang di beberapa negara sukses menumbangkan rezim. Ia menyebut tentang pengaruh twitter di Mesir dan negara-negara Arab lainnya, kemudian pengaruh blog untuk perubahan sosial di Vietnam dan Myanmar, juga tentang pesatnya media alternatif di Korea.

Untuk kasus Indonesia, ia juga menyebut nama Kompasiana. Kata Prof Fluornoy, Kompasiana memiliki keunikan sebab tercatat sebagai social blog paling besar di Indonesia, bahkan Asia. Ia menyebut bahwa Kompasiana telah mengubah cara pandang orang terhadap media dan informasi. Bahwa warga biasa justru memiliki kepekaaan serta kemampuan menganalisis isu yang jauh lebih baik dari media mainstream.

bersama beberapa kawan di Washington DC
saat di depan Gedung Putih

Dalam satu diskusi dengannya, ia sangat optimis ketika mengatakan bahwa media alternatif seperti Kompasiana bisa menjadi masa depan dunia media. Mengapa? Sebab publik menginginkan sesuatu yang natural. Publik ingin menyerap emosi serta ruh dari satu kejadian. Publik ingin menangkap ruh kejadian tersebut melalui para warga sebagai saksi mata yang menyaksikan langsung sebuah kejadian. Dan betapa hebatnya Kompasiana sebab bisa menyerap ratusan ribu penulis dari berbagai titik di Indonesia dan dunia demi menyajikan beragam informasi alternatf yang sering luput dari tangkapan media mainstream.

Berbekal diskusi itu, saya lalu menemui direktur program, Dr Lawrence Wood. Saya lalu menjelaskan tentang rencana saya untuk kuliah internship. Saya menjelaskan peran Kompasiana sebagai socal blog terbesar di Asia. Kepadanya, saya memberikan gambaran tentang beberapa peristiwa aktual tanah air, serta pentingnya ruang-ruang bersama bagi paa blogger untuk saling berinteraksi, lalu merencanakan beberapa kegiatan yang sifatnya positif dan penuh daya ledak. Gayung bersambut.

Selanjutnya saya lalu menghubungi Kompasiana melalui Kang Pepih Nugraha dan Iskandar Zulkarnen. Puji Tuhan, keduanya menyambut baik rencana itu. Saya menjelaskan bahwa dalam proses internship, saya tidak perlu hadir secara fisik di ruang redaksi Kompasiana. Saya cukup mengirimkan laporan secara rutin tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Amerika, yang didalamnya terdapat refleksi atau catatan bagaimana menjadi warga Indonesia di negeri itu. Kepada Kang Pepih dan Mas Isjet, saya menitipkan beribu ucapan terimakasih.

Kang Pepih membantu saya untuk menyelesaikan adminsitrasi. Ia mengirimkan surat kepada direktur program mengenai rencana saya untuk internship di Kompasiana. Keesokan harinya, direktur program mengatakan bahwa ia telah menyetujui rencana itu. Ia sempat berkata, “Saya menerima email dari Indonesia dan saya menyetujuinya. Saya sangat yakin bahwa pengalaman internship itu akan jadi pengalaman hebat bagi kamu sebab bisa mengatasi kesenjangan informasi di antara kedua negara.”

Mulai saat itu, saya lalu rajin menulis dan melaporkan kejadian di Amerika melalui Kompasiana. Tanpa saya duga, beberapa laporan itu dimuat di website milik kedutaan. Ada pula yang saya ikutkan lomba dan menang. Berkat laporan-laporan itu pula, saya sukses menyelesaikan studi pada waktunya. Semuanya berkat Kompasiana.

Rumah Positif Kompasiana

DALAM setiap kesempatan, saya seringkali merenung tentang pentingnya menyerap energi positif dari setiap pengalaman. Perama bergabung dengan Kompasiana, saya sering mendapat pertanyaan banyak orang yang menyayangkan saya mengirim artikel secara gratis secara rutin, tanpa mengharapkan bayaran. Malah, seorang kawab pernah berkata, “Ngapain menghabiskan waktu untuk nulis-nulis sesuatu yang tidak penting dan tak dibayar.”

Kepada kawan itu, saya hanya tersenyum. Saya meyakini bahwa tak ada sesuatu yang sia-sia. Segala sesuatu pasti memiliki hikmah, sepanjang kita selalu memiliki prasangka positif atas sesuatu. Saya belajar untuk menyerap energi positif dari aktivitas menulis di Kompasiana secara rutin serta memperbaiki kualitas secara perlahan-lahan.

rekomendasi dari Kang Pepih
sudut kampus Ohio University

Tanpa diduga kawan itu, saya melampirkan banyak tulisan-tulisan terbaik saya di Kompasiana pada tahun 2010 demi seleksi sebuah beasiswa bergengsi ke Amerika. Saya yakin sekali bahwa para juri tidak akan membaca tulisan itu secara detail, namun mereka pasti akan memiliki kesan kuat bahwa saya adalah seorang yang produktif, memiliki passion kuat, serta kepekaan sosial yang tinggi. Saya akhirnya sukses meraih impian ke Amerika berkat latihan menulis secara spartan di Kompasiana.

Sungguh tak disangka, di tahun 2013, saya kembali menuai buah manis dari interaksi melalui social blog ini. Pengalaman menulis di Kompasiana bisa dikonversi menjadi kelas kuliah internship, yang kemudian membantu saya untuk menuntaskan kerja keras di negeri Paman Sam.

Berawal dari cemohan, kemudian berakhir pada banyaknya pencapaian ajaib yang hinggap di pangkuan saya. Kompasiana tak hanya menjadi arena untuk mengekspresikan pendapat, namun juga bisa menjadi ajang pembelajaran serta rembulan terang yang menuntun saya untuk menemukan diri, menemukan garis nasib dan impian, serta membantu hasrat saya untuk mengenali semesta kehidupan yang seringkali tenang, namun sering pula beriak.


Baubau, 25 Oktober 2013

Teriring selamat ultah buat Kompasiana
Semoga terus menjadi rumah sehat bagi para penghuninya.

JAKA WULUNG, Kembalinya Kisah Pendekar


tiga seri JAKA WULUNG

DI tengah suramnya Jawa Dwipa, di tengah kecamuk dan konflik antar kerajaan, di tengah belenggu angkara yang mencengkeram sendi-sendi kehidupan, serta di tengah krisis yang melanda banyak negeri, seorang pendekar muda hadir dan mewarnai dunia dengan kisah perjalanannya. Ia adalah seorang petarung yang menggemparkan dunia persilatan dengan bersenjatakan kudi hyang, senjata pusaka legendaris di tanah Sunda. Pendekar itu bernama Jaka Wulung.

Kisah Jaka Wulung ditulis oleh Hermawan Aksan, seorang pengarang yang tinggal di Bandung. Kisah ini mengambil setting tanah Sunda, pada masa setelah jatuhnya Prabu Siliwangi. Kisah ini bercerita tentang seorang anak muda yang kemudian melanglang buana dan mengalahkan banyak jago rimba persilatan. Anak muda itu memilih jalan golongan putih, serta menjadikan pertarungan sebagai cara untuk menegakkan kebenaran.

Saya membaca tiga kisah Jaka Wulung yang sudah terbit. Bagian pertama adalah Pertarungan di Bukit Sagara, selanjutnya Jurus Tanpa Nama, dan terakhir adalah Pendekar Bunga Matahari. Ketiga kisah ini saling terkait sehingga kita harus mulai membaca dari episode pertama. Kisahnya juga bergulir kronologis sehingga pembaca diajak untuk menelusuri kisah Jaka Wulung, sedari kecil dan masih ingusan, hingga akhirnya menjadi sakti mandraguna.

Saya cukup terhibur ketika membaca serial ini. Sayangnya, kisah ini terlampau datar, tanpa ada greget yang cukup menegangkan. Tak ada pula misteri atau teka-teki yang bisa membuat kisah ini menjadi lebih berwarna-warni. Latar historisnya terlampau sedikit, sehingga menempatkan kisah ini murni fiksi, yang hanya menjadikan aspek sejarah sebagai penanda tidak penting.

Gaya penceritaan kisah ini benar-benar mengingatkan saya pada gaya bercerita novel-novel silat pada akhir tahun 1980-an. Pada masa itu, jagad penerbitan Tanah Air dibanjiri dengan berbagai kisah-kisah pendekar. Kita mengenal sosok seperti Wiro Sableng, Pendekar Rajawali Sakti, Pendekar Pulau Neraka, Dewa Arak, ataupun Pendekar Hina Kelana. Masa itu adalah masa kejayaan kisah pendekar. Tak hanya berjaya di dunia cetak, di radio, ada banyak kisah seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, maupun kisah Misteri dari Gunung Merapi.

Di lihat dari gaya bercerita, hampir semua kisah pendekar itu terilhami pada kisah yang ditulis pengarang Asmaraman S Kho Ping Hoo yang marak di tahun 1980-an. Hanya saja, Kho Pinghoo tetap saja unik di banding cerita silat lainnya. Kisah Kho Ping Hoo tak melulu tentang pertarungan atau adu kedigdayaan. Kisahnya juga bisa berupa filsafat atau pencarian makna kehidupan yang dikemas dalam kisah dunia pendekar.

Sementara Jaka Wulung memilih genre bercerita sebagaimana kisah Wiro Sableng. Mungkin karena diniatkan untuk remaja, makanya alur kisah ini mudah ditebak. Bahkan proses belajar menjadi sakti pun digambarkan singkat yakni sang pendekar punya otak cerdas dan dibimbing oleh guru yang juga sakti.

Master Oogway dalam Kungfu Panda

Cara belajar seperti ini terlampau datar. Saya tak menemukan satu dinamika atau pencarian pengetahuan yang didapatkan melalui olah pikir serta kontemplasi yang dalam, sebagaimana dialami Panda Po dalam kisah Kungfu Panda. Dalam kisah animasi ini, sang Panda mulanya tak menyangka bahwa dirinya adalah Pendekar Naga, meskipun sang Master Oogway,  kura-kura sakti telah memilihnya. Ia tak berputus-asa, hingga di akhir kisah, ia berhasil memecahkan misteri gulungan silat naga yang kosong. Ia seolah terlahir kembali sebagai pendekar yang memecahkan misteri dengan pemikirannya.

Saya juga lebih meggemari novel silat Nagabumi karya Seno Gumira Adjidarma. Jagoan di cerita ini berada di tengah-tengah ranah putih dan hitam. Ia sebagaimana manusia lainnya hanya bertujuan untuk mencari kedamaian dalam hidup, namun sebagai pesilat nomor satu, ia mesti siap untuk menghadapi semua tantangan dari pendekar lainnya yang ingin menggapai posisi yang terbaik di ranah pertarungan.

Saya juga menyebut satu novel silat lainnya Senapati Pamungkas, karya Arswendo Atmowiloto. Aspek kesejarahan sangat kuat di kisah ini sehingga sebagai pembaca, kita akan disuguhi tradisi Majapahit yang telah lama punah, termasuk tradisi menyiapkan para pendekar agar menjadi prajurit tangguh.

Memang, terlampau ambisius jika mengharapkan Jaka Wulung akan menyamai posisi Nagabumi dan Senopati Pamungkas. Tapi setidaknya, serial ini telah menyiangi jalan yang mulai penuh rerumputan, di tengah maraknya enerbitan fiksi belakangan ini. Kisa Jaka Wulung telah mengisi kekosongan kisah silat yang redup sejak era kejayaannya di tahun 1990-an. Kisah ini menghangatkan memori tentang pertarungan para pendekar yang hendak menjadi pendekar tak terkalahkan. Ada filosofi, ada syair kehidupan, serta ada kisah-kisah pencarian makna di tengah deru perkelahian serta debu beterbangan.


Baubau, 24 Oktober 2013

Pertemuan dengan Herman Kwok



PADA mulanya kami berbalas pesan serta janjian untuk ketemu. Lelaki itu, Herman Kwok, menghubungiku melalui twitter. Ia membaca blogku, kemudian berinisiatif untuk mngajak ketemuan. Setelah lebih sebulan, kami akhirnya bisa bertemu di Pizza Hut, yang terletak di Mal Kalibata, tak jauh dari tempatku menginap.

Kami hanya berbincang beberapa jam. Kami saling berbagi pengetahuan. Kepadanya, kukisahkan tentang budaya serta legenda alam Sulawesi. Juga kuceritakan tentang pengalaman melihat berbagai tradisi yang masih hidup dan berdenyut di masyarakat.

Dirinya bercerita tentang dunianya sebagai chief executive officer (CEO) sebuah perusahaan yang bergerak di dunia maya. Ia menelusuri dunia digital demi untuk melihat beberapa peluang bisnis di situ. Ia membuka mataku bahwa ada banyak peluang di dunia digital yang selama ini terabaikan atau tidak kulihat. Ia memang inspiratif dan mengajakku melihat persoalan dengan cara berbeda.

Ada banyak orang yang bermain-main di dunia maya. Tapi hanya sedikit orang yang bisa melihat peluang profit di dunia itu. Banyak di antaranya adalah para pengelana yang senang berbagi pengalaman, atau berbagi curhat, tanpa memaksimalkannya sebagai peluang bisnis.

Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang berseliweran itu dengan  tujuan just for fun. Di dunia maya, aku hanya berpikir untuk berbagi pengetahuan, berbagi pengalaman, serta belajar banyak. Makanya, kuniatkan blog sebagai catatan perjalanan yang merekam dinamika dan pengalaman, sekaligus kedewasaan cara berpikirku. Sejak awal kuyakini bahwa pengetahuan itu gratis. Semua orang berhak untuk mengakses pengetahuan. Dengan cara berbagi pengetahuan, maka seseorang memiliki kesempatan untuk menyebarkan pengetahuan, sekaligus menjaga api pengetahuan itu dalam dirinya.

Dialog dengan Herman membuat mataku melihat peluang. Mungkin akan sangat membahagiakan ketika wara-wiri atau keluyuran di dunia maya itu bisa menjadi sumber penghidupan. Alangkah nikmatnya jika hobi untuk menyapa orang di dunia maya bisa dikonversi ke dalam dunia nyata melalui sejumlah finansial yang bisa menopang kehidupan.

Herman mengajukan saran untuk menjadi spesialis yang khusus membedah satu topik di dunia maya. Jika senang kuliner, maka bisa menulis blog khusus tentang kuliner. Demikian pula jika minat teknologi, maka sebaiknya membuat blog khusus tentang teknologi.

Saran ini sudah sering kudengar dari para blogger kenamaan. Namun, aku belum berniat mengikutinya. Bagiku, blog yang baik adalah blog yang berisikan perjalanan seseorang yang tidak saja memuat visi serta gagasan, namun juga pahit manis dan asam getir kehidupan. Sebuah blog memang harus personal demi menjaga atensi audiens serta kedekatan emosi yang kemudian melahirkan pertautan dengan pembacanya. Blog adalah soal bagaimana me-maintenance hubungan emosional yang mengajak pembacanya untuk menelusuri samudera serta topan badai kehidupan seseorang, dan di saat tertentu, bisa mengajak pembacanya mengunjungi surga-surga bahagia pengalaman seseorang. Bagiku, blog yang baik adalah blog yang intim dengan pembacanya.

Di satu sisi, Herman benar. Para pebisnis besar akan melirik blog yang spesialis atau khusus. Namun, ngeblog dengan tujuan bisnis ini seringkali ibarat Icarus yang terbang menjangkau matahari dan meleleh di perjalanan. Meletakkan tujuan materi di awal ngeblog bisa membuat seseorang jadi kehilangan indahnya ngeblog, serta pengalaman berbagi pengetahuan dnegan pembaca yang bisa meliputi banyak aspek. Indahnya berbagi itu tak bisa ditakar dengan pencapaian finansial. Keindahan berbagi serta kebahagiaan menerima respons pembaca adalah dua hal yang menyuburkan semangat ngeblog, yang tak bisa dinilai dengan materi.

Pada akhirnya, blog ini diniatkan untuk berbagi. Meskipun, aku tetap akan menulis sesuai tema, jika ada yang menghendaki dan bersedia membayar lebih. Dengan cara berbagi pengetahuan, aku bisa menjalin kedekatan serta interaksi yang jauh lebih luas. Dengan cara itu, aku bisa sedikit menghangatkan api pengetahuan di dada ini.

Mimpiku hanya satu. Aku ingin menulis sesuatu yang bisa menggerakkan seseorang. Memang tak mudah. Tapi keinginan tak bisa dibentengi. Ia akan selalu mencari jalannya untuk mengalir.


Baubau, 24 Oktober 2013

NB

Sepulang dari pertemuan itu, aku lalu mengecek siapa beliau. Ternyata beliau adalah salah satu orang penting dan menginspirasi di dunia digital. Sungguh beruntung bisa bertemu dirinya.

Pahatan Sedih di Sebuah Penerbangan



IBU itu turun dari bus dan menemui anaknya. Bus itu belum beranjak. Bus itu mengangkut semua penumpang Merpati yang hendak terbang Baubau. Di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar, saya bergabung bersama penumpang bus, yang kemudian memperhatikan apa yang sedang terjadi.

Anak lelaki itu berusia sekitar 20 tahun. Di wajahnya terpancar aroma ketakutan. Nampaknya, ia khawatir saat mengetahui bahwa bus itu hendak membawanya ke pesawat. Anak itu lalu menangis dengan suara keras, sebagaimana anak kecil. Apakah anak itu autis? Mungkin. Saya tak paham berbagai istilah psikologis. Dugaan saya, anak itu memiliki perkembangan yang lambat.

Ibu itu lalu mendekati anak itu. Ia lalu berusaha meyakinkan agar ikut ke bus. Anak itu tak mau. Ibu itu tak berputus-asa. Sepintas, saya mendengar kata-kata ibu itu. “Ayo Nak. Kita ikut bus itu. Nanti kita terbang. Tidak lama kok. Palingan cuma satu jam,” katanya.

Dari kursi bus saya terus memperhatikan apa yang terjadi. Yang bikin sedih, beberapa penumpang bus mulai marah-marah. Seorang perempuan yang mengenakan hak tinggi lalu berkata, “Lama sekali. Pesawat sudah mau berangkat. Kalau tak mau ikut, tinggal di situ saja.”

Beberapa karyawan Merpati berdatangan. Mereka lalu menemukan solusi. Ibu dan anak itu lalu diangkut dengan mobil jenis Avanza.

Selanjutnya, bus yang saya tumpangi lalu bergerak menuju pesawat. Satu per satu, semua penumpang masuk pesawat dan mencari tempat duduk. Saya pun duduk dan menanti-nanti pesawat lepas landas.

Tak lama kemudian, ada suara gaduh di belakang. Ternyata, ibu dan anak itu berdiri di dekat kursi penumpang yang sedianya hendak diduduki. Anak itu menolak untuk duduk. Ia kembali ketakutan. Ia malah berteriak-teriak. Ibu itu panik dan berusaha menenangkan.

Seorang lelaki yang di bajunya terdapat tulisan Merpati lalu datang. Ia lalu berusaha untuk membantu. Saya tak suka gaya komunikasinya yang sempat menuding anak itu. Ia menunjuk dengan mata yang agak melotot sambil berkata, “Kalau tidak mau ikut, kamu turun di sini. Saya tidak mau ambil risiko.”

Saya kesal melihat tingkah lelaki itu. Mestinya ia melakukan cara persuasif untuk membujuk anak itu. Mestinya ia memahami bahwa anak itu adalah anak berkebutuhan khusus yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran. Ia tak boleh berbicara dengan kasar, kepada seorang anak yang berusaha untuk memahami apa yang dikatakannya. Seorang pramugari datang membantu. Beberapa menit kemudian, ia pergi dan tak kembali lagi. Ibu itu terus berusaha meyakinkan anaknya untuk sama-sama berangkat.

Pramugari lalu memberikan pengumuman agar semua penumpang mengenakan sabuk pengaman.

Mendengar pengumuman tu, sang anak kmbali panik. Ia meronta-ronta. Dan kembali, saya menyaksikan lelaki itu datang dan marah-marah serta meminta agar ibu dan anak itu turun dari pesawat. Beberapa penumpang mendukung lelaki itu. Di belakang saya, ada seorang perempuan, yang sejak duduk di kursi pesawat selalu mengamati wajahnya di kaca kecil yang dibawanya, ikut bersuara. Ia berkata, “Turun saja. Bikin saya terlambat,” katanya lalu mengambil lipstick dan memoles bibirnya.

Penumpang lain juga senada. Mereka menunjukkan ekespresi tak nyaman. Beberapa di antaranya ikut berteriak dan meminta agar ibu itu turun bersama anaknya. Malah, ada penumpang yang meminta agar anak itu diberikan suntikan penenang agar tidak membuat keributan di pesawat.

Untungnya, kesabaran ibu itu berbuah. Anak itu akhirnya bersedia duduk di kursi pesawat. Setelah itu, semuanya berjalan lancar. Anak itu diam saja di kursinya hingga pesawat mendarat.

Sebagai penyaksi, saya hanya bisa sedih. Penerbangan ini telah memahatkan satu kesedihan dalam hati saya. Betapa kejamnya orang-orang yang hanya peduli dengan urusannya, tanpa mau berempati kepada orang lain. Orang-orang tak mau mengerti bahwa anak itu adalah anak yang berkebutuhan khusus. Ia seharusnya dipahami, dimengerti, dan dicarikan jalan agar bisa memahami keadaan di sekitarnya. Anak itu seharusnya dihargai sebagai manusia. Ia mesti didahulukan, didengar semua ketakutan-ketakutannya, lalu sama-sama diberikan pengertian agar ia tidak takut menghadapi apapun.

Para petugas di pesawat mestinya memahami kaidah untuk berkomunikasi dengan lebih lemah lembut. Mereka tak harus larut dengan sikap banyak orang yang hanya bisa selfish, tak peduli sesama, serta ikut bersuara keras pada anak itu. Mestinya ia paham tentang fungsi-fungsi pelayanan, serta memberikan perhatian yang lebih kepada mereka yang memiliki keterbatasan. Mereka tak boleh memukul rata bahwa semua orang sama.

Di atas pesawat itu, saya mencatat ulang tentang masyarakat kita yang sering tak mau peduli dengan sesamanya. Saya melihat langsung dunia sosial yang sering mendiskriminasi orang lain yang berpenampilan berbeda. Saya menyaksikan satu keping kenyataan yang menyedihkan tentang manusia-manusia yang tak mau berbagi kasih sayang dengan sesama, serta sikap egois dan tak mau berempati pada seorang ibu yang telah menunjukkan cintanya yang dahsyat kepada anaknya.

Yup. Cinta dan kasih sayang ibu itu amat dahsyat. Di tengah tatapan sinis serta teriakan yang merendahkan, ia tetap setia menjadi matahari bagi anaknya. Ia memancarkan cahaya kasih sayang yang kemudian melunakkan hati anaknya agar bersedia ikut dalam penerbangan itu. Ibu itu adalah perempuan paling sabar dan paling hebat yang saya saksikan di pesawat.

Kepadanya, saya mengucapkan salut serta mengirimkan salam takzim. Semoga kasih Allah terus bermekaran di hatinya.


Baubau, 21 Oktober 2013

Sensasi Menjadi Headline (17)


SAATNYA produktif. Di tengah luangnya waktu serta banyaknya aktivitas, saya mesti lebih produktif untuk menulis. Apalagi, belakangan ini, blog ini mulai dikenal banyak orang. Lagian, memasang link atau tautan di Kompasiana menjad cara efektif untuk meningkatkan jumlah pembaca blog. Beruntung pula, karena beberapa tulisan saya malah menjadi HL di social blog terbesar di Indonesia itu. Berikut, beberapa tulisan yang menjadi HL tersebut:

Di Sini KFC, di Sana Tuna

Kini Jebret, Dulu Sambas

Label PKI, Strategi, dan Inspirasi


Punahnya Pasar di Kota Makassar


Misteri 'Neraka' Alifian Mallarangeng


sampul novel Inferno yang ditulis Dan Brown
 
TERLEPAS dari debat tentang benar-salahnya politisi Andi Alifian Mallarangeng, saya menyimpan sejumput kekaguman kepada beliau. Di rumah tahanan (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ia tak meminta sebuah ruang mewah untuk karaoke sebagaimana terpidana Artalyta. Ia hanya meminta dibawakan sebuah novel karya Dan Brown berjudul Inferno atau neraka. What?

Sebagai pembaca hampir semua novel karya Dan Brown, saya paham genre novel yang dibangun pengarang Amerika itu. Brown selalu berkisah tentang seorang pakar simbol asal Harvard University, Robert Langdon, yang seringkali memecahkan teka-teki terkait simbol yang membawa pesan tertentu.

Langdon memang sosok kontroversial. Lika-liku kasus yang dipecahkannya selalu mengejutkan. Ia bukan tipe jagoan seperti James Bond yang mengandalkan kelihaian bertarung serta aksi ranjang bersama wanita-wanita cantik. Langdon adalah profesor simbologi yang memecahkan makna simbol dalam sejarah, kemudian mencari relasinya dengan kasus kriminal di masa kini.

Dalam berbagai kisah Langdon, pengarang Dan Brown sering melawan arus. Ia menyerang otoritas gereja, ataupun sejarah resmi bangsa Amerika. Ia selalu punya tafsir atau interpretasi berbeda. Kontroversi itu lalu menjadi rel untuk membawa kereta kisahnya menelusuri berbagai alur. Dan kesimpulan akhirnya selalu mengejutkan dan sukar diprediksi sebelumnya.

Nah, jika politisi Alifian Mallarangeng ingin membaca Inferno selama dipenjara, apakah gerangan pesan yang hendak disampaikannya kepada khalayak? Apakah keinginannya membaca novel karya Dan Brown adalah sesuatu yang alamiah atau wajar, ataukah tersimpan pesan-pesan tertentu bagi masyarakat luas?

Di kelas-kelas political communication, saya belajar bahwa setiap tanda atau gerak dari seorang politisi selalu membawa pesan tertentu. Ketika seseorang menjadi politisi, maka ia paham benar bahwa semua tindakannya akan selalu memiliki konsekuensi dan bisa dibaca oleh publik dengan cara berbeda. Saya meyakini bahwa keinginan membaca fiksi karya Dan Brown itu memiliki beberapa pesan yang bisa ditafsirkan sendiri-sendiri. Apakah gerangan?

Pertama, buku adalah simbol dari ilmu pengetahuan. Melalui pesan bahwa dirinya membaca novel, Alifian hendak mempertegas posisinya seagai seorang intelektual, bukan sekadar politisi. Kita sama paham bahwa ada batas tegas antara politisi dan intelektual. Seorang politisi tak selalu punya kualitas intelektual yang baik. Banyak di antara mereka yang terkena kasus ijazah palsu, ataupun dianggap ‘asal bunyi’.

Andi Alifian Mallarangeng

Alifian tidak demikian. Sebagai doktor ilmu politik dari Northern Illinois University, Amerika Serikat, ia punya kualitas di atas rata-rata. Ia seolah hendak berkata bahwa mustahil ia hendak mengorbankan segala reputasi yang didapatnya dengan susah payah demi segepok rupiah serta kongkalingkong dengan sejumlah politisi lainnya. Kalaupun ia terbukti korupsi, maka boleh jadi, itu adalah bagian dari sebuah skenario politik di mana dirinya hanyalah noktah kecil dalam permainan itu.

Kedua, mungkin ia hendak berkata bahwa kasus yang sedang dihadapinya serupa teka-teki dalam novel Dan Brown. Ada intrik, konspirasi, serta tuduhan yang kemudian menimpa seseorang. Ada pula mastermind atau dalang yang mengendalikan kejadian serta menimpakan kesalahan itu kepada seorang tersebut.

Alifian Mallarangeng hendak menitip pesan bahwa realitas sesungguhnya dari kasus Hambalang tidaklah sesederhana yang dikira publik. Realitasnya jauh lebih rumit, dan sebelumnya telah dirancang oleh seorang mastermind atau dalang. Saking rumitnya, orang-orang bisa pnya banyak versi tentang kejadian tersebut.

Terhadap berbagai kontroversi hukum, publik akan melihatnya dalam berbagai versi. Ada versi para penegak hukum, dalam hal ini KPK. Namun, ada pula versi yang dibangun oleh para tersangka, yang meyakini bahwa mereka tak bersalah. Pengadilan adalah arena untuk mendialogkan berbagai kontroversi tersebut. Pemenangnya bukanlah yang benar, melainkan pihak yang dianggap memiliki bukti dan argumentasi yang lebih kokoh.

Kita bisa melihatnya pada kasus yang dihadapi Antasari Azhar. Meskipun semua insitusi hukum menyatakan dirinya bersalah, ia tetap memelihara kebenaran sendir yang diyakininya. Ia tetap setia mengumpulkan keping demi keping bukti demi untuk menunjukkan bahwa dirinya tak bersalah.

Ketiga, boleh jadi, Alifian Mallarangeng hendak mengasosiasikan dirinya sebagai Robert Langdon yang terjebak dan disangka menjadi bagian dari konspirasi kriminal tertentu. Dalam kisah Da Vinci Code, Robert Langdon sempat dicari-cari polisi karena namanya tertulis dengan darah di dekat mayat seorang kurator terkenal di Luovre, Perancis. Dalam kisah The Lost Symbol, kembali Langdon menjadi buronan aparat karena dianggap membantu seorang kriminal yang hendak memecahkan misteri pada piramida Mason.

Dalam berbagai novel karya Dan Brown, ada benang merah yang mempertemukannya. Yakni ada konspirasi, ada misteri, ada tertuduh, ada dalang atau mastermind, serta ada pihak yang dikorbankan. Dalam fiksi-fiksi itu, sosok yang dikira publik dan media sebagai dalang, ternyata hanyalah pion-pion catur yang dikendalikan oleh jaringan besar.

Di tanah air, kita sering menyaksikan kasus-kasus yang diduga dilakukan oleh sejumlah tokoh penting, pada akhirnya akan menguap dengan sendirinya atau malah mengorbankan pion tertentu. Kita bisa melihatnya pada kasus tewasnya Munir. Hingga kini, dalang utama kasus ini masih menjadi misteri bagi publik. Meskipun pilot Pollycarpus dituduh bersalah, namun publik meyakini bahwa dirinya hanyalah pion yang menjadi tumbal.

Menarik pula untuk melihat posisi Robert Langdon yang seringkali menjadi tertuduh, namun sering menjadi pengungkap misteri. Apakah Alifian akan mengungkap misteri ini sebagaimana Langdon? Kita akan tunggu perkembangan kasus yang sekarang ini mulai bergulir.

poster film Angel and Demon, yang dikembangkan dari naskah karya Dan Brown

Keempat, novel yang hendak dibaca Alifian berjudul Inferno atau neraka. Dalam novel itu, saya menemukan penjelasan bahwa inferno adalah dunia bawah yang dijelaskan dalam puisi epik Dante Alighieri, The Divine Comedy. Tentu saja, dalam konsepsi Dante, ada tingkatan-tingkatan atau level di neraka. Siapa yang menempati level tergelap?

Di awal novel, saya temukan kutipan “The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis." Dalam bahasa Indonesia, kutipan ini bermakna “Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral.

Saya sempat tertegun dengan kutipan ini. Para intelektual memang sering memosisikan dirinya pada posisi netral. Mereka sering berlindung di balik kata obyektivitas. Padahal, tanggungjawab ilmiah mensyaratkan proses keterlibatan serta pesan dalam perubahan sosial. Mereka harus menunjukkan peran aktif demi mendorong perubahan sosial serta menginspirasi masyarakat untuk berbuat lebih baik.

Entah, apakah kutipan itu menunjukkan komitmen Alifian Mallarangeng untuk masuk ke dunia politik dan membuat perubahan, ataukah takdir menunjukkan bahwa dirinya hanya menjadi kayu bakar dari sebuah sistem dan jaringan korup yang ibarat gurita telah lama membelit negeri ini. Yang pasti, sejarah akan mencatat apakah dirinya bisa menjadi intelektual pengubah, ataukah menjadi kayu bakar kekuasaan. Kita tunggu saja.


Baubau, 21 Oktober 2013


Rasa Malu di Gerbong Kereta


suasana di dalam kereta

KETIKA memutuskan hendak naik kereta dari Yogyakarta ke Bandung, saya agak ragu-ragu. Mendengar kata kereta, saya membayangkan suasana dalam gerbong yang padat manusia hingga memenui semua lorong. Saya membayangkan para pedagang yang naik dan memenuhi gerbong, lalu memaksa kita untuk membeli barang. Saya juga membayangkan ketidaknyamanan seperti tas dan dompet yang mudah raib ke tangan maling.

Namun ketika naik ke dalam kereta, saya sadar bahwa segalanya telah berubah.

Pelayanan kereta jauh lebih baik jika dibandingkan dengan setahun silam. Kereta mulai identik dengan kenyamanan. Saya merasa nyaman duduk di kelas eksekutif. Saya mendapatkan banyak fasilitas yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan. Mulai dari layanan makan, charger di setiap kursi, serta perlindungan dari petugas sekuriti di setiap gerbong. Saya juga melihat foto serta nama dan nomor telepon dari customer service yang tertera di detiap gerbong.

Perjalanan dengan kereta ibarat perjalanan udara. Tiketnya mudah didapatkan di Alfamart dan Indomaret. Tak perlu antri, sebagaimana dahulu. Saat di kereta, ada banyak gadis cantik yang datang menyapa demi menawarkan menu makanan atau sekadar mengecek apakah penumpang dalam keadaan baik-baik saja, ataukah hendak menyampaikan sesuatu. Pihak kereta juga menyediakan bantal, selimut, serta pendingin ruangan. Saya merasa sangat nyaman.

Hikmah yang bisa dipetik adalah segala sesuatu mesti berubah. Pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI) akhirnya menyadari bahwa dengan melakukan penataan, maka pelanggan akan kembali menggunakan kereta. Di tengah kondisi murahnya harga tiket penerbangan, kereta akan tetap menjadi pilihan jika ada pelayanan serta kenyamanan yang ditawarkan kepada para pengguna kereta.

Memang, selalu ada konsekuensi dari perubahan. Ia bisa positif atau negatif, tergantung dari sudut mana melihatnya. Dari sisi pelayanan, strategi yang ditempuh pihak kereta untuk memanjakan pelanggannya adalah strategi yang paling tepat sebab menempatkan manusia sebagai subyek yang diperhatikan. Jika pihak kereta tak berubah, boleh jadi mereka akan ditelan zaman. Mereka akan menjadi museum yang hanya menyisakan cerita bahwa dahulu pernah ada kereta yang menjadi portal penghubung antar kota.

Jika pihak kereta bisa berubah dan menjadi lebih baik, bagaimanakah halnya dengan diri kita? Sudahkah kita merefleksi dan bercermin tentang berbagai masalah yang mendera dan memberat langkah kita, kemudian dipikirkan secara matang apa yang harus dilakukan untuk mengubahnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya malu saat melihat fakta tentang diri yang selalu ingin di titik nyaman, dan selalu ragu untuk menjemput berbagai api tantangan. Di gerbong kereta itu, saya dihinggapi rasa malu, yang kemudian melahirkan setitik kesadaran bahwa mesti melakukan sesuatu untuk berubah. Yup. Mesti ada yang berubah.(*)

Makassar, 19 Oktober 2013