Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Senja Lara di Jacky O's



DI malam itu, aku duduk di sudut bar Jacky O’s, bar kecil di kota Athens, Ohio. Sembari meminum red berry juice, aku menyaksikan dirinya yang sedang bernyanyi di panggung sana. Kalau tak salah, ia menyanyikan lagu Autumn Leaves yang pernah dibawakan Nat King Cole. Suara mendesah segera meluncur dari bibir merahnya.

The falling leaves
Drift by the window
The autumn leaves
Of red and gold

I see your lips
The summer kisses
The sunburnt hand
I used to hold

Aku bukan penggemar Nat King Cole. Tapi mendengar lagu jazz khas Cole yang dinyanyikannya di panggung itu, tak urung membuatku larut. Aku menikmati suara mendesah, serta tubuhnya yang dibalut oleh baju sejenis kemben yang memperlihatkan sebahagian dadanya. Bagian yang paling kusuka adalah saat menyanyi, ia akan melirik ke arahku sambil tersenyum. Hmm.. Setiap ia melakukannya, ada sesuatu yang mengalir kencang di dada ini.

Sebut saja namanya Lady. Aku menemuinya di kafe ini nyaris setiap malam minggu, di sela-sela tugas kuliah yang kian menumpuk hingga membuatku nyaris semaput. Ia berasal dari satu negara di Amerika Latin. Datang ke kota kecil ini hanya untuk bekerja, tanpa berharap untuk kuliah. Di kampus dekat bar itu, biaya kuliah sedemikian mencekik leher. Aku beruntung karena di-cover lembaga penerima beasiswa. Tapi Lady tidak seberuntung diriku.

“Mengapa kamu tak suka alkohol?” tanyanya.
“Aku tak terbiasa,” jawabku
“Mengapa tak dibiasakan? Bukankah kamu sedang berpijak di bumi Amerika? Sebuah bumi di mana alcohol adalah bahasa pergaulan?”
“Aku tahu itu. Tapi aku tak tahu mana yang cocok,”
“Kamu bisa mencobanya. Untuk tahap awal, kamu bisa mencoba martini, yang merupakan cocktail dengan berbagai variasi campuran antara gin (jenewer) dan vermouth yang disuling dari air anggur.”
“Nantilah. Aku tak mau mencobanya sekarang.”
“Ah. Kamu selalu saja tak konsisten.”

Aku memang sengaja tak mau mencoba berbagai minuman yang selalu dijelaskannya. Bukan bermaksud sok alim, namun tubuhku tak cocok dengan segala jenis minuman beralkohol. Aku hanya suka minuman buah sejenis juice, yang kuanggap lebih menyehatkan.

Lady tak pernah mempersoalkan pilihanku. Kami beda bangsa, beda negara, dan beda selera. Tapi segala perbedaan itu menjelma sebagai jembatan yang kemudian menautkan kami sebagai sahabat. Yah. Aku menganggapnya sahabat. Ia pun juga sudah punya pacar yang posesif, yang pernah datang melabrak dan memintaku untuk menjauhinya.

Namun diriku seorang kepala batu. Kehangatan persaudaraan serta senyum manis itu menjadi magnet yang selalu memaksaku untuk menemuinya. Aku menerimanya apa adanya. Tak pernah aku jelalatan melihat pakaiannya yang selalu minim. Aku terbiasa melihat sesuatu dari sisi yang positif. Melalui itu, aku selalu bahagia.

Kami suka diskusi. Meskipun dalam diskusi itu aku lebih suka diam sambil memperhatikan bibirnya yang sebasah Thalia, pemain film Marimar. Ia sering becerita tentang status imigrasinya yang tak jelas. Sementara aku suka bercerita tentang keluarga kecilku yang jauh di sana. Dan setiap kali bercerita tentang topik itu, mata birunya seakan berkilat-kilat. Aku menyukai saat-saat dirinya antusias.

“Malam ini, aku ingin membahas hal rahasia denganmu. Amat penting menyangkut kematianku,” katanya berbisik di telingaku. Aku tercekat. Mengapa ia tiba-tiba saja ingin membahas kematian? Apakah ia melihat sesuatu yang tak bisa kulihat? Aku menimbang-nimbang. Ia lalu ke panggung. Namun aku masih mengenali bau khas minuman yang ditenggaknya. Ia meminum Irish Whiskey, minuman khas Irlandia yang dibuat dari barley atau gandum. Baunya menyengat.


Aku menyaksikan dirinya yang sedang bernyanyi. Jujur, dalam kesepian ini, aku membutuhkan sosoknya. Dirinya adalah satu-satunya sosok yang mau mendengar semua kisahku yang terdampar hingga negeri ini. Tanpa dirinya, hidup ini serasa hampa. Aku tak punya siapa-siapa di negeri yang serba asing ini.

Hey, apa gerangan yang hendak dibisikannya? Mengapa ia bercerita tentang kematian? Jika memang, ia sedang terancam, mengapa pula ia tiba-tiba membahas rahasia-rahasia? Mengapa harus aku? Mengapa ia tidak bercerita pada lelaki tua bangka yang selalu datang dan menggandeng pinggangnya saat pulang dari bar ini?

Aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa menyaksikannya di sana. Aku meraba kantung jaket yang kukenakan. Ternyata ada kertas di situ. Aku lalu mengeluarkannya dan membacanya sekilas.

“Yos. Aku sedang terancam. Aku memintamu menyelamatkanku. Kita harus pergi jauh dari sini. Kuminta dirimu menemuinya di sana,”

Siapakah yang mesti kutemui? Untuk apa? Hey, ada apakah gerangan?

Di atas panggung sana, ia melirik ke arahku. Tiba-tiba saja, terdengar bunyi letusan senapan dari arah pintu bar. Aku melihat seorang pria berkulit hitam masuk bar dengan pistol di tangan. Semua menjerit. Semua histeris. Di atas panggung itu, kulihat Lady terkapar dengan bersimbah darah. Saat itu, tiba-tiba saja aku teringat pada pesannya. Ia telah meramalkan kematiannya sendiri. Dalam keadaan serba takut, aku mengeluarkan catatan yang diberikannya. Oh my God! Di situ tertera sebuah alamat, yang entah apa maksudnya. Apakah yang hendak disampaikannya?


To Be Continued




Menculik Semesta, Memenjara Kenyataan


Suatu Senja di Athens (foto: Nanang Erma Gunawan)

DALAM dua minggu ini, aku menginginkan sebuah kamera. Aku ingin belajar satu kemahiran baru yakni membingkai keindahan pada satu frame atau bingkai. Aku ingin belajar fotografi. Aku ingin menculik satu keindahan semesta, dan memenjarakannya lewat frame foto.

Selama beberapa tahun, aku menyenangi foto, namun belum tertarik untuk belajar. Saat ini, keinginan itu mulai meluap-luap. Aku ingin menemukan tantangan baru ketika mengabadikan satu bingkai kenyataan yang kemudian disimpan rapi di layar computer. Menurutku, yang paling penting bukanlah mengabadikan sebuah momen. Tak penting untuk menyimpan kenangan atas sesuatu. Yang jauh lebih penting adalah upaya untuk menyampaikan sesuatu. Fotografi adalah upaya untuk berkomunikasi.

Menurutku, para fotografer adalah mereka yang amat santun untuk menyampaikan pendapat, tidak melalui jejalan kata-kata yang berbaris rapi, namun melalui gambar-gambar. Mereka berbicara lewat foto. Pada dasarnya, foto itu jadi sebuah artefak biasa yang tak berbeda dengan artefak lainnya. Namun, ada kisah, ada cerita, ada kenangan, ada pendapat, ada opini, romansa, nostalgia, atau mungkin sebuah pahatan ingatan yang hendak bertutur tentang sesuatu.

Foto karya Eddie Adams yang kemudian mengubah perang Vietnam.
Fotografi hanya bermakna bagi mereka yang tersentuh hatinya. Mungkin kedengarannya sepele. Tapi tahukah Anda bahwa sebuah foto yang dipublikasikan bisa mengubah pendapat seluruh warga dunia? Baiklah. Kukisahkan sebuah foto yang dibuat Eddie Adams. Foto ini memenangkan Pulitzer, penghargaan tertinggi di dunia jurnalistik. Foto ini menjadi sembilu yang menikam perasaan semua orang tentang betapa jahatnya peperangan. Adams memotret Jenderal Nguyen Ngoc Loan, seorang anggota polisi Vietnam, yang hendak menembak Nguyen Van Lem, seorang prajurit Vietcong.

Foto ini menguatkan kredo atau pandangan bahwa “a picture is worth one thousand words.” Sebuah gambar lebih bernilai ketimbang ribuan kata-kata. Lewat foto ini, Adams berhasil mengetuk hati semua orang bahwa peperangan hanya menyisakan nestapa dan tragedi manusia. Foto ini menjadi ikon anti-perang, yang disebut Adams sebagai ‘upaya membunuh jenderal itu dengan kamera.’

Foto karya Kevin Carter tentang kelaparan di Sudan. Foto ini membuat Kevin memilih bunuh diri karena merasa bersalah

Selembar foto adalah percikan konsep, pemikiran, serta ide-ide. Sebuah foto ibarat pestol yang menembak hati orang lain. Namun, foto bisa pula menjadi pestol yang menembak sang fotografernya sendiri. Itu terlihat pada Kevin Carter. Sebuah foto jurnalistik yang dibuatnya tentang kelaparan di Sudan, akhirnya mememangkan banyak penghargaan, namun juga menjadi penyebab mengapa Carter akhirnya bunuh diri.

Ia tak tahan dengan pertanyaan yang menusuknya; “Apa yang Anda lakukan sebagai fotografer ketika melihat anak yang meregang nyawa karena lapar dan ditunggui burung kondor? Apakah Anda hanya akan memotret dan pergi?”

Sebuah foto memang menyimpan kisah, esai, serta gagasan filosofis. Foto itu tak penting. Yang penting adalah ide dari manusia di belakang kamera tersebut. Foto itu hanyalah representasi dari apa yang sedang dipikirkan, sekaligus apa yang ingi disampaikan. Yang kusukai dari fotografi adalah adanya universalitas atau cara pandang yang sama. Tak peduli bahasa dan kebudayaan yang menjadi latar seseorang, namun saat melihat foto, semua orang bisa menemukan bahasa yang sama. Semua orang tiba-tiba berada pada persimpangan yang sama untuk memahami sebuah gambar.

Jika aku menjadi fotografer, apa yang ingin kusampaikan? Aku belum punya ide. Mungkin, aku tak muluk-muluk. Aku hanya ingin bercerita dan berbagi atas apa yang kulihat. Tak lebih.(*)


Athens, 29 Agustus 2012



Saat Lebaran Hinggap di Kota Athens


salat Idul Fitri di Islamic Center, Athens

LEBARAN hadir. Bukan sekadar penanda hari yang berbeda, namun ada kemeriahan serta suasana yang terasa hingga seluruh pelosok. Di tanah air, takbir akan berkumandang. Beduk dibunyikan bertalu-talu. Dan malam sebelum lebaran adalah malam ketika jalanan penuh dengan keramaian takbir serta bunyi petasan yang menggemuruh.

Lebaran bukan hanya sebagai peristiwa religius, akan tetapi juga sebagai peristiwa kultural. Ada semacam atmosfer serta selubung suasana yang kemudian menjadi penanda bahwa hari ini adalah Lebaran. Namun, di tengah masyarakat Amerika yang tak pernah tahu apa makna Lebaran, akankah hari ini menjadi meriah?

Di Athens, Ohio, aku merasakan Lebaran yang kehilangan suasana. Kemeriahannya hanya ada di dalam masjid. Bagi komunitas Muslim, Lebaran jadi momen sibuk. Malam Lebaran, aku ikut bersama para sahabat untuk membersihkan Islamic Center, mengepel semua lantai, mengilapkan kamar mandi. Aku ikut dalam kemeriahan bersama warga Muslim lainnya. Namun, setelah keluar dari Islamic Center, kembali suasana itu seakan lenyap.

Melalui media sosial, aku diberitahu tentang suasana Lebaran yang meriah di kota New York. Sahabat Shamsi Ali mengirim tautan tentang salat Idul Fitri yang dilaksanakan di Queens, New York. Pihak Humas Kota New York memajang foto-foto tentang salat itu di website mereka. Suasananya meriah. Ribuan jamaah berbaur di lapangan di sana.

salat Idul Fitri terbesar yang diadakan di New York

Memang, New York beda dengan kota-kota lain. Di New York, kaum Muslim lebih progresif dan massif. Mereka bisa menegosiasikan hak-hak serta keinginan mereka. Sementara di Athens, Ohio, suasananya sangat jauh berbeda. Pemerintah Athens seakan membatasi ekspresi keagamaan. Di masjid, suara hanya diperdengarkan di lingkungan kecil dalam ruangan. Suara tak boleh terdengar ke mana-mana. Sungguh kontras bila melihat suasana sebelah apartemenku di malam hari, tatkala musik disko memecah malam, serta lampu-lampu warna-warni yang menyorot ke segala arah.

Namun dalam kondisi seperti ini, Lebaran tidak menjadi bising dengan suara-suara petasan serta kembang api yang berdenyar di udara. Lebaran menjadi momen pensunyian diri yang akan menikam-nikam jantung dengan pertanyaan tentang substansi dan makna. Selama sebulan menjalani puasa, pertanyaan yang tersisa: apakah makna menahan lapar dan haus di tengah kepungan masyarakat yang acuh tak acuh?

Di rumah kecil yang berfungsi sebagai masjid itu, aku memikirkan pertanyaan itu. Bahkan ketika salat ied usai, semua orang berjabat tangan dan saling mencium pipi ala Arab, aku masih saja memikirkan pertanyaan yang selalu saja memenuhi benak ini. Aku memikirkan bahwa Lebaran adalah satu titik dalam hari di mana kita berkomitmen untuk membersihkan diri, melihat kembali coreng-moreng di wajah kemanusiaan hari ini, kemudian menumbuhkan tekad untuk berbuat yang lebih baik.

seusai salat
bersama sahabat asal Malaysia

Di kota kecil ini, aku dan sahabat-sahabat sedang mencipta suasana Lebaran. Usai salat, bersama komunitas Indonesia dan Malaysia, kami saling mengunjungi dan berjabat tangan, diiringi senyum lebar, untuk meminta maaf atas segala dosa dan salah. Bersama warga Malaysia itu, kami menjadi satu kesatuan, satu saudara, satu nasib di tanah rantau, sama-sama merindukan peluk erat serta kehangatan. Aku mengunjungi rumah Najmi Yakob, Faisal dan Ka Tim, hingga Zafri. Di setiap kunjungan itu, kami sadar bahwa yang membedakan kami hanyalah batasan politik dan geografi. Ini adalah konsep yang dicipta dalam pikiran dan memenjarakan kita semua.

Bahwa sesungguhnya, kami sama-sama manusia biasa. Bahwa sesungguhnya, dalam tubuh kami telah mengalir darah yang sama. Bahwa sesungguhnya, kelak kami akan sama-sama terkalahkan oleh waktu. Kelak kami hanya akan menjadi tulang-belulang, atau malah kami akan sama sekali lenyap dalam sejarah. Momen Lebaran menjadi momen yang mempererat kedekatan, memutuskan jarak sosial di antara kami, sekaligus menjadi momen penuh permaafan.

Melalui kata maaf, kami sama-sama merendahkan diri kami, sebagaimana rendahnya tanah yang kami pijak. Kami sama-sama berikhtiar dan berjanji ke dalam hati masing-masing untuk melakukan yang terbaik. Pada akhirnya diriku terus-menerus menyadari betapa kotornya jejak yang pernah ditorehkan, namun kesadaran akan kemanusiaan telah menjadi cahaya terang yang akan membimbing kami untuk memisah terang dari gelap, untuk menjadi diri yang lebih baik.

Mestinya, Lebaran menjadi awal untuk bertanya ada seluruh anggota tubuh, sebagaimana yang pernah dilakukan guruku KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Di hari ini, aku membaca puisi indah dari guruku KH Mustofa Bisri, puisi yang terus-menerus hadir di setiap malam menjelang tidur. Kukutipkan puisi itu beberapa bait:


Selamat Idul Fitri, mata
Maafkanlah aku,
selama ini kau hanya kugunakan
melihat kilau comberan

Selamat Idul Fitri, telinga
Maafkanlah aku,
selama ini kau hanya kusumpali
rongsokan-rongsokan kata

Selamat Idul Fitri, mulut
Maafkanlah aku,
selama ini kau hanya kujejali
dan kubuat memuntahkan Onggokan-onggokan kotoran

Selamat Idul Fitri, tangan
Maafkanlah aku,
selama ini kau hanya kugunakan mencakar-cakar kawan
Dan berebut remah-remah murahan

Selamat Idul Fitri, kaki
Maafkanlah aku,
selama ini Kau hanya kuajak menendang kanan-kiri
Dan berjalan di lorong-lorong kegelapan

Selamat Idul Fitri akal budi
Maafkanlah aku,
selama ini kubiarkan kau terpenjara sendiri

Catatan di Suatu Sore



KULIAH akan segera dimulai. Tak ada lagi saat untuk bermalas-malasan dan menentukan hendak bangun jam berapa. Kembali, waktu akan bergegas. Seminggu ini, kampus mendadak ramai dengan banyak mahasiswa yang hilir mudik. Apartemen ramai dengan aktivitas mereka yang hendak menghuni gedung baru, atau mereka yang hendak meninggalkan apartemen.

Di tengah suasana sibuk itu, saya memilih untuk tetap dengan rutinitas di Alden Library, membuka-buka koleksi buku Asia Tenggara, membaca beberapa lembar, atau sesekali membuat tulisan. Saya berusaha untuk mengatasi semua kebosanan agar tidak terlanjut bersarang di kepala, agar pikiran tetap fresh dan focus pada apa yang hendak dilakukan.

Saya juga suka memperhatikan suasana. Beberapa hari ini, saya menyaksikan banyak orang tua yang masuk kampus untuk menemani anaknya. Mereka menemani anaknya yang menjalani orientasi, menemaninya menemukan apartemen yang ideal, hingga ikut mengangkat barang di kamar baru anaknya.

Sering saya melihatnya aneh. Di kampung saya, seorang siswa kelas satu sekolah dasar (SD), sering merasa malu bila orang tuanya ikut mengantar sampai di depan kelas. Saya merasakan sendiri rasa malu seorang sahabat yang ibunya ngotot untuk berdiri di depan ruang belajar kelas satu, hingga menemani sang anak ketika hendak pulang.

Di sini, semuanya berbeda. Di lapangan dekat kampus, saya sering menyaksikan anak-anak sekolah dasar yang bermain olahraga. Yang menarik, orangtuanya akan datang dengan mebawa kursi lipat, lalu duduk di tepi lapangan demi menyemangati anaknya. Sering, para orangtua itu bertengkar dengan wasit yang memberikan penalty kepada sang anak.


Malah, ada momen tertentu, di mana orangtua wajib hadir. Misalnya saat kelulusan sang anak. Ketika orangtua tak hadir, maka si anak bisa marah dan tidak mau berbicara kepada orangtuanya. Kehadiran orangtua adalah sesuatu yang wajib, dan tak bisa ditawar.

Bahkan ketika si anak mulai kuliah, orangtua akan ikut menemani anaknya. Orangtua akan mengantar anaknya, sang mahasiswa, untuk mengitari kampus. Para orangtua itu ingin memastikan bahwa anak-anaknya belajar di tempat yang tepat, serta dibimbing oleh orang-orang yang tepat.

Mungkin, semua tempat memiliki kearifan masing-masing. Dahulu, saya menganggap orang Amerika individualistis, tak peduli ikatan kekerabatan, serta tak memiliki kedekatan emosional. Anggapan itu salah kaprah, yang entah datang dari mana. Mungkin masyarakat di negeri kita yang banyak memelihara stereotype pada masyarakat barat, yang sesungguhnya tidak selalu demikian. Malah, masyarakat barat itu justru punya kearifan yang sering tak kita miliki.

Entah mengapa, kita sering diajarkan untuk membenci sesuatu yang sering tak kita pahami benar. Saya teringat tentang betapa banyaknya organisasi keagamaan yang membenci warga Amerika. Padahal, warga Amerika sendiri tak banyak tahu apa yang terjadi di luar. Para warga itu tak tahu politik, Mereka tak diajarkan untuk membenci. 

Lagian, sungguh tak etis jika kebijakan politik suatu negara, langsung dinisbahkan sebagai prilaku seluruh warga. Itu sama saja dengan analogi kalau seluruh warga Indonesia suka teror, padahal yang suka melakukannya hanya beberapa gelintir orang saja. Namun, apa daya. Sikap membenci, melihat sebelah mata, serta sikap tengkar atas bangsa lain terlanjur melekat di benak banyak orang. Makanya, pengalaman, serta interaksilah yang kelak akan memperkaya pengetahuan dan pengalaman seseorang, serte kejernihannya dalam melihat sesuatu. Ia tak akan mudah dikaburkan oleh satu atau dua informasi sesat.

Maafkan saya yang sedang ingin berceloteh dengan sok serius. Kuliah akan segera dimulai. Saya masih belum ada rencana hendak mengambil mata kuliah apa. Saya masih selalu duduk melamun di apartemen, sembari menunggu-nunggu sosok yang akan segera tiba di kota kecil ini.


Athens, 25 Agustus 2012

Saat Adrian di Kampus Athens


saat berkumpul bersama Adrian Budiman

DI kota kecil Athens, kami tak banyak menerima tamu warga Indonesia yang datang sekadar untuk berkunjung dan menyapa. Amat jarang pula senior, alumni Ohio University, yang datang berkunjung. Setahun di sini, aku hanya mencatat beberapa nama yang pernah singgah melihat kota kecil ini. Mereka adalah Endah Agustiana, Jayadi, dan Adrian Budiman.

Seingatku, Mbak Endah hanya datang selama tiga hari. Memang, ia sempat mempresentasikan pengalamannya di Timor Leste, namun hanya sehari. Malamnya, kami mengadakan potluck di rumah Elizabeth Collins. Dan keesokan harinya, ia meninggalkan Athens. Kami, para mahasiswa, hanya sempat berjabat tangan sambil menyebut nama, tanpa yakin apakah nama kami akan mengendap di pikiran beliau.

Sementara Jayadi datang untuk mencari literatur. Saat itu, ia datang di sela-sela program post-doktoral-nya di Harvard University. Dan betapa beruntungnya kami, sebab dirinya menyempatkan waktu untuk diskusi dengan sahabat Permias. Kami berdiskusi tentang masa-masa yang lewat, serta bagaimana menjadi menapaki hari demi hari sesuai meninggalkan Athens. Ada kehangatan, ada pula persahabatan dan persaudaraan di situ.

Berbeda dengan mereka, Adrian lebih lama di Athens. Ia di sini selama sebulan, melewatkan bulan Ramadhan di Athens, hingga lepas Idul Fitri. Adrian pula yang rajin mengadakan pertemuan dengan mahasiswa yang tengah merajut hari di Athens. Pribadinya amat hangat. Meskipun baru pertama bertemu, ia dengan segera larut dalam segenap pertemuan baik yang serius, santai, ataupun hanya untuk sekadar bercerita sambil tertawa bersama.

saat Adrian berbicara, dua gadis ini malah pengen difoto. hehehe

Ia datang ke Athens atas undangan Unicef yang bekerjasama dengan pihak Communication and Development (Commdev) Program. Dalam kegiatan bertajuk Communication for Development (C4D) ini, Adrian menjadi fasilitator yang membantu mengalirkan gagasan-gagasan ke dalam koridor yang digariskan Unicef. Melihat kapasitas peserta, training ini nampaknya lebih pada upaya untuk menyamakan visi serta kebijakan yang kemudian dipraksiskan secara kontekstual.

Kami tak pernah kehabisan topik saat diskusi dengan beliau. Ia bersedia hadir dan memberikan motivasi kepada kami yang tengah meniti di altar ilmu pengetahuan. Ia juga tak pernah menolak setiap ajakan untuk berkumpul, khususnya makan-makan, dan setelah itu, ia lalu menawarkan diri untuk mengantar beberapa orang yang searah dengannya.

Ia menjelaskan pada kami peta intelektual para akademisi di Malaysia, bahkan ia juga tak kikir untuk berbagi pengalaman tentang pamannya, Soe Hok Gie, yang hingga kini menjadi bara bagi api perlawanan anak-anak muda.

Adrian adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang fasih menjelaskan segala hal tentang Athens. Tak hanya sejarah, serta patahan waktu yang berkelindan dengan peristiwa, ia juga bisa menjelaskan tentang fenomena hantu, serta posisi kuburan yang membentuk pola pentagram di Athens.

Malam itu, di tengah penasaranku yang memuncak tentang fenomena supranatural, ia mengantarku untuk melihat langsung The Ridges, yang dahulu adalah pusat rehabilitasi mental, yang kini menjadi situs paling angker dan mengukuhkan predikat Ohio University sebagai tempat paling seram di Amerika.  Adrian menunjukkan padaku kawasan berhantu yang kini menjadi situs sejarah. Sayang, saat ke situ, para hantu seakan enggan keluar.

saat Adrian memfasilitasi peserta pelatihan
suasana pelatihan

Hari ini, aku datang menemuinya di Walter Hall, tempat training karyawan Unicef. Dengan bahasa Inggris yang fasih, ia menggali pengalaman dan pengetahuan para peserta. Ia seorang komunikator yang baik, efektif, dan senantiasa rendah hati untuk belajar pada siapapun. Bersamanya, tak pernah sedikitpun aku mendengar kata-kata yang membanggakan diri. Sebagaimana dikatakannya hari ini, nampaknya, ia belajar menjadi pribadi pembelajar yang setiap saat menampung tetes-tetes pengetahuan.

Saat dirinya sedang berbicara di acara tersebut, aku sedang bersama beberapa mahasiswa. Kepada mereka kubisikkan kalimat singkat dengan penuh kebanggaan. “Kalian tahu siapa yang sedang berbicara? Dia bukan hanya alumni OU. Dia adalah warga Indonesia. Dia adalah kakak kami!.”


Athens, 24 Agustus 2012

Keluarga Kecilku, Semesta Kecilku


ISTRIKU dan bayi kecilku akan segera datang ke Athens pada 5 September mendatang. Selama beberapa hari ini, rasa gembira tak bisa kusembunyikan. Tiba-tiba saja, ada semangat serta kekuatan yang kemudian memenuhi hari-hariku. Aku tak peduli dengan kuliah yang akan dimulai minggu depan. Aku tak peduli dengan tantangan untuk menghasilkan sesuatu.

Aku hanya peduli fakta bahwa keluarga kecilku akan datang menemani hariku, menemaniku bermain, dan menjalani hari dengan riang. Aku hanya gembira dengan kenyataan bahwa ada teman paling dekat yang bisa menemaniku bercerita, atau melakukan banyak hal-hal aneh bersama. Aku girang dengan realita bahwa si kecil akan jadi temanku bercanda, teman untuk tertawa bersama, teman yang selalu mengingatkan bahwa diriku adalah seorang ayah.

Bagiku, keluarga adalah semesta kecil. Keluarga adalah jagad raya yang serupa serpihan yang saling menyatu dan saing menyapih. Sering kuibaratkan diriku adalah matahari yang dikelilingi planet-planet lainnya. Matahari dan planet-planet itu adalah satu kesatuan. Matahari memberikan sinar. Dan planet memberikan gerak untuk mengelilingi. Mereka saling tarik-menarik. Mereka diikat oleh rasa dan kekuatan yang sama. Matahari tak boleh pongah. Dirinya hanyalah satu noktah kecil dari betapa luasnya jagad raya.

Tanpa keluarga, maka diriku seakan hampa. Keluarga memberikan oksigen bagi perjalanan hari. Keluarga terus-menerus membuatku sadar bahwa aku bukanlah layang-layang putus yang terbang mengikuti arah angin. Aku adalah bagian dari ikatan suci yang memberikan napas, kekuatan, serta kehidupan yang terus-menerus bergerak saling menyempurna, saling menyuburkan, dan saling menebar benih-benih kasih pada setiap pijak kaki di semesta hari ini.(*)



Athens, 24 Agustus 2012

Jalan Pedang Penulis "Sepotong Senja untuk Pacarku"


Seno Gumira Ajidarma

DI akhir tahun 1990-an, seorang sahabat bertemu sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer.  Sahabat itu lalu bertanya pada Pram, siapakah pengarang Indonesia masa kini yang paling disenanginya. Pram terdiam sesaat, kemudian menjawab, “Saya menyenangi penulis buku Matinya Seorang Penari Telanjang serta buku Saksi Mata. Siapa namanya yaa?”

Pram tak hapal nama pengarangnya yakni Seno Gumira Ajidarma. Ia hanya mengenali gaya bertutur, sekelebatan ide yang ditata dalam kata-kata, dituangkan dalam kalimat-kalimat bernas yang berisi dan menggigit, serta dikemas dalam tarian paragraf yang aduhai. 

Ketika Pram menyebut karya Seno, bisa menjadi gambaran sejauh mana daya jelajah serta kemampuan Seno di dunia sastra. Mungkin ia belum sehebat Pram, tapi setidaknya ia sudah mulai menunjukkan jurus-jurus serta gaya bertarung kata yang piawai, sebagaimana para master pengarang yang sudah mencipta bentuk kepengarangan dan gaya bertarung dalam mencipta makna lewat kata.

Saya pengagum berat Seno. Hampir semua karyanya saya baca. Mulai dari cerita pendek, catatan perjalanan, analisis komik, hingga novel silat berjudul Nagabumi yang setebal Musashi karya Eiji Yoshikawa. Seno adalah tipe penulis serba bisa yang bisa menyimpan kata dalam benak hingga mengendap. Judul-judul cerpennya yang tak bisa hilang dari kepalaku adalah  Sepotong Senja untuk Pacarku, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Cinta di Atas Perahu Cadik, serta Pelajaran Mengarang.

Bulan ini, saya kembali mengagumi Seno. Melalui blog pribadinya, ia mengumumkan penolakannya atas penghargaan Bakrie Award 2012. Ia menolak untuk dikait-kaitkan dengan perusahaan yang telah menyengsarakan banyak rakyat di Sidoarjo. Mungkin, ia juga menolak untuk dikaitkan dengan kapitalisme yang memiskinkan banyak orang dan mengayakan diri sendiri. Lewat blognya, Seno mengumumkan:

BAGI YANG BERKEPENTINGAN
Bersama ini saya sampaikan, bahwa saya telah menerima surat bertanggal 12 Juni 2012 dari Freedom Institute yang ditandatangani Sdr. Rizal Mallarangeng. Surat tersebut memberitahukan bahwa saya terpilih sebagai penerima Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) 2012 bidang Kesusastraan. Sehubungan dengan kemungkinan diumumkannya para penerima PAB 2012 pada tanggal yang belum saya ketahui, saya menyatakan bahwa saya telah mengirim surat bertanggal 18 Juni 2012 kepada pihak Freedom Institute, yang menyampaikan bahwa penghargaan tersebut sebaiknya diberikan kepada orang lain yang dianggap layak, karena saya tidak dapat menerimanya.
Demikianlah pernyataan ini saya sampaikan, demi kelengkapan berita ketika diumumkan.
Jakarta, 23 Juli 2012
Tertanda
Seno Gumira Ajidarma

Seno telah menambah panjang barisan sosok yang menolak Bakrie Award. Setelah Franz Magnis Suseno, beberapa yang menolak adalah Daoed Joesoef, Sitor Situmorang, serta Goenawan Mohammad yang telah mengembalikan penghargaan itu. Mereka telah menunjukkan bahwa jalan menuju dunia intelektual dan dunia sastra adalah jalan pedang yang sunyi. Mereka yang menempuh jalan pedang adalah mereka yang melakukannya murni untuk nurani kemanusiaan, bukan untuk sebuah kategori atau penghargaan.

Inilah jalan pedang yang dipilih Seno, sebuah jalan yang membuat saya tak henti mengaguminya, dan menjadikannya sebagai kompas kepenulisan di jagad republik yang kian aneh dan senantiasa menunggu para pendekar ilmu dan penyair yang bernurani dan bermartabat.


Athens, 21 Agustus 2012

Lebih Mudah Meminang Gadis Daripada Meminang Kedubes

ilustrasi


MEYAKINKAN pihak Kedutaan Besar (Kedubes) untuk mengeluarkan visa, lebih sulit dari meyakinkan seorang gadis agar bersedia untuk dipinang. Saat meminang gadis, anda cukup menujukkan keseriusan, sorot mata yang penuh meyakinkan, serta pengharapan bahwa anda akan menjagai dan melindunginya sampai kapanpun.

Tapi pihak kedutaan negeri yang jauh itu, tidaklah mudah. Mereka tak butuh ketulusan. Mereka butuh bukti-bukti empiris bahwa anda tidak sedang berangkat untuk menambah daftar pengangguran atau menambah daftar mereka yang menggelandang di sana. Anda mesti meyakinkan bahwa anda punya cukup tabungan yang bisa menghidupi anda pada periode tertentu, lalu menunjukkan surat dari lembaga prestisius yang mensponsori keberangkatan.

Ternyata tak mudah untuk mengetuk pintu negeri orang lain. Tak semudah uraian para penulis catatan perjalanan tentang cara-cara memasuki kampung orang lain, bertegur sapa dengan ramah, lalu melangkah dengan penuh keyakinan. Selalu saja ada yang harus diperjuangkan agar perjalanan itu bisa mulus, tanpa dirintangi berbagai kekhawatiran.

Negeri itu memang terlampau banyak memelihara ketakutan. Takut atas manusia,. Takut atas bala, takut atas bencana, takut atas huru-hara, takut atas balas dendam, dan takut atas segala hal yang ditanam dalam pikiran. Mungkin negeri itu banyak menanam bom waktu di mana-mana, makanya banyak pula yang ingin membalas dendam.

Negeri itu tak juga bisa menerapkan hukum keseimbangan; sekali anda menyakiti orang lain, maka anda pun akan tersakiti oleh balas. Namun sekali anda berbuat kebaikan kepada banyak orang, maka sikap ramah dan kebajikan akan selalu menghinggapi hati anda. Inilah rumusan purba, yang seringkali diingkari oleh kita, yang mengklaim diri sebagai manusia modern.

Ah. Maafkan saya yang sedang meracau dan menunggu-nunggu mereka yang akan segera berangkat menuju ke sini.


Athens, 21 Agustus 2012

Pasar Lokal, Produk Lokal, dan Petani Lokal


Farmer's Market di Athens

HARI itu, Sabtu 18 Agustus 2012, Jeff menggelar dagangan di East Street, Athens, Ohio. Jeff, seorang petani yang bisa menanam apapun di tanah subur Athens, menyambut Sabtu dengan berseri-seri. Ia membawa produk pertanian yang ditumbuhkannya, menjualnya langsung pada tangan pertama, serta bergabung dengan rekan-rekannya untuk mempromosikan semua produk lokal.

Di setiap Sabtu, ia adalah bagian dari Farmer’s Market Athens, sebuah pasar yang berdiri sejak tahun 1970. Sesuai dengan namanya, hanya petani dan warga lokal yang berhak menjual di pasar itu. Barang yang dijual pun diseleksi. Hanya boleh memasarkan produk pertanian atau perkebunan lokal, serta barang-barang hasil industri rumahan.

“Di sini, semua petani menjual produk organik, produk lokal, serta produk yang menyehatkan,” katanya saat kutemui di pasar itu. Ia sangat menekankan produk lokal, sebab Athens menjadi tempat yang juga dikepung produk impor yang justru mengabaikan kesehatan. Athens juga menjadi lalu lintas kapitalisme yang disimbolkan oleh raksasa kapitalisme Walmart yang tak jauh berdiri di dekat tempat itu.

Para petani itu tengah membangun kekuatan melalui jaringan. Bersama-sama, mereka menyatukan kekuatan, mempromosian produk lokal, serta menggugah kesadaran publik. Mereka menjalin kerjasama dengan pemerintah, restoran, masyarakat lokal, hingga kafe-kafe di pinggir jalan, demi pemasaran produk para petani serta industri rumahan. Di kota kecil itu, mereka bisa sangat berdaya melalui kekuatan jaringan.

produk lokal
interaksi petani dan pembeli

Di tempat itu, nalarku berusaha mengeja aksara kehidupan. Nampaknya, kehidupan serupa bandul yang terus berganti ayunan. Dahulu, manusia menyenangi segala hal menyangkut modern. Mesin-mesin besar industri menjadi jawab atas semua keinginan manusia untuk memassalkan produk. Selanjutnya, manusia mengalami langsung dampak industri, lalu memutuskan kembali ke pertanian organik yang diolah dari tangan-tangan dingin petani seperti Jeff, diolah melalui penyatuan dengan alam.

Jeff bisa survive bersama petani lainnya. Masyarakat mendukung mereka. Tapi banyak masyarakat lain yang juga menyokong kapitalisme di gedung besar sana. Entah, apakah Jeff sanggup menumbangkan mesin besar kapitalisme itu. Tapi setidaknya, ia telah menyalakan lilin di hati semua orang untuk mencintai interaksi para petani dengan alam. Ia memantik kesadaran untuk mencintai lingkungan, mencintai semua kekayaan organik, menyayangi semesta melalui produk pertanian yang ramah dengan alam.

Jeff adalah pejuang lingkungan yang tak pernah mengajukan proposal atas idealismenya.


Athens, 18 Agustus 2012