Aroma Sejarah dalam Secangkir Kopi


ENTAH siapa yang memulai, namun kopi bisa menjadi penanda atau ikon kebudayaan. Di balik aroma kopi, terselip sebuah kisah, romansa, tragedi, ataupun sejarah tentang bagaimana manusia berusaha menyajikan sesuatu yang rasanya nikmat di lidah. Melalui pesona budaya, manusia menyebarkan rasa nikmat itu ke seantero bumi, bersintesa dengan lokalitas, lalu menjadi ikon globalisasi. 

Hari ini, Rabu (22/2), saya menghadiri Global Meet and Greet yang bertemakan International Coffee Tasting di kampus Ohio University at Athens, Amerika Serikat (AS). Di sini, terpajang aneka kopi dari berbagai negara. Meskipun rasa dan aromanya berbeda-beda, namun tetap saja ada sesuatu yang universal. Ada sesuatu yang menjadi penanda dan menjadi pengikat semua negeri-negeri itu. Ada sesuatu yang bisa menjadi pengikat. Bahwa di semua tradisi dan kebudayaan, kopi bisa ditemukan sebagai ikon budaya. 

kopi Sumatra, Indonesia
kopi asal Kenya, yang rasanya mirip teh
kopi asal Mexico

Dahulu, antropolog Levi Strauss amat kondang dengan teorinya tentang "tabu incest" yang disebut-sebut sebagai aspek universal dalam budaya. Hari ini, saya berpikir lain. Barangkali Strauss tidak melihat hal lain yang menyatukan budaya. Ia tidak pernah mengamati fenomena kopi yang menyatukan bangsa-bangsa melalui rasa universal dan aroma yang bisa ditemukan di mana-mana. 

Secangkir kopi merepresentasikan universalitas, menggambarkan kekayaan ranah kebudayaan, menguatkan identitas dan respek antar bangsa. Kopi adalah penanda peradaban yang menjadi jembatan antar bangsa. Melalui kopi, terdapat dialog yang saling memperkaya dan menguatkan. Setidaknya, demikian amatan saya ketika menghadiri acara ini. 

Kita memamg bisa membahas globalisasi melalui kisah secangkir kopi. Konon, pada tahun 1.000 SM, kopi mulai dikenal Suku Galla di Afrika Timur. Selanjutnya menyebar ke Ethiopia, lalu diperkenalkan bangsa Arab. Sejarah mencatat, bangsa Arablah yang pertamakali memperkenalkan kopi sebagai minuman energi buat mereka yang begadang. Meskipun, ilmuwan masyhur Ibnu Sina, lalu menerbitkan risalah yang membedah zat kimiawi kopi, dan tercatat sebagai pembedahan pertama yang paling detail tentang kopi.

Selanjutnya, kopi memasuki babakan baru ketika Kekhalifahan Ottoman (bangsa Turki) mengenalkannya dalam kedai kopi pertama yang disebut Kiva Han pada tahun 1475. Kopi lalu memicu kontroversi dan dialog ketika Paus Clement VIII mengatakan bahwa budaya kopi mengancam agama. Ia berkata bahwa peminum kopi sedang menanam dosa yang kelak akan dituai di hari akhir. Sebuah pernyataan yang kemudian diralatnya. 

kopi Honduras
kopi lokal di Athens, Ohio

Laksana virus, kopi menyebar ke Asia, Eropa hingga Amerika Latin. Berbagai bangsa mulai mengenal kopi sebagai tradisi. Ketika bendera kapitalisme terkerek, kopi lalu memasuki babakan baru. Kopi menjadi komoditas yang dijajakan di kafe-kafe berkelas. Namun kopi juga menjadi ikon peninadasan ketika para kolonialis busuk itu memaksa rakyat negara berembang untuk menanam kopi demi sebuah rasa nyaman di lidah. 

Hari ini, saya menghadiri acara yang memungkinkan saya untuk mencicipi kopi dari berbagai bangsa. Entah kenapa, saya tidak menemukan beda rasa kopi di berbagai negara. Mungkin saya bukan seorang peminum kopi, sebagaimana teman-teman lain yang datang ke situ. Saya ingin mencicipi aroma kopi Amerika Latin. Walaupun kata seorang teman, kopi Sumatra jauh lebih nikmat. Saat saya mengambil secangkir kopi asal Amerika tersebut, seorang gadis Amerika Latin tiba-tiba datang dengan senyum manis. Ia memanggil saya, lalu menjabat tangan, dan mendaratkan ciuman. Hmm.. Kayaknya yang satu ini lebih nikmat dari kopi...


Athens, 22 Februari 2012
Usai pesta minum kopi