Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Perlukah Ikut Memaki HMI?


demonstrasi yang dilakukan anggota HMI untuk menolak kenaikan BBM

LABEL tersangka yang disematkan kepada Anas Urbaningrum membuat semua orang dan semua media ikut-ikut menyebut nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Segala yang menyangkut Anas akan dikaitkan dengan nama organisasi ini. Di berbagai jejaring sosial, banyak orang yang memaki-maki nama HMI. Apakah Anas memang identik dengan HMI? Mengapa orang-orang harus ikut-ikut memaki HMI? Apakah ada yang salah dengan organisasi ini?

Memang, Anas adalah mantan Ketua PB HMI. Tapi tak benar jika Anas menjadi representasi dari HMI itu sendiri. Di pihak yang memberi label tersangka, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat pula alumni HMI. Dari lima pimpinan KPK, tiga di antaranya adalah alumni HMI, yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Busyro Muqoddas.

Lantas, mengapa dalam kasus Anas, label HMI identik dengan dirinya? Mengapa orang-orang tak mengapresiasi HMI karena tiga sosok penting KPK yang merupakan alumni HMI?

Baiklah. Kali ini, kita akan berdiskusi tentang HMI. Meskipun karier saya di HMI tak sebenderang Anas, namun saya merasakan betul bagaimana organisasi ini membentuk masa kemahasiswaan saya. Tanpa ber-HMI, mungkin saya bakal nyasar sebagai mahasiswa baik-baik yang setiap pagi ke kampus untuk kuliah, steelah itu kembali ke rumah demi mengerjakan tugas yang diberikan dosen.

Saya mencatat beberapa salah kaprah menyangkut penyebutan HMI di media massa, serta dari komentar para sahabat yang mengutuk HMI di media sosial.

Pertama, sebagaimana tadi disebutkan, HMI seolah identik dengan Anas. Padahal, ada banyak warna serta pilihan politik alumni HMI. Harus diakui, HMI ibarat pabrik yang paling banyak menghasilkan politisi di Indonesia. Mereka tersebar di semua partai politik dan menempati banyak jabatan strategis. Tak semua memilih Partai Demokrat sebagaimana Anas. Ada pula yang memilih Partai Golkar sebagaimana Jusuf Kalla, mantan wakil presiden. Yang pasti, mereka menempati posisi strategis.

Kedua, tak semua alumni HMI memilih jalur politik. Banyak di antaranya yang justru memilih jalur intelektual. Kita sama tahu nama-nama besar seperti Nurcholish Madjid Dawam Rahardjo, Kuntowidjojo, ataupun Djohan Effendi. Di zamannya, mereka adalah intelektual terkemuka yang telah menorehkan tintas emas di negeri ini. Mereka yang lebih muda dan kini jadi intelektual negeri ini adalah Anies Baswedan, Yudi Latief, ataupun Airlangga Pribadi.

Banyak pula yang memilih jalur birokrat, penguasa, ataupun menjadi warga biasa. Sebagai sebuah organisasi Muslim terbesar di tanah air, anggotanya tersebar di seluruh Indonesia, dan banyak di antaranya yang kemudian sukses menjadi sosok penting di institusinya. Koordinasi di antara mereka juga terjalin rapi. Ini yang membedakannya dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.

Ketiga, tak benar bahwa HMI hanya menjadi organisasi yang menopang kekuasaan. Banyak aktivis HMI yag memilih untuk setia dengan gerakan sosial, membangkitkan kesadaran kritis, serta bersama massa rakyat. Salah satu sosok yang bisa disebut di sini adalah Munir (alm). Mantan Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya ini adalah pejuang keadilan yang menjadi monumen bagi semua aktivis. Ia ditahbiskan sebagai sosok panutan, idola, serta menjadi contoh bagaimana dedikasi seorang intelektual untuk membela ketertindasan.

orasi yang dilakukan mantan Ketua HMI Cabang Makassar Timur

Keempat, meskipun di HMI ada hierarki, namun tak benar jika mengatakan bahwa semakin tinggi level jabatan di organisasi, maka akan semakin bersinar seseorang. Saya bersepakat dengan pernyataan Airlangga Pribadi, alumnus HMI yang kini jadi intelektual di Surabaya, bahwa basis reproduksi intelektual HMI adalah di komisariat-komisariat atau di fakultas. Banyak yang setia membangun kapasitasnya di level bawah, dan tidak tertarik untuk meneruskan karier di level cabang atau level pengurus besar.

Saya setuju dengan pernyataan ini. Jika ingin menemukan politisi HMI, carilah di level atas. Biasanya, mereka yang ke level atas adalah meeka yang gagal membangun karakter berpikir yang kuat sehingga membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan para politisi yang ingin mencengkeram HMI.

Namun jika ingin menemukan intelektual HMI, carilah di level terbawah. Di sana, ada banyak sosok yang secara diam-diam mengasah intelektualnya, belajar untuk menguasai dan memahami segala hal dalam dunia Islam, lalu mengembangkan nalarnya. Mungkin, sosok mereka nampak sekuler, atheis, atau mungkin berpikir ‘nakal’, namun sejatinya, mereka sedang berusaha untuk menemukan posisinya di tengah rimba-raya pemikiran manusia yang amat luas, sekaligus memahat nama Islam sebagai semesta berpikir yang mencerahkan.

Yang pasti, sosok-sosok seperti mereka amat penting untuk tetap menjaga nyala api gerakan mahasiswa. Tanpa anak muda yang kritis, berani, serta siap melawan arus, maka kita tak akan pernah mendengar kisah-kisah tentang perubahan negeri ini. Selagi HMI masih melahirkan anak-anak muda demikian, maka kita semua bisa berharap banyak tentang negeri ini di masa mendatang.

Terakhir, saya hendak mengatakan bahwa Anas memang alumni HMI, tapi dia bukanlah satu-satunya. Ada demikian banyak kader lain yang sedang mengasah dirinya secara diam-diam, yang tidak sedang disoroti media, dan boleh jadi kelak akan menjadi salah satu pemimpin bangsa ini. Ada banyak kader lain yang tidak sedang tersandung kasus korupsi dan tengah meniti jalan bagi negeri untuk berubah.

Mereka yang memaki Anas lalu memaki HMI adalah mereka yang berpikir keliru. Mereka sama halnya dengan sejumlah mahasiswa Amerika yang sedang belajar tentang korupsi Soeharto lalu tiba-tiba menganggap semua orang Indonesia koruptor. Atau mereka yang sedang belajar tentang konflik etnis di Indonesia, lalu menuduh semua orang Indonesia suka bunuh-bunuhan. Mereka yang memaki Anas lalu memaki HMI adalah mereka yang berpikir sebagaimana sebagian warga Amerika yang menganggap bahwa semua orang Islam punya prilaku suka membom hanya karena punya trauma dengan sosok Osama bin Laden.

Munir, alumni HMI yang mendedikasikan dirinya di jalur aktivisme sosial

Padahal, Anas hanyalah satu noktah kecil di HMI yang sedang terkena tuduhan korupsi. Ia hanya satu dari jutaan alumni lainnya yang sedang bekerja untuk bangsa ini dengan cara-cara yang lurus dan benar. Jika kelak si Anas itu terbukti melakukan korupsi, maka biarlah sejarah yang mencatat namanya sebagai salah seorang yang gagal meniti di jalan lurus, jalan yang berseberangan dengan jalan Munir, alumni HMI yang telah mengorbankan nyawanya untuk sesuatu yang lurus.(*)



Athens, Ohio, 27 Februari 2013

Menantang Badai di Pulau Buton

 
Pengetahuan Lokal dalam Menghadapi Perubahan Iklim


INI tahun 1990. Pria itu menyeka peluh yang bercucuran di dahinya. La Kodi, lelaki tua yang tinggal di pesisir utara Desa Kulisusu, Pulau Buton, sedang duduk di dekat koli-koli, perahu kecil khas Buton yang serupa kano. Tiba-tiba saja, ia melihat awan hitam yang memenuhi tepian langit di ufuk sana. Wajahnya sesaat dilanda kekecewaan, namun kemudian cerah.

gambar nelayan di pesisir Buton Utara

Hari itu, ia kembali tak bisa melaut. Di musim barat, angin bertiup amat kencang. Hujan dan gelombang laut seakan tak henti-henti di perairan pesisir Pulau Buton.  Jika memaksakan melaut, maka bisa-bisa ia akan tinggal nama. Telah banyak rekan sesama nelayan yang hilang di lautan. Selama beberapa hari tak melaut, apakah ia diliputi keresahan untuk menghidupi keluarganya?

Nampaknya tidak. Sebagaimana halnya nelayan Buton lainnya, ia telah terbiasa menghadapi badai yang hingga berhari-hari. Baginya, alam memiliki tabiat sendiri yang seringkali tak bisa ditebaknya. Kalender kucika[1] atau penanggalan kuno tentang melaut yang diwariskan nenek moyang sudah mulai tak bisa memprediksi apa yang terjadi di lautan. Ia mesti siap sedia jika tiba-tiba saja badai bisa berhari-hari. Biasanya, ia akan menyesuaikan waktu tangkap ke areal-areal tertentu. Ia tak berharap akan menangkap ikan siba (sering disebut tuna atau cakalang). Setidaknya ia bisa mendapatkan beberapa jenis ikan-ikan kecil untuk dibawa pulang.

Biasanya, seusai menangkap ikan, ia akan datang ke sekitar pohon-pohon bakau yang pernah ditanamnya bersama beberapa nelayan lainnya. Di dekat bakau itu, mereka memasang sebuah bubu atau perangkap untuk menangkap kepiting bakau dan berbagai jenis udang windu. Bagi La Kodi, kepiting dan udang adalah dua komoditas yang harganya cukup mahal. Kepiting bakau banyak disukai oleh orang kota sehingga harganya cukup mahal. Seorang saudaranya yakni Wa Lini bekerja sebagai penangkap kepiting bakau. Lewat aktivitas itu, Wa Lini bisa menyekolahkan anaknya hingga ke Kota Makassar.

Di kampung kecil itu, semua orang selalu siap menghadapi situasi alam yang tak menentu. La Kodi tahu bahwa cuaca alam sering berubah. Alam juga sering kehabisan sumber daya ketika dikuras secara terus-menerus. Inilah sebab mengapa ia dan nelayan Buton lainnya sering mengadakan ritual tuturangina andala, yakni ritual memberi persembahan pada lautan di waktu tertentu. Dengan cara ini, lautan akan bermurah hati untuk memberikan hasilnya kepada nelayan.

La Kodi paham benar bahwa ia harus memenuhi nafkah istrinya Wa Ludu serta sepuluh orang anaknya. Ia tak pernah patah arang. Ia punya banyak cara untuk mengatasi alam yang berubah dan situasi ketika dirinya tak bisa melaut. Ia tak ingin kalah oleh alam. Ia ingin mengalir, memahami alam, lalu menyiapkan berbagai cara-cara untuk bertahan hidup.


ritual adat tuturangiana andala untuk memberikan persembahan kepada lautan (foto: fotokita.net)

Usai melihat cuaca di tepi laut, lelaki kurus yang lebih sering tak mengenakan baju itu, kembali ke rumah. Rumahnya adalah sejenis rumah panggung yang terbuat dari kayu. Di bagian sebelah belakang, istrinya, Wa Ludu, telah menyiapkan makanan berupa kasoami, makanan yang terbuat dari perasan ubi kayu, yang kemudian dipanaskan dengan uap air. Kasoami adalah jenis makanan khas yang tahan hingga beberapa hari. Sejak dulu, para nelayan Buton membawa kasoami sebagai bekal untuk melaut.

Di rumah kecil itu, La Kodi dan Wa Ludu menyimpan bahan makanan di dipan kecil di dapur. Ketika bahan itu habis, ia akan memanjat para-para, bagian loteng rumah, sebuah ruang kecil di bawah atap. Di situ, ia menyimpan banyak wikau (ubi kayu) yang digunakan sebagai bahan membuat kasoami. Ada juga jagung yang tahan disimpan hingga bertahun-tahun. Biasanya, jagung akan dimasak begitu saja yakni kambose, atau sering dicampur dengan kapur demi membuat kapusu. Sesekali, jagung itu dicampur dengan kacang merah yang juga bahannya banyak disimpan di bawah atap. Selain ubi kayu, jagung, dan kacang merah, di situ bisa pula ditemukan banyak kawole (ikan kering)

Bahan makanan itu disimpan selama bertahun-tahun dan sering digunakan ketika persediaan makanan di dapur telah habis. Bahkan, beberapa bahan makanan itu adalah warisan dari orangtua La Kodi yang dahulu mendiami rumah itu.

Di tengah badai laut serta ombak besar, La Kodi akan menemani istrinya Wa Ludu ke ladang kecil yang terletak sekitar sepuluh kilometer dari kampung mereka. Ladang itu terletak di wita memea (tanah merah), satu areal ladang tempat warga kampung itu bercocok-tanam. Tanah Pulau Buton bukanlah jenis tanah yang subur dan cocok ditanami. Inilah sebab mengapa mereka memilih menanam di pulau kecil yang kemudian dinamakan Tanah Merah. Tanahnya gembur sehingga cocok ditanami ubi kayu, jagung, serta jenis padi.

Ladang itu tak dilengkapi pengairan yang memadai. Ladang itu semata-mata hanya mengandalkan hujan yang turun pada bulan-bulan tertentu. Biasanya, ketika badai mengamuk di lautan sana, hujan akan turun selama beberapa hari. Ketika La Kodi tak bisa melaut, ia akan kembali ke ladang dan membantu istrinya memanen ubi kayu. Pada saat tertentu, ia juga memanen jambu mente, yang kemudian dikeringkan, lalu dijual melalui distributor jambu di Kota Baubau, yang jaraknya sekitar satu setengah hari berperahu.

***

INI tahun 2013. Kenangan-kenangan tentang kakek saya La Kodi di pesisir Pulau Buton sedang berseliweran. Dari tanah Athens. Ohio, Amerika Serikat, saya membaca beberapa riset tentang nelayan dan perubahan iklim di berbagai negara Afrika dan Amerika Latin. Dunia sedang mengkhawatirkan iklim global yang kini semakin sulit diprediksi. Di banyak negara, petani dan nelayan menjadi pihak yang menjerit karena berubahnya pola tangkap ikan bagi nelayan, serta pola menanam bagi para petani.

Di beberapa negara, perubahan iklim menjadi bencana bagi masyarakat. Pada tahun 2000 - 2004, sekitar 262 juta orang yang terkena bencana iklim (climate disaster). Dari jumlah tersebut, sebanyak 98 persen dari mereka adalah penduduk dunia ketiga. Yang juga mengkhawatirkan adalah adanya fakta tentang 334 juta orang yang sangat rentan terhadap badai tropis. Diperkirakan akan terdapat sekitar 60 – 90 juta hektar lahan akan terkena kekeringan di Afrika dan menyebabkan kerugian hingga sekitar 26 miliar dollar pada tahun 2060.[2]

Bagi nelayan, perubahan iklim adalah masalah yang harus dihadapi. Akibat tak bisa melaut, mereka kehilangan mata pencaharian sehingga kesulitan memenuhi kebutuhannya. Dengan teknologi penangkapan yang masih tradisional, para nelayan itu sedang menyabung nyawa di lautan. Mereka tak sedang bersiap menghadapi alam yang sedang berubah.

Beberapa lembaga internasional ikut membantu untuk menyebarluaskan dampak perubahan iklim bagi masyarakat. Salah satu di antaranya adalah Oxfam yang merupakan konfederasi internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Oxfam ikut berkontribusi pada upaya untuk menciptakan sebuah dunia yang berkeadilan, di mana semua orang bisa menciptakan surganya sendiri-sendiri yakni situasi ketika manusia mencapai taraf bahagia berdasarkan kriteria masing-masing.

Bersama lembaga lain dan akademisi, Oxfam menjadi bagian dari faktor eksternal yang kemudian membawa pengaruh bagi upaya masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim. Namun, aspek yang paling penting adalah kapasitas internal masyarakat, yakni pengetahuan lokal, pengelolaan sumber daya alam, teknologi yang dimiliki nelayan, serta modal sosial (social capital) yang mencakup solidaritas serta rasa percaya di kalangan anggota masyarakat.

Pada titik inilah saya mengenang kakek saya La Kodi. Ia tak pernah belajar di bangku akademis. Tapi ia telah mempraktikkan strategi-strategi untuk menghadapi perubahan iklim dan degradasi lingkungan dengan cara koping, adaptasi, dan mitigasi. Lewat koping, ia telah menyesuaikan waktu melaut, wilayah tangkap, penyesuaian ikan tangkapan, pulang kampung, serta diversifikasi kerja. Ketika badai menghantam, ia akan berladang, atau menjual kepiting dan udang.

Ia juga beradaptasi dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Ia tak ingin menggunakan bom, sebab cara itu akan merusak kelestarian lingkungan di kawasan tertentu. Ia paham benar bahwa sekali menggunakan bom, maka satu kawasan akan hancur lebur sehingga ikan tak lagi bersarang di situ.

Ia juga menjalankan strategi mitigasi yakni menanami bakau (mangrove) demi memaksimalkan budidaya kepiting dan udang. Melalui mitigasi yakni penanaman bakau itu, ia bisa memastikan bahwa kepiting dan udang tetap akan berumah di bakau-bakau itu sehingga kelak bisa dipanen pada saat tertentu. Mitigasi juga bisa dilihat pada upaya untuk menyiapkan lumbung atau persediaan bahan makanan demi mengantisipasi ketika perubahan iklim terjadi.

Pengetahuan La Kodi memang hanya terbatas pada pengetahuan lokal yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Namun, pengetahuan itu menjadi mercusuar yang menuntun dirinya untuk menemukan cara-cara bertahan dan menyiasati keadaan. Pengetahuan lokal itu menjelma sebagai kearifan lokal yang kemudian menjaga dirinya dan komunitasnya dari bencana kelaparan. Ia bisa memahami dinamika alam yang selalu berubah, lalu menyesuaikan dirinya dalam semesta tersebut.

Mungkin inilah penjelas mengapa di belahan bumi lainnya, banyak nelayan yang kelaparan karena tak bisa melaut, para nelayan kecil di Pulau Buton justru bisa bertahan menghadapi badai sehebat apapun. Nelayan kecil seperti La Kodi adalah sosok yang berani menantang badai di lautan. Ia tidak menantang badai dengan tetap melaut. Ia mencari strategi untuk memaksimalkan sumber daya alam yang ada. Ia memilih untuk bersahabat dengan badai, dan menemukan cara lain untuk mencukupi kebutuhannya.

Kita, manusia modern, sering luput dalam melihat kapasitas masyarakat yang luar biasa dalam menghadapi berbagai situasi sulit, termasuk perubahan iklim. Melalui kearifan lokal itu, para nelayan membangun daya tahan, memperkuat jejaring pengetahuan, serta mempererat solidaritas bersama. Para nelayan itu mengajarkan bahwa alam harus dipahami sebagaimana adanya. Para nelayan itu mengajarkan bahwa tugas manusia bukan untuk mengalahkan alam, melainkan mengalir bersamanya.(*)



Athens, 24 februari 2013

Tulisan ini diikutkan pada lomba menulis blog
tentang ’Masyarakat dan Perubahan Iklim’
 yang diadakan oleh Oxfam


[1] Kucika adalah sejenis primbon bagi masyarakat Buton yang berisi penanggalan atau prediksi tentang kapan melaut, kapan menanam padi, serta pedoman tentang hari baik dan hari naas.
[2] Human Development Index (2007)

Saat Peresmian Kolam Renang


saat Ara di kolam renang

SEBUAH kolam renang kecil telah dibuka di dekat apartemen yang saya tinggali. Di tengah hawa dingin, orang-orang datang demi meramaikan peresmian kolam. Tak ada sambutan-sambutan atau pengguntingan pita. Yang ada hanyalah musik berdentam, gelas-gelas berisi bir, serta barbecue.

Saya pun ikut datang. Di pintu masuk, saya diminta memperlihatkan State ID demi memastikan bahwa saya berusia 21 tahun ke atas. Setelah itu diberikan gelang kertas sebagai tanda bahwa saya berada dalam usia tepat untuk meminum bir. Tak hanya itu, diminta pula untuk menandatangani pernyataan yang berisi penegasan bahwa saya tahu kalau air kolam itu sangat dingin. Maklumlah, ini musim dingin.

Di tempat ini, semuanya mesti safety. Semuanya mesti aman agar tak ada masalah. Semuanya mesti terjaga sehingga kelak risiko bisa diminimalisir. Di kolam kecil itu, saya juga melihat life guard, seseorang yang bertugas untuk menyelamatkan jika ada yang tenggelam. Hmm. Kolam itu cuma semeter lebih. Tetap saja ada penyelamat untuk mengamankan keadaan.

Saya hanya menyaksikan. Meskipun pihak apartemen menyediakan tiang yang bisa memancarkan panas di dekat kolam, saya tak ingin mencoba air yang dingin itu. Saya hanya tertarik untuk mengambil beberapa gambar. Itu saja.(*)










Klaim Andrea, Klaim Pramoedya



DI tengah konflik dan silang pendapat mengenai klaim penulis Andrea Hirata yang menyebut karyanya “Laskar Pelangi” sebagai karya sastra anak bangsa yang paling mendunia dalam kurun 100 tahun, saya mencatat satu hal paling menarik dan membahagiakan. Saya melihat bahwa semua orang tiba-tiba saja menyebut satu nama besar yakni Pramoedya Ananta Toer.

Bagi saya, Pramoedya adalah puncak tertinggi yang harus dikalahkan demi mengklaim diri sebagai pencapaian tertinggi dalam sastra Indonesia. Pramoedya, pria kurus dan perokok itu, adalah sosok yang menunjukkan bahwa sastra memiliki kekuatan hebat untuk mengurai sejarah, memberi jiwa dan nyawa bagi kisah tentang sebuah bangsa yang tengah berproses, serta menjadi kata-kata memiliki daya gedor terhadap cara berpikir kolonialis.

Yang sering bikin saya merinding adalah karya-karya terbaik Pramoedya justru lahir dari penjara. Di tengah penjara yang terletak di Pulau Buru, ia paham kalau karyanya memiliki risiko untuk tidak sampai ke publik. Karyanya bisa dimusnahkan begitu saja oleh tangan-tangan kekar kekuasaan. Tapi ia tetap tak ingin mematahkan penanya. Mungkin ia paham bahwa kata-kata yang ditulis dengan penuh kejernihan serta refleksi yang kuat tak akan pernah menjadi sampah. Kata-kata itu akan menjadi api yang kemudian membakar kesadaran.

Pramoedya meninggalkan jejak yang amat dalam. Karyanya kemudian mulai mendunia. Karyanya menjadi rujukan bagi setiap kelas sejarah di seluruh dunia yang sedang membahas tentang Asia Tenggara. Kata-katanya yang khas dan penuh tenaga itu menjadi motivasi yang menggerakkan kesadaran banyak orang. Namun, apakah ia pernah berbangga dengan karyanya? Apakah ia pernah menghitung seberapa best-seller-kah karya-kayanya?

Pramoedya adalah penulis yang tak pernah menghitung seberapa jauh karyanya menyebar. Jelas sekali kalau ia menulis bukan untuk memperkaya diri. Di penjara yang pengap itu, ia menulis sebagai catatan bagi seluruh anak negeri yang kemudian menjadi persembahan berharga agar semua anak negeri paham tentang bangsanya sendiri.

***

BEBERAPA tahun setelah Pramoedya berpulang, Indonesia kedatangan penulis baru. Ia adalah Andrea Hirata. Karyanya “Laskar Pelangi” langsung fenomenal. Karya itu telah diterjemahkan ke banyak bahasa, lalu dibuatkan film yang kemudian laris-manis. Konon, menurut klain pengarangnya, karya itu adalah karya Indonesia pertama dalam kurun 100 tahun yang kemudian mendunia.

Seorang blogger bernama Damar lalu meradang. Ia memprotes dengan menyebut penulis lain seperti Pramoedya, Romo YB Mangunwijaya, dan NH Dini. Menurutnya, para pengarang ini telah menorehkan sesuatu yang lebih dahulu mendunia. Pramoedya pernah menjadi kandidat kuat pemenang nobel sastra. NH Dini pernah pula difavoritkan meraih nominasi nobel. Sedang Mangunwijaya adalah penulis yang juga karyanya tersebar di seluruh penjuru dunia.

Tahu apa jawaban Andrea atas kritik itu? Ia berkata, “Indonesia butuh kritik sastra yang kompeten.” Ia tak menjelaskan apa maksud kata kompeten yang dipilihnya. Yang pasti, ia kemudian mengajukan gugatan ke meja hijau. Ia siap berperkara di pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sebuah kritik yang konstruktif dijawabnya dengan tantangan untuk berperkara. Mengapa tak menyelesaikan perdebatan itu dengan tulisan?

Zaman memang berbeda. Kita tak lagi menyaksikan betapa serunya debat sastra sebagaimana pernah dialami Ahmad Tohari dan F Rahardi di majalah Horison. Atau debat antara Pramoedya Ananta Toer versus Hamka terkait novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Atau debat sastra kontekstual yang disulut Arif Budiman dan direkam dengan sangat baik oleh Ariel Heryanto. Di zaman itu, para sastrawan adalah para ksatria yang memegang kekang atas kata sehingga berlari kencang dan bertubrukan.


Di zaman kini, si penulis Andrea itu malah hendak melaporkan pengkritiknya ke pengadilan. Padahal, sang pengkritik itu hendak menunjukkan bahwa klaim selama 100 tahun tak ada sastrawan Indonesia yang ke level dunia adalah omong kosong belaka. Buktinya, kita bisa berdiri tegak di ranah sastra dunia berkat tapak jejak Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lainnya yang menghadirkan sebersit rasa bangga di hati kita.

Sastrawan –benarkah ia sastrawan?- zaman kini adalah mereka yang tak pernah serius membiakkan kata. Predikat best-seller seolah predikat sakti yang ingin dikejar. Si pengarang itu hanya berpikir mendunia dan keberatan dengan pihak yang meragukan klaimnya. Ia tak setia dengan perdebatan kata. Mereka tak mau memasuki arena atau gelanggang untuk saling berargumentasi. Dengan memilih jalur hukum, ia seolah mengabaikan debat pengetahuan, yang selalu diwarnai oleh silat kata.

Kita tengah dipertontokan sebuah opera yang tak mendidik. Sebagai publik, kita sama berharap ada satu diskusi serta asah pengetahuan yang nantinya akan memperkaya gelora dan samudera kata-kata. Sebagai public, kita tak dicerdaskan dengan dialog-dialog yang membebaskan. Kita sedang menyaksikan satu kepongahan dari seseorang yang mengaku dirinya adalah penulis. Lewat kepongahan itu, kita akhirnya bisa terus belajar.

Tadinya, saya belum menjadi penggemar berat Pramoedya. Setahun silam, saya mengambil kelas sejarah Asia Tenggara yang diasuh Prof William Frederick. Ia merekomendasikan mahasiswanya untuk membaca beberapa karya sastra. Saat membahas sejarah Indonesia, salah satu begawan sejarah Asia Tenggara itu lalu merekomendasikan bacaan Pramoedya Ananta Toer. Menapa? “Sebab Pram bekerja dengan data serta riset yang kuat. Ia tak sekadar menulis sastra. Ia menulis sejarah. Ia membangkitkan kesadaran tentang bangsa. Amat beda dengan pengarang sekarang yang hanya memikirkan best-seller serta duit dari hasil penjualan novel,” kata William Frederick.

Pernahkah Pramoedya mengklaim karyanya mendunia? Tak pernah. Ia rendah hati sebagaimana tokoh Minke dalam novelnya. Suatu hari, ia ditemui sutradara kenamaan Amerika yang hendak memfilmkan novelnya Bumi Manusia (This Earth of Human Kind). Ia langsung menolak. Tahu apa alasannya? “Saya hanya bersedia jika karya saya difilmkan oleh anak bangsa. Maaf!”



Athens, 22 Februari 2013

Catatan:

Mudah-mudahan tulisan ini tidak ikut diperkarakan



Seribu Kasih di Hari Valentine

warga usia lanjut yang merayakan Valentine di Athens


SEMINGGU silam, orang-orang merayakan hari Valentine. Saya tak punya kenangan manis terhadap hari ini. Makanya, saya tak mematrinya dalam kenangan. Akan tetapi, suasana berbagai pusat perbelanjaan di Athens terasa berbeda. Warna pink—saya lebih suka menyebutnya merah jambu—memenuhi pemandangan. Di berbagai toko, hadiah-hadiah dijajakan. Kartu-kartu laris terjual. Mengapa harus ada hari valentine?

Kita manusia modern seringkali ingin menandai sesuatu. Kita selalu membutuhkan sebuah momentum untuk merayakan hari. Kita sering terperangkap dalam satu logika berpikir bahwa sebuah pernyataan membutuhkan saat-saat untuk diungkapkan. Kita menganggap bahwa pernyataan butuh momen khusus. Valentine menjadi satu arena untuk mengukuhkan konsepsi kita tentang pernyataan kasih sayang. Padahal, pernyataan itu bisa dibuat kapan saja dan di manapun. Kita tak harus menunggu Valentine untuk menyatakan cinta.

Mungkin, saya termasuk orang yang skeptis dengan Valentine. Tapi tidak dengan banyak orang di Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS). Momen Valentine adalah satu momen yang mendongkrak penjualan banyak produk. Di beberapa rumah, saya melihat rangkaian bunga berwarna merah jambu tergantung di pintu. Saat natal beberapa bulan lalu, karangan bunga itu berwarna hijau serta pita merah. Kemudian, orang-orang saling bertukar kartu yang bertuliskan pesan kasih sayang dan kado yang berisikan hadiah. Bahkan anak kecil pun saling bertukar cenderamata.

salah satu iklan untuk Valentine

Di tanah air, Valentine hanyalah milik para ABG yang tengah dihangati api cinta. Para remaja ini lalu merayakannya dnegan ke mal, nonton film bareng pacar, serta hadiah berupa mawar merah. Namun di sini, di kota kecil Athens, Valentine adalah milik segala usia. Orang-orang merayakan kasih sayang dalam makna universal yakni kasih sayang yang melintasi segala batasan usia, kasih sayang yang mekar di tengah hamparan salju dan abadi dan semerbak merona hingga waktu-waktu mendatang.

Hari ini saya baru saja melihat liputan koran lokal tentang dua orang tua yang merayakan Valentine ala anak muda. Secara fisik, mereka sudah tua. Rambut sudah penuh uban. Kulit sudah keriput. Cinta mereka tetap membara dan tetap menghangatkan hati. Di hari Valentine, mereka merayakannya dengan makan malam romantis di satu kereta bersejarah, lalu berpelukan dan berciuman. Semua yang hadir turut bahagia dan bertepuk tangan. Hari itu, seribu kasih seolah dilepas untuk membumbung tinggi ke udara. Ketika melihat foto itu, sayup-sayup saya seolah mendengar suara bening Lionel Richi sedang bersenandung:

Your eyes, your eyes
They tell me how much you care
Ooh yes, you will always be
My endless love

Athens, 19 Februari 2013

Saat Ara Jatuh Sakit



PADA awalnya, diriku yang sakit demam. Tapi aku menganggapnya angin lalu. Namun ketika anakku Ara yang sakit, dunia ini tiba-tiba berubah. Berbagai rasa bercampur aduk di kepalaku. Mulai dari panic, bingung, gelisah, serta sedih melihat tubuh kecil itu harus demam dan sering menangis. Akan tetapi, ini menjadi momen emas bagiku untuk belajar menjadi seorang ayah.

Kemarin, Ara terserang demam. Suhu tubuhnya terus meninggi. Ia seolah kehilangan keceriaan. Biasanya, hari-harinya adalah tertawa dan bermain. Kemarin, ia lebih banyak diam. Ia juga jadi mudah sensitive. Ia mudah menangis. Bahkan ketika ibunya hendak ke toilet, ia akan menangis tersedu-sedu, hinggaakhirnya aku menggendong dan berusaha menenangkannya.

Benar kata banyak orang, ketika dirimu punya anak, maka kamu tidak akan memikirkan dirimu lagi. Kamu akan jauh lebih peduli pada dirinya. Aku tak peduli dengan kondisiku yang juga tengah drop. Aku tak peduli dengan diriku yang melemah. Aku hanya memikirkan Ara. Aku lebih sedih ketika melihatnya kehilangan keceriaan, sesuatu yang selama dua bulan ini ikut mewarnai hari-hariku.

Di tengah situasi ini, aku teringat kalimat bahwa sebuah keluarga ibarat sebuah tubuh. Ketika satu sakit, maka bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit. Kalimat ini amat benar. Aku telah merasakannya.


NB

-       Ini tulisan lama yang belum sempat diposting.
-       Sayang sekali kalau tulisan ini hanya mengendap di laptop.

Article Review: Why Democracies Excel (2004)



Authors: Josepf T. Siegle, Michael M. Weinstein, and Morton H. Halperin

This article is very important because it contributes to the discussion about the relationship between democracy and development. The article’s main thesis is simply stated: "democracy first, development later." The authors argue that democracies consistently outperform non-democracies on most indicators of economic and social well-being, so that promoting democracy should be prior to expanding economic development in developing nations.

illustration from progresso-weekly.com

There are two important points in this article. First is the debate about the relationship between democracy and development, discussion of authoritarianism and state theory, and economic development. Second is foreign policy and the role of the United States as the donor that provides assistance to developing countries. In this review, I will only focus on the first aspect. There are several things that can be discussed about this article.

First, this article presents a couple of competing theories that try to explain the relationship between democracy and development. Among the theories is the theory of modernization as proposed by Seymour Martin Lipset who argues that economic growth leads to democracy, so that "development first, democracy later" (Lipset, 1959)[1]. According to Lipset, economic development would have implications on the social processes such as urbanization that increase the level of education in the community, as well as generate the values ​​and norms of social and political life that are conducive to democracy.

However, Samuel Huntington proposes an alternative explanation of the development of democracy from the perspective of “process” arguing that the outcome of economic development would lead to political decay; then the political system once instable would move toward democracy through and later institutionalization (Huntington, 1968). [2]

In contrast to modernization theory, Bruce Bueno de Mesquita and George Downs studied that in the case of China, and found the result of economic development would not lead to democracy because authoritarian regimes and autocracies around the world show people that they can enjoy the benefits of economic development on the one hand and avoid political liberalization on the other (Mesquita & Downs, 2005). Their findings are counter to the argument of modernizationists that democracy is the necessary result of economic development.

Secondly, compared to other theories, the authors of this article provide empirical evidence about the relationship between democracy and development. Basically, the “democracy first, development later” thesis strongly rejects the modernization school and Lipset’s development-first thesis; they argue that the democracy should be the precondition for development and promoting democracy is the strategic approach to reach prosperity, development, security, and peace. 

In fact, the democracy-first thesis originates from the theoretical approach of institution type compared to economic performance. Democracy-first theorists not only argue institution matters, but they also further assert democracy matters. The authors in this article argue that not only do institutions influence states’ economic and societal performances, but also, from the perspective of regime type, democracies indeed outperform non-democracies in economic development. Due to regular elections, democratic regimes need to respond to the demands of their citizens and societal groups; the institutional arrangement of election is the key for democracies to better perform economically.

In this article, the author shows the analysis of the data compiled from indicators of World Bank's World Development from 1960 to current situation to demonstrate that "low-income democracies have, on average, grown just as rapidly as low-income autocracies over the past 40 years." (p. 59). The use of empirical data is a strength in this article, which also answers Lipset argument that was written in 1959.  Although, there are many epistemological critics to the empirical and positivistic aspects in this article, the data may provide new insight to enrich the discussions of the relationship of democracy and development.

Third is the matter of authoritarianism and development. If we look at the statistics in this article, an authoritarian state that has high economic growth is an outlier, which means that the authoritarian case is rare. Perhaps, there is no correlation between economic growth and authoritarianism.

This is an interesting debate. Instead of the regime being the sole factor, economic growth is only possible if the state has a state capacity and autonomy to address a wide range of vested interests of various groups, including business associations, military, populist impulses of middle class and lower class, politicians, and others. Then, the State will develop economic policies that support development. Instead of authoritarianism, the capacity and autonomy of the state is augmentative.

Related to this article, we may also assume that under some circumstances, democratization, democracy and democratic institutions can gradually increase the capacity of the state (state capacity) in developing countries which then will lead to economic development.

Fourth is the fall of authoritarianism and democratic transitions. In this article, the authors have a view relating to rational choice paradigm positing that the agencies and individuals will calculate the pay-off, profit and loss, and safeguard their interests in the political process. This opinion is half true because in some cases, such as Southeast Asia, the emergence of authoritarian elites is precisely the collective response of fear of the contentious politics of the state. Thus, there is a need for a strong state in order to bring stability.

Fifth, this article raised the debate about the relationship between economic development and democracy. Many questions arise in the discussion. Is democracy easier to grow in countries with a low level of development? Is democracy better able to survive in countries with advanced industrialized level? This point was also discussed by Lipset.

One of Lipset’s responders, Przeworski, found that the growth of democracy or transition to democracy is not affected by economic development. According to Przeworski, economic development will only help a democracy that's been established. But in developing countries, democracy can be developed, despite the low level of economic growth.

However, if democracy-first thesis is true, how can it explain some cases exceptional to its argument? In the cases of Taiwan and South Korea, both of these two countries experienced dramatic economic development without democratic institutions during the 1980s and 1990s. Moreover, the case of China from the 1990s on also demonstrates that a non-democracy still can achieve economic development.

Overall, this article is very important to enrich the study about relationship between democracy and economic development. Furthermore, the article informs the discussion about the democracy-first paradigm and gives some examples about that.


[1] See Lipset, S.M (1959). Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy. In The American Political Science Review, 53 (1), 69-105.
[2] Huntington, S. M. (1968). Political Order in Changing Societies. Yale University Press.