Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Bukankah Nasib adalah Kesunyian Masing-Masing?

-->

ORANG-orang di sini sedang berbicara tentang pentingnya kuliah doktor. Seolah kuliah itu adalah segala-galanya. Seolah kuliah itu jadi satu-satunya pengabsah atas apa yang kelak dilakukan. Seolah satu-satunya jalan menuju masa depan. Tanpa itu, maka kita seolah nol. Seolah jalan di tempat.

Beribu maaf kuhaturkan. Aku tak ingin terjebak pada apa yang banyak dibahas orang. Tadinya aku menginginkannya. Tapi aku tak ingin melakukan segala cara demi gelar akademis itu. Aku ingin melihatnya sebagai kejutan-kejutan dalam hidup. Kalau semesta menginginkannya, maka kelak akan jadi kenyataan. Kalau tidak, maka aku ingin melakukan hal lain. Sejak dulu sudah kutanam prinsip bahwa kita adalah apa yang kita tentukan untuk kita, bukan ditentukan oleh belajar apa, sekolah di mana, atau apa yang kita kenakan.

Bagiku, berada pada titik ini sudah amat luar biasa. Aku masih setia dengan pandangan lama bahwa manusia bisa menentukan dirinya hendak ke mana dan mau jadi apa. Namun nasiblah yang kelak akan menentukan dirinya berlabuh ke mana. Maka kehidupan akan terus mengalir, sebagaimana kecipak air di sungai yang akan terus bergerak menuju lautan luas.

Aku mengenal banyak orang yang ‘rela mati’ demi mendapatkan sesuatu yang kujalani. Padahal, diriku tak menginginkannya. Sesuatu itu datang begitu saja, bagaikan jatuh dari langit. Mungkin garis nasib sedang menggiringku ke situ. Namun, sungguh!, aku tak seberapa menginginkannya. Kehidupan yang kupahami adalah air yang mengalir deras. Dan air yang mengalir itu telah membawaku ke titik ini.

Masa depan yang kubayangkan bukanlah sesuatu yang muluk-muluk. Aku belajar untuk melihat sesuatu dengan sederhana. Kalau angin membawa ke satu titik, maka aku akan menapaki titik itu dengan energi terbaik yang bisa kuberikan. Jika kelak angina membawaku untuk kembali ke rumah yang kurindukan, maka ke situ pulalah kuarahkan semua jalanku.

Pada titik ini, biarlah jalan nasib yang mengarahkan telunjuknya. Bukankah nasib, sebagaimana dicatat Chairil Anwar, adalah kesunyian masing-masing?


Athens, 27 Oktober 2012

Para Penguntit Jokowi

-->

Jokowi - Ahok di Pilkada Jakarta

-->
DI Jakarta sana, ada satu mutiara yang terus-menerus mengasah diri. Di tengah barisan pemimpin yang sibuk berjanji namun tak pernah ditepati, ada sosok bernama Jokowi yang berusaha untuk berbuat sesuatu bagi banyak orang. Mungkin ia belum memberikan hasil. Sebab perubahan tidak sesederhana ketika Alladin menemukan lampu wasiat dan meminta jin untuk berbuat sesuatu. Tapi Jokowi telah menunjukkan bahwa ia punya niat untuk berbuat.

Jokowi adalah magnet baru yang mempengaruhi atmosfer politik nasional. Strategi politikya mendobrak kelaziman atau pakem dalam strategi politik di semua daerah di Indonesia. Ketika Jokowi memilih mengenakan baju kotak-kotak, segera strategi ini dikopi-paste oleh banyak pemain politik di daerah.

Para pengkopi itu hendak mengatakan bahwa mereka sama dengan Jokowi. Padahal, mereka bukanlah Jokowi. Mereka hanya pengekor yang tak sanggup menemukan ciri khas serta keunikan yang kemudian menjadi pembeda antara mereka dengan kandidat lain. Mungkin mereka berasal dari partai yang sama dengan Jokowi. Tapi sekali lagi, mereka bukanlah Jokowi.

Ketika meniru Jokowi, mereka sedang mempertontonkan pada publik bahwa mereka tak punya karakter yang kuat. Mereka berharap senasib dengan Jokowi yang mengubah lanskap politik, akan tetapi mereka tak paham bahwa Jokowi memiliki intergritas yang untuk mencontohnya butuh waktu bertahun-tahun.

Rudiyanto Asapa - Nawir di Pilkada Sulsel
kampanye Ibrahim Marsela - Muirun di Pilkada Baubau, Sultra
pasangan Jantje - Ivan di Pilkada Minahasa
Ahmad Suwandi - Muhlis di Pilkada Tangerang
Marzuki - Nasrollah di Pilkada Tulang Bawang

-->
Saya sedang mengumpulkan data tentang mereka yang “menjokowi.” Di pilkada Sulawesi Selatan, ada pasangan Rudiyanto Asapa – Nawir yang juga mengenakan baju kotak-kotak ala Jokowi. Mulai dari saat pendaftaran hingga kampanye, mereka mengenakan baju ala Jokowi.

Di pilkada Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, ada pasangan Ibrahim Marsela – Muirun yang juga meniru gaya Jokowi. Di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, ada pasangan Jante Sajouw – Ivan Sarundajang. Di Kabupaten Tulang Bawang, ada Marzuki – Nasrollah.

Saya hanya menyebut beberapa. Tapi saya yakin masih banyak calon kepala daerah lain yang juga meniru kemeja kotak-kotak ala Jokowi. Semoga saja mereka tidak hanya meniru kemejanya, tapi mereka juga meniru integritas serta program kerja yang pro kepentingan rakyat. Namun, bisakah kita meniru karakter orang lain, sembari menenggelamkan karakter asli kita sendiri?

Mungkin kita harus berprasangka baik kepada mereka. Mungkin saja mereka punya niat tulus untuk berbuat sesuatu. Hanya saja, mereka tak tahu dengan cara apa memasarkan diri. Maka baju kotak-kotak itu bisa menjadi peneguhan dari ketidakmampuan untuk menggali keunikan. Baju kotak-kotak itu menjadi pernyataan terbuka bahwa mereka sedang kesulitan untuk merumuskan tema kampanye serta posisi berpijak mereka. Entahlah.

Athens, 25 Oktober 2012

Menyerap Hikmah di Kampanye Obama


saat Presiden Obama berpidato di kampus Ohio University

-->
DI hadapan sekitar 16.000 orang di College Green, kampus Ohio University di kota Athens, pria itu lalu naik ke atas podium. Lelaki yang sempat menghabiskan masa kecil di Indonesia itu menuju podium di tengah sorak-sorai. Tepukan gemuruh membahana ketika ia tersenyum dan mulai menyapa semua hadirin yang telah menunggu sejak jam 10 pagi untuk menyaksikan kehadirannya pada pukul 5 sore seminggu silam.
  
“Hallo Athens. Hallo Ohio!,” ia memulai dengan sapaan. Semua histeris. Saya serasa menyaksikan pargelaran musik di mana seorang pemusik menjadi magnet yang menyedot semua perhatian. Hari itu, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat (AS) datang berkunjung ke kampus Ohio University (OU) untuk berkampanye. Saya merasa beruntung karena bisa menyaksikan Obama berpidato dan berkampanye di negerinya sendiri. Ini pengalaman yang amat langka buat saya.

Kedatangannya menjadi sejarah bagi kampus ini selama beberapa dasarwarsa sejak berdiri. Puluhan tahun silam, John F Kennedy juga pernah datang untuk berkampanye, yang kemudian menjadi sejarah baru sebab setahun berikutnya ia terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.

Obama datang pada momentum yang tepat. Hari itu adalah sehari setelah debat kandidat presiden yang memperhadapkan dirinya dengan Mitt Romney, pesaing dari Partai Republik. Dalam debat kandidat yang kedua, Obama seakan menang telak. Kata seorang pengamat, ia sukses menembakkan nuklir ke jantung pertahanan Romney hingga membuatnya tak berkutik.

“Saya datang ke sini karena saya dengar kalian punya tim football yang hebat. Apakah benar? Saya dengar tim kalian punya rekor 7 – 0. Apakah saya tidak salah?” Obama memulai pidato dengan hal-hal yang menjadi wacana di kampus Ohio. Entah ia tahu dari mana, yang pasti kemenangan tim football universitas selama tujuh kali berturut-turut menjadi buah bibir banyak warga Athens.

saat Presiden Obama datang dan menyapa Presiden OU College for Democrat
panggung disiapkan sehari sebelum pidato

-->
Dua tahun silam, ia juga hadir di Jakarta. Di awal pidatonya, ia mengucapkan kalimat-kalimat seperti “Assalamuaikum”, “Selamat pagi dan salam sejahtera”, serta kalimat “pulang kampung nih.” Tak pelak, pengucapan kalimat ini disambut histeris oleh para mahasiswa yang menyaksikan pidato tersebut. Hari ini, saya kembali menyaksikan aspek kultural yang diselipkan dalam pidatonya.

Amerika Serikat (AS) tengah menggelar kampanye kepresidenan. Para kandidat presiden itu berlomba unuk memenangkan hati banyak orang. Mereka menerapkan berbagai strategi demi pundi-pundi suara yang terkumpul untuk memenangkan persaingan. Obama tak sendirian. Ia di-backup oleh banyak tangan-tangan yang sukses mentransformasikan politik menjadi satu industri kreatif berskala besar.

Yup. Politik memang telah lama menjadi industry. Politik bukan saja arena yang mentransfomasikan kontestasi dan titik persaingan ide serta gagasan, namun juga pertarungan antara tim-tim kreatif yang bekerja untuk memasarkan seorang kandidat.

Berbeda dengan keadaan di banyak tempat, kampanye di Amerika dikelola dengan sangat kreatif. Di banyak tempat, kampanye identic dengan hal-hal yang akan mengotori kota; baliho berisi wajah tersenyum yang tersebar ke mana-mana, serta parade jual kecap dan menebar janji. Di Amerika, tak satupun saya menemukan baliho kandidat presiden atau kandidat calon legislatif. Mereka berkampanye dengan cara kreatif, melalui diskusi, karnaval, serta melalui media sosial. Mereka menggali kreativitas untuk memenangkan hati masyarakat.

Salah satu bentuk kreativitas serta strategi itu adalah pilihan-pilihan kata dalam pidato. Mendengar pidato Obama, saya tidak sedang mendengar pidato yang membosankan dan kaku, serta bikin mengantuk. Obama tak perlu menyuruh stafnya untuk membangunkan mereka yang tidur saat dirinya pidato. Sebab gerak tubuh, pilhan tema, serta intonasi kalimatnya mengalir dengan alamiah, serta ditunjang dengan isi pidato yang ‘bertenaga’ dan menggerakkan.

Gaya retorik seperti ini tidaklah muncul begitu saja. Gaya ini ditunjang oleh kerja tim yang sebelumnya telah melakukan riset, menghitung jumlah potensi pemilih di satu tempat, serta memberikan masukan tentang tema-tema atau isu yang hendak dibahas. Ini juga termasuk idiom-idiom kultural atau isu hangat di satu tempat, yang ketika disampaikan dalam pidato, sontak akan memikat hati banyak orang.

Pelajaran Berharga

Pidato Obama di Ohio telah memberikan banyak pelajaran berharga buat saya untuk mengenali politik di negeri Abang Sam. Pertama, saya menyaksikan sendiri bagaimana tim kreatif memaksimalkan sebuah kunjungan menjadi dukungan suara. Di tanah air, setiap kampanye di lapangan terbuka hanya sekadar mendatangkan penyanyi dangdut serta massa yang datang hanya untuk menonton. Tak lebih.

Di Amerika, jauh sebelum kedatangan sang kandidat, maka informasi sudah tersebar melalui banyak kanal media. Semua yang hadir mesti memiliki tiket untuk memasuki lapangan. Beberapa hari sebelum Obama datang, ribuan mahasiswa dan warga Athens telah mengantri demi mendapatkan tiket.

dua tiket untuk menghadiri kampanye Obama
demonstrasi di luar arena kampanye

-->
Mereka tak sekadar antri. Namun semua harus mengisi lembaran yang berisikan nama serta alamat email. Demi tiket, saya pun ikut menuliskan email. Usai kampanye, saya menerima beberapa email yang dikirimkan Michelle Obama dan Bill Clinton. Isi emailnya sangat simpatik yang berisikan ajakan untuk memilih Obama. Pada email itu juga tertera ajakan untuk memberikan donasi demi pemenangan Obama.

Kedua, saya akhirnya belajar bahwa politik dan dunia kemahasiswaan bisa menjadi kawan seiring. Hampir semua partai politik di Amerika memiliki perwakilan di kampus. Partai itu memiliki organ lembaga kemahasiswaan yang berfungsi sebagai wadah pembelajaran, serta pematangan untuk memasuki rimba politik. Di kampus Ohio University terdapat organisasi Ohio University College Democrats. Lembaga ini menjadi wadah bagi mahasiswa untuk belajar politik serta menjadi relawan untuk mengampanyekan program partai politik. Di tanah air, kampus terkesan ‘malu-malu kucing’ dengan dunia politik. Padahal, banyak mahasiswa yang bergerak di belakang layar dan sering menjadi kaki tangan politisi.

Ketiga, seorang presiden mesti mengenali isu-isu hangat di masyarakat. Sebelum mengunjungi suatu tempat, tim kreatif mesti memetakan apa topic yang menarik dibahas, serta apa-apa saja yang menarik untuk dibahas. Ketika Obama membahas tentang kemenangan tim football Ohio, maka antusiasme public langsung mencuat. Semua orang langsung bersorak sebab apa yang dibahas telah menyentuh sisi kebanggaan para audience.

Keempat, meyaksikan pidato Obama serta berdasarkan diskusi dengan banyak orang, saya akhirnya menyimpulkan kalau isu-isu yang menarik bagi masyarakat Amerika adalah isu-isu domestic. Kampanye dan wacana yang dibahas seiring kedatangan Obama adalah isu asuransi atau jaminan kesehatan, pendidikan, serta pajak. Inilah yang paling banyak dibahas dan didiskusikan.

antri untuk tiket
salah satu pengantri

-->
Kelima, pelajaran berharga yang saya dapatkan adalah seyogyanya politik melibatkan partisipasi banyak orang. Di Athens, Ohio, Obama memiliki banyak simpatisan yang bekerja tanpa meminta bayaran. Mereka membantu untuk menejlaskan program, mengampanyekan di pasar petani (farmer market), serta membuka beberapa stand yang berisi tempat untuk berdiskusi atau bertukar pikiran tentang rencana-rencana sang kandidat presiden.

Pada titik ini, politik bukanlah arena untuk memenangkan kuasa, dan setelah itu mengabaikan para pemilih. Politik bukan arena untuk membodohi banyak orang dengan sejumlah omong-kosong tentang rencana yang tak pernah dievaluasi. Politik menjadi satu arena yang menyempurnakan kehidupan manusia. Politik menjadi arena pembelajaran di mana antara kandidat dan masyarakat bisa saling mengasah diri dan mengembangkan kapasitas, sekaligus menyalurkan idealisme.



Athens, 20 Oktober 2012

bersama istri dan anak, saya pun ikut kampanye Obama di Ohio


Esais Hebat Rahman Arge



SAYA agak terlambat membaca buku kumpulan esai bertajuk Permainan Kekuasaan yang ditulis esais asal Makassar, Rahman Arge. Hari ini, saya berkesempatan membacanya. Baru baca dua tulisan, saya memutuskan untuk membacanya sampai tuntas. Esai yang ditulis Arge sungguh bertenaga, memiliki daya ledak, serta kata-katanya menawan dengan logika yang jernih, mengalir deras di sela-sela karang pemikiran ketetapan hati kita.

Arge adalah penulis esai yang memikat. Bahkan lebih memikat dari esai Goenawan Mohammad. Esai Goenawan seringkali berjarak dengan kenyataan di sekitarnya, serta sering terjebak untuk membahas hal yang rumit-rumit, dan terlampau asyik bermain-main di ranah kelangitan. Sementara Arge selalu berpiak pada kenyataan, lalu esainya menembus kenyataan itu, membelah-belahnya dengan aneka pertanyaan, lalu mengurai kenyataan itu demi menemukan lapis makna.

Saya agak terlambat mengikuti secara rutin esai yang rajin dituliskannya untuk Kompas, Gatra, Tempo, hingga untuk harian Fajar. Padahal, konsep esai seperti ini yang saya gandrungi, yang memadukan antara pengalaman lapangan, lalu dituturkan dengan penuh kedalaman, lalu ditutup dengan kalimat pamungkas yang melekat di kepala.

Arge adalah esais hebat. Betapa bodohnya saya yang baru mulai membaca kumpulan esainya. Tapi tak apa. Itu jauh lebih baik daripada tak pernah berkesempatan untuk menimba mata air pengetahuannya.(*)


Athens, 19 Oktober 2012

Sebuah Pleidoi atas Kemalasan

-->
saat menghadiri kampanye Obama di Athens

MENULIS itu ibarat otot yang harus terus-menerus dilatih. Tanpa latihan, maka tulisan menjadi hambar, kehilangan daya getar serta sentuhan magis. Tanpa latihan, tulisan hanya menjadi seonggok kata yang tak membawa makna, tak membawa impresi, tak punya daya sengat.

Belakangan ini aku mulai jarang latihan menulis. Aku mulai jarang mengisi catatan harian, yang sejatinya bukan cuma upaya untuk menjerat kesan dalam tulisan, namun juga menjadi ajang latihan buatku. Mungkin aku sedang malas. Jika harus mencari alibi atas kemalasan, maka ini disebabkan karena rutinitas yang tiba-tiba saja berubah drastis, seiring dengan perkuliahan yang menantang dan mulai membosankan.

Semester ini, istri dan bayi datang. Hari-hari banyak berubah. Dahulu aku selalu bengong di apartemen, dan mengalirkan kebingungan itu lewat tulisan. Kini, aku mengisi waktu dengan bermain-main bersama bayi. Sebagai seorang ayah, aku sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa waktuku mesti dibagi untuk menemani bayi Ara untuk bermain-main, mengajarinya kata-kata, atau mengajaknya berjalan-jalan.

Laptop yang dahulu setia menemani jelajah kata, harus ikhlas untuk memutar lagu kanak-kanak berbahasa Inggris. Anakku sedang suka-sukanya dengan lagu-lagu. Ia tak suka film kartun. Ia hanya suka lagu-lagu. Dalam sehari, ia bisa duduk di kursi bayi sambil menonton lagu-lagu selama beberapa jam. Saat melakukannya, ia akan menirukan beberapa gerakan dalam lagu.

Aku tak hendak menyalahkannya. Ara berhak atas waktuku. Ia berhak menuntut waktu untuk bersama-sama setelah setahun meninggalkannya. Selain itu, aku seorang yang pada dasarnya kekanakkan. Aku juga suka bermain, khususnya petak umpet yang bisa membuat Ara tersenyum manis dan tertawa terpingkal-pingkal.

Aku sedang menikmati hari. Maafkan jika blog ini tidak seramai bulan-bulan lalu. Namun cepat atau lambat, aku akan segera menemukan ritme kepenulisan sehingga produktivitasku bisa pulih sebagaimana dahulu.(*)


Athens, 19 Oktober 2012

Email Cantik dari Michelle Obama


Pengalaman Melihat Langsung Kampanye Obama (2)

PRIA itu bernama Victor. Hari itu, Minggu (14/10), ia datang ke kampus Ohio University (OU) demi antri tiket untuk menyaksikan kampanye Obama. Victor datang dari Nellsonvile, sebuah kawasan yang berjarak sekitar 20 menit dari Athens dengan menggunakan mobil. Ketika kutemui, ia berkata bahwa Obama adalah pahlawan baginya. Obama membawa harapan bagi bangsa Amerika.

akhirnya aku mendapatkan dua tiket

Victor tidaklah sendirian. Hari itu, ratusan orang ratusan orang antri tiket untuk menyaksikan kampanye Presiden Obama di Athens, Ohio. Sejak pengumuman bahwa Obama akan hadir ke Athes, semua orang amat antusias. Maklum saja, Ohio dikenal sebagai basis dari Partai Demokrat. Segera setelah diumumkan bahwa semua yang hadir mesti memiliki tiket, maka semua orang langsung antri untuk mendapatkan tiket.

Kita bisa menyebut fenomena ini sebagai kultus seorang pemimpin. Mungkin fenomenanya sama dengan ketika kita mati-matian antri demi mendapatkan tiket seorang idola atau superstar. Namun mengapa harus Obama?  Di negeri Amerika, politik adalah bagian dari nadi kehidupan warga. Masing-masing partai jelas memiliki basis massa yang dirawat setiap tahun dan diperjuangkan segala yang diinginkannya. Ajang kampanye dan debat publik hanya menjadi arena untuk memperebutkan jumlah swing voter atau  mereka yang belum memiliki pilihan politik.

Victor adalah pemilih Demokrat. Ia menyebut antara dirinya dan partai itu terdapat persesuaian gagasan. Ia tertarik dengan isu-isu yang diusung Obama seperti penyediaan lapangan kerja, jaminan kesehatan, serta isu pendidikan.



suasana antrian yang cukup panjang

Satu hal yang kupelajari di sini adalah isu-isu domestik jauh lebih penting ketimbang isu internasional. Warga Amerika tak tahu dan juga tak mau tahu tentang isu-isu dunia seperti timur tengah atau isu di negara lain. Mereka hanya ingin mendapatkan kepastian tentang pajak, asuransi kesehatan, serta jaminan sosial yang layak. Mereka tak mau tahu dan tak ingin banyak tahu tentang isu-isu di luar negeri mereka.

Aku cukup beruntung karena bisa mendapatkan dua tiket untuk diriku dan istri. Meskipun aku bukan warga Amerika, namun aku ingin tahu banyak hal termasuk bagaimana mengorganisir kampanye yang kreatif, unik, serta cerdas dan simpatik dalam memenangkan hati audience. Aku cukup lelah melihat pola kampanye di tanah air yang didominasi oleh aksi pasang baliho di semua sudut-sudut kota.

Mungkin, antrian ini adalah hal biasa. Namun yang membuat saya tertarik adalah bagaimana mereka bisa memaksimalkan dukungan politik lewat kedatangan Obama. Semua yang antri tiket, mesti mengisi lembaran putih yang berisi data diri serta alamat email. Email ini lalu menjadi gerbang untuk berkomunikasi serta mendapatkan pesan-pesan simpatik.

suasana antrian
saat di depan loket

Dua hari berikutnya, aku mendapatkan email dai Michelle Obama yang berisi ajakan memilih serta pesan simpatik. Email itu bisa dibaca di sini:

Friend --
 When you watch the results come in on Election Night, you probably won't be thinking back to today. But the outcome will absolutely depend on what we do right now. We can win this the right way, but it's going to take every single one of us getting on board and pitching in what we can, when we can -- whether that's time, energy, or a few hard-earned dollars. I know Barack is going to be out there fighting hard up until the very end -- taking his case straight to the American people, talking with voters all across the country. We can't afford to come up short, so today, hours before our final FEC deadline, I'm asking you to take the next step in your support for this campaign. Chip in $5 or more right now -- please don't wait any longer: https://donate.barackobama.com/Deadline-Tonight Thanks, Michelle


Aku menyukai email ini. Isinya sangat simpatik. Email ini berisikan ajakan simpatik untuk membantu Obama memenangkan kursi kepresidenan. Satu hal yang kusaluti adalah mereka bisa mengajak banyak orang untuk berpartisipasi dan mengeluarkan uang sekadarnya demi membantu kampanye. Ini brilian dan tak banyak ditemukan di tempat lain.

Tak hanya Michelle Obama. Usai debat kandidat antara Obama dan Romney, aku  kembai menerima email dari Bill Clinton, mantan Presiden Amerika. Bill juga mengirimkan email yang isinya semangat seta motivasi agar segeramenggunkan hak pilih.Sayang ekali karena aku bukan warga Amerika. Berikut isi emailnya:


Friend --
 I know how President Obama feels right now because I've been there. These final 20 days will be the toughest of the whole campaign. We'll win this, but only if we go after every single vote. Right now, Barack needs everyone who believes in him to step up. If you do, that will see him through. Midnight tonight is the last FEC fundraising deadline of this campaign, and then all of our planning and building comes down to just one last test on November 6th. Let's bring it home for Barack. If you can, make a donation of $5 or more today -- please don't wait any longer: https://donate.barackobama.com/Deadline-Tonight President Obama was terrific last night, and I'm proud to be on his team. Today, he's counting on us to do our part. Thank you, Bill Clinton P.S. -- The other side has launched a massive ad blitz in battleground states, and we need to respond swiftly and powerfully. Please donate $5 or more today so that this campaign's grassroots operation has the resources it needs to compete and win.

Aku yakin kalau pengirim email ini bukanlah Michelle dan Bill Clinton. Pasti dilakukan oleh tim sukses yang memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi untuk emmasukkan semua alamat email dan mengirikan pesan yang sama.

memotret kampus di saat antri
memotret kampus di saat antri (2)

Namun, izinkanlah aku menyampaikan apresiasi dan salut  atas kreativitas tim kampanye untuk mengemas pesan kampanye dan enyentuh hati banyak orang. Pada titik ini, politik bukanlah aena pembodohan, melainkan arena untuk menyentuh dan menyapa hati banyak orang, sebagaimana yang kusaksikan di sini.


Athens, 18 Oktober 2012

BACA JUGA:



Pengalaman Melihat Langsung Kampanye Obama (1)

-->
Cara-Cara Kreatif Mengenalkan Kandidat


SEJAK seminggu silam, kampus Ohio University heboh dengan rencana kedatangan Presiden Obama untuk berkampanye. Berita kedatangan Obama menyebar ke mana-mana dan membuat banyak pihak menanti-nanti dengan penuh harap. Maklumlah, di kota kecil Athens, tak banyak politisi yang datang. Sebelum Obama, sejarah mencatat nama Presiden John F Kennedy yang juga pernah datang berkunjung.

kampanye Obama saat karnaval Homecoing di Athens, Ohio

Kedatangan Obama membuatku banyak belajar tentang bagaimana politik Amerika dilihat dari jarak dekat. Andaikan tak ada Obama yang datang berkunjung, mungkin aku tak tahu kalau sekarang ini adalah musim kampanye untuk pemilihan presiden. Suasana kampanye di sini sungguh beda dengan kampanye di Indonesia.

Di tanah air, kampanye identik dengan baliho serta gambar-gambar kandidat yang memenuhi kota, khususnya setiap tikungan jalan. Di Amerika Serikat, anda tak akan menemukan gambar kandidat presiden di setiap tikungan jalan. Anda tak akan menemukan tulisan “Pasukan Berani Mati untuk kandidat A” di jalan masuk perumahan. Juga tak ada tulisan “Jempol Darah untuk Si A”. Jangan harap menemukan tulisan “Basis Kandidat A”.

Sebenarnya, terdapat banyak iklan televisi. Namun aku bukan penikmat televisi, yang untuk berlangganan mesti membayar 30 dolar per bulan. Tanpa menyaksikan televisi, sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa ini masa kampanye ketika mengikuti diskursus yang selalu dibahas publik. Namun aku hanya mendengar sekilas. Tak kupahami kalau tak lama lagi akan ada pemilihan presiden Amerika.

kampanye Obama saat karnaval (foto: Muh Fauzi)
stand Obama saat Pawpaw festival (foto: Fauzi)

Aku mulai menaruh perhatian pada kampanye ketika membuka situs Youtube. Di sini, setiap kali membuka Youtube, maka selalu ada iklan calon presiden. Dalam pahamanku yang lekat dengan kultur tanah air, iklan di sini agak kasar sebab seorang kandidat bisa memojokkan atau menjelekkan gagasan lawannya. Misalnya saja kampanye Obama yang justru menampilkan pidato Romney serta hujan kritikan atas pidato itu. Demikian pula sebaliknya.

Di luar itu, gambar Obama hanya kutemukan pada dua cara, yakni karnaval dan saat mengunjungi farmers market. Karnaval yang kumaksudkan adalah acara Homecoming di kampus, atau semacam acara reuni. Para alumni akan berdatangan ke kampus sambil berpawai, yang kemudian diikuti oleh semua instansi serta organisasi di kota Athens. Pada saat inilah aku menyaksikan beberapa organisasi pendukung Obama yang membawa poster Obama. Ini adalah kampanye kreatif yang mengenalkan kandidat presiden.

Aku juga baru paham kalau mahasiswa sedari dini diajak untuk masuk ke ranah politik. Para kandidat presiden itu merekrut relawan dari kampus, bahkan membentuk organisasi pendukung di kampus. Situasinya sungguh beda di tanah air, di mana kampus selalu berkata independen dan netral, namun sebenarnya mendukung satu kandidat. Dan mahasiswa banyak yang jadi tim sukses demi niat jangka pendek yakni mendapatkan rente. Setelah sang kandidat kalah, maka selesailah apa yang disebut ‘perjuangan.’

Kampanye Obama lainnya yang kusaksikan adalah di farmers market (pasar petani). Di situ terdapat satu stand yang berisikan poster serta pin Obama. Di sini, ada beberapa orang yang menunggu stand, dan siap sedia menjawab segala pertanyaan menyangkut kandidat presidennya. Bagiku, ini juga kampanye yang sangat kreatif, serta mencerdaskan masyarakat. Saat singgah di situ, aku mendapat penjelasan tentang gagasan Obama, serta harapan jika Obama terpilih.

mahasiswa pendukung Obama
Belajar dari apa yang kusaksikan seminggu ini, membuatku yakin bahwa pada dasarnya politik bisa demikian menarik simpati publik ketika dikelola dengan cara-cara yang unik, kreatif, dan memikat banyak orang. Bahwa publik harus dilihat sebagai massa yang sadar, yang mesti didekati dengan cara simpatik, dan bukannya membobardir mereka dengan iklan jual kecap atau memasang baliho serta pasukan berani mati di mana-mana.

Kampanye adalah bentuk kreativitas yang diperkaya dengan ide-ide segar. Kampanye bukanlah praktik pembodohan, atau praktik pembohongan. Namun sarana untuk memasarkan gagasan serta solusi kreatf yang kemudian dipegang publik serta menjadi patokan dalam menyusun program kerja. Bukankah demikian?



Athens, 17 Oktober 2012


Bersambung:

Dua Kilometer Antrian untuk Obama

Melihat Homecoming dari Pinggiran



TADI siang, kampus ramai dengan arak-arakan. Banyak alumni yang berdatangan dan meramaikan kampus. Setiap Oktober, mereka berbondong ke kampus demi merayakan Homecoming atau momen kembali ke kampus. Para alumni, yang setiap harinya sibuk itu, lalu berdatangan, memenuhi bar-bar di kota Athens, sembari bernostalgia tentang masa-masa yang telah lewat.

Setahun silam, aku mengikuti ritual ini. Tahun ini, aku kembali menyaksikannya. Mungkin ini adalah homecoming terakhir yang kusaksikan, sebab taun depan, aku sudah akan meninggalkan Athens. Tapi entahlah. Belakangan ini, aku tak ingin memastikan apa yang terjadi di masa depan. Siapa tahu, ada keajaiban yang kemudian meringankan langkah kakiku untuk kemudian kembali ke sini. Entah sebagai alumni, ataukah masih berstatus sebagai mahasiswa.

Jika pun kembali, mungkin aku tak akan ikut dalam marching band sebagaimana para alumni itu. Mungkin aku hanya ingin melihat-lhat dari pinggiran, sambil menulis syair. Entah, apakah itu akan kesampaian ataukah tidak.(*)