Inspirasi "3 Idiots"


UNTUK kedua kalinya saya menyaksikan film “3 Idiots.” Dahulu, saya pernah menyaksikan film ini di satu bioskop bersama pacar (sekarang udah jadi istri). Dahulu, saya terkesima, kini saya kembali terkesima. Dahulu saya melihatnya sebagai film hiburan, kini saya melihatnya sebagai film penuh inspirasi.

Sepanjang film, saya terus mengangguk-angguk, berucap ‘great!’, dan seakan membaca ulang berbagai praktik pendidikan kritis, membaca ulang Paolo Fraire dan John Dewey, lalu berkaca pada diri sendiri bahwa pendidikan telah menghilangkan aspek kemanusiaan pada diri kita semua. Pendidikan itu menindas. Pendidikan itu menjadikan kita sebagai robot pengejar peringkat, atau mesin pengejar ijazah. Maka kita 'merekayasa' diri kita demi peringkat itu. Menyiksa diri dengan membaca, menulis, atau menjawab soal yang sesungguhnya tidak kita senangi.


Saya terkesima dengan karakter Rancho (dalam film diperankan oleh Aamir Khan). Ia bisa berpikir melampaui sistem pendidikan yang dijalaninya. Ia bertanya secara kritis tentang apa yang terjadi, lalu memotivasi semua orang untuk tidak terjebak pada sistem. Ia selalu mengatakan bahwa pendidikan bukanlah menghapalkan apa yang tertulis di buku teks. Melainkan suatu pemahaman yang kemudian bisa membawa kita pada konsep manusia yang sebenar-benarnya. Yakni manusia yang bisa belajar dari sesamanya, memuliakan semua orang, mengasihi alam semesta sebagaimana dirinya.

Pendidikan bukanlah sesuatu yang berjarak dari kenyataan. Pendidikan tidak terletak di langit sana. Melainkan berpijak di bumi, menjadi bagian bagian dari kenyataan yang menjawab problem manusia hari ini. Anda tak perlu menghafal mati smeua teori dan konsep, tapi bagaimana menyederhanakan semua konsep yang rumit itu menjadi bahasa awam atau bahasa sehari-hari.

Yang bikin saya kagum karena ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tidak mau meratapi sistem dengan sedu-sedan. Ia mengkritik sistem itu, bukan karena ia gagal melaluinya. Ia menjadi yang terbaik di sistem yang dikritiknya, setelah itu ia ‘menguliti’ sistem itu dan mengajak semua orang untuk tidak terjebak dan mesti menemukan dirinya. Ia lalu mendesain masa kini dan masa depan sebagaimana yang diinginkannya.

Ia mengajak semua orang untuk mengikuti hasrat atau passion dalam dirinya masing-masing. Ketika sahabatnya tak ingin jadi insinyur, ia mendorongnya untuk mengikuti hobinya yakni sebagai fotografer. Bukankah akan sangat berbeda antara terpaksa melakukan sesuatu, dengan melakukan sesuatu karena didorong oleh hobi dan kesukaan?

penjara sekolah

Anda yang melakukan sesuatu karena hobi ibarat anak kecil yang mendapat mainan baru. Anda akan selalu diliputi bahagia yang kemudian berimbas ke sekitarnya. Jauh lebih baik menjadi diri sendiri, ketimbang jadi orang hebat tapi tak menikmatinya. Lagian, ketika tak suka sesuatu, namun terpaksa melakukannya demi duit, maka sama dengan menyiksa diri sendiri demi obsesi itu. Hidup jadi perkara yang menjemukan dan tak ada tantangan atau kejutan-kejutan di situ.

Dalam film ini, Rancho tak ingin orientasi semua mahasiswa adalah menjadi kaya atau nomor satu. Keinginan itu hanya akan jadi penjara. Pendidikan tak perlu membuat peringkat, atau mengumumkan nilai, yang sekaligus mengumumkan kelemahan orang lain. Menurutnya, cara berpikir itu hanya akan menempatkan manusia dalam siklus pengkastaan bahwa ada yang hebat dan ada yang tidak hebat.

Film ini amat inspiratif. Tokoh Rancho seolah menampar kita semua yang cenderung menjad robot dan ‘anak mami’ dari sistem pendidikan. Kita hanya mengikuti apa yang digariskan, menghabiskan waktu untuk belajar, lalu mendapatkan ijazah. Ketika nilai di ijazah hancur, dunia seakan kiamat. Kita merasa kehilangan semuanya, sehingga banyak yang kemudian merasa tak lagi punya hasrat untuk hidup. Sebab dunia sosial seolah mengajarkan kita bahwa apa yang disebut diri adalah apa yang tertulis dalam selembar ijazah itu.

Yang saya suka karena tokoh Rancho ini amat periang, rendah hati, dan tak pernah mau menunjukkan dirinya hebat. Ia lebih suka bercanda, bermain-main, dan di saat tertentu, ia akan menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa. Pada akhirnya, pendidikan yang didambakannya bukan terletak pada peringkat, atau pekerjaan yang didapatkan, atau pada pencapaian materi. 

sekolah rimba

Ia mendambakan pendidikan yang serupa taman bermain, di mana semua siswa bisa amat bahagia menjalaninya, sebab mengalirkan semua passion, impian, dan harapan-harapan. Mungkin inilah yang dimaksud sebagai pendidikan yang membebaskan.

Pertanyaannya, seberapa banyakkah tokoh seperti Rancho ini dalam kehidupan nyata? Mungkin banyak. Tapi banyak pula yang kemudian memilih mengasingkan diri dari sistem ini, atau mungkin terpental dengan sendirinya. Mungkin ada banyak orang yang paham semua teori kedewasaan atau pendidikan yang membebaskan. Tapi saya amat yakin kalau tidak semua bisa mensenyawakannya dengan diri. 

Mungkin, pendidikan yang membebaskan itu harus dimulai dari diri yang terbebebaskan, yakni diri yang tidak butuh aspek material, diri yang bisa melampaui dunia sosial kita, diri yang selalu mendorong orang lain untuk melihat dengan cara pandang lain, lalu diri yang kemudian mengasah diri jadi yang terbaik, kemudan berkata, “Saya sudah mencapai semua yang diinginkan dunia sosial kita. Tapi, saya mohon maaf. Bukan ini yang saya inginkan. Saya akan menggapai keinginan itu pada setiap pijak langkah kaki. Saya memilih untuk menjadi diri sendiri. Maaf!”


Athens, 6 Mei 2012


1 komentar:

Ratih Puspa mengatakan...

Sepakat pak Yus, Piaget sendiri (termasuk Vygotski dlm teori kontruktivisme) berabad-abad lalu bilang bahwa biarkan anak membangun kerangka berpikirnya sendiri (scaffolding) melalui ekplorasi, pengalaman2 dan penemuan2nya sendiri, orang dewasa (pendidik) hanyalah sbg fasilitator dan motivator. Selamat hari pendidikan dan hari anak nasional pak!, all iz well, btw ditunggu resensi film "Every Child is Special"nya Amir Khan (ngarep..hehehe..)

Posting Komentar