Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Dua Buku Bersama MIZAN


DUA hari ini, sejenak saya melepaskan diri dari beban akademik. Saya fokus untuk menyelesaikan proyek individual yakni menyiapkan tulisan sebagaimana diminta oleh penerbit Noura, anak perusahaan dari Mizan. Kali ini, saya menulis tentang refleksi atas tragedi kekerasan di Indonesia.

Saya agak terbebani dengan tulisan ini. Sebab tulisan ini akan dimasukkan dalam buku Indonesia MengHajar yang akan diterbitkan Mizan. Buku ini adalah semacam kelanjutan dari buku Indonesia Mengajar yang diterbitkan Bentang Pustaka, anak perusahaan Mizan. Namun berbeda dengan Indonesia Mengajar, buku Indonesia MengHajar berisi kumpulan tulisan dari sejumlah penulis senior dan beberapa penulis pemula. Sebagai orang yang pernah bekerja di industri media, saya paham bahwa semua penerbit akan mencari tulisan-tulisan yang laku dijual. Mereka akan berusaha untuk membaca selera pasar dan lalu melempar buku yang sesuai tema itu. 

Saya beruntung saja karena diajak berpartisipasi. Tapi saya sendiri sangsi, apakah tulisan saya memenuhi gaya menulis yang agak santai dan khas anak muda. Maklum saja, gaya menulis saya agak reflektif dan mungkin kurang tepat disajikan dengan gaya santai.

Setidaknya, saya telah berusaha untuk memenuhinya. Saya belajar dari tulisan yang dibuat wartawan senior Bre Redhana. Ia menulis tentang refleksinya atas kondisi sosial yang carut marut. Saya pun belajar untuk menyesuaikan diri dengan apa yang dituliskannya. Jika standarnya adalah tulisan Bre Redhana, maka saya telah memenuhinya.

Dalam surat yang saya terima, pihak Mizan menyebut para penulis sebagai para pendekar kata. Secara lengkap, para penulis yang diundang adalah: Sudjiwo Tedjo, Indra Herlambang, Adhitya Mulia, Samuel Mulia, Ben Sohib, Trinity, Agus Noor, Bre Redana, Boim Lebon, Iwok, Pidi Baiq, J-Flo, Beby Harianti, dan Muhammad Yusran Darmawan. 

Selanjutnya, Mizan juga meminta saya menyiapkan satu tulisan untuk dimasukkan dalam antologi tentang para penulis perjalanan. Dari semua nama yang diundang, hanya saya yang belum mempublikasikan buku tentang catatan perjalanan. Mereka sangat popular di dunia pustaka kita. Bahkan beberapa di antaranya sudah menulis novel laris. 

Pihak Mizan meminta untuk menulis tentang inspirasi selama di negeri orang. Saya agak minder juga karena kali ini akan bersama penulis-penulis yang dahulu hanya bisa saya dengar namanya. Kali ini, yang diundang menulis adalah A Fuadi (Kanada), Habiburrahman El Shirazy (Amerika), Raditya Dika (Eropa—Itali, Venesia), Heru Susetyo (Vietnam) – penulis Muslim Traveler, Luigi Pralangga (Afrika) – penulis Ondel-Ondel Nekat Keliling Dunia, Agustinus Wibowo (Afghanistan?) – penulis Selimut Debu & Garis Batas, Indra Herlambang (Prancis) – Kicau Kacau, Herry Nurdi (Libya) – penulis Living Islam, Secret for Muslim, dan Yusran Darmawan (dalam pengantar disebutkan saya adalah mahasiswa Ohio University).

Sebenarnya, ini adalah kehormatan buat saya untuk menembus dunia perbukuan nasional. Tapi, saya masih bingung, apakah gerangan yang akan saya tuliskan? Saya sendiri belum ada gambaran, apalagi deadline-nya masih lama yakni akhir Mei. Ah, mending nunggu sampai jelang deadline baru mulai nulis.(*)


Membaca Zaman Bergerak

ilustrasi

KEMARIN, saya meminjam buku An Age of Motion karya sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi. Buku yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia berjudul Zaman Bergerak ini membahas tentang radikalisasi di Jawa tahun 1912 hingga 1926. Baru baca beberapa lembar, saya langsung terpikat dengan gaya penulisan di buku yang merupakan disertasi di Cornell University ini. Saya serasa terlempar ke masa tahun 1920-an, merasakan langsung degup pemikiran tokoh-tokoh yang hidup di masa itu, serta bisa memahami mereka lewat kalimat-kalimat yang mereka tulisan di media massa. 

Saya tidak ingin meembaca buku ini dengan bersegera mungkin. Saya ingin membaca dengan gaya close reading yakni mengikuti aliran-aliran kata demi kata, hingga menyerap maknanya yang dalam. Saya serasa tidak sedang membaca buku sejarah. Saya seolah membaca novel sejarah yang ditulis dengan gaya khas Pramoedya Ananta Toer. Apakah Shiraishi belajar menulis pada Pramoedya? 

Tampaknya iya. Menurut informasi dari sejarawan Sonnny Karsono, Shiraishi belajar gaya menulis pada Pramoedya. Makanya, kata-katanya demikian bertenaga, serta amat hati-hati dalam menuliskan fakta dan kejadian pada satu masa. Tapi ada pula yang mengatakan buku ini ditulis dengan gaya sejarawan Jepang, yang amat hati-hati melihat setiap pecahan fakta, tidak ingin terlalu banyak menulis opini atas fakta itu, kemudian merangkai setiap pecahan fakta dengan penuh dedikasi. 

surat Takashi Shiraishi

Kata seorang teman, ini sangat beda dengan gaya sejarawan Amerika yang belum apa-apa sudah membahas lintasan ideologi dalam penulisan sejarah. Alasan lain mengapa saya suka buku ini adalah karena menyajikan suasana debat pemikiran yang sangat jenius pada zamannya. 

Saya seringkali terkagum-kagum, betapa tokoh-tokoh pergerakan seperti Dr Tjipto Mangunkusumo, Mas Marco Kartodikromo, ataupun Haji Misbach bisa sedemikian cerdas membaca situasi zaman dan menuliskan buah pemikiran mereka dalam media massa yang terbit saat itu. Padahal, tokoh seperti mas Marco justru sama sekali tidak bersekolah, namun entah mengapa, mereka demikian cerdas dalam menulis. 

Hal lain yang bikin saya suka adalah gambaran tentang tokoh zaman itu adalah tokoh yang amat idealis dalm memikirkan bangsanya. Meeka tak berharap banyak, selain dari kemerdekaan yang dilihat sebagai tujuan bersama. Makanya, buku ini selayaknya dijadikan referensi bagi siapa saja yang ingin belajar untuk memiliki empati terhadap sesamanya. 

Maksudnya, bagaimana kita menyerap pengetahuan berempati terhadap sesama lewat dinamika pemikiran dan praksis para perintis negara-bangsa menentang kolonialisme, menentang suatu filosofi yang menolak penerapan nilai kemanusiaan dalam arti sesungguhnya. Satu juga pelajaran berharga yang saya dapatkan dari buku ini. Dahulu, perbedaan ideologi dan filosofi pergerakan sudah sedemikian kental. 

suasana Solo tempo doeloe
ilustrasi tentang gadis Jawa di masa kini
Hebatnya, semua tokoh yang hidup di masa itu bisa sedemikian solid dan bersatu demi menggapai kemerdekaan. Silakan bandingkan dengan aktivis masa kini, yang berjuang dengan filosofi berbeda, namun saling sikut kiri-kanan. Bandingkan dengan tokoh kita hari ini yang hanya sibuk mengutip ilmuwan asing, tanpa paham bahwa di zaman silam, tokoh bangsa ini telah merumuskan pemikirannya dengan baik dan berdebat dalam diskursus yang sehat dan sedemikian cerdas. Mestinya kita malu karena tidak punya kearifan dan kecerdasan sebagaimana tokoh-tokoh yang hidup di Solo pada tahun 1920-an. 

Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan buah kalimat dari Hadji Misbach, seorang Muslim komunis yang amat tersohor sebagai sosok yang berusaha mencari titik temu antara Islam dan komunisme. Saya kutipkan buah pemikirannya: 

Nah! Sekarang njatalah bahwa perintah Toehan kita orang diwadjibkan menoelong kepada barang siapa jang dapat tindesan, hingga mana kita berwadjib perang djoega djika tindesan itoe beloem dibrentikannja"




Tradisi Akademik Versus Tradisi Pesta

mahasiswa berkumpul jelang karnaval

MULANYA, saya hanya mendengar cerita tentang kampus Ohio University at Athens ini sebagai kampus yang sangat terkenal dengan kajiannya tentang humaniora dan area studies. Belakangan, saya juga mendengar tentang tradisi pesta mahsiswanya yang gila-gilaan. Ternyata ada warna-warni kenyataan tentang kampus ini yang tidak banyak saya ketahui. 

Kampus ini juga menyimpan cerita tentang tradisi pesta gila-gilaan mahasiswanya. Tahukah Anda seperti apakah yang dimaksud dengan pesta di sini? Yakni berkumpul di satu tempat, berbincang-bincang, tertawa bersama, sambil menenggak alkohol. Nah, apakah Anda tetap ingin bergabung? 

Beberapa bulan di sini membuat saya tersadar bahwa ada banyak hal yang mesti dikagumi, sekaligus dihindari di tempat ini. Ada banyak hal yang dianggap sebagai budaya atau kebiasaan-kebiasaan, namun seringkali berbeda dengan cara pandang saya sebagai pendatang. Maka kekaguman sekaligus kegeraman adalah dua sisi yang sering datang beriringan kala melihat hal-hal baru di sini.

Pertama, saya mengagumi kemampuan belajar para mahasiswa, yang bagaikan bumi dan langit, jika dibandingkan dengan tempat kuliah saya sebelumnya. Di sini, setiap Senin hingga Jumat, mahasiswa memenuhi perpustakaan, kadang bergerombol dengan teman-temannya, lalu menenggelamkan diri pada bacaan. Saya amat iri dan kagum dengan semangat belajar yang ditunjukkan warga Amerika. 

Alden Library

Tak semua mahasiswa adalah anak-anak muda. Saya banyak bertemu dengan orang-orang yang sudah separuh baya, namun memilih untuk masuk kampus dan belajar kembali. Entah apa yang dicari, padahal kondisinya sudah mapan. Banyak di antara mereka yang melihat belajar di kampus sebagai bagian dari tantangan yang ingin ditaklukkan. 

Kedua, saya mengagumi penataan kampus yang menempatkan perpustakaan sebagai jantung kegiatan akademik. Tidak peduli anda berasal dari fakultas mana, pasti akan senantiasa berkeliaran di perpustakaan demi mencari bahan bacaan atau belajar bersama. Kampus menjadi titik tengah pertemuan segala aktivitas. Inilah sebab, mengapa di Amerika Serikat (AS), gedung paling besar di sebuah universitas adalah perpustakaan. 

Kenyataan ini amat beda dengan kampus-kampus di tanah air, di mana bangunan paling besar adalah rektorat. Kata salah satu dosen saya di UI, itu disebabkan karena cara berpikir kita adalah warisan dari era kerajaan yang senantiasa melihat istana para raja sebagai pusat segala-galanya. Tak percaya? Di banyak kerajaan besar di tanah air, keraton dan istana adalah bangunan paling besar dan eksis. Pertanyaannya, di manakah tempat para rakyat?

Baker Center, salah satu pusat aktivitas mahasiswa

Di zaman kini pandangan itu lalu mengalami transformasi. Bangunan paling besar adalah balaikota tempat para bupati dan gubernur berkantor. Dalam konteks kampus, bangunan paling megah adalah rektorat. Seolah-olah para rektor mengemban jabatan politis yang memiliki kuasa untuk menetapkan segalanya. Padahal, kata dosen saya, ruangan banyak di gedung rektorat kampus UI, hanya terpakai sepertiganya. Iya khan? 

Selain dua kekaguman itu, saya juga menyimpan ketidaksukaan. Di sini, mahasiswa akan belajar keras di hari Senin hingga Jumat. Namun mulai Jumat malam, mereka akan melepaskan semua buku lalu bergabung dalam pesta-pesta. Buat mahasiwa undergraduate, pesta ini seolah wajib. Mereka akan memenuhi bar-bar di Athens, mengenakan pakaian yang seksi-seksi (bahkan di musim dingin sekalipun), lalu menenggak minuman keras. 

Saya tak tahu apakah ini tradisi, namun aktivitas dilakukan hampir setiap minggunya. Biasanya, di saat mereka mulai pesta, saya akan berjalan dengan penuh kehati-hatian. Saya akan waspada saat melintasi mahasiswa yang bergerombol. Tahu sendirilah, buat seseorang yang sedang mabuk, maka apapun bisa terjadi. Makanya, saat pulang malam dari perpustakaan, saya memilih untuk mengaktifkan semua panca indra. Siapa tahu ada yang ngajak berantem. Hehehehe…. 

bunga-bunga di depan apartemenku

Saya beberapa kali melihat suasana pesta itu. Kadang, para mahasiswa berpakaian ala dewa-dewa Yunani, dengan kain putih tersampir di pundak. Kadang pula, mereka berpakaian ala ksatria abad pertengahan. Apapun itu, isi pesta itu sama. Yakni kumpul bareng sambil menenggak minuman keras. Saya sering geleng-geleng kepala melihat itu. Anehnya, rata-rata mereka menggemari pesta yang cuma dilakukan sampai malam Minggu, sebab malam Senin, mereka akan kembali menjelma sebagai mahluk akademik yang rajin belajar di perpustakaan.

Teman sekamar (roommate) saya yang asli Chicago, malah tak suka kumpul-kumpul. Setiap saya tanya apakah tidak pergi ke pesta, ia akan menjawab, “Saya terlalu tua untuk kegilaan ala anak undergrad.” Hmmm.. Kayaknya saya punya cara berpikir yang sama dengannya.


Athens, 29 April 2012

40 Tahun Dicekam Kesunyian


MINGGU lalu, saya dan teman-teman mahasiswa internasional di Athens, menyaksikan sebuah film dokumenter yang mengangkat tragedi 1965. Film yang berjudul “40 Years of Silence” karya Robert Lemelson ini memukau semua hadirin sehingga beberapa di antaranya terharu saat mengetahui penderitaan korban tragedi 1965 yang mendapat stigma sebagai kaum komunis.

Saya dan teman-teman adalah generasi yang tumbuh pada masa Ode Baru, yang sukses melakukan ‘cuci otak’ pada segala hal menyangkut komunis. Kami tahu tahu apa realitas yang sedang terjadi. Maka film ini membuka mata dan pikiran kami, bahwa peristiwa di tahun 1965 tersebut telah menimbulkan luka-luka sejarah yang cukup besar, menimbulkan duka berupa tewasnya jutaan orang, serta para keluarga yang kemudian menderita trauma berkepanjangan.

Kami tak banyak tahu kalau selama 40 tahun, para korban tersebut memendam luka atas apa yang terjadi di masa silam. Mereka memendam pedih atas segala yang terjadi di masa silam, membawa itu sebagai bom waktu siap meledak dalam dirinya, kemudian menerima situasi ketika keberadaannya di masyarakat mengalami penghinaan.

Tiba-tiba, saya jadi memikirkan ulang apa yang disebut sejarah. Tenyata sejarah tidak selalu berkaitan dengan sesuatu yang objektif dan ‘benar-benar terjadi.’ Sejarah juga berkaitan dengan segala sesuatu yang bisa direkayasa demi kepentingan pihak pemerintah. Lewat sejarah, pemerintah mereproduksi apa yang disebut kebenaran, menistakan satu kelompok tertentu, dan menempatkannya sebagai pihak yang bersalah dan menanggung luka-luka sosial.

pemutaran film
suasana pemutaran film
suasana diskusi

Film ini disutradarai Robert Lemelson, seorang professor bidang antropologi di University of California at Los Angeles (UCLA), film ini juga diedit oleh Pietro Scalia, pemenang dua penghargaan editing terbaik Academy Award. Ia tahu betul bagaimana memasukkan adegan-adegan yang bernas dan merampas perhatian. Menurut informasi, dari 400 jam lebih materi yang terekam, berhasil diperas dalam video berdurasi yang ”hanya” 86 menit.

Usai pemutaran film, kami menggelar diskusi yang menghadirkan sejarawan Sonny Karsono, sutradara asal Kolombia Camilo Perez, dan mahasiswa asal India, Pronoy Rai. Diskusi dipandu pengamat politik Iqra Anugrah. Masing-masing bisa memaparkan sisi-sisi lain dari film ini yang sempat terabaikan.

Saya menikmati pemutaran film dan diskusi. Meskipun, saya merasa sedih saat memikirkan nasib para korban yang masih harus menanggung beban atas apa yang pernah terjadi di masa silam. Seusai diskusi, saya memelihara pertanyaan dalam diri, bisakah kita mengadili seseorang atas perkara masa silam, sementara di saat bersamaan kita mengabaikan masa depan orang tersebut? Di akhir film, diperlihatkan lapangan yang menampilkan kuburan massal di Bali. Ada adegan ketika sejumlah burung putih memenuhi pepohonan di dekat kuburan tersebut. Warga Bali percaya kalau burung-burung itu adalah reinkarnasi dari para arwah yang datang ke situ demi melihat kuburannya sendiri. Sungguh satu ending yang amat kuat!



Athens, 28 April 2012


Perahu Kertas yang Mengalir di Sungai Cinta Kasih

novel Perahu Kertas

HARI ini saya melihat trailer film Perahu Kertas yang diangkat dari novel laris Dewi Lestari dengan judul yang sama, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Menurut informasi, film ini akan ditayangkan saat Lebaran nanti. Melihat trailer film ini, hati saya langsung berdesir karena mengingat episode hidup saat mencari novel ini, sensasi saat membacanya, hingga kenangan-kenangan terkait novel ini. 

Sayang sekali karena saya tidak sedang berada di tanah air. Padahal saya ingin tahu apakah filmnya mendatangkan impresi yang sama dengan novelnya. Meskipun tak bisa menyaksikannya, saya merasa cukup beruntung karena Alden Library memliki koleksi novel ini. Hari ini, saya sengaja meminjam novel ini dan membaca ulang, demi mengetahui apakah sensasinya masih sama ketika membacanya di tahun 2009. 

Hasilnya? Dahsyat! Saya serasa terlontar kembali ke masa-masa ketika menemukan novel ini di toko buku, serta terkejut saat membuka lembar pertamanya. Niat awal adalah memberikan kejutan buat pacar yang memang menggemari novel karya Dewi. Namun kejutan yang saya siapkan itu kian bertambah saat saya menemukan nama dan komentar sang pacar di halaman awal. 

istri saya bersama Dewi Lestari di Jakarta
nama dan komentar istri saya (Dwi) di halaman awal novel ini

Saya ingat, beberapa bulan sebelum novel itu diluncurkan, sang pengarang meminta semua orang untuk mengirim komentar. Pacar saya ikut-ikutan mengirim komentar. Sepuluh komentar terpilih akan dimuat di buku itu. Ternyata, satu di antaranya adalah komentar kekasih saya itu. Maka berlipat-lipatlah kejutan yang saya siapkan saat itu. Kejutan akan buku, serta kejutan akan nama serta komentar. Tapi kejutan terbesar adalah pengalaman mengikuti alur pikir dan sungai gagasan sang pengarangnya. 

Kejutan lain terkait novel ini adalah di tahun 2010, saya berhasil mempertemukan istri (saat itu kami sudah nikah) dengan sang pengarang. Saat itu, kami domisili di Jakarta. Istri saya mulai hamil dan suka minta yang macam-macam. Salah satu keinginannya adalah bertemu Dewi. Untunglah, saya bisa mempertemukan mereka sehingga sempat ngobol-ngobrol dan berpose bersama. Bukankah kebahagiaan seorang pembaca adalah ketika bisa bertemu sang pengarang yang diidolakan? 

Sayangnya, saya gagal bertemu penulis idola yakni Pramoedya Ananta Toer. Ia sudah keburu meninggal di saat saya ingin menyapanya. 

Terus terang, saya membaca hampir semua novel karya Dewi. Mulai dari Supernova: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh. Selanjutnya saya membaca Supernova: Akar, Supernova: Petir. Setelah itu, saya membaca kumpulan cerpennya Filosofi Kopi, salah satu kumpulan cerpen terbaik yang saya tempatkan sejajar dengan cerpen sastrawan idola saya; Seno Gumira Adjidarma. 

Saya tidak sempat membaca Madre, novel terakhir yang saya beli menjelang berangkat ke Ohio. Tapi saya bahagia karena novel itu menjadi kado indah buat istri yang tengah menanti saat-saat melahirkan bayi mungil kami. Dua hari lalu, istri mengirimkan fotonya saat bersama bayi mungil Ara membeli nove terbaru Dewi yakni Partikel. Istri saya mendidik bayi kami agar sedini mungkin menyukai sastra. Mungkin dia butuh sahabat untuk diskusi banyak tentang novel. 

saat Dwi dan Ara membeli novel terbaru Dewi berjudul Partikel

Beberapa novel Dewi Lestari yang saya sebutkan di atas memang agak filosofis. Maknanya dalam dan butuh pengetahuan tersendiri untuk sampai ke langit-langit gagasan tersebut. Tapi novel Perahu Kertas amat beda dengan semuanya. Perahu Kertas menekankan kesederhanaan bahasa, serta situasi di mana sang tokoh bermain-main dengan perasaan sendiri hingga akhirnya menemukan sungai untuk mengalirkan perasaan tersebut. 

Novel Perahu Kertas ini ibarat senandung yang menghangatkan ingatan atas sesuatu. Saya masih ingat saat pertama mencari novel ini. Istri saya adalah penggemar berat semua karya Dewi Lestari. Ia menggemari kalimat-kalimat Dewi yang manis, renyah, dan membawa perasaan terhanyut. Kalimatnya tidak norak, malah sederhana. Tapi entah kenapa, kesedehanaan itu menjadi satu kekuatan yang menggerakkan hingga menjebol benteng hati. 

Setiap kali membaca tulisan Dewi, saya disadarkan bahwa kita tak perlu kutipan-kutipan hebat atau istilah-istilah asing untuk menghanyutkan seseorang. Kita cukup memilih kalimat sederhana dengan makna yang dalam, namun punya power untuk meleburkan bendungan perasaan yang disimpan rapat-rapat. Membaca kalimat yang dihasilkan Dewi ibarat mengikuti petualangan mengarungi samudera hidup yang penuh onak dan duri, namun menyimpan kejutan-kejutan berkelok yang membahagiakan. 

Sensasinya bukan terletak pada akhir yang bahagia, sebagaimana hadir dalam novel Perahu Kertas, namun terletak pada seberapa jauh sang tokoh bermain-main dengan perasaannya, mengatasi dilema hati, hingga akhirnya jalan terang akan menuntun sang tokoh ke dermaga bernama pelabuhan hati. Menjelang akhir novel ini, saya seolah tak rela. Saya tak mengikhlaskan novel ini berakhir karena perasaan yang sedemikian renyah saat menikmati rasa bahasanya. 

adegan dalam film
perahu kertas yang membawa cinta ke Poseidon

Nikmat membaca kalimat yang ditulis Dewi adalah senikmat menikmati es krim Magnum. Menikmatinya harus dengan cara dijilati perlahan-lahan agar nikmatnya tetap terjaga. Jelang akhir, biasanya kenikmatannya akan semakin berlipat sebab bahagian akhir adalah klimaks dari keseluruhan bangunan cerita. Kita akan mendapati situasi ketika semua rangkaian patahan kejadian bertemu di satu titik, dan senantiasa ada kejutan di situ. Kita terhenyak. Namun tiba-tiba tersadar akan cinta yang mengembun di hati masing-masing tokoh.

Pada akhirnya, saya berharap agar filmnya bisa senikmat membaca fiksinya. Saya penasaran siapa yang memerankan Kugy, gadis ceria dan tomboy yang terobsesi sebagai penulis dongeng (persis sebagaimana istri saya), serta sang tokoh Keenan, cowok yang suka melukis tokoh dongeng (sayang, saya bukan pelukis, tapi setidaknya saya seorang pelukis kata. Hehe). Dahulu, saya berdebat dengan istri tentang siapa yang cocok memerankannya. Saat itu, saya menyebutkan dua nama yakni Nicholas Saputra dan Dian Sastro. Ternyata, mereka kian uzur sehingga mulai tidak cocok memerankan sosok dua anak muda yang mencari jalan untuk cinta. 


teaser film Perahu Kertas. Silakan di-klik


Hari ini, saya menyaksikan trailer film itu. Terakhir, Dewi Lestari biang kalau dirinya sedang focus untuk menyusun scenario dan mencari sosok pemeran film itu. Saya amat yakin kalau fimnya akan seindah novelnya. Saya yakin kalau film ini akan menjadi sungai yang mengalirkan semua perasaan hati yang dikemas dalam perahu kertas, membawanya menemui Poseidon sang raja laut. Bukankah cinta selalu butuh sungai hati untuk mengalir? 



Habis RONALDO, Terbitlah SCHWEINSTEIGER

Christiano Ronaldo

DENGAN penuh keyakinan, ia lalu bersiap untuk menyepak bola. Lelaki bernama lengkap Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro itu amat berharap agar hari ini ia akan menorehkan sejarah. Jika klub itu menang, ia akan menorehkan namanya di partai final Liga Champion, Eropa. Ia akan memahat pencapaian baru dalam sejarah kariernya sebagai pesepakbola handal. 

Sesaat, ia membayangkan masa-masa awal ketika pertama menendang bola di Madeira, sebuah desa kecil di tepi laut Portugal. Ayahnya, pria pemabuk bernama Jose Dinis Aveiro, sering tak rela melihat anaknya bermain bola. Siapa sangka jika kelak profesi pesepakbola itu akan membawa sang anak ke puncak ketenaran sebagai salah satu pesohor di dunia bola. Sementara sang ayah, harus tewas tahun 2005 silam akibat prilaku mabuk-mabukan di bar kecil di kampung itu. 

Hidup memang serupa perkara menang kalah. Ronaldo merasa menang dengan semua pilihannya, sementara sang ayah dalam posisi kalah. Dalam usia 20 tahun, Ronaldo harus menjadi yatim bersama kakaknya Hugo dan dua adiknya Elma dan Liliana. Dalam usia semuda itu, ia harus menghidupi keluarga, menjadi ayah bagi dua adik, dan membantu nafkah sang ibu yang berprofesi sebagai tukang masak. “Kehilangan ayah bukanlah perkara mudah. Tapi saya harus kuat. Saya harus kuat untuk semuanya. Sejak saat itu, saya tak pernah takut,” katanya suatu ketika. 

Maka di lapangan Santiago Bernabeu kemarin, Ronaldo mencoba untuk lebih kuat dari biasanya. Kepercayaan dirinya dikerek tinggi-tinggi dan berkibar. Ia sedang bersama pasukan titan yang sukses membungkam pasukan malaikat Barcelona. Mereka sukses memperagakan formasi tempur yang tak sanggup ditandingi pasukan Barcelona. Tak salah jika sehari setelah pertandingan itu, legenda Madrid, Aitor Karanka, menyebutnya sebagai pemain terbaik dunia. Bahkan jauh lebih baik dari Lionel Messi. 

Laksana siklus kehidupan, Ronaldo sedang di puncak. Hari ini, ia membuktikan ketangguhan itu bersama Real Madrid. Timnya bertarung kesetanan. Selama 90 menit, ia telah menjadi bagian dari pasukan Madrid yang bertarung bak matador demi menaklukan banteng permainan tim Bayern Muenchen. Tusukan mautnya berbuah dua gol bagi Madrid. Namun, lawan berhasil menjajari langkah mereka. Kini, ia mesti menjadi penendang pertama dalam drama adu penalti. Ia lalu menguatkan hati dan bersiap menendang. 

seusai mencetak gol

Di lapangan itu, bola seakan menjadi telunjuk dewa yang semaunya hendak mengarah ke mana. Bola mendefinisikan siapa yang kelak akan menjadi pemenang dalam duel hari itu. Bola pula yang kemudian menempatkan Ronaldo sebagai pihak yang gagal menendang. Maka gemuruh kecewa telah berkumandang di seantero stadion. Semua pihak seakan menghukumnya dan tak peduli dengan dua gol yang diciptakannya malam itu. 

Entah, apakah gerangan yang salah. Ronaldo seorang yang brilian dan jarang gagal. Namun ia justru gagal pada satu momen penting yang mestinya membesarkan namanya. Tak ada yang kurang dari permainan Real Madrid. Mereka memiliki semuanya dan mestinya sudah melenggang ke partai final. Tapi bola seakan tidak mau berpaling kepada mereka. Bola seolah memiliki kuasa untuk mendefinisikan siapa yang layak mendapat kemuliaan, dan siapa yang kelak mendapatkan umpatan. 

Bola laksana Dewi Fortuna yang kadang semaunya menjatuhkan diri hendak ke mana. Sahabat Ronaldo di Madrid, Iker Cassilas, tak punya bahasa lain untuk menjelaskan ini. Seusai gagal menahan tendangan penalti, ia hanya berucap lirih, “Ini ibarat kalah lotere.” Permainan itu memang serupa lotere. Kadang dirimu beruntung, kadang dirundung malang. Namun pelatih Jose Mourinho punya jawaban yang lebih bijak. “Sepakbola memang seperti itu. Itulah hidup!” katanya usai pertandingan. 

Hari ini, Ronaldo menjadi bulan-bulanan. Padahal, beberapa jam sebelumnya, ia adalah pahlawan. Untungnya, Jose Mourinho membela Ronaldo atas kegagalan itu. "Orang-orang yang gagal dalam mencetak gol adalah orang-orang yang memiliki keberanian untuk menembak. Tak takut, tak egois, mereka melakukannya dan mencoba. Saya bangga dengan para pemain saya," katanya. Mungkin demikianlah lagu kehidupan. Anda bisa disanjung, namun kemudian dicaci secepat kilat. Itulah takdir Ronaldo. 

Momen Magis

Jika Madrid tengah dirundung duka, beda halnya dengan Bayern Muenchen. Mereka justru tengah bersuka dan merayakan mmen bahagia ini. Pelatih Jupp Heynckes menyebut kemenangan ini sebagai hal yang magis. "Ini malam yang magis. Kami memiliki masalah besar di 15 menit pertama. Namun, setelah itu tim kami bangkit dan mendominasi permainan," kata Heynckes yang juga pernah melatih Real Madrid. 

Bastian Schweinsteiger

Namun, pihak yang paling bahagia di sini adalah penendang terakhir Bastian Schweinsteiger. Dirinyalah yang kini bertengger di atas awan. Dirinyalah yang memiliki ketenangan demi mengalahkan penjaga gawang Iker Casillas. Dirinyalah yang sedang disapa oleh Dewi Fortuna.

Tak banyak yang tahu siapa seungguhnya pria asal Kolbemoor, Jerman ini. Tak banyak yang tahu kalau sepuluh tahun silam, ia hanyalah seorang anak kecil yang duduk dekat gawang dan berharap disapa pemain bola hebat yang disebutnya sebagai para bintang. "Saya ini seorang ball-boy di stadion, dan itu selalu senang berada dekat di lapangan mengamati bintang-bintang," katanya, suatu ketika. 

Ia tak pernah lelah menyaksikan para pemain Jerman yang hebat-hebat. Sungguh suatu keajaiban ketika dirinya akhirnya bermain brsama mereka yag dulu hanya bisa disaksikannya. “Sungguh ajaib jika akhirnya saya bisa setim dengan Giovanni Elber, Oliver Kahn, Jens Jeremies, dan Mehmet Scholl,” lanjutnya. Saking cintanya dengan bola, Schweinsteiger tak malu-malu saat memberanikan diri untuk meminta sepatu boot pada mantan bintang Bayern Munich Owen Hargreaves. 

Ia meminta boot sebagai tanda mata yang kemudian akan dipamerkan ke mana-mana. "Saya masih ingat menjadi satu-satunya orang yang berada di tempat latihan. Saya bahkan menghabiskan waktu menonton Owen Hargreaves sendirian," ungkapnya. Hari ini, ia menjadi penendang terakhir. Ajaib! Sebelum menendang, ia langsung teringat akan sepatu yang pernah diberikan Hargreaves. Ia sukses melakukan tendangan dan sekian detik berikutnya, ia lalu menjadi pahlawan kemenangan tim. 

merayakan kegembiraan

Apakah gerangan spirit yang membuatnya begitu tenang mengeksekusi tendangan? Ia sempat terdiam lalu mejawab pelan. Semuanya berkat sepatu boot yang kemudian menempanya dengan spirit baja untuk menyempurnakan geraknya di dunia sepakbola. Sepatu yang kemudian melahirkan komitmen dalam dirinya untuk menjadi yang terbaik. Sepatu boot dari seorang bintang yang membawa tuah agar dirinya ikut menggapai bintang-bintang. Sepatu yang menjadi jejak dan tanda baginya untuk mengasah diri di lapangan bola. Mengasah dirinya menjadi manusia yang sempurna. 



Rahasia Terbesar Jose Mourinho

Lionel Messi

DI lapangan hijau itu, si pria boncel yang memukau dunia beberapa kali berteriak tertahan. Dewi Fortuna seakan tak mau bersamanya. Pria Argentina bernama Lionel Messi itu senantiasa gagal menceploskan si kulit bundar ke gawang yang dijaga musuh bebuyutannya Iker Cassilas. Ia lalu menatap ke arah penonton yang sedang gemuruh. Ia ingin menunjukan siapa dirinya. Tapi serangan derasnya seakan menabrak tembok kukuh yang memotong segenap aliran bola dari kakinya. 

Hari itu, Sabtu (21/4), tim Barcelona bermain dengan penuh seni menyerang. Bola mengalir dari kaki ke kaki, lalu melesat menuju gawang. Mereka laksana sepasukan dewa-dewa yang kemilau dengan segala kedigdayaannya. Namun, kali ini semuanya tidak seindah dalam kisah Perseus, dongeng Yunani kuno yang mengalahkan si jahat Medusa, dan memaksa penguasa kegelapan Hades ke neraka Tartarus. 

Kali ini, kisah yang muncul adalah sebuah tragedi, yang memosisikan semua dewa ke dalam drama sebagai pihak yang kalah. Dewa-dewa itu seakan takluk ditangan sepasukan titan yang baru saja keluar dari lembah tartarus. Para titan itu sukses memorakpondakan formasi malaikat yang diperagakan Barcelona. Mereka sukses memainkan pola bendungan air bah tartarus sambil sesekali mengirimkan gelombang yang merobek-robek petir dewa bola Lionel Messi. 

Hari itu, bel kemenangan tidak berdentang di Gereja La Segrada Familia di jantung kota Barcelona, melainkan berdentang bertalu-talu di Gereja Catedral de Santa Maria di tengah-tengah kota Madrid. Hari itu, Real Madrid sukses menunjukkan supremasinya di jagad sepakbola Spanyol atas satu tim yang pernah disebut-sebut sebagai sepasukan malaikat. 

Jose Mourinho

Lionel Messi menatap ke tepi lapangan. Di situ, duduk pelatih Real Madrid yang menatap dingin, Jose Mourinho. Messi tahu kalau Mourinho bukan menyepelekan kemampuannya. Tapi Mourinho punya kemampuan memahami skema permainan sebaik sekor elang yang melihat mangsa. Jika di lapangan itu Mourinho menatap sinis, nalarnya sedang mengangkasa dan melihat celah-celah yang tidak dilihat para penonton yang gemuruh di stadion dan terbawa emosi. 

Messi seakan mati langkah. Sang pelatih tim lawan, Jose Mourinho, seakan memahami dengan baik bahwa energi gerak tim Barcelona berasal dari pergerakan pemain yang menyokong Messi yakni Xavi dan Iniesta. Dengan cara menginstruksikan pemainnya untuk mematikan Xavi dan Iniesta, maka Mourinho telah menikam jantung permainan yang sekaligus menjadi nyawa Barcelona. Sungguh sedih melihat Messi yang menjadi pemain tanpa visi, tanpa kelihaian, tanpa kedigdayaan. Mourinho paham bagaimana memutus aliran bola untuk Messi sekaligus mematikan langkahnya. 

Rahasia Mourinho 

“Kami bertahan dengan amat sempurna,” demikian kata Mourinho jelang pertandingan tersebut. Ia tidak omong kosong. Sebab hari itu, pemain seperti Pepe telah menjalankan semua instruksinya dengan sedetail-detailnya. “Mourinho meminta saya untuk tidak meninggalkan areal saya. Saya tidak boleh menonjolkan individualitas. Saya harus menjelma sebagai nyawa tim,” kata pemain yang pernah menginjak jemari Messi ini. 

saat menyemburkan air

Ini bukan sekali Mourinho bertemu Barcelona. Ia malah pernah menjadi asistem pelatih Louis Van Gaal selama lebih tiga tahun di tim itu. Jika ia memahami filosofi permainan Pep Guardiola, pelatih Barcelona, itu dikarenakan dirinya memahami filsafat di balik serangan bak air bah tim catalan itu. Pribadi Mourinho ibarat teka-teki yang susah ditebak. Rahasia permainannya susah ditebak. Jika Guardiola memahami segala inchi tentang permainan ofensif atau serang, maka Mourinho adalah seorang master permainan defensif atau bertahan. Ia tak peduli teori dan buku filsafat. Ia sendiri yang menentukan seperti apa dan seperti bagaimana pola permainan timnya. 

Wajahnya seperti sosok pemain poker dengan ekspresi yang tak bisa ditebak. Kadang ia bisa marah, namun kadang bisa tertawa terpingkal-pingkal. Banyak media yang membencinya. Banyak pula publik yang muak dengannya. Namun, semua tahu, bahwa di manapun ia menangani tim, baik Porto, Chelsea, Inter Milan dan Real Madrid, maka seluruh pemain akan amat mencintainya dan setia mendukungnya. 

Ia juga juga bisa menyalahkan banyak pihak. Wasit pun sering ditudingnya. Sering ia memaki pemain lawan. Namun, semua pihak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah dem membangun soliditas internal di tim yang sedang dibangunnya. Dengan cara menyerang lawan lewat kata, ia sedang membangun solidaritas dan merapatkan formasi serang timnya. 

murka di lapangan

Ia menganut filosofi perang. Bahwa di lapangan bola, apapun harus dilakukan demi memaksimalkan energi dan hasrat bertarung. Maka di lapangan manapun, timnya akan menjadi banteng terluka yang sedang mempertahankan harga dirinya. Salah seorang mantan anak asuhnya Frank Lampard, pernah berkata, “Bagaimanapun, ia bisa menggali hasrat dan naluri perlawanan seorang pemain. Ia sukses menggali nafsu serang dan ‘daya bunuh’ pemainnya.” 

Di lapangan, ia tak takut apapun. Apalagi cuma dewa-dewa dan malaikat Barcelona. Ia hanya takut satu hal yakni Tuhan. “Saya takut akan kuasa Tuhan. Dia memutuskan segalanya, dan tak satupun yang bisa menahan-Nya. Saya berusaha menjadi manusia baik agar diri-Nya tetap disisiku,” katanya. Ketakutan akan Tuhan inilah rahasia terbesar yang kemudian menempanya menjadi manusia religius. 

Kini, Tuhan yang ditakutnya itu sedang di sisinya. Rekor pelatih yang meraih Piala Champion dengan dua klub berbeda yakni Ernst Happel dan Ottmar Hitzfield telah disamainya dengan FC Porto (2004) dan Inter Milan (2010). Tampaknya ia akan melampaui semua rekor itu bersama Real Madrid di tahun ini. Akankah Tuhan akan kembali bersamamu Mourinho? 



Sepenggal Kisah Mahasiswi Idealis


smile...

SEBUAH organisasi non pemerintah (NGO) masuk kampus. Para relawan (volunteer) direkrut dari kalangan mahasiswa. Mereka lalu berkampanye tentang perlunya membangun rumah-rumah bagi warga miskin. Para mahasiswa itu menjadi aktivis yang mulai memikirkan masalah-masalah di sekitarnya. Mereka merancang sesuatu, mereka mempersiapkan program-program yang kelak diterapkan bagi masyarkat sekitar. 

*** 

SEBUT saja namanya Ashley. Tingginya sedang. Rambutnya pirang. Matanya biru. Parasnya cantik. Saya menemuinya di gerbang kampus saat tergesa-gesa usai kuliah. Ia baru berusia 16 tahun, sebuah usia yang cukup muda untuk mahasiswa tingkat tiga. Bersama sahabat-sahabatnya, ia sedang menunggu di gerbang kampus sembari membagikan brosur. Saya pun disapanya dengan ramah. 

Tadinya saya tidak tertarik. Tapi ia tiba-tiba membicarakan lembaga yang sedang diikutinya. Ia membahas Habitat for Humanity, sebuah lembaga yang concern dengan upaya membangun rumah bagi kaum miskin di Athens. Ia lalu menyebut upaya-upaya yang sedang dilakukan. Dalam waktu lima menit, ia berhasil membuka mata saya tentang betapa pentingnya memberikan perhatian bagi segala hal di sekitar. Ashley lalu menunjukkan beberapa gambar. 

menunggu penanya
Katanya, realitas kemiskinan di Athens sudah terjadi dalam waktu lama. Ia cukup fasih menjelaskan sejarah tentang tempat itu yang dahulu adalah kawasan industri, kemudian setelah hasil alam itu dikeruk, kini menyisakan luka-luka ekologis dan sosial. Banyak yang miskin, kehilangan pekerjaan, sehingga perlu ada upaya untuk mengentaskannya. Perempuan muda usia ini lalu menunjukkan kiprahnya. Baru bergabung setahun, mahasiswa Global Studies ini telah menguasai berbagai persoalan sosial yang menderanya. Dalam waktu dekat ini, ia akan berangkat ke Tanzania, Afrika, untuk satu misi kemanusiaan. 

Saya mengagumi idealisme dan visi mahasiswa seperti ini. Saya yakin jika ia bisa saja memilih menjadi seorang mahasiswa mapan yang berkecukupan. Ia juga bisa saja menjadi seorang mahasiswa yang hobinya adalah pesta-pesta dengan alkohol. Tapi ia memilih jalan lain. Ia memilih untuk menghabiskan masa mudanya dengan aktivitas yang kemudian mengalirkan idealismenya. Ia memilih bersama masyarakat. Ia memilih melakukan sesuatu sebagai bentu tanggungjawab intelektual. 

bersama bahan presentasi
foto bareng
Pembicaraan dengannya cukup singkat. Ia lebih banyak bertanya tentang perjalanan jauh yang saya tempuh untuk mencapai Athens. Saya sendiri tidak begitu antusias dengan tema-tema seperti ini. Satu hal yang saya catat tentang warga Amerika yakni merea tidak punya pengetahuan geografi yang memadai. Banyak di antara mereka yang tidak tahu di mana posisi Asia, apalagi posisi Indonesia. Tapi saya sering menikmati ketidaktahuan itu. Saya jadi punya kesempatan untuk menceritakan Indonesia kepada mereka. 

Saat pamit, Ashley tiba-tiba menawarkan cupcake. Ia juga menjual kue itu demi mengumpulkan donasi. Saya menyodorkan satu dollar. Kemudian hendak beranjak. Baru berjalan 10 meter, ia tiba-tiba saja, ia memanggil namaku. Saya menoleh. Ia lalu berlari-lari kecil mendekat. Ia lalu membisikkan sesuatu di telinga. Hmm… Sesuatu yang sangat menyenangkan. 


Athens, 19 April 2012

“In Literature, She Conquered the World”

The Greatest Author in Indonesian History (1)

the situation on the stage when I La Galigo was performed in Lincoln Center Festival,
New York State Theater, New York, July 15, 2005

On the stage, Saidi Puang Matowa read the mantra in the ancient Buginese language. Not many people understand what he was saying on the stage that is located at Fort Rotterdam, Makassar on April 23, 2011. The mantra, spoken by the transvestite person who became the high priest in Buginese society, was the beginning of the world-class theater performance called I La Galigo. 

Wahai Dewa, Guru Mahatahu 
yang tinggal di langit  
Semoga bukan petaka, 
semoga tak hina doa dan sembahku 
pada langit, pada bumi; 
semoga tak keliru ucapanku. 
Di siang terang, Engkaupun turun ke dunia kami, 
menjelma pengetahuan di bawah langit, 
di atas bumi 
Topang-menopang di bumi lalu menyebar, 
menjelma guntur 
Menyusur Negeri Dewa 
Menyebar ke segenap penjuru dunia 

Give praise to God, to the One Most Knowing 
who resides in Heaven 
I pray that my prayers and offerings, 
To the earth and to the sky, 
Are well received, 
just as they are intended 
And that my words are not misspoken. 
On a day so bright 
You descended To this world of ours, 
Transforming knowledge On this earth, beneath the sky. 
 Across the heavens, above the earth 
Thunder rolled, dispersing itself 
Throughout the land of the Gods, 
And into every corner of the world 

(translated by Sapardi Djoko Damono) 

During that day, most of prominent figures in South Sulawesi came to be eyewitnesses of the colossal theater performance directed by the famous director Roger Wilson, the highest paid person in his profession. One of the prominent figures is former Vice President of Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla who came from the Bone regency that was known as one of the centers of the Buginese kingdom in South Sulawesi. For several years, La Galigo travelled to visit many big cities. It was performed in Singapore, Amsterdam, Bercelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, and also Taipei. 

In 2011, La Galigo eventually returned to its native country and also its hometown. It was performed in front of the audience of South Sulawesi. Interestingly, it was not long after that, I La Galigo got recognition from United Nations Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO) as a world heritage. Now the I La Galigo manuscript is no longer owned by the people of South Sulawesi or Indonesia, but become the heritage of the world. 

Arung Pancana Toa or Colliq Pujie

At that time, the discussion about this manuscript rose again. Some media mentioned the statement of scholars from Hasanuddin University or other public figures who wanted to open discussion about the importance of the author. They reminded everyone about the contribution of Arung Pancana Toa (1812 - 1870), refered to as APT in this article, in terms of creation and preservation of the manuscript. For this reason, Hasanuddin University held a seminar to propose Arung Pancana Toa (APT) as a national heroine in 2009. 

This seminar was organized by a cooperation between Hasanuddin University and three local governments, including the Barru regency, the Pangkep regency, and also the Bone regency. Unfortunately, the government delayed the proposal to promote APT as a national heroine. 

I assume that there were some controversies about why the proposal was delayed. First, there is a strong presumption that a hero is someone who fought against the Dutch. Although in some periods of her life, APT has against the Dutch, she also worked with the Dutch missionary, B. F. Matthes. APT gave 12 volumes of I La Galigo and hundreds of books to Matthes in order to save and to store them in the Netherlands. Maybe this is the reason why she was neglected in the history of Indonesia. 

I La Galigo was performed in Amsterdam

Secondly, the criteria of heroes does not cover an intellectual or an author. Besides APT, there was also an intellectual who lived in the Kingdom of Gowa named Karaeng Pattingalloang. His name was mentioned in some Portuguese manuscripts as a prime minister who mastered eight languages and had a passion for the field of science. It is known that he ordered the telescope of Galileo and after that, he built a star observatory (maccini sombala) in the kingdom Gowa. He also pioneered the translation of some books from the Latin language into the Makassar language. 

For the people in South Sulawesi, APT is very important. But people outside South Sulawesi sometimes ask a question; who is APT? What is her contribution to the preservation of knowledge and oral tradition? The purpose of this article is to give a brief introduction about APT. 

I believe that learning a little about APT’s life can be a window to understand the social context and also the history of South Sulawesi in the 19th century. There are several reasons why APT is very important:

First, APT is one of a small number of women who became leaders. This fact is very interesting because there are many societies where women are subordinated to men. Frederick and Soeroto (1982) noted some women who became leaders were Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (Aceh), and Siti Aisyah We Tenriolle (South Sulawesi). The latter was daughter of APT. 

Saidi Puang Matowa, the transvestite person
who become high priest in Buginese society
(foto: Meike Sahetapy)

Secondly, APT had the biggest contribution in the writing and preservation of the manuscript. As an oral tradition, La Galigo were endangered because of lack of people who kept the tradition. Due to the difficulties to find a complete text, APT rewrote the texts in lontaraq alphabet for more than 20 years. Koolhof (1985) noted that it was amazing because the manuscripts reached 12 volumes with more than 300,000 lines. It is longer than Mahabharata, one of the longest manuscripts from India, which has 160,000 – 200,000 lines (Kern 1954). 

Based on this, Koolhof (1995) mentioned I La Galigo as one of the greatest literatures in the world. I La Galigo has attracted various scholar around the world to study and to unveil the mystery behind the text. For this reason, I ever said that the author of I La Galigo conquered the world through her ideas. In literature, she just conquered the world. Uniquely, after published in 1872, the first volume of this manuscript was republished in 1994. 

Thirdly, as mentioned by Prof Dr Nurhayati Rahman, the figure of APT is a forgotten figure in discussions about La Galigo. The discussion of I La Galigo only focuses on literary works, message, or the history of South Sulawesi. We almost never find information about the role of APT as a woman behind this great literature. In fact, APT also played a significant role as a politician and intellectual who lived in the 19th century. 

One day seminar to propose Arung Pancana Toa as national hero

Third, APT was a brilliant intellectual of her period. In addition to rewriting the manuscript La Galigo, she also created the characters that tell the script, and wrote "Lontara Bilang, Mosaik Pergulatan Seorang Bangsawan." This manuscript has been translated and published in the Netherlands. APT also wrote literary works such as elong, Sure 'Baweng, Tanete ancient history, a collection of Bugis’s customs, about a variety of manners and ethics of the kingdom. 

Historically, the most beautiful work is Sure' Baweng which contains a very high aesthetic value. Her work on the history of the ancient Kingdom of Tanete has been published by Niemann in the Netherlands. She also wrote a book of La Toa. This book was published by Matthes in his book Boegineesche Christomatie II. Besides writing the books, she helped the historian A. Lightvoet who was working on a historical dictionary of South Sulawesi. Because of her knowledge, skill, and intellectual capacity in the eyes of the Europeans in the 19th century, Matthes mentioned the name APT as a Bugis noble and a true queen of literary experts.

To Be Continued