Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Saat Alden Library Dipenuhi Kepanikan




Bagaimanakah rasanya berada di satu gedung
yang tiba-tiba saja dikejutkan dengan sirine kebakaran?


HARI ini ada sesuatu yang beda. Di saat saya duduk menyelesaikan tugas-tugas, tiba-tiba saja sirine kebakaran berkumandang di seantero perpustakaan. Saya ingin mengacuhkannya. Tapi petugas perpustakaan sontak panik dan membuka pintu darurat di dekat ruang baca. Ia lalu mengumumkan agar semua pengunjung perpustakaan segera keluar karena alarm kebakaran berbunyi nyaring.

semua orang disuruh keluar perpustakaan

Maka terjadilah kegaduhan. Semua orang langsung keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Perpustakaan Alden langsung dikosongkan hanya dalam beberapa menit. Di tengah panas terik, semua orang keluar ruangan. Di depan perpustakaan, suasananya ramai seperti pasar.

Yang membuat saya salut adalah tak satu pun pengunjung yang memprotes karena dikeluarkan secara tiba-tiba dari ruangan perpustakaan. Kemudian, petugas perpustakaan juga dengan sigap berdiri di trotoar depan perpustakaan, dan mengingatkan semua orang untuk tidak mendekat areal perpustakaan.

Ini bukan yang pertama buat saya. Sebulan silam, saat tengah duduk di dalam perpustakaan, tiba-tiba saja badai menerjang di luar. Hujan keras turun dan ditingkahi angina yang menderu kencang. Petir juga bersahut-sahutan. Lampu listrik di perpustakaan tiba-tiba padam, kemudian menyala lagi.

Saat itu, semua pengunjung panik dan ingin keluar. Tapi petugas perpustakaan segera menunggu di dekat kaca yang menjadi pintu masuk. Ia memberi pengumuman agar semua orang menjauh dari areal jendela-jendela kaca. Ia tak sekadar memberi perintah. Ia juga berpatroli demi memastikan semua orang mematuhi perintahnya.

saat menunggu di luar
menanti di luar

Di tengah hujan badai itu, petugas perpustakaan itu menunjukkan kualitas kepemimpinan yang hebat. Ia bertanggungjawab atas keselamatan semua orang di tempat itu. Ia memberikan ketenangan dan memastikan semua orang tetap dalam ketenangan sehingga tidak panik.

Hari ini, saya melihat hal yang sama yakni tangungjawab. Kurang lebih setengah jam, saya dan pengunjung perpustakaan lainnya menunggu di luar. Entah apa yang terjadi di dalam perpustakaan, nampaknya semua masalah telah dibenahi sehingga semua pengunjung diizinkan masuk ke dalam.

Hari ini, saya belajar tentang hal-hal sederhana. Petugas perpustakaan itu mengajarkan saya untuk tetap mengutamakan keselamatan banyak orang, di tengah segala hujan badai yang melanda. Untunglah, perpustakaan ini tidak jadi terbakar. Jika sampai terbakar, saya akan terus-menerus meratapi ribuan koleksi arsip tentang Indonesia yang dikumpulkan sejak lama. Saya akan meratapi punahnya sumber-sumber ilmu pengetahuan serta inspirasi yang telah memperkaya peradaban hari ini.

Untunglah, hal itu tidak terjadi. Lantas, mengapa sampai sirine kebakaran meraung-raung?


Belajar Menulis pada Natalie Goldberg



"Writing is a path to meet ourselves and become intimate.”


PERNAHKAH anda mengalami kebuntuan ketika hendak menulis? Pernahkah anda mengalami stuasi ketika tiba-tiba saja Anda kehilangan semua ide-ide yang hendak dituliskan? Jika anda mengalami hal tersebut, sebaiknya Anda berguru pada Natalie Goldberg, seorang guru yang mengajarkan teknik menulis bebas yang tinggal di New Mexico, Amerika Serikat (AS).

Writing Down the Bones karya Natalie Goldberg

Seharian saya membaca dua buku karya Natalie Goldberg yakni Writing Down the Bones serta buku Wild Mind. Kalau tak salah, buku pertama telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh Mizan dengan judul Alirkan Jati Dirimu, Esai-Esai Ringan untuk Meruntuhkan Tembok Kemalasan Menulis.

Yang menarik buat saya adalah Natalie tak menawarkan satu rumusan baku tentang kiat menulis, baik menyangkut cara, gaya, teknik, format ataupun style. Bagi Natalie, menulis adalah upaya untuk melepaskan gagasan-gagasan yang bersarang dalam benak kita, upaya untuk mengalirkan diri kita, ide-ide yang berkelebat dalam pikiran, lalu dituangkan melalui medium tulisan.

Semua individu memiliki keunikan. Semua individu pasti memiliki cara pandang atau opini yang berbeda atas sesuatu. Dengan cara menuliskan sesuatu secara bebas, maka setiap orang memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat serta apa yang dirasakannya. Menulis hanyalah jembatan untuk membantu seseorang untuk mengekspresikan diri.

Nah, kebanyakan kita adalah selalu takut untuk memulai sebuah tulisan. Ada di antara kita  yang takut dikira bodoh, takut dikira tolol, ataupun takut dianggap tidak berpengalaman. Di saat bersamaan, seringkali kita merasa diri kita hebat, pintar, sehingga seakan-akan kita telah memiliki satu standar tersendiri di dunia kepenulisan.

Kata Natalie, semua sikap-sikap itu adalah sebuah penjara bagi siapapun yang hendak menulis. Seseorang yang hendak menulis harus berani menyingkirkan semua perasaan itu. Menulis harus dilihat sebagai upaya untuk mengalirkan sesuatu yang sedang dipikirkan. Menulis adalah upaya untuk bercerita atau menyampaikan sesuatu, tanpa harus terpenjara oleh keinginan untuk dipuji, atau ketakutan kalau-kalau orang akan menganggap bodoh.


Makanya, kita tak butuh banyak buku untuk menemukan cara menulis. Sebab yang paling penting adalah keberanan untuk melepaskan apa yang ada di pikiran kita secara bebas, tanpa harus terikat pada banyak konvensi atau aturan kepenulisan. Aturan-aturan dalam kepenulisan dan berbahasa hanya akan menjadi pemjara yang membuat kita tak akan pernah bisa menulis.

Yang harus dilakukan adalah lupakan semua aturan. Labrak semua konvensi tentang cara menulis. Kemudian mulailah menulis secara bebas. Tak usah peduli apa kata orang. Toh, kita menulis untuk diri kita sendiri yang didasari niat tulus untuk berbagi.

Kalaupun ada yang mengatakan tulisan kita jelek, maka yakinlah kalau si penghina itu bukan seorang penulis. Sebab para penulis akan menyadari betul bahwa melahirkan tulisan bukan sesuatu yang mudah. Para penulis akan paham betul bahwa menulis membutuhkan nyali dan keberanian. Sehingga apresiasi akan terus diberikan kepada mereka yang memiliki keberanian untuk menuangkan gagasan, seperti apapun gagasan itu, bukan malah menjatuhkannya.

Toh, apa yang disebut baik dan buruk dalam menulis selalu bersandar pada kriteria yang bisa diperdebatkan. Buat saya, tak ada kriteria baik dan buruk dalam menulis. Yang ada hanyalah satu bentuk kepenulisan yang lebih bisa diterima khalayak dan satu lagi belum diterima. Bukan berarti yang belum diterima itu buruk. Ini hanya soal waktu dan cara kita memandang tulisan itu.

ilustrasi

Saya sering mengutip pelukis terkenal Van Gogh. Di masa hidupnya, ia melukis dan menjualnya ke mana-mana. Lukisan-lukisan karyanya tak pernah laku. Tapi ia tak pernah berhenti melukis hingga lukisannya disimpan di satu gudang. Beberapa tahun setelah ia meninggal, adiknya coba menjual satu lukisan. Ternyata malah laku jutaan dollar. Mulailah ia dikenal. Mulailah lukisannya diburu, sesuatu yang tak dinikmatinya saat masih hidup.

Boleh jadi, anda adalah Van Gogh. Pada hari ini, tulisan anda dianggap tidak baik. Namun, tak ada satupun yang bisa memastikan masa depan. Boleh jadi, tulisan anda adalah berlian yang tak ternilai harganya. Boleh jadi, apa yang anda tuliskan adalah emas yang tengah dinanti banyak orang. Makanya, jangan pernah berhenti menulis. Jangan pernah berhenti untuk membagikan keping demi keping inspirasi untuk dibaca banyak orang. Bukankah setiap tulisan menyimpan keunikan sendiri-sendiri?

Sebagaimana diajarkan dalam Zen, saat menulis, kosongkan pikiran kita. Lupakan berbagai teori menulis. Langsung gerakkan tangan untuk menulis baris-demi baris. Kita akan terkejut saat menyadari bahwa kita telah melahirkan lembar demi lembar. Kita telah mengalahkan satu musuh utama dalam menulis yakni halaman kosong. Kita sukses mengisinya dengan kata demi kata.

Natalie juga mengajarkan agar kita tak perlu meniru-niru gaya orang lain ketika menulis. Dengan meniru orang lain, maka kita terpenjara dengan cara seseorang menulis. Yang jauh lebih penting adalah menjadi diri sendiri dengan cara melepaskan ide itu secara bebas dan lepas, sehingga tulisan kita bisa mengalir.

Natalie Goldberg

Saya menikmati buku yang ditulis Natalie. Saya akhirnya berkesimpulan bahwa praktik menulis adalah praktik meditasi. Menulis adalah upaya untuk menjadi diri sendiri, upaya menemukan keheningan lalu mengalirkan keheningan itu dalam kata demi kata. Menulis adalah upaya untuk menangkap makna, mengikatnya, lalu mengabadikannya.

Menulis adalah upaya untuk menjelmakan diri kita sebagai sungai jernih yang mengalir lepas, menghindari bebatuan dan karang yang menghadang, hingga akhirnya menemukan danau tenang untuk berdiam. Danau tenang itu adalah diri kita sendiri, sisi terdalam diri kita yang seringkali tak kita temukan.

Berikut, beberapa kutipan yang saya ambil dari buku Natalie Goldberg:


“If everything you sat down, you expected something great, 
 writing would always be a great disappointment.” 

“In writing, when you are truly on, 
there’s no writer, no pen, no thoughts. 
Only writing does writing –everything else is gone.” 

“We must continue to open and trust in our own voice and process.”  

“Let your whole body touch the river you are writing about, 
so if you call it yellow or stupid or slow, all of you is feeling it. 
There should be no separate you when you are deeply engaged.”


Kado Cinta untuk Ara


LIMA hari lagi, kamu dan ibumu akan berulang tahun. Ini adalah ulang tahun pertamamu. Aku tidak tahu hendak memberikan apa buat kamu dan ibumu. Bagiku, ini adalah momen yang sangat penting buat kalian, momen yang berharga untuk berefleksi dan sama-sama merenungi hari demi hari.

lima menit setelah kamu lahir
Kadang kurasai ini sesuatu yang aneh. Dirimu dan ibumu sama-sama memiliki tanggal lahir yang sama yakni 2 Agustus. Namun, semesta punya skenario tersendiri atas semuanya. Mungkin, semesta hendak berkata bahwa kamu dan ibumu adalah satu. Kalian satu jiwa yang terpisah ke dalam dua tubuh.

Ibumu menyiapkan kado istimewa. Ia telah mengumpulkan semua catatan tentangmu. Aku telah menghitung kalau catatan itu sebanyak lebih 200 halaman. Selama kurang lebih setahun, ia rajin mencatat apapun tentang dirimu. Di banding diriku, ibumu amat beruntung sebab setiap hari bisa bersamamu. Ia menjadi saksi tentang dirimu yang terus mekar sebagaimana bunga-bunga di musim semi.

Iri melihat ketekunan ibumu, akupun mengumpulkan segala catatan tentangmu. Jumlahnya juga cukup banyak. Bagiku, ini bukan soal jumlah. Ini adalah soal bagaimana mngekspresikan rasa cinta dan sayang kepada seseorang. Jumlah ratusan halaman itu justru amatlah sedikit, ketimbang menghayati betapa dahsyatnya rasa cinta kami atasmu, betapa besarnya harapan kami untuk dirimu.

Lima hari lagi, kamu merayakan ulang tahun yang pertama. Dirimu sedang jauh di sana. Mungkin di malam hari ketika dirimu dilahirkan, aku akan menyalakan lilin di kamar, sembari merenungi detik-detik ketika kamu terlahir, detik-detik ketika kulihat dirimu terbaring di sebuh meja, sambil disoroti cahaya. Aku mendekat. Kamu menatap lurus. Lalu kulantunkan azan di telingamu.

Kamu lahir ke bumi. Tidak membawa apapun. Kamu membawa tubuh yang rapuh, yang kemudian diselimuti oleh cinta dan kasih sayang kedua orang tuamu. Maafkanlah jika diriku belum bisa menjadi ayah yang ideal untukmu. Diriku yang penuh kelemahan ini terus belajar untuk menemukan cara terbaik demi mengekspresikan cinta untukmu. Terimakasih telah memilih diriku dan ibumu sebagai sosok yang memberi atap bagimu untuk berteduh. Terimakasih atas indahnya segala rasa yang bawa di hati ini.

Lima hari lagi adalah tanggal 2 Agustus. Aku belum menemukan kado cinta yang tepat untukmu dan ibumu. Namun saat kurenungi semua pengalaman ini, aku akhinya tiba pada satu titik kesimpulan. Dirimu adalah kado terindah yang dititipkan semesta kepadaku. Dirimu adalah kado paling istimewa yang pernah kuterima di kehidupan ini. Dan kurapalkan beribu doa agar diriku juga bisa menjelma sebagai kado terindah untukmu. Kamu adalah kado terbaik dari alam, dan semoga diriku juga adalah kado istimewa untukmu. Inilah komitmen yang menjadi tali-tali dan terus menautkan diriku dengan dirimu.(*)


Athens, 27 Juli 2012

Sepotong Senyum di Kafe Donkey


hot choco di kafe donkey (foto: Arin Hening)

DI kafe yang mungil ini, senyummu semengembang brownies yang tersaji di depan mejamu. Aku duduk di sini, sembari menyaksikan pahatan langit di wajahmu. Pahatan langit yang setiap kali mengembang, hatiku ikut mengembang. Apakah kamu tahu bahwa senyummu sanggup melumerkan hati ini hingga laksana es krim magnum yang meleleh karena sinar matahari?

Aku lalu memesan hot chocolate yang panas demi melawan dingin. Kulihat dirimu tetap setia dengan brownies itu. Ada segelas coffee latte di dekat brownies itu. Uapnya mengepul hingga membentuk garis-garis tipis menuju langit-langit kafe.

Aku memperhatikan brownies yang seakan menggodaku. Konon, cinta hadir seperti kue brownies. Awal mengunyah, rasanya biasa saja. Namun semakin lama, nikmatnya semakin terasa. Semakin lama, nikmatnya seakan meresap hingga ke hati ini, membuat jejak yang serupa gurat-gurat abadi di belantara hati ini.

kue-kue
brownies

Kamu pernah bilang kalau kamu bisa membuat brownies. Sayang, kamu belum pernah mempersilakanku untuk mencobanya. Padahal, ingin kurasai sedikit demi sedikit sentuhan tangan lembutmu itu. Apakah brownies itu senikmat senyum yang kau pancarkan sore ini di satu kafe dengan iringan music jazz yang mengalun lembut?

Konon, brownies bisa mendeteksi perasaan pembuatnya. Ketika kamu sedih, rasanya tak akan nikmat. Ketika kamu gembira, rasanya akan semerbak bunga magnolia di taman kampus itu. Bisa kutebak, kalau brownies buatanmu tak begitu enak. Di mataku, kamu adalah tipe yang mudah peka dengan sentuhan kalimat. Kamu reaktif. Kamu emosional. Kamu mudah meneteskan air mata untuk sesuatu yang sering tak begitu jelas. 

Ah. Mungkin aku tak banyak mengenalmu. Kamu punya keriangan yang lepas ke udara. Kamu adalah kanak-kanak yang menghuni tubuh orang dewasa. Mungkin ketika sifat kekanakanmu itu hadir, kamu akan membuat brownies terbaik yang pernah dibuat seorang manusia.
 
depan kafe

Di luar hujan rintik-rintik. Aku baru saja mengemas beberapa lembar kertas kerja yang tak tuntas-tuntas. Mungkin aku tak berbakat menjadi seseorang yang menatah kerja di atas kertas demi kertas. Bakatku adalah duduk diam di sudut kafe ini sembari menyusun patahan demi patahan imajinasi atasmu.

Ajaib! Kamu tiba-tiba tersenyum di sudut sana. Senyum yang membentuk garis tipis. Mungkin sudah saatnya aku datang menghampirimu. Sekadar menyapa apa kabar, lalu mengajakmu makan burrito, makanan ala Mexico berupa sedikit nasi dan sekepal daging.

Ah. Aku malu dengan drimu. Bukan saatnya diriku berkarib-karib dengan cinta. Juga dirimu. Tapi, apa yang harus kulakukan ketika sebaris senyum itu terus-menerus menyapa hari-hariku?


Athens, 24 Juli 2012

Tragedi Colorado, Trauma, dan Depresi Warga Amerika


bunga di pusara korban penembakan

AKIBAT tragedi penembakan pada pemutaran film Batman: The Dark Knight Rises di Aurora, Colorado, kepanikan terus melanda warga Amerika Serikat (AS). Kesedihan akibat penembakan itu seakan menjadi tragedi nasional, yang kemudian membuat Presiden Barack Obama ikut-ikutan menyampaikan bela sungkawa.

Nyaris di seluruh negara bagian, berita penembakan ini terus menjadi headline, dan menutupi berita tentang persaingan antara Obama versus Romney di kursi kepresidenan Amerika. Berita penembakan ini telah memicu diskusi publik tentang kepemilikan senjata, motif sang pembunuh, stres yang tengah melanda mahasiswa program doktoral, serta pengaruh media sosial yang memberikan informasi terkini tentang tragedi itu.

Di Athens, Ohio, tempat saya berdomisili, banyak orang menulis status di facebook, haruskah memakai baju pelindung saat menonton film ini? Ada pula yang berkomentar melalui media massa agar areal bioskop tidak menjadi areal yang steril terhadap senjata. “Mestinya, pengunjung bioskop diizinkan membawa senjata agar bisa membela diri pada situasi sebagaimana di Colorado,” kata seseorang sebagaimana dicatat USA Today.

Ada pula yang menyoroti tentang beban sebagai mahasiswa program doctor yang berat. Mereka dituntut untuk bisa menyelesaikan studi serta biaya kuliah yang semakin besar. Ada juga yang mengaitkannya dengan isu terorisme. Namun isu ini sudah ditepis oleh pihak kepolisian setempat. Aksi ini dianggap murni aksi kriminal yang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.

Dari semua perdebatan itu, saya lebih tertarik mengikuti diskusi tentang latar belakang sang penembak yang bernama James Holmes (24). Warga Aurora di Colorado bertanya-tanya, mengapa ia melakukan itu? Bukankah ia berasal dari latar belakang kelas menengah terdidik yang tak punya catatan kriminal? Apakah ia sedang depresi karena ia drop out atau dikeluarkan dari program doctoral di kampusnya?

James Holmes

James Holmes berasal dari latar belakang kelas menengah. Usianya masih muda yakni 24 tahun. Beberapa tahun silam, ia menulis data dirinya sebagai seorang ‘an aspiring scientist’ atau ilmuwan yang menjanjikan. Ia juga menuliskan resume kalau dirinya sedang mencari pekerjaan sebagai seorang teknisi laboratorium.

Sahabat Holmes menggambarkan sosoknya sebagai pemuda yang brilliant dan penuh potensi. Ia lulus program sarjana pada satu universitas yang cukup bergengsi yakni University of California at Riverside. Pada tahun 2006, ia bekerja di Insitute for Biological Studies di La Jolla, California, dan pernah ikut memetakan neuron dan saraf otak beberapa binatang seperti zebra dan burung.

Mereka yang mengenal Holmes di San Diego, California, mengenalinya sebagai anak muda yang yang sopan dan cemerlang. “Dia sangat berbakat, sangat pintar,” kata Porsche Parkman (19), sahabat Holmes di sekolah. “Dia sangat baik. Keluarganya selalu ada di sisinya, saat ia membutuhkan pertolongan,” lanjutnya.

Senada dengan itu, mahasiswa biologi, Universitas Colorado, Kaitlyn Fonzi, juga memberikan gambaran yang baik tentang sosok Holmes. Perempuan, yang merupakan tetangga Holmes di apartemen dekat kampus ini, menyebut tak ada sesuatu yang aneh pada diri Holmes. “Kamu tak akan pernah menyangka bahwa ia akan melakukan hal seperti ini,” katanya.

Gambaran tentang Holmes sebagai sosok yang tersenyum pada buku almumni sekolahnya, sangat berkebalikan dengan pria yang membawa senjata dan menembak dengan cara membabibuta di Aurora, Colorado. Gambarannya sangat berbeda dengan pria yang mengecat rambutnya dengan warna merah, menyerupai musuh Batman yakni Joker. Pertanyaan yang masih tersisa adalah mengapa ia melakukannya?

bendera di pusara korban

Membaca Depresi

Harap dicatat, aksi ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, terdapat beberapa aksi yang menimbulkan trauma. Pada tahun 1999, terdapat aksi penembakan di sebuah sekolah menengah di Littleton, yang berjarak 27 kilometer dari Aurora. Aksi ini menewaskan 12 siswa dan seorang guru. Tahun 2007, terjadi pula penembakan membabibuta di Blacksburg, Virginia. Sebanyak 32 orang mahasiswa yang tewas secara mengenaskan. Semuanya menggambarkan apa?

James Allan Fox dari Northeastern University mengemukakan hipotesis yang menarik mengenai sebab pembunuhan tersebut. Menurutnya, pembunuhan massal disebabkan oleh seseorang yang frustasi atas keadaan, kemudian mengalami rasa kecewa atas kehidupan, perasaan terisolasi atau tersingkir dari keluarga, sehingga melahirkan perasaan yang menganggap diri tidak beruntung atau diperlakukan tidak adil.

Yang menarik buat saya adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa terdapat ribuan orang penduduk Amerika yang merasakan ketidakadilan serta harapan yang terlalu besar dari dunia sosial. Anak-anak muda diwajibkan menggapai ambisi tertentu, sehingga terjebak dalam perjuangan menggapai mimpi-mimpi yang dtanamkan sejak kecil. Anak-anak muda itu lalu menyalahkan sistem yang tak adil, kelarga, atau masyarakat yang tak banyak mendukung mereka.

ucapan happy birthday di pusara

Buat saya, apa yang terjadi di Colrado adalah refleksi atas dunia sosial kita yang kian sakit. Banyaknya pembunuhan massa atau fenomena bunuh diri adalah puncak gunung es dari permasalahan sosial yang sesungguhnya mendera manusia modern. Masyarakat dunia terlampau sibuk dan bergulat dalam dilema pencarian kebahagiaan, sebuah titik yang dianggap bisa nyaman sebenar-benarnya, selalu merasa cukup, tanpa diganggu rasa depresi.

Manusia kerap alpa dalam mendefinisikan bahagia. Kita selalu hanya melihatnya dengan capaian-capaian ekonomi dan simbol-simbol material. Untuk itu, kemudi hidup kita digerakkan dalam orbit material. Kita mencari ilmu setinggi-tingginya, lalu harta sebanyak-banyaknya.

Kelak kita akan tiba pada satu titik bahwa semua itu tidak selalu memberikan rasa nyaman bagi kita. Harta yang menimbun itu tidak bisa memberikan rasa damai. Setiap saat kita was-was dan ketakutan. Sementara mereka yang berumah di pinggir kali justru menemukan kenyamanan tersebut, sesuatu yang kita cari hingga mengorbankan banyak waktu kita dalam hidup.

Dalam kasus James Holmes, tekanan sebagai mahasiswa program doctoral yang diharapkan bisa berbuat sesuatu, lalu kaya-raya (sebagaimana impian banyak orang Amerika), akhirnya menjadi tekanan yang tak kuasa untuk ditahannya. Fenomena dirinya yang berasal dari latar sosial yang makmur menjadi alarm bagi kita bahwa materi bukanlah satu-satunya hal yang dicari manusia. Manusia memang mencari bahagia dan demi kebahagiaan itu kita siap melakukan apapun.

poster film The Dark Knight Rises

Tapi, apakah bahagia memang sampai sejauh itu? Kata Jalaluddin Rumi, manusia yang mencari kebahagiaan ibarat ikan laut yang sibuk mencari air. Bahagia ibarat udara yang senantiasa melingkupi kita. Bahagia adalah sesuatu yang amat dekat dengan diri kita. Dia adalah sesuatu yang tak berjarak, mengisi sesuatu tanpa menuang. Bahagia melingkupi segala sesuatu. Bahagia mengikuti kemanapun kita pergi, namun sayangnya, tak banyak dari kita yang menemukan bahagia tersebut. Banyak yang mencari-cari, tanpa memahami bahwa bahagia itu amat dekat dengan dirinya. Tak berjarak.

Jika semua orang memahami makna bahagia dalam kehidupan, maka James Holmes tak perlu menembak banyak orang saat pemutaran film Batman. Tak perlu ada kasus bunuh diri. Dan betapa damainya dunia ini.(*)

Melihat "Baduy" di Amerika


mencoba kereta kuda

Jangan kira Baduy hanya ada di Jawa Barat. Di Amerika Serikat (AS) pun, ada pula suku seperti Baduy yang dalam hal isolasi pada dunia luar, serta keengganan mereka untuk menggunakan perangkat modern dalam kehidupan sehari-hari.

Suatu hari saya berkenalan dengan Ralph. Ia memiliki jenggot yang memenuhi seluruh dagunya. Ia bekerja sebagai pengemudi dokar atau bendi yang ditarik seekor kuda. Penampilannya mengingatkan pada situasi abad pertengahan, ketika para pria mengenakan topi seperti koboi. Ia adalah warga Amish, satu kelompok masyarakat yang masih hidup ala abad pertengahan di Amerika.

pemandangan dari kereta kuda
warga Amish sekeluarga
menyentuh kuda yang baru saja dimandikan

Hampir seluruh warga Amerika yang berumah di Ohio mengenali kelompok mereka. Ciri khas lelakinya adalah memelihara jenggot, topi lebar, dan semacam tali yang bersilangan di kemeja bagian belakang. Sementara yang perempuan memakai rok payung, pelindung kepala, serta hanya memakai baju warna dasar, tanpa pernah memakai warna mencolok seperti merah atau kuning.

Dahulu, mereka datang ke Amerika sebagai imigran Eropa. Meskipun waktu terus berubah, mereka tetap mempertahankan pola hidup ala masa silam. Mereka menolak kemajuan. Setiap hari mereka bertani dan berkebun. Sedang para wanitanya memerah susu, atau membuat kerajinan.

perempuan Amish
seorang anak menunggu dekat kereta
sekeluarga

Mereka juga mempertahankan bahasa ala nenek moyangnya yakni bahasa Jerman. Juga pakaiannya tetap ala abad pertengahan. Bertemu komunitas Amish, serasa memutar ulang waktu untuk kembali ke masa silam. Mereka bisa beradaptasi dengan alam. Mereka bisa mengelola apa yang ada di alam demi memenuhi kebutuhannya. Mereka tak ingin kaya. Tapi mereka ingin hidup yang cukup, di mana seluruh keluarga bisa senantiasa berkumpul bersama dan saling berbagi.

Sayang sekali, hari itu, saya tak banyak berbincang dengan Ralph. Tapi saya beruntung karena isa menumpang pada kereta kuda yang disewakannya sebagai atraksi wisata. Di perkampungan itu, saya ingin tinggal lebih lama dan menyelami khidupan mereka. Sayangya, saya hanya singgah sejenak untuk beristirahat, kemudian melanjutkan perjalanan. Semoga selalu ada hari lain untuk menyapa mereka.(*)




Sensasi Jadi Headline (11)


LAMA vakum, kembali saya meneruskan aktivitas menulis di kanal blog Kompasiana. Beberapa tulisan yang saya buat menjadi headline di situ, sebagaimana dilihat pada gambar ini:







Di Athens, Buka Puasa Jam Sembilan Malam


warga Indonesia di depan Islamic Center, Athens (foto: Muhammad Fauzi)

PERTAMA kalinya saya menjalani puasa di bumi Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS). Jika di Indonesia, terjadi debat tentang permulaan bulan suci ini, di Athens, situasinya sangat berbeda. Semua warga Muslim mengikuti arahan banyak organisasi Muslim bahwa puasa akan jatuh pada hari Jumat (20/7), sedangkan Lebaran akan jatuh pada hari Minggu (19/8).

Beberapa organisasi yang mengeluarkan keputusan tersebut adalah Majelis Fikih pada Islamic Society of America (ISNA), yang kemudian diikuti oleh beberapa organisasi Muslim warga Indonesia yakni Asosiasi Muslim Indonesia di Amerika (IMAAM), dan Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Amerika dan Kanada (IMSA).

Saat tulisan ini dibuat, saya baru saja selesai berbuka puasa bersama warga Muslim di gedung Islamic Center, Athens. Saya mendapat informasi bahwa ada juga warga yang meyakini bahwa puasa dimulai nanti keesokan harinya, yakni Sabtu. Tapi jumlah mereka tidak banyak. Mayoritas warga mengikuti keputusan berbagai organisasi Muslim tentang puasa yang dimulai sejak hari ini.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, puasa di hari pertama adalah yang terberat. Saya mesti menyesuaikan dengan kondisi musim panas di Athens yang amat terik. Dan yang paling berat buat saya adalah menanti buka puasa, yang jadwalnya jatuh pada pukul sembilan malam.

Anda jangan terkejut. Pada musim panas, waktu siang bertambah beberapa jam. Matahari terbenam nanti pukul sembilan malam, sementara imshak adalah pukul lima subuh. Artinya, saya menjalani puasa selama 16 jam. Betapa beratnya menjalani puasa ini.

Andaikan puasa ini dilaksanakan pada musim dingin, maka situasinya akan berbeda. Pada musim dingin, matahari terbenam pada pukul empat sore. Malah, kadang pada pukul tiga sore. Jika puasa dilaksanakan pada saat itu, maka pastilah akan lebih singkat.

Pada saat-saat seperti ini, saya amat merindukan situasi di kampung halaman, nun jauh di sana. Di tanah air, puasa bukan sekadar momen religius, tapi juga momen kultural. Malam saat puasa perdana adalah salah satu malam tersibuk. Jalanan penuh pawai kendaraan takbiran. Petasan berdentum di mana-mana. Kembang api melukis langit. Dan dapur-dapur mengepulkan asap dari wanginya menu yang disiapkan. Puasa adalah kemeriahan, serupa menyambut seorang tamu jauh yang datang membawa banyak rezeki.

Islamic Center di Athens

Sementara di Amerika, awal puasa tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Tak ada kemeriahan. Warga Muslim juga tidak menggelar keramaian. Puasa menjadi momen privat yang dirasakan semua orang, menjadi momen yang sublim dan dirasakan di hati yang melaksanakannya.

Di sini, di tanah yang jauh dari tanah air, puasa seakan tak punya jejak. Puasa tak punya getar yang menggores di hati masyarakatnya. Menjadi minoritas tak selalu menyenangkan. Hari-hari puasa adalah hari-hari sunyi di musim panas, tatkala banyak orang berrekreasi atau berleha-leha sambil mengenakan bikini dan menyeruput root beer. Puasa tak punya jejak kultural pada masyarakat setempat.

Saya juga mencatat perbedaan lain. Di tanah air, masyarakat masih mempercayai otoritas tertentu untuk mengumukan puasa. Malah, negara memiliki peran besar untuk mengatur awal puasa. Sementara di sini, semuanya diserahkan pada keyakinan warganya sendiri. Negara tak mencampuri hal-hal menyangkut awal puasa, sebab memberikan kebebasan bagi warganya hendak mengacu pada aturan yang mana.

Malah, negara kerap mencurigai komunias Muslim. Beberapa bulan silam, saat ke New York, saya mendapat informasi kalau pihak kepolisian New York kerap mengawasi semua aktivitas di masjid. Sering pula, mobil polisi berjaga-jaga di depan masjid semalam suntuk. Hal ini sempat menjadi kontroversi, namun pasca peristiwa WTC, langkah warga Muslim tidak sebebas sebelumnya.

Mungkin inilah tantangan yang sesungguhnya. Inilah medan yang sesungguhnya, yang mesti disikapi dengan keyakinan bahwa esensi puasa terletak pada sejauh mana seseorang bisa mengendalikan dirinya, sejauh mana seseorang bisa berrefleksi dan mengasah kepekaan sosial, sehingga ketika puasa berlalu, ia menjelma sebagai priadi baru yang penuh dengan empati pada sesamanya.

Nikmat Puasa

Selain tantangan yang harus dihadapi, puasa ini juga memberikan nikmat yang tak ternilai. Saya menemukan kenikmatan itu saat berinteraksi dengan banyak warga Muslim. Di sini, batasan negara serta batasan etnik menjadi lebur. Siapapun akan melihat yang lain sebagai saudara, tanpa mempersoalkan etnik, ras, ataupun warna kulit. Semua orang datang berkumpul, berbuka puasa bersama, kemudian saling berbagi pengalaman atau pengetahuan.

Warga Muslim di Athens memusatkan kegiatan ramadhan di Islamic Center, pada sebuah rumah kecil yang kemudian difungsikan sebagai masjid. Jumlah warga Muslim tidak seberapa banyak. Saya memperkirakan jumlahnya sekitar 300 orang. Warga Indonesia hanya sekitar 18 orang. Itupun, dari julah 300 orang itu, tidak semuanya punya tradisi ke masjid.

Selama Ramadhan, kegiatan di Islamic Center cukup beragam. Selain menggelar salat tarwih setiap malam, juga diadakan buka puasa sebanyak tiga kali dalam seminggu. Suasananya meriah sebab menjadi ajang pertemuan bagi warga Muslim yang tinggal di kota kecil ini. Kami berbagi pengalaman tentang puasa. Kami saling menumbuhkan rasa kebersamaan serta solidaritas sebagai sesama perantauan di tanah yang jauh ini.

bersama teman-teman asal Malaysia (foto: Muhammad Fauzi)

Biasanya, saat ke Islamic Center, saya sering bergabung bersama teman-teman asal Malaysia. Kami akan berbincang banyak hal, mulai dari lagu-lagu Rhoma Irama, hingga tentang Siti Nurhaliza. Selain warga Malaysia, saya juga menjalin keakraban dengan teman-teman asal Timur Tengah. Satu yang saya saluti adalah tumbuhnya rasa solidaritas, tanpa mempersoalkan mazhab masing-masing.

Di sini, kami memang diikat oleh perasaan sesama Muslim.  Kami sama sadar bahwa puasa menjadi momen kesunyian, momen kesenyapan, yang menyediakan ruang yang amat luas kepada seseorang untuk berdialog dengan Sang Pencipta demi melepaskan segala onak dan duri di kaki-kaki kecil kami pada rimba kehidupan. Puasa menjadi momen individual yang dihayati di hadapan atmosfer ketidakpedulian, serta perasaan sebagai bagian dari minoritas yang hendak menegakkan tiang-tiang keagamaan.

Saat sedang berbincang, tiba-tiba saja semua diminta untuk antri untuk berbuka puasa. Saya melihat makanan khas Arab berupa kambing guling yang nikmat sedang mengepul di meja sana. Hmm…


Athens, Ohio, 20 Juli 2012
Usai berbuka puasa.

Puasa, Kesunyian, dan Terkaman Masyarakat Acuh


DI tanah air, puasa bukan sekadar momen religious, tapi juga momen kultural. Malam saat puasa perdana adalah salah satu malam tersibuk. Jalanan penuh pawai kendaraan takbiran. Petasan berdentum di mana-mana. Kembang api melukis langit. Dan dapur-dapur mengepulkan asap dari wanginya menu yang disiapkan. Puasa adalah kemeriahan, serupa menyambut seorang tamu jauh yang datang membawa banyak rezeki.

ilustrasi foto karya James Natchway

Di sini, di tanah yang jauh dari tanah air, puasa seakan tak punya jejak. Puasa tak punya getar yang menggores di hati masyarakatnya. Hari-hari puasa adalah hari-hari sunyi di musim panas, tatkala banyak orang berrekreasi atau berleha-leha sambil mengenakan bikini dan menyeruput root beer. Puasa tak punya jejak kultural. Hanya membekas di hati mereka yang Muslim. Itupun masing-masing orang memaknainya secara berbeda.

Saya sedang berjibaku untuk menghadirkan puasa dalam ruang-ruang berpikir. Saya sadar bahwa puasa kali ini akan sangat berbeda. Tahun-tahun silam, saya merasakan nikmat puasa karena dorongan masyarakat, yang secara kolektif, melihat puasa sebagai pawai kultural. Semuanya bangun sahur, sama-sama ke masjid, tarwih, atau jalan-jalan subuh seusai salat. Masyarakat memiliki energi dan dorongan yang sifatnya memaksa agar semua orang merasakan nikmat puasa.

Tapi di sini, di tanah jauh ini, energi itu tak berjejak. Puasa menjadi momen kesunyian, momen kesenyapan, yang menyediakan ruang yang amat luas kepada seseorang untuk berdialog dengan Sang Pencipta demi melepaskan segala onak dan duri di kaki-kaki kecilnya di rimba kehidupan. Puasa menjadi momen individual yang dihayati di hadapan atmosfer ketidakpedulian, serta perasaan sebagai bagian dari minoritas yang hendak menegakkan tiang-tiang keagamaan.

Mungkin ini sebuah tantangan yang mesti dihadapi dengan arif, dan tidak dengan bersedu-sedan saat merindu ke tanah air. Saya belajar untuk memaknainya sebagai jalan sunyi di mana segala tantangan (atau hal yang membatalkan puasa) adalah gemuruh yang memenuhi dada ini yang harus dihadapi seorang diri, tanpa berharap ada tangan-tangan kekar masyarakat untuk menghadapinya, tanpa berharap akan ada kemeriahan dan dinamika budaya sebagai atmosfer yang menyadarkan bahwa ini adalah momentum puasa.

Ini momen yang sublim. Momen penuh kesunyian. Momen penuh pengharapan. Sekaligus momen untuk menjaga diri dari terkaman masyarakat yang acuh.(*)


Athens, Jumat (20/7)
Seusai sahur perdana