Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Menanti Sebuah Kejutan


ilustrasi

DI pagi hari, ponselku tiba-tiba berdering. Penelepon mengaku dari Sekretariat negara RI. Ia menanyakan beberapa hal, yang intinya memastikan bahwa aku sedang di tanah air dan benar-benar tinggal di Pulau Buton. Katanya, naskah yang kukirimkan untuk lomba menulis esai masuk dalam nominasi juara.

Sejujurnya, aku bukan orang yang rajin ikut lomba menulis. Kadang-kadang aku suka mengirim tulisan demi untuk meramaikan sebuah lomba. Jika menang, yaa syukur. Jika kalah, tentunya santai saja. Sekali mengirim naskah, maka naskah itu kuanggap hilang. Mau menang atau kalah, itu tak penting.

Ketika telepon itu datang, aku langsung memikirkan naskah yang kutuliskan. Kupikir naskah itu tak seberapa baik. Saat nulis, aku agak tergesa-gesa. Sebagaimana halnya tulisan lain, semua tulisan dilahirkan dalam suasana yang spontan. Aku bukan perencana yang baik sehingga tak pernah bisa merencanakan tulisan, termasuk mematok deadline. Bagiku, menulis dilakukan di satu tempat pada satu saat. Sekali menulis, maka setelah itu aku akan melupakannya.

Nah, semoga saja tulisanku ini menang. Dalam berbagai lomba yang kuikuti, aku selalu percaya bahwa menang kalah adalah soal nasib-nasiban. Kalau menang, berarti dewi fortuna sedang berkunjung. Kalau kalah, maka itu pertanda bahwa Dewi Fortuna akan datang pada kesempatan lain. Iya khan?


Baubau, 29 Agustus 2013

Jurnalisme Makna ala Pepih Nugraha


Pepih Nugraha (empat dari kanan) saat diskusi di Makassar

TAK banyak buku yang berkisah tentang inspirasi dan hikmah di balik sebuah naskah. Di jagad sastra, penulis Pamusuk Eneste pernah mengeditori buku berjudul Proses Kreatif yang mengisahkan perjalanan kreativitas para pengarang hingga konteks lahirnya sebuah karya sastra.

Di ranah jurnalistik, Pepih Nugraha, jurnalis senior Kompas, mengisahkan pengalamannya menuliskan beragam sosok yang menginspirasi di harian Kompas. Ia mencatat kesaksian, proses kreatif, gagasan, serta pelajaran berharga bagi siapapun agar bisa menulis tentang sosok manusia dengan lebih berwarna.

Pepih menuliskan itu pada buku Menulis Sosok secara Inspiratif, Menarik, Unik yang diterbitkan oleh Kompas, tahun 2013. Ia bercerita tentang gagasan-gagasan yang memenuhi benaknya serta tahap demi tahap ketika dirinya menulis satu sosok yang unik dan menginspirasi. Sebagai jurnalis, Pepih tak hendak terjebak pada konsep ketokohan seseorang untuk dihadirkan di media massa. Ia banyak menulis tentang orang-orang biasa yang memiliki kisah-kisah unik untuk dituliskan. Melalui kisah itu, Pepih menyelipkan berbagai cerita dan proses yang kemudian mempengaruhi proses penulisannya.

Saya sangat menikmati proses kreatif di balik kisah-kisah orang biasa yang ditulis dalam buku ini. Beberapa kisah yang dituliskan Pepih membuat saya termenung selama beberapa saat, khususnya kisah tentang tragedi manusia biasa. Pada kisah-kisah itu, saya menemukan kepedihan, serta kegetiran manusia yang menghadapinya. Saya juga menemukan kisah tentang dilema moral, serta situasi yang memaksa seseorang untuk membuat pilihan tertentu dalam kehidupannya.

Salah satu kisah yang membuat saya terhenyak adalah kisah Djamhari, seorang pegawai Perumka (sekarang PT KAI), yang dituduh bertanggungjawab atas Tragedi Bintaro, tragedi kecelakaan kereta yang menewaskan ratusan orang. Djamhari adalah petugas biasa yang dituduh lalai mengatur perjalanan kereta. Padahal, sebelum kejadian itu, ia sempat mengejar kereta dan mengibarkan bendera merah sebagai tanda bahaya.

Dalam banyak tragedi, petinggi negeri kita seringkali terjebak pada pemikiran yang selalu hendak mencari kambing hitam. Delapan tahun setelah tragedi itu, hidup Djamhari kian merana. Setelah mendekam di penjara selama 10 bulan, ia tak lagi menerima hak-haknya secara jelas. Pepih menuliskan bahwa Djamhari telah divonis dua kali, yakni ketika dikurung 10 bulan, dan saat ditelantarkan begitu saja.

Kisah lain yang membuat saya tersentak adalah seorang nelayan Aceh bernama Usman. Di tengah tsunami dashyat yang menerjang Aceh, ia tengah berada di laut dan menghadapi dilema; apakah menyelamatkan puluhan nelayan lain ataukah menyelamatkan keluarganya yang diterjang tsunami di daratan. Di tengah dilema itu, ia lalu memutuskan untuk menyelamatkan mereka yang sedang melawan maut di hadapannya. Ia bahagia karena menyelamatkan puluhan nyawa, namun sesaat kemudian dicekam kesedihan ketika mendapat informasi bahwa istri dan anak-anaknya raib dan tak kunjung ditemukan.

Kisah lain yang juga menarik buat saya adalah pribadi unik seperti ulama kharismatis KH Ali Yafie, kisah Ryaas Rasyid sang lurah yang kemudian jadi profesor, Sarwoto sang ilmuwan peluncur satelit, ataupun Endri Rachman yang pernah jadi teknisi IPTN dan kemudian karyanya hendak dijiplak ilmuwan Malaysia. Semua kisah-kisah itu sangat menarik dan menunjukkan bagaimana pengalaman seorang individu dalam berbagai situasi yang kemudian menempa mereka menjadi pribadi unggul.

Yang menjadi kekuatan buku ini adalah Pepih tidak berbicara tentang tahap-tahap dalam penulisan sosok, sebagaimana halnya buku-buku panduan dalam menulis jurnalistik atau biografi. Dalam beberapa buku tentang penulis sosok yang pernah saya baca, hal-hal yang didiskusikan adalah tentang bagaimana mengumpulkan informasi, kemudian menuliskannya. Buku-buku tersebut telah memosisikan menulis sebagai aktivitas yang mengikuti prosedur, tahapan, serta asas-asas tertentu.

Memang, prosedur itu penting adanya. Namun yang jauh lebih penting adalah gagasan serta kepekaan seseorang untuk melihat sesuatu tidak dengan mata lahir, namun melalui mata batin. Teknik dan prosedur kepenulisan bisa dilatih. Akan tetapi, kemampuan melihat dengan mata batin ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibentuk. Ini sama halnya dengan butir-butir berlian yang tidak muncul begitu saja di depan mata. Ia mesti digali dan diangkat ke permukaan hingga kemilaunya terlihat banyak orang.

Tugas seorang penulis adalah menemukan berlian kehidupan, kemudian membaginya kepada banyak orang sehingga kehidupan menjadi lebih bermakna.


Pada titik ini, Pepih bisa menghadirkan kisah-kisah yang didalamnya terdapat berlian inspirasi yang kemilaunya menyimpan banyak pelajaran. Beberapa tulisan sosok yang dihadirkan dalam buku ini bukan sekadar karya jurnalistik yang mewartakan sesuatu, melainkan karya jurnalistik yang hendak membingkai makna demi untuk mengayakan ladang kehidupan.

Beberapa pribadi seperti nelayan Usman, akademisi Prof Harun Al Rasyid, ataupun Matt Wullenbeg (pencipta Wordpress), bahkan pemulung sampah bernama Ajie, bukanlah tipe orang-orang yang membanggakan dirinya sebagai orang-orang hebat atau unik. Mereka tak pernah agresif untuk mengenalkan dirinya dan memilih untuk menanam kebaikan secara diam-diam, namun tindakan serta karyanya terus menjadi inspirasi.

Bahkan tokoh sekelas Sir Berners-Lee, sang pencipta internet, tidak memamerkan teknologi canggih ketika memberikan presentasi. Ia hanya menyiapkan bahan-bahan melalui sebuah kertas lusuh. Mungkin ia hendak menitip pesan bahwa kecanggihan sebuah pesan tidak terletak pada cara sesuatu dikemas, namun terletak pada substansi serta gagasan yang dikandungnya. Pribadi seperti Berners-Lee laksana pendekar sakti yang tak pernah bawa pedang ke mana-mana. Namun ketika pendekar itu harus berduel, ia cukup memetik ranting kecil demi menjadi pedang berbahaya.

Saya menyukai detail-detail yang dituturkan dalam buku ini. Sebagai seorang yang masih hijau di ranah kepenulisan, saya belajar banyak tentang bagaimana mengasah gagasan serta sudut pandang dalam kepenulisan. Saat membaca buku ini, saya serasa diajak bertualang ke dalam dunia pemikiran seorang jurnalis yang sedang membaca aksara kehidupan, lalu mengemasnya menjadi satu sajian menarik yang bergizi bagi para pembaca. Di ujung petualangan itu, saya tiba-tiba saja melihat kenyataan dengan lebih jernih.

Saya mengamini kalimat seorang bijak bahwa inspirasi itu ada di mana-mana. Kita hanya butuh menajamkan mata dan melihat hal-hal sederhana di sekitar kita. Kita hanya butuh sikap rendah hati untuk selalu membuka mata dan belajar pada orang lain. Buku ini mengajarkan saya bahwa pada diri setiap orang terdapat keunikan yang bisa menjadi inspirasi dan pelajaran bagi manusia lainnya. Tugas para jurnalis adalah membingkai makna demi untuk membuat banyak orang lebih jernih membaca aksara kehidupan.

Saya melihat buku ini tak sekadar panduan untuk menulis sosok secara inspiratif. Saya melihatnya lebih dari itu. Buku ini bisa menjadi masukan berharga bagi ranah ilmu sosial dan ilmu sejarah, khususnya tentang bagaimana merekam suara-suara berbeda, bagaimana memahami konteks sosial, serta dinamika yang dihadapi banyak manusia. Pelajaran paling berharga adalah bagaimana memahami kehidupan sebagai sesuatu yang mengalir dan kita semua berutang inspirasi pada sejumlah manusia-manusia hebat yang justru tak ingin dicatat sejarah.


Baubau, 28 Agustus 2013

Politik yang Dibingkai Uang Miliaran




Ceritakan padaku tentang kesenjangan
 
USIANYA belum genap 30 tahun. Ia masih cukup muda. Namun, jangan pernah bertanya tentang berapa jumlah uang dalam tabungannya. Ia punya lebih dari angka 30 miliar rupiah. Maklumlah, ayahnya adalah pejabat selama dua periode. Melalui kuasa sang ayah, ia mendapat Kuasa Pertambangan (KP). Ia lalu menjual hasil tambang itu ke para investor. Maka kaya-rayalah dirinya.

Sejak otonomi daerah, banyak orang kaya baru di daerah. Sejak kiblat kuasa pindah ke daerah, tiba-tiba saja orang-orang daerah mrasa memiliki otoritas dan kuasa menambang duit. Dunia politik menjadi jalan mulus bagi mereka untuk memperkaya diri, memperbesar pundi-pundi keuangan, lalu memperkaya diri. Demi memenangkan semuanya, dipakailah retorika tentang kesejahteraan atau amanat penderitaan rakyat. Cita-cita tentang amanat rakyat adalah bullshit. Politik adalah jalan untuk kaya. Titik.

Saya selalu miris mendengar kisah-kisah seperti ini. Saya membayangkan Gandhi yang berkata bahwa dunia selalu cukup bagi kita, namun tak akan pernah cukup bagi keserakahan kita. Saya juga memikirkan bahwa di balik kekayaan miliaran itu, selalu ada harga yang harus dibayar yakni banyak orang lain mesti ikhlas untuk dimiskinkan. Mesti ada yang kaya-raya, dan mesti ada yang biasa-biasa, malah menjadi rakyat jelata. Bisakah kita menghapus jarak sosial yang demikian jauh? Mengapa harus ada istilah kaya dan miskin? Tak bisakah smeua orang menjadi kaya dan tak harus ada yang miskin?

Yah, kalimat-kalimat Marx masih selalu aktual. Ketika ada satu kelompok menjadi kelompok elite atau atas, maka mesti ada kelompok lain yang jadi kerak di dasar periuk. Saya langsung berpikir, mengapa tak sekalian saja dana miliaran itu di-share ke banyak orag sehingga banyak pihak yang bisa diuntungkan dan dibuat kaya?

Saya hanya bisa mencatat. Saya tak bisa berkata apa-apa ketika melihat para putra pejabat atau mantan pejabat itu bergelimang harta, lalu memasuki dunia politik dengan janji akan membawa amanat penderitaan rakyat. Inilah potret zaman kita. Politik hanyalah gerbang untuk menggapai sesuatu yang terkait kuasa dan kekayaan.

Dan akhirnya saya hanya bisa mengurut dada ketika melihat pemuda berdeposito miliaran dan selalu mabuk-mabukan untuk merayakan kekayaaannya, sedang di sebelah lain, ada seorang anak muda yang mengais-ngais rezeki di tengah panas terik yang setiap saat menjadi hujan badai, malah ada banyak orang yang mengemis demi uang seribu rupiah yang bakal habis dibelikan bahan makanan di hari itu.


Baubau, 27 Agustus 2013

Rona Bahagia di Wajah Nelayan Pulau Buton


Tulisan ini terpilih sebagai juara pertama lomba menulis esai tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diadakan oleh Sekretariat Kabinet RI. Pengumumannya bisa dilihat DI SINI.
-------------------------------------

seorang nelayan kecil di Buton
  
DUA tahun silam, lelaki bernama La Udi (35) itu hanyalah seorang sawi, nelayan kecil yang sesekali menjadi buruh di sebuah kapal penangkap ikan di pesisir Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Ia seorang biasa yang sering hanya membawa sekantong ikan sebagai upah atas kerja keras melaut selama semalam suntuk. 

Kemarin, saya berjumpa dengannya. Ia telah menjadi seorang pemilik kapal yang juga mengelola beberapa bisnis di pasar. Sungguh ajaib.

Selama beberapa waktu meninggalkan kampung, saya tak mengikuti perkembangan tentang keluarga nelayan di sana. Ketika kembali, betapa terkejutnya saya melihat banyak nelayan kecil seperti La Udi telah bersalinrupa menjadi pemilik kapal. Mereka bukan lagi sawi, melainkan menjadi punggawa atau juragan. Malah, mereka mulai merambah bisnis penjualan ikan ke beberapa pengusaha di Surabaya atau Jakarta. Bukankah ini menakjubkan?

La Udi memang inspiratif. Di satu sore, di tengah hembusan angin sepoi-sepoi di sekitar Pantai Nirwana di Buton, ia menerima ajakan saya untuk berkisah banyak hal. Di tengah hembusan asap dari rokok kretek yang di jemarinya, ia berbagi informasi. Ia mengatakan bahwa siapa pun bisa seperti dirinya, sepanjang ada semangat dan keinginan untuk berubah. 

Rahasia lain yang juga dibaginya adalah pada dua tahun silam, ia mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ketika duit di tangan, mulailah ia membuka usaha dan melangkah setapak demi setapak ke tangga kesuksesan. What? Apakah semudah itu mendapatkan kredit? Bagaimanakah dengan risikonya? Mengapa bank semudah itu mempercayainya?

Bagi para nelayan di sepanjang desa-desa pesisir Pulau Buton, bank adalah tempat yang jarang dikunjungi. Meskipun para nelayan itu terbiasa dengan ganasnya ombak lautan serta tantangan saat mengayuh dayung di laut ganas, ketika harus ke bank, mereka serba kikuk dan tidak tahu hendak memulai dari mana. 

Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan rasa minder serta keengganan untuk memasuki bank. Mereka memelihara persepsi bahwa bank adalah tempat bagi mereka yang kaya untuk bertransaksi, sementara mereka yang miskin tak punya akses ke bank.

Tak hanya itu, bank seringkali tak ramah bagi para nelayan. Beberapa nelayan menuturkan bahwa mengajukan kredit ke bank tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Seringkali bank meminta persyaratan administrasi serta bukti agunan kepada nelayan. Inilah yang menjadi beban bagi nelayan. Tidak semua nelayan Buton memiliki pemahaman atas syarat administrasi. 

Meskipun di satu sisi pemerintah mengatakan bahwa kredit KUR tak perlu agunan, informasi ini tidak tersosialisasi dengan baik. Pihak bank juga seringkali tidak paham dan tetap saja meminta agunan kepada rakyat kecil.

Di tengah akses yang lemah serta kondisi perbankan, para nelayan kemudian berpaling pada tengkulak. Memang, bunga pinjaman pada tengkulak jauh lebih tinggi, akan tetapi para nelayan itu mendapatkan kemudahan berupa akses yang cepat serta tidak ada administrasi yang berbelit-belit. Di sisi lain, para tengkulak sukses memanfaatkan jejaring kekerabatan yang kuat di masyarakat. 

Pantas saja jika nelayan berpikir bahwa meskipun bunga mahal, jika tak perlu mengurus administrasi dan menyerahkan dokumen agunan, mereka akan memilih bekerjasama dengan para tengkulak, ketimbang bank.

La Udi tahu kondisi yang menjerat para nelayan kecil. Ia punya sedikit keberanian serta visi untuk keluar dari mata rantai kemiskinan yang menjerat para nelayan. Ia meyakini bahwa keberanian sangat dibutuhkan untuk menerobos rasa takut serta minder untuk berbuat lebih. Ia tak mau dicekam rasa takut. 

Ketakutan adalah belenggu yang harus diatasi demi kehidupan yang lebih baik. Ia mendatangi bank, menyelesaikan semua syarat administrasi, kemudian mendapatkan pinjaman.

Keberanian itu membersitkan pengetahuan yang menerangi hatinya. Ia akhirnya paham bahwa syarat administrasi memang penting bagi bank demi memastikan bahwa seseorang bisa mengembalikan pinjaman. Namun syarat itu bukanlah harga mati. 

Sejak tahun 2007, pemerintah telah memberikan jaminan bagi semua rakyat untuk mendapatkan KUR. Seyogyanya, bank tidak perlu mempersulit rakyat, sebab pemerintah bersedia menjadi penjamin. Ketika mengetahui hal ini, ada sejumpah pertanyaan yang mencuat, mengapa tak banyak nelayan yang tahu bahwa segala persyaratan telah dipermudah demi mendapatkan KUR? 

Mengapa para nelayan tak berbondong-bondong mendatangi bank untuk mengajukan pinjaman? Bagaimanakah memperluas akses informasi pada semua rakyat kecil lainnya?

Mengurai Persoalan

La Udi adalah satu kisah sukses tentang mereka yang berhasil memanfaatkan dana kredit KUR. Ia adalah contoh kasus dari sedikit orang yang akhirnya sukses berwirausaha. Ia adalah anomali dari sebahagian besar nelayan Pulau Buton yang merasa tak perlu mengajukan pinjaman ke bank. 

Mengapa anomali? Sebab banyak di antara mereka yang merasa nyaman dengan keadaannya sebagai penangkap ikan di malam hari, dan di siang hari menjajakan ikan tersebut. Mereka tidak tertarik untuk mencoba sektor usaha lain demi meningkatkan pendapatan. Sejauh ini, mayoritas nelayan hanya fokus pada aspek produksi yakni penangkapan ikan saja.

Sejatinya, tak mengapa jika mereka memilih hidup hanya sebagai nelayan biasa yang hidup pas-pasan. Namun masalah akan mencuat ketika banyak di antara mereka yang kemudian memiliki kebutuhan seperti menyekolahkan anak ke luar daerah, biaya kesehatan, hingga keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah demikian banyak kebutuhan, banyak yang kemudian mengambil jalan pintas untuk meminjam dana pada sejumlah tengkulak atau rentenir.
                 

Ada aspek yang jauh lebih penting dan seakan lenyap di benak para nelayan yakni aspek kewirausahaan serta keberanian untuk mencoba peluang baru. Ketimbang terjerat oleh tengkulak atau rentenir, akan sangat berguna jika mereka mengajukan pinjaman kredit ke bank, yang kemudian digunakan sebagai modal untuk usaha tertentu. 

Namun, memperkenalkan spirit kewirausahaan jelas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Para nelayan mesti diperkenalkan wawasan baru tentang kehidupan yang tidak hanya berkutat di area yang sama. Mereka mesti diperkenalkan dengan cara-cara baru untuk meningkatkan pendapatan. Mereka mesti beradaptasi dengan kultur baru yang tidak hanya berkutat dengan aspek produksi.

Nah, ini menjadi tantangan yang harus dipecahkan. Sebab meskipun pemerintah mengucurkan dana 20 hingga 30 triliun, namun jika tidak diiringi dengan kesiapan –dalam artian penguatan kapasitas-- rakyat kecil, maka upaya itu akan menjadi sia-sia.

Yang pasti, pembenahan atas semua persoalan ini mutlak harus menjadi prioritas bersama. Fakta menunjukkan bahwa usaha kecil menengah (UKM), sebagaimana usaha yang dikerjakan La Udi, berjumlah sekitar 55,8 juta di seluruh tanah air, yang merupakan 98,79 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. 

Penting pula dicatat bahwa usaha mikro berhasil menyerap tenaga kerja hingga lebih seratus juta, atau setara dengan 90,12 persen dari semua usaha di tanah air. Dengan demikian, pembenahan atas masalah ini akan menyentuh hajat hidup jutaan orang, yang merupakan lapis terbesar dari piramida sistem sosial kita hari ini.

Apa yang Harus Dilakukan?

Selain semangat  kewirausahaan yang lemah, masalah lain yang mencuat adalah minimnya akses kredit perbankan, serta ketidakmampuan nelayan kecil, atau pemilik UKM, untuk menyediakan agunan. Semua permasalahan di atas berkutat pada aspek kultural yang bermuara pada lemahnya kapasitas atau sumberdaya manusia (SDM).

Penyelesaian masalah ini bisa ditempuh dengan cara kultural yakni memosisikan semua nelayan sebagai subyek utama yang melakukan segala upaya demi memberdayakan sektor UKM. Mereka mesti dilihat sebagai individu bebas yang mesti didengarkan permasalahannya, kemudian sama-sama diajak untuk merumuskan langkah-langkah penyelesaian. 

Mereka mesti diajak berdialog, didengarkan semua aspirasinya, kemudian diajak untuk sama-sama menyelesaikan masalah yang menderanya. Awalnya pasti tak mudah, namun seringkali akan lahir langkah-langkah ajaib yang sering tak terduga namun efektif dalam menyelesaikan berbagai hal.

Selain aspek kultural, hal penting yang harus tetap mempertimbangkan aspek lainnya seperti kesiapan pasar, perluasan akses informasi, serta dukungan yang terus-menerus kepada nelayan kecil yang berikhtiar untuk meningkatkan kesejahteraannya. 

Belajar pada pengalaman La Udi, ada tiga kebijakan yang bisa ditempuh demi memberdayakan masyarakat nelayan yakni (1) pengembangan kewirausahaan, (2) perluasan pasar produk, serta (3) peningkatan akses atas kredit di bank. Nah, aspek yang ketiga inilah yang menjadi tantangan. Sebab kebijakan ini sering berhadapan dengan ketidaksiapan masyarakat untuk menyerap hal-hal baru. Bagaimanakah memperluas akses atas kredit?
                 
***

DI tepi pantai itu, saya berbincang dengan La Udi. Selama setahun lebih, ia mencoba membantu sejumlah nelayan untuk mendapatkan kredit. Ketka membahas tentang akses, ia tiba-tiba melontarkan satu gagasan yang brilian di mata saya. Ia menyarankan agar semua bank memiliki agen di desa-desa yang memiliki pemahaman yang baik tentang jaringan sosial masyarakat desa. 

Agen-agen itu lalu membuka akses kredit, tanpa mempersulit administrasi, dan di saat bersamaan akan menghubungi jaringan sosial atau jaringan kekerabatan masyarakat desa untuk membantu menyiapkan sejumlah prasyarat administrasi. “Para nelayan bisa dibuatkan kelompok, kemudian masing-masing kelompok menjaminkan anggotanya. Kelompok ini pula yang bisa menjamin agar anggotanya bisa membayar angsuran,” katanya seusai menghembuskan asap kretek.

Saya tercenung mendengar penjelasan La Udi. Saya teringat lelaki bernama Muhammad Yunus di Bangladesh sana. Ia mengenali jaringan-jaringan yang bekerja di masyarakat, kemudian menggerakkannya untuk mengatasi kemiskinan. Ia bisa membangun bank untuk rakyat, yang memperluas akses kredit pada warga biasa, melakukan ‘jemput bola’ lalu memastikan agar semua orang bisa maksimal menggunakan dananya.

perahu nelayan
              
Memang, solusi itu boleh jadi hanya efektif di satu negeri seperti Bangladesh. Akan tetapi, nelayan La Udi mengemukakan satu solusi yang mengingatkan saya pada upaya Muhammad Yunus untuk mengatasi kemiskinan. Hebatnya, La Udi tak pernah tahu tentang Yunus. Ia belajar dari pengalamannya selama beberapa tahun ketika berusaha memutus mata rantai kemiskinan. 

Ia mengajukan tesis tentang pentingnya menjaga jejaring sosial dan kultural. Memang, solusinya masih bersifat praktis, namun kita bisa mengembangkannya menjadi kebijakan yang bermakna. Ia memberikan satu inspirasi yang selanutnya mesti diformulasi menjadi kebijakan.            

Pria ini membuat saya berpikir bahwa bahwa negeri ini memiliki banyak sosok-sosok inspiratif yang tinggal di sekitar kita, dan memiliki kisah-kisah sukses yang layak untuk diadaptasi menjadi kebijakan. Pengetahuan yang dimiliki oleh pria seperti La Udi ini bisa menjadi cahaya yang menerangi gelapnya pemikiran banyak orang yang terjebak pada kemiskinan. 

Boleh jadi, dengan cara menyerap pengetahuan dan solusi praktis La Udi, maka di masa depan, senyum para nelayan Buton akan tetap merona seiring dengan kesejahteraan yang semakin meningkat. 

Semoga.



Catatan atas Shocking Korea dan Japan



SAYA membaca buku yang disusun sahabat Junanto Herdiawan berjudul Shocking Korea dan Shocking Japan. Buku-buku itu sangat menarik sebab bertutur tentang pengalaman melihat hal-hal yang unik di Korea dan Jepang. Kemasannya yang ringan membuat pembacanya tak butuh waktu lama untuk menghabiskan buku itu. Cukup duduk sore dan ditemani secangkir teh, buku itu akan tuntas dibaca.

Saya menggemari cerita jalan-jalan seperti ini. Ada banyak buku yang ditulis tentang perjalanan, namun banyak di antaranya tak menarik buat saya. Mengapa? Sebab penulisnya berposisi sebagai turis atau backpacker sehingga laporan yang dibuat adalah reportase tentang tempat-tempat wisata yang menarik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. That’s it!

Buku karya Junanto ini berbeda. Ia menuliskan interaksi, pengalaman, serta kesan yang dilihatnya. Dengan bahasa yang sederhana, Junanto bisa menghadirkan berbagai tradisi unik serta hal-hal yang menarik di dua negara itu. Usai membacanya, saya tiba-tiba saja berangan-angan untuk mengunjungi tempat-tempat yang pernah diceritakan oleh Junanto. Ia juga menyoroti hal-hal unik dan sering luput dari catatan para pejalan. Ia mencatat tradisi serta masalah yang mendera sebuah bangsa, semisal bunuh diri, trauma peperangan, ataupun geliat ekonomi.

Sayangnya, Junanto tidak banyak menghadirkan refleksi atas apa yang disaksikannya. Kalauun ada refleksi, biasanya hanya bagian kecil dari reportase tentang tempat atau tradisi yang menarik. Saya menilai bahwa refleksi mestinya menjadi bagian penting dari sebuah catatan perjalanan. Refleksi di sini bisa berupa renungan, catatan, kesan, serta perbandingan dengan kenyataan yang sebelumnya disaksikan di tanah air.

Melalui refleksi, seorang penulis catatan perjalanan tak sekadar seorang pejalan yang bercerita tentang tempat, namun juga mencatat kepingan-kepingan makna demi untuk mengayakan nuansa kemanusiaan pada dirinya. Perjalanan lalu menjelma menjadi sebuah ritus pendewasaan dan penemuan diri, sehingga ketika kembali ke tanah air, mata seseorang akan menjadi lebih terang dalam melihat apa yang terjadi, sehingga terbetik sebuah hasrat untuk berbuat sesuatu, meskipun sesuatu yang sederhana.(*)


Berbalas Pesan dengan Penerjemah



DI dunia maya, tak ada sesuatu yang disebut jarak. Sebuah tulisan tentang seseorang bisa menjangkau seseorang tersebut. Hari ini, saya menerima email dari penerjemah buku yang ditulis oleh professor Jepang, Hisanori Kato. Ia memberikan apresiasi atas tulisan yang saya buat tentang buku tersebut. Ia menulis email seperti ini:

Dear Bapak Yusran Darmawan

Perkenalkan, saya Ucu Fadhilah, penerjemah buku "Kangen Indonesia" yang ditulis
Prof Dr. Hisanori Kato.
Saya terkesan dengan komentar yang Bapak tulis. begitu panjang, detailed, dan mengena sekali. Saya rasa Bapak memaknai pesan penulis secara mendalam. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih atas tulisan Bapak tersebut. Besar harapan saya akan banyak orang Indonesia yang dapat membaca buku ini dan bisa melakukan otokritik supaya kita sebagai bangsa Indonesia menyadari bahwa begitu banyak
"mutiara" kehidupan - seperti yang Bapak sebutkan - yang bisa kita pelajari dan kita jadikan bekal dalam menjalani kehidupan baik di negeri sendiri maupun di negara lain.

Buku berikutnya Insya Allah akan segera terbit. Saya harap Bapak pun dapat memberi komentar lagi.
Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih.

Regards
Ucu Fadhilah

Dunia kita memang kian sempit. Jika awalnya blog hanya menjadi tempat bermain dan menuliskan kesan atas sesuatu, hari ini blog bertransformasi menjadi ruang untuk menyapa banyak orang terkait. Tidak lagi menjadi tempat menuliskan curhat, namun menjadi tempat untuk berdiskusi secara interaktif dan bertukar komentar dengan banyak orang.

Saya sudah menuliskan kesan saya atas buku orang lain, dan kemudian dikomentari. Pertanyaannya, kapankah gerangan saya bisa membalas komentar orang lain atas buku yang saya buat

Mudah-mudahan saya bisa melakukannya dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Amin.


BACA JUGA:




Parende Terenak di Pasar Wameo


ikan parende

BAGI pencinta hobi kuliner atau makan-makan, tentunya sangat mengenal resep masakan ikan yang paling digemari di Baubau yakni ikan parende. Hampir semua warga di Pulau Buton, Muna, hingga Wakatobi menggemari masakan ikan ini. Buat yang belum paham tentang parende, saya menginformasikan bahwa parende adalah jenis tumisan ikan yang berkuah.

Masakan ini amat populer. Sahabat saya Sukri Grafis, menyebut bahwa parende adalah salah satu ikon masyarakat Buton. Benarkah? Mungkin saja. Meskipun saya sendiri pernah mencicipi jenis masakan yang mirip di Makassar. Di antara berbaga jenis masakan ikan, parende disebut sebagai yang terenak, khususnya parende ikan tertentu. Seorang teman pernah menjelaskan bahwa parende ikan merah adalah menu favorit bagi keluarga sultan pada masa silam.

Di Kota Baubau, saya cukup rajin mencoba berbagai masakan ikan parende di beberapa rumah makan. Masing-masing memiliki kelebihan dan keunikan. Saat mencoba masakan ikan parende di dekat Bank BNI Baubau, persisnya di belakang warung coto La Guntu, saya menggemarinya. Istri saya juga amat menggemarinya sampai-sampai ia menghirup sisa air parende yang tersisa di mangkuk ikan.

Kemarin, beberapa teman merekomendasikan menu ikan parende di dekat Pasar Wameo. Katanya, ikan parende terenak ada di warung Mama Jana. Saya pun langsung penasaran dan segera ke Pasar Wameo. Tak jauh dari pasar ikan, saya melihat warung Mama Jana di dekat pesisir laut.

Warung ini terbilang warung sederhana. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang diiris tipis. Orang Buton menyebutnya jalaja. Orang Bugis menyebut dinding bambu ini sebagai gamacca. Meskipun warung ini sederhana, saya melihat antrian mobil di depannya. Ternyata, warung ini cukup populer.

Saat di dalam warung, saya melihat banyak perempuan-perempuan muda dan manis sedang mencicipi parende. Saya juga melihat dua nelayan dengan pakaian sederhana di sudut sedang memakan ikan dalam keadaan berkeringat. Setelah melihat sekeliling, saya pun mengambil tempat.

Di meja kasir, saya melihat perempuan separuh baya sedang duduk dan menerima pesanan. Saya agak sok tahu saat menyapa, “Mama Jana, saya pesan parende.” Peremuan itu lalu mengiyakan. Ketika pengunjung lain juga memanggilnya Mama Jana, artinya tebakan saya tepat juga.

Sebelum pesanan itu datang, saya melihat ke dinding dekat kasir. Di situ ada foto Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Hukum dan HAM, yang diapit dua perempuan. Satu di antaranya adalah Mama Jana. Ternyata sosok terkenal negeri ini pun pernah datang makan di tempat itu.

Ketika pesanan saya datang, saya mencicipinya. Maknyuss! Ternyata rasanya sangat nikmat. Saya memberinya point sembilan dari skala sepuluh point. Saat itu saya paham mengapa orang-orang menggemari makan di tempat itu. Faktor rasa menjadi magnet utama yang membuat orang-orang selalu datang.

Selama duduk, saya menemukan beberapa hal yang menjadi kekuatan warung ini. Pertama, suasananya yang akrab serta dialog-dialog antara Mama Jana dan pengunjung. Ia tak canggung-canggung ketika menyapa orang-orang dalam bahasa Wolio. Beberapa kali, ia memanggil nelayan yang memarkir koli-koli[1] dengan teriakan “Maimo takandeaka” (mari makan). Sikapnya yang ramah mengingatkan saya pada pemilik sebuah restoran mediterannia di Ohio yang mengelilingi semua meja demi bertanya pada pelanggannya, apakah makanannya enak ataukah tidak.


Kedua, ikan yang disajikan adalah ikan yang sangat segar. Hal ini sangat wajar karena letak warung itu adalah di tepi laut, hanya beberapa meter dari pasar ikan. Ini memudahkan Mama Jana memilih sendiri jenis ikan yang hendak disajikan di warungnya. Menurut seorang pengunjung, ia hanya memilih jenis ikan yang paling segar dan paling bagus. Lagi-lagi, ia mengingatkan saya pada film dokumenter Sushi tentang seorang pemilik warung makan di Jepang yang memilih sendiri semua menu yang disajikan di kedai makannya.

Ketiga, letak warung itu yang dekat laut. Saat makan di warung itu, angin sepoi-sepoi terasa di wajah yang kemudian memberikan suasana sejuk. Saya menggemari posisi duduk yang tak jauh dari pohon kelapa. Makanya, ketika makan ikan ini, saya merasakan suasana hati yang sangat adem, menyenangkan, serta sesaat membuat saya lupa dengan semua masalah.

Nah, terkait ‘lupa masalah’ ini, saya selalu teringat La Satar, sahabat ketika belajar di SMP 3 Baubau. Ketika menikmati sebuah makanan enak, biasanya ia akan berteriak, “Enaknya juga dan.. Sampai-sampai saya lupa sama semua utangku.”

Nah, pernahkah anda memakan sesuatu yang sangat enak sampai-sampai melupakan semua utang? Hmm.... Saya pernah. Saya lupa semua utang saat makan ikan parende di Mama Jana.


Baubau, 18 Agustus 2013

BACA JUGA:





[1] Koli-koli adalah sejenis perahu kecil atau kano yang dipakai nelayan Buton.

Naskah Berusia Lima Tahun


LIMA tahun silam, saya menulis sebuah tesis sebagai syarat kelulusan di Universitas Indonesia (UI). Pada masa itu, saya belajar banyak, membaca banyak, dan menulis banyak demi sebanyak 300 halaman lebih. Setelah lima tahun, tiba-tiba saya terpikir untuk menerbitkannya. Mulailah saya mengingat dan mengemas kembali data yang sebelumnya pernah ditulis dan dipresentasikan.

Mengapa harus menunggu lima tahun? Saya bingung menjawabnya. Alasan paling masuk akal adalah saya sering merasa tidak percaya diri pada apa yang saya hasilkan. Saya merasa bahwa tulisan itu mesti disempurnakan. Namun, selama lima tahun, saya tidak terpikir untuk menyempurnakannya. Saya juga tidak memperkayanya dengan berbagai studi-studi terkait topik tersebut. Bahkan ketika saya tinggal di negeri yang berlimpah dengan pustaka, saya juga tidak memperdalam pengetahuan.

Tadinya saya pikir naskah itu masih amat mentah dan tidak cukup bagus untuk terbit. Ketika saya iseng mengirimkannya ke satu penerbit besar, hanya dalam waktu sejam, penerbit itu langsung merespon. Mereka meminta agar sesegera mungkin naskah dikirimkan dan langsung diterbitkan. Mereka menargetkan tulisan itu bisa terbit dalam sebulan. Mereka juga siap menghubungi sejarawan kondang agar menulis kata pengantar. Maka paniklah saya sebab harus segera melengkapinya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Padahal, ketika membaca website-nya, penerbit itu mengatakan bahwa mereka membutuhkan waktu dua bulan untuk menyeleksi naskah dan memberitahukan apakah layak terbit ataukah tidak. Apakah naskah saya bagus? Entah.

Saya tergoda untuk segera menerbitkannya. Namun saya teringat bahwa riset saya mengenai isu yang sangat sensitif dan kontroversial pada satu masyarakat. Kalau saya tergesa-gesa, maka publikasi itu bisa berpotensi akan menjebak saya di masa mendatang. Akan jauh lebih baik jika saya tetap tenang dan menuliskan ulang. Sebab rentang waktu lima tahun sejak dituliskan, ada banyak perkembangan di ranah pustaka yang seharusnya di-cover.


Mungkin, yang terbaik adalah saya harus bersabar dan tak tergesa-gesa. Saya mesti membaca ulang smeua data dan jika ada kesempatan, sebisa mungkin harus mengkonfirmasi beberapa pihak agar semua data dan fakta bisa dipertanggungjawabkan. Ini yang terbaik agar saya tidak terjebak dalam masalah di kemudian hari.

Yup. Saya mesti bersabar.