Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Kukisahkan Padamu tentang Halloween


KUKISAHKAN padamu tentang pesta. Di sini, orang-orang sedang merayakan Halloween. Di sebelah apartemenku, mahasiswa memasang gambar tengkorak di pintu apartemen yang rahangnya bergerak dan sedang menyeringai. Tengkorak itu dililit kobra yang juga Nampak seram. Matanya merah menyala. Ada suara tertawa yang ngakak, amat menakutkan.

Di malam hari, aku menembus dingin demi berkumpul bersama sahabat asal Indonesia. Mereka datang dengan memakai kostum yang unik-unik. Entah kenapa, aku tak begitu tertarik. Aku hanya datang untuk makan-makan, kemudian kabur ke apartemen. Aku tak mau latah, sebagaimana para bule yang pesta hantu dengan dandanan aneh-aneh, pesta minum bir sampai mabok di tengah musik yang terus berdentam.

Aku memilih sendirian di kamar. Menonton film, atau sekadar memandangi fotomu. Bagiku, dirimu adalah energi besar yang menguatkan semua langkah rapuhku di sini. Dirimu adalah nyawa kedua yang membuatku kokoh menghadapi segala hal yang sering tak berkesesuaian dengan ideku.

Malam ini, semua teman-teman Indonesia menelusuri Court Street, pusat keramaian di Athens. Mereka meneleponku dan mengajak bergabung. Entah kenapa –sebagaimana sering kutuliskan di sini--, aku tak betah berlama-lama di tengah keramaian. Aku lebih suka berkarib sunyi, memperhatikan mereka yang ramai itu di kejauhan, sembari menggores sesuatu di laptop ini.

Kebahagiaan terbesarku bukanlah berpesta-pesta. Kebahagiaan terbesarku tatkala mengetahui bahwa dirimu dan ibumu sedang baik-baik saja, sehat walafiat sebagaimana bayi-bayi lain, serta penuh keberkahan. Kelak kamu akan dewasa dan mungkin saja akan menjalani pesta Halloween. Mungkin kamu akan menghadapi dilema sebagaimana diriku. Mungkin pula kamu akan berpikir sebagaimana driku bahwa pesta itu tak terlalu menstimulasi ruang-ruang refleksi di benak, selain menyisakan kelelahan berpikir yang entah untuk apa gerangan.

Anakku sayang. Apakah dirimu baik-baik saja sebagaimana ibumu? Malam ini kuundang dirimu untuk masuk dalam mimpiku. Kita akan bercengkrama dan bermanja-manja. Kita akan mengeja aksara kehidupan, berbagi makna, dan kelak akan memanusiakan segala yang ada di sekitar kita. 

Kelak ketika dirimu sudah cukup mengerti, aku berjanji akan membacakan dongeng pada setiap jelang tidurmu. Aku berjanji Nak. Aku akan menceritakan padamu semua kisah. Mulai kisah hantu-hantu yang kadang seram dan kadang amat baik, putri-putri, para pengeran, para pahlawan, rakyat biasa, seorang ibu bijak di sudut sana, seekor naga di negeri dongeng, tentang penyihir, atau tentang manusia-manusia hebat yang bisa berbuat hal luar biasa di tengah serba keterbatasan. 

Aku janji akan membacakannya untukmu. Jangan pernah takut kehabisan stok karena ayahmu punya ribuan stok yang berjejalan di pikiran dan tinggal menunggu saat tepat untuk dikisahkan. Ayahmu seorang pembaca dongeng dari berbagai bangsa yang melihat dongeng-dongeng itu sebagai khasanah yang ajaib untuk menyampaikan sesuatu. Ayahmu adalah seorang pendongeng hebat yang sanggup menghasilkan semua cerita-cerita hebat untuk kelak menemani tidurmu. Kita akan berpetualang bersama kisah-kisah itu. Kita akan terbang ke mega-mega impian kita bersama, menemukan karakter idolamu, menguatkan jiwamu, dan mewarnai kehidupanmu.

Anakku sayang. Ayahmu sedang merinduimu di sini.


Athens, Ohio, 30 Oktober 2011

Sensasi Jadi Headline (9)

BEBERAPA tulisan saya kembali menjadi headline (HL) di Kompasiana, social blog terbesar di Indonesia. Saya belum menghitung sudah berapa banyak tulisan yang menembus jajaran HL, tapi saya perkirakan sudah puluhan. Nah, berikut inilah beberapa tulisan yang menjadi HL tersebut.







Pesta Halloween, Pesta Komodifikasi

saat mencoba kostum srigala di Wallmart

MALAM ini, warga Athens, Ohio, akan merayakan malam Halloween. Suasananya horor. Di banyak rumah, saya melihat labu besar berwarna kuning. Saya juga sering melihat lukisan atau boneka hantu bertebaran di berbagai penjuru kota. Malah di beberapa ruangan di kampus, ruangan aula didekorasi ala Halloween. Banyak labu kuning serta hiasan horor di dinding. Suasananya seperti film Harry Potter saat hendak pesta Halloween.

Dikarenakan saya bukanlah anak kandung peradaban barat, saya tak terlalu takut melihat berbagai aksesoris itu. Entah kenapa saya berpikir bahwa zombie tidak menakutkan. Jauh lebih menakutkan setan parakang, yang kondang di Sulawesi. Setan parakang berbentuk kepala yang terbang melayang sambil membawa jantung dan isi perutnya. Setan ini mencari ibu-ibu yang baru melahirkan serta bayi merah.

Kapten Jack Sparrow dalam kisah Pirates of Carribean

Saya juga takut membayangkan setan asal Buton bernama Waniampasi. Konon katanya, setan ini berbau busuk, seperti kerang laut yang dijemur. Setan ini selalu muncul dari dalam laut dan menganggu para nelayan di lautan luas. Baik parakang maupun Waniampasi adalah setan yang paling menggetarkan nyali. Saya juga takut ketika membayangkan awah yang bangkit dari kubur. Entah kenapa, kami orang Buton punya banyak stok kisah tentang arwah yang bangkit dan berjalan-jalan sebagaimana manusia biasa.

Di sini, di tanah yang jaraknya ribuan kilometer dari kampung halaman, saya seakan terjebak dengan perayaan pesta hantu Halloween. Saya tak seberapa takut. Tapi saya seolah tak punya pilihan sehingga mesti meramaikan pesta ramai ini. Teman-teman sudah menyiapkan berbagai kostum yang seram-seram. Saya jauh lebih ska sendirian di kamar sambil menuliskan sesuatu di blog ini. Saya jauh lebih nikmat duduk sambil menganyam kata demi kata. Tapi, saya juga merasa sayang kalau momen langka ini terlewatkan. Saya ingin hadir. Bukan sebagai partisipan. Tapi sebagai seorang pemerhati yang mencatat kesan atas pesta Halloween ini.

Di tengah hingar-bingar, saya memilih berkarib dengan sunyi, menelisik tanya dalam hati, sembari bertanya-tanya apa makna dari semua pesta meriah yang digelar manusia modern. Apakah ini yang disebut kemajuan? Ataukah ini hanya ritual tahunan yang kian kehilangan makna? Sebenarnya, apa sih makna Halloween?

Apakah saya cukup seram?

Saya tak paham. Sayapun tak bermaksud sok tahu untuk mengurai maknanya. Satu yang saya catat bahwa ritual ini telah menjelma sebagai komoditas yang amat laris. Para ilmuwan sosial menyebutnya komodifikasi yakni proses menjelmakan sesuatu sebagai komoditas. Di mana-mana, semua toko menjual produk hantu. Semua orang membeli aneka kostum demi dipakai hanya dalam semalam. Ini bukan soal harga yang murah atau mahal. Ini soal kejelian para pedagang yang melihat celah pasar lalu melempar produk demi memaksimalkan keuntungan. Logika yang berlaku di sini hanyalah untung rugi dan melihat masyarakat sebagai pelanggan yang mau tak mau, sadar atau tidak sadar, pasti akan datang untuk mencari kostum dan memeriahkan Halloween.

Apakah saya takut dengan semua hantu itu? Kayaknya tidak. Saya teringat saat membahas setan bersama dua sahabat Eka Novita dan Nurhasni di Apartemen Common. Kami membahas setan di Sumatra dan Sulawesi. Saya antusias membahasnya. Tapi saat pulang dari tempat Eka, tiba-tiba saja, saya merinding. Mata saya jadi amat liar. Saya waspada melihat semak-semak yang bergoyang. Bulu roma tiba-tiba berdiri. Apakah arwah atau setan Sulawesi sedang bergentayangan hingga tanah Amerika? Saya amat ketakutan. Saya memilih segera berlari dan masuk kamar. Hiiii....



Athens. Ohio, 29 Oktober 2011


BACA JUGA:


Sukarno, Khadafy, dan Tragedi Oediphus

Sukarno di akhir masa kekuasaannya

PRIA itu diringkus dengan paksa. Ia dihantam berkali-kali hingga darah menetes dari luka-luka sayat di wajahnya. Ia masih sempat menyeka darah itu dengan tangan dan memperhatikannya. Mungkin ia sedang memastikan bahwa cairan merah itu adalah darah yang mengalir. Ia lalu menatap sekeliling, memperhatikan barisan massa yang sedang mengamuk dan meneriakkan nama Tuhan. Ia lalu bertanya, “Apa salah saya? Apa yang telah saya lakukan pada kalian?”

Pria itu adalah lelaki yang selama sekian dekade menjadi pemimpin yang tak tersentuh. Pria itu adalah seorang pemimpin revolusi yang telah menumbangkan sebuah dinasti dan kekuasaan despotik yang bertahta selama beberapa tahun. Pria itu adalah lelaki yang suaranya laksana auman singa gurun dan menggetarkan lawannya. Kini ia hanya seorang pesakitan biasa yang disiksa, dibunuh, lalu diseret. Ia ditembak di perut dan kepala, kemudian mayatnya dilempar di sebuah lemari pendingin di pasar daging dan menjadi tontonan banyak orang. Sungguh menyedihkan. Pria itu Muammar Khadafy, sang pemimpin Libya, pemimpin revolusi Al Fatah.

Abad ke-21 adalah abad penuh kisah-kisah sedih. Kita sama tahu apa yang terjadi dengan pemimpin Irak Saddam Husein. Kita tahu bahwa mereka memang seorang pemimpin diktator yang -mungkin-menggunakan segala cara demi melanggengkan kuasa. Tapi kita sama paham bahwa setiap orang, tak selayaknya diperlakukan dengan cara demikian. Siapapun orangnya, tak seharusnya dimaki dan dicerca sedemikian rupa hingga seolah lenyaplah segala hal baik yang dilakukannya. Setiap orang berhak menjalani peradilan, penelusuran fakta yang meskipun bermuara pada kejahatannyan mamun harus ada ruang-ruang interpretasi dan di dalamnya ada perdebatan tentang benar salah. Namun sepertinya kita masih sulit bertindak jujur, menyerahkan pada proses hukum, serta melihat segala kesalahan dengan jernih dan terang benderang.

Tragik yang dihadapi Khadafy kian menguatkan jargon yang dulu sering dibisikkan para revolusioner bahwa revolusi kelak akan memangsa anak-anaknya sendiri. Seorang revolusioner adalah seorang yang sekian tahun silam menjadi juru selamat dan dipuji setinggi langit, namun di penghujung hayatnya menjadi buronan yang kelak akan dibunuh dan dilemparkan ke lemari pendingin sebagaimana Khadafy.

Kasus Khadafy kian melengkapi catatan sejarah bahwa seorang revolusioner memiliki hasrat kuat untuk menjebol dan membongkar pasang, namun selalu alpa membangun benteng tatanan atau sistem. Bahwa sekokoh apapun tatanan yang dibangun dari hasil menjebol, namun kohesi nilai dan solidaritas antar warga amatlah penting sebagai semen perekat benteng tatanan itu. Kohesi tersebut jelas ditopang oleh kesejahteraan serta hasrat kuat untuk menegakkan keadilan. Tanpa itu semua, revolusi hanya menjadi nyanyian pengantar tidur yang didendangkan buat seorang anak kecil di malam hari. Pertanyaannya, apakah pantas Khadafy menerima perlakukan itu? Saya tak paham. Saya hanya bisa mereka-reka. Biarlah para filosof dan cendekia yang memikirkan itu.


Kisah Tragis Sukarno


Kasus Khadafy mengingatkan saya pada tragik yang juga dialami pemimpin bangsa kita Sukarno. Ia membidani lahirnya republik, mengisinya dengan filosofi dan tananan, membawa bangsa ke ranah dunia, namun berakhir tragis di dalam rumah sendiri. Sukarno pun terasing di rumah sendiri, menjalani tahanan rumah, dan menderita sakit berat yang tak diobati oleh negara.

Bulan Maret 1967, Soeharto diangkat jadi Pejabat Presiden. Sukarno harus angkat kaki dari Istana Merdeka dan pindah ke Bogor. Sebetulnya sejak lama ia sudah diperlakukan sebagai tahanan rumah. Siapapun yang menemuinya mesti melewati hadangan prajurit yang menjaganya. Sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam “karantina politik” dan tinggal di pavilyun Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke peristirahatan “Hing Puri Bima Sakti” di Batutulis Bogor. Sementara itu tuntutan masyarakat dibuat sedemikian rupa agar semakin keras mendesak Sukarno diadili dengan dalih keterlibatan dalam peristiwa G30S. Persangkaan itu diperkuat kenyataan bahwa Sukarno tidak mau mengutuk PKI yang pimpinannya terlibat dalam percobaan kudeta tersebut.

Putri Sukarno, Rachmawati, lalu menemui Soeharto di Cendana meminta agar Bung Karno dipindahkan ke Jakarta. Awal tahun 1969, Sukarno pindah ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satria Mandala). Sementara itu Presiden RI pertama itu terus diperiksa oleh Kopkamtib. Setelah sakit Sukarno makin parah, barulah Soeharto memerintahkan menghentikan interogasi. Sebelum Prof Mahar Mardjono (dokter yang memeriksanya) meninggal, ia sempat menceritakan kepada Dr Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh dokter berpangkat tinggi. Sukarno tinggal sendirian dan menemui ajal, tanpa mendapat pemgobatan memadai. Ia menerima tragik, sesuatu yang tak dibayangkannya, bahkan di saat-saat menjalani pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan saat dibuang ke berbagai tempat di tanah air.

Membaca kisah Sukarno serasa membaca kisah dalam mitologi Yunani kuno: penuh dengan kisah penaklukan dan berujung pada tragedi. Ciri khas mitologi Yunani adalah selalu menempatkan tragedi sebagai elemen paling penting untuk menjelaskan kehidupan. Tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dimenangkan, dan lewat itulah nilai-nilai moral ditemukan.

Ketika Oediphus -kisah masyhur dalam drama Sophocles- berhasil mengalahkan sphinx dan meraih tahta tertinggi di Thebe, maka itu adalah sebuah penaklukan dan kejayaan. Namun tatkala ia harus menusuk matanya sebagai bukti atas keterlibatannnya -yang dilakukan secara tidak disengaja-atas pembunuhan Raja Thebe sebelumnya serta tindakan mengawini ibunya Iacoste, maka itu adalah akhir dari kisah tragik yang baginya. Ia menjadi prasasti dari dilema manusia untuk menemukan dirinya dalam sebentang peta konstalasi kosmos.

Kisah Sukarno bisa pula dibaca sebagai kisah penaklukan yang kemudian berakhir tragis. Ia adalah seorang cerdik cendekia yang berhasil menggiring bangsa pada gerbang kemerdekaan. Ia berhasil memerdekakan sebuah bangsa yang tengah beringsut untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme. Lewat jargon revolusi, ia menggelorakan semangat massa dan rasa cinta yang dalam pada negeri hingga siap menjadi martir demi revolusi. Sayang, seperti halnya kisah Yunani kuno, Sukarno kemudian ditikam oleh negeri yang begitu dicintainya. Ternyata, revolusi -sebagaimana sering didengungkannya-harus memangsa anak-anaknya sendiri. Dan itu adalah tragis Sukarno.

Dalam hidup Sukarno, hanya ada sekutu dan seteru. Jika belakangan ia mati dalam konspirasi dan kesendirian, maka itu hanyalah tragedi yang menjadi akhir dalam kisah hidupnya. Bermula dari keterasingan, meraih kegemilangan, kemudian berujung pada tragedi yang telah menjadikannya sebagai mangsa dari kereta besar bernama revolusi.

Sebagaimana telah saya katakan sebelumnya, Sukarno dan Khadafy adalah Oediphus yang ditusuk matanya dan mengerang dengan suara yang terdengar hingga jauh.



Athens, Ohio, 29 Oktober 2011

Pilih Bijak atau Hebat?

SERING kupikir bahwa kita warga Indonesia bukanlah warga yang suka mendiskusikan opini dan pendapat. Seringkali, kita hanya memikirkan diri kita, menganggap diri yang paling hebat, dan seringkali memandang enteng yang lain. Padahal, orang bijak sering berkata bahwa saat kita menganggap diri sebagai yang paling hebat, maka tanda-tanda kebodohan sedang merayap di pikiran kita. Itu tanda kedunguan yang tumbuh, namun tidak kau sadari sebab dirimu dininabobokan ilusi kehebatan.


Aku tak pernah peduli dengan kata hebat dan tidak hebat. Rasanya, dunia persekolahan telah memapankan kosa kata hebat itu dalam diri kita. Seseorang merasa hebat ketika mencapai akumulasi nilai tertentu, meskipun sesungguhnya yang didapatnya hanyalah angka-angka belaka. Seseorang merasa hebat ketika melulusi sejumlah kuliah, padahal yang didapatnya tidak lebih dari kelelahan berpikir.

Pernah kucapai kategori tertinggi yang bisa didapatkan seorang mahasiswa di satu kampus besar. Tapi kalau kurenungi lagi, kategori itu tak bermakna apa-apa selain dari rasa senang melihat ijazah yang nilainya bagus-bagus. Saat terjun langsung ke kenyataan, akhirnya kusadari di situ yang berlaku bukanlah nilai. Yang berlaku adalah sejauh mana kecakapan serta kemampuanmu untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Yang berlaku adalah kemampuanmu beradaptasi dengan iklim kerja yang berubah, serta berdinamika dengan masyarakat sekitarmu.

Kita tak banyak belajar hal yang dianggap remeh-temeh oleh dunia pendidikan kita. Kita tak diajak untuk memperkaya pengalaman, sebagai hal paling penting di dunia ini. Padahal, pengalaman telah mengajarkan bahwa kemampuan di sekolah justru bukanlah tolok ukur kehebatan seseorang.

Namun seberapa banyakkah di antara kita yang sadar bahwa ini sesungguhnya adalah kearifan tradisional yang nyaris terlupakan. Orang tua kita telah lama mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah menjadi cerdas. Yang terpenting adalah menjadi bijaksana pada berbagai lapangan kehidupan. Seorang cerdas belum tentu bijaksana. Sementara seorang bijaksana, pastilah seorang cerdas.

Tahukah kamu bahwa apa yang disebut hebat itu adalah sesuatu yang bersemayam dalam diri, sebagai hasil dari olah gagasan serta perenungan mendalam atas kenyataan, kemudian direfleksikan dalam sikap untuk belajar dari apapun, selalu merasa biasa saja, demi menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya. Kehebatan itu adalah sikap merasa diri biasa saja demi kearifan untuk terus belajar dari setiap tetes pengalaman. Kehebatan tu ibarat embun yang menetes di dedaunan, tak pernah mengharapkan kemilau, namun mataharilah yang menampakkan kejernihannya.

Namun, seberapa banyak di antara kita yang memilih sikap belajar dari kenyataan? Atau sebaliknya, memilih sikap merasa paling hebat dan melecehkan yang lain?



Nama Sukarno Terus Berkibar


DALAM perkuliahan dan diskusi terbatas dengan beberapa sahabat di iklim akademik Amerika Serikat (AS), sosok yang paling identik dengan Indonesia adalah Sukarno, mantan Presiden Indonesia. Awalnya, saya mendengar nama Sukarno disebut dalam kuliah oleh Prof Cambridge, pengajar senior Ohio University. Selanjutnya, saya pun mendengar nama Sukarno disebut dengan penuh kekaguman oleh seorang sahabat dari India. Nah, mengapa sosok ini begitu penting dan dalam konteks apa namanya selalu dibicarakan?

Menurut Prof Cambridge, Sukarno telah menunjukkan satu peran yang sangat besar dalam hal memosisikan negara dunia ketiga, yang berada di belahan bumi selatan, demi menghadapi dominasi negara dunia pertama. Ketika negara adi daya sibuk memperdebatkan siapa pemilik supremasi tertinggi, Sukarno telah memberikan peta jalan serta menyuntikkan semangat nasionalisme yang menyala-nyala. Indonesia bersama negara Asia-Afrika akan jadi satu kekuatan yang laksana air bah akan menjebol imperialism dan kolonialisme.

“Strateginya sangat hebat. Ketika utara dan utara saling bertarung, Sukarno menggalang kekuatan bersama Nehru dari India, dan Tito dari Yugoslavia untuk sama-sama mengkonsolidasikan negara Asia-Afrika demi menantang kaum kolonial. Dia sosok hebat, bukan hanya bagi Indonesia, melainkan bagi dunia,” kata Cambridge.

Seorang sahabat asal India juga mengatakan hal yang sama. Ia tahu persis bahwa Sukarno sangatlah popular bagi siapapun yang belajar sejarah India. Di saat India baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia langsung menyatakan dukungan, sekaligus memberikan bantuan untuk kesejahteraan bangsa India. “Nama Sukarno sangat harum di India sebagai pemimpin dunia yang peduli atas bangsa kami,” kata sahabat yang kuliah di program International Development Studies tersebut.

Sukarno bersama pemimpin India: Indira Gandhi dan Nehru

Setiap kali ada pembicaraan tentang Sukarno, saya tak henti-hentinya kagum pada sosok ini. Indonesia butuh satu simbol yang kemudian menguatkan solidaritas bersama sekaligus memberikan rasa bangga pada bangsa Indonesia yang hendak berkiprah di level internasional.

Tapi, di saat bersamaan, saya juga miris karena negeri ini kehilangan satu sosok seperi beliau. Tak satupun anak bangsa yang punya kharisma, kiprah, serta mewarisi kecerdasan beliau dalam hal membawa bangsa ini terbang tinggi menjangkau mega-mega. Kita hanya dihadapkan pada sejumlah ptualang politik yang hendak memperkaya diri di jalur politik.

Di saat bangsa kita kehilangan kebanggaan pada anak bangsa sendiri, kerinduan akan Sukarno akan terus berdenyut sepanjang sungai kesejarahan kita. Selagi kita dihadapkan pada sejumlah politisi tanpa visi, maka nama bangsa ini kian terpuruk di kancah dunia. Sungguh ironis sebab dahulu Sukarno sanggup mengisi ruang-ruang kosong kebanggaan tersebut, namun kita justru melupakannya. Sungguh bahagia kala mengingat nama Sukarno tetap berkibar hingga kini, namun langsung sedih saat menyadari bahwa tak satupun presiden yang bisa meniti di atas jejak yang diwariskannya.

Mengapa tak lahir Sukarno muda di negeri ini?

Pohon-Pohon Selebaran


Di Pittsburgh, tak boleh sembarangan menempel selebaran. Pihak kampus dan pemerintah lalu menyiapkan tempat khusus untuk menempel selebaran. Biasanya, berupa tiang hijau yang agak lebar sehingga bisa ditempeli. Cara ini cukup efektif. Siapapun yang sedang di sekitar kampus dan ingin tahu apa yang terjadi, cukup pergi melihat selebaran tersebut. Makanya, di sana banyak ditemukan pohon selebaran. Hehehe..

Demo di Amerika: Tanpa Teriak, Tanpa Api

saat saya ikut demo di Ohio
DI Makassar, saya terbiasa melihat para demonstran memacetkan jalan raya. Sering pula saya melihat mahasiswa berdemo sambil membakar ban, berkelahi dengan polisi, atau membakar mobil aparat. Kalau perlu membakar kampus sendiri. Di Jakarta, saya pun sering melihat demonstran membawa spanduk, dan berteriak-teriak di jalan raya. Nah, di Athens, Ohio, Amerika Serikat, saya pun melihat aksi demonstrasi. Apakah demonstrasinya sebagaimana yang terlihat di Indonesia?

***

PRIA renta itu bernama Chuck. Ia tinggal di pinggiran Athens, pada jarak yang cukup jauh. Hari itu, ia datang ke kampus Ohio University sambil membawa kostum khas Paman Sam, yakni pakaian dan topi yang berwarna senada dengan bendera AS. Ia datang atas kehendak sendiri demi menyatakan sikap pribadinya pada gerakan besar bernama Occupy Ohio yang tengah marak. Ia bergabung bersama warga yang menamakan dirinya 99 % sebagai simbol rakyat Amerika kebanyakan dan melawan 1 % yang menjadi simbol para konglomerat dan pemilik korporasi. Gerakan 99 % inilah yang menyatukan mereka hingga rela berdemonstrasi.

Saya datang menemuinya dan ikut berbincang. Ternyata Chuck adalah pensiunan professor yang menyebut dirinya sebagai warga biasa. Ketika ditanya, ia sangat berapi-api menjelaskan bahwa korporasi mulai menguasai Ohio. Industri pertambangan mulai masuk di beberapa titik, dan mulai mencemari lingkungan, serta memaksa warga untuk menjual tanah.

foto: Yazid Sururi

Memang, isu pertambangan menjadi bahasan yang cukup ramai. Dahulu, Amerika serikat (AS) tidak pernah mengolah tambangnya sendiri. Mereka memilih untuk mencaplok tambang di banyak negara, termasuk Indonesia. Tapi, sejak krisis mulai merebak, banyak perusahaan mulai mengeksplorasi minyak.
Mereka memakai cara yang sedikit ‘licik’ yakni mengeksplorasi di satu tempat, kemudian mencemari air dengan minyak hingga tidak layak pakai, hingga -dengan sangat terpaksa-warga lalu menjual tanah dengan murah. Di Indonesia, ini praktik umum yang sering terjadi. Tapi di Amerika, ini termasuk baru dan mulai meresahkan banyak warga, termasuk Chuck.

“Saya benci melihat cara-cara licik korporasi yang membodohi rakyat biasa,” katanya dengan berapi-api. “Makanya, saya ingin bergabung dengan aksi ini demi menyatakan sikap saya yang menolak tindakan para korporasi di tanah Athens,” sambungnya.

Usai berbicara, ia lalu mengeluarkan bangau kertas yang dibuatnya. Ia memperlihatkan tulisan “Sadako and Paper Crane” di bangau itu. Ia lalu menceritakan tentang seorang anak kecil bernama Sadako yang menjadi korban radiasi nuklir saat bom mnghantam Hiroshima dan Nagasaki. “Saya ingin menunjukkan sisi lain negeri saya sendiri yang berlaku kejam di negara lain,” katanya.

Selama beberapa hari ini, kota kecil Athens dihebohkan dengan demonstrasi. Menurut beberapa sahabat, demonstrasi adalah sesuatu yang langka di sini. Namun genederang perubahan dan aksi terdengar nyaring di seluruh wilayah Amerika. Mereka -yang menyebut dirinya 99 persen itu-merapatkan barisan, lalu bersama menyatakan sikapnya.

Yang menarik buat saya karena demonstrasi tersebut dilakukan sangat tertib. Masyarakat datang dari berbagai tempat lalu bergabung bersama mahasiswa dalam gerakan tersebut secara suka rela. Di lahan kecil dalam kampus, mereka membangun tenda-tenda, lalu berdiskusi tentang banyak hal sambil membentangkan spanduk. Saat saya singgah ke situ, mereka sedang membentuk lingkaran lalu bertukar pikiran.

Demonstrasi ini sangat jauh dari bayangan saya tentang demo di tanah air. Saat membentuk lingkaran mereka lalu berbicara tentang apa yang menjadi keresahannya selama ini. Di sini tak ada koordinator lapangan (korlap). Seorang perempuan, yang berprofesi sebagai mahasiswa program S3, lalu menjelaskan tentang demo tersebut. “Tujuan kami di sini adalah menggugah kesadaran. Kami ingin menyebarkan pemahaman bahwa ada sesuatu yang salah di sini.”

Dalam diskusi kecil itu, saya menemukan beberapa kesamaan tema yang mempertautkan mereka. Di antaranya adalah keinginan untuk menghapus jurang perbedaan antara kaya dan miskin. “Kita berdiri di sini agar kita sama-sama dihitung. Kita ingin mewujudkan demokrasi dan menghapus batas antara kaum berpunya dan kaum tak berpunya. Untuk itu, para korporasi itu harus enyah dari bumi Amerika. Mereka telah memiskinkan kita semua,” demikian kata seorang demonstran dengan berapi-api.

foto: Yazid Sururi
Usai saling diskusi, mereka lalu mencatat dan menginventarisir apa-apa saja yang dikeluhkan. Di antaranya adalah masalah pencemaran lingkungan olh korporasi, jaminan kesehatan, mengusir bank swasta, dana kredit mahasiswa, hingga ancaman kemiskinan dan kelaparan. Mereka mencatat semua isu tersebut, lalu sama-sama mendiskusikan apa langkah selanjutnya. Rencananya, mereka akan tinggal di tenda-tenda itu selama seminggu dan setiap harinya memiliki agenda sendiri-sendiri.

Jejaring Perlawanan

Yang menakjubkan adalah aksi perlawanan atas korporasi ini didorong oleh aksi yang sangat terorganisir dan dimulai dari kantung-kantung massa. Para penggiat gerakan punya visi yang kuat atas masyarakat, lalu membangun jejaring gerakan dengan elemen masyarakat lain yang juga memiliki visi yang sama. Mereka juga beruntung karena pemerintahnya men-support tumbuhnya gerakan akar rumput seperti ini. Bahkan partai politik pun sangat responsive dalam memberikan bantuan kepada warga.

Salah satu bentuk penguatan jaringan itu nampak pada para petani organik memiliki jaringan hingga ke pemasar hingga ke para pemilik kafe, yang kemudian menghibahkan ampas kopi demi menjadi pupuk. Mereka saling mendukung dalam stau jaringan sehingga terbentuk mata rantai saling membutuhkan di antara mereka.Inilah model gerakan yang belum banyak saya lihat di Indonesia.

seorang ibu ikut berdemo

Gerakan mereka benar-benar dimulai dari bawah, dinyalakan oleh kesadaran serta hasrat untuk tetap bersatu. Makanya, gerakan komunitas cukup mendapat tempat di sini seperti radio komunitas, kemandirian untuk melepaskan diri dari industri besar baik pangan maupun perumahan, hingga komunitas pelestari tanaman medis. Gerakan mereka juga merambah ke dunia maya, sehingga siapapun bisa saling memberi informasi serta menyebarkan rencana aksi.

Pada saat tertentu, mereka dengan cepat berkonsolidasi dan saling men-support gerakan ini. Gerakan itu makin kuat karena pihak kampus juga memberikan dukungan kuat. Mahasiswapun ikut bergabung hingga makin menjadi gerakan besar. Saya merasa beruntung bsia diskusi dan belajar banyak dari para demonstran cerdas ini. Akhirnya saya bisa melihat demo tanpa amarah, tanpa api yang menyala-nyala.

Saat saya mengunjungi lokasi aksi, saya lalu menemui seorang mahasiswa yang ditunjuk menjadi juru bicara. Saat saya tanya mengapa berani mengkritik negaranya sendiri, mahasiswa berparas cantik itu lalu menjawab, “Saya muak dengan kebijakan perusahaan yang menyebarkan bencana lingkungan di mana-mana, khususnya di negara seperti Indonesia.” What? Saya langsung tersedak.(*)


Athens, Ohio, 21 Oktober 2011

Rindu Ayah Untukmu Nak!


Anakku sayang…
Di sini, pada jarak ribuan kilometer, diriku hanya bisa memandang potretmu. Setiap melihat wajahmu, terasa ada sesuatu yang menggenang di pelupuk mata ini. Kau mulai bertumbuh. Bukan lagi bayi merah, sebagaimana yang pernah kusaksikan di Rumah Sakit Pertiwi, tanggal 2 Agustus silam. Kau sudah bisa tersenyum dan tertawa. Nak, apakah gerangan yang sedang kau tertawakan? Apakah diriku yang terjebak dengan rutinitas di sini?

Anakku sayang…
Sungguh, aku takut jika dirimu sedang mentertawakanku. Aku takut dirimu akan menuntut kasih sayang dan perhatian. Aku takut dirimu mempertanyakan, mengapa dirimu tak pernah dibelai seorang ayah yang menciumi ubun-ubunmu ketika hendak lelap? Aku takut dirimu bertanya mengapa seorang ayah harus pergi berkelana jauh ke negeri sana, sementara dirimu amat membutuhkan sentuhannya?


Di sini, pada jarak yang terbentang sekian ribu kilometer, aku tak henti-hentinya merajut rinduku untukmu. Kelak rinduku akan menjadi kain yang mengapung di samudera raya, menjadi jembatan yang mempertemukanku denganmu. Semoga waktunya tak lama lagi.(*)


Athens, Ohio, 19 Oktober 2011

Homecoming: Saat Idealisme Tumbuh dan Berbunga

marching band alumni Ohio University (foto: Nurhasni)

“Di tanah ini mereka tumbuh. Di tanah ini pula mereka kembali.”


Ungkapan ini sungguh tepat untuk menggambarkan suasana Athens, Ohio, hari ini. Sepanjang jalan, ada begitu banyak alumni yang mengunjungi kampus, mengenang kembali masa-masa yang telah lewat. Saya melihat banyak orang-orang lanjut usia yang masuk kampus dengan mengenakan baju bertuliskan Ohio University. Mereka meramaikan ikut dalam parade atau karnaval, memberikan persembahan, dan merajut kembali hubungan dengan pihak kampus.

Acara homecoming day seakan menjadi tradisi di Amerika Serikat (AS). Biasanya ada aktivitas antara alumni dan mahasiswa melalui olahraga dan acara kebudayaan, serta parade atau karnaval. Tradisi ini bermula dari keinginan kampus untuk mendatangkan alumni sehingga terjadi sharing pengetahuan. Tapi, belakangan yang dominan adalah parade dan jalan-jalan keliling kampus.

kereta berkuda (foto: Yazid Sururi)
parade pembuka (foto: Yazid Sururi)
kok ada pasukan Amerika?

Di Indonesia, tradisi ini sama dengan reuni. Bedanya, di tanah air biasanya hanya acara seremonial berupa nyanyi-nyanyi dan mengenang masa silam. Kalau di Amerika, puncak acaranya adalah parade keliling kota, para alumni mengenakan atribut kampus, yang dikenakan dengan penuh rasa bangga, serta para alumni ikut berkarnaval, mengenakan pakaian masa kuliah, atau ikut dalam marching band yang dibuat oleh para alumni.

Di Ohio, acara Homecoming Day, sebagaimana yang saya saksikan kemarin, juga menjadi panggung bagai berbagai pihak untuk menunjukkan apa yang sudah diakukan. Kemarin, saya melihat acara karnaval tak hanya diramaikan warga kampus serta lembaga-lembaga dalam kampus.

Tapi juga diramaikan penggiat aksi gerakan sosial untuk mengguga kesadaran masyaraat. Misalnya sekelompok perempuan yang mengatasnamakan gender. Banyak juga barisan pemerintah yang ikut meramaikan acara. Malah, saya melihat Walikota Athens ikut berparade dan membagi-bagikan permen pada anak-anak. Yang unik, sempat pula saya melihat parade dari sejumlah kandidat senator atau kandidat walikota yang ikut meramaikan. Mereka memakai poster yang simpatik, pesan yang menggugah, serta harapan kepada publik. Suasananya kayak kampanye di Indonesia, namun di sini semuanya berjalan secara rapi.

Makna Homecoming

Saat diskusi dengan beberapa kawan tentang makna homecoming, saya mendapat jawaban yang menarik. Menurut seorang kawan, pihak Ohio University sadar betul tentang potensi para alumni bagi pihak universitas. Setidaknya, terdapat dua gedung besar di dalam kampus yang dibangun pihak alumni. Mungkin ini sebab mengapa kampus semega Ohio tak pernah mau memutus jaringan dengan alumninya.

gadis-gadis Jepang ikut meramaikan acara (foto: Yazid Sururi)
alumni yang berdandan ala Elvis Presley (foto: Yazid Sururi)

Namun, yang lebih kental dari itu adalah adanya keinginan untuk merajut kembali hubungan-hubungan dengan para alumni, menguatkan kembali jaringan kedekatan yang telah lama terrajut, serta keinginan untuk mengenang kembali masa-masa ketika menjalani perkuliahan di kampus itu.

Saya sendiri merasa tradisi ini adalah sesuatu yang positif. Saya meyakini bahwa ingatan atau kenangan adalah jangkar penting yang menumbuhkan identitas serta karakter seseorang di masa depan. Siapapun yang besar di lahan yang menyuburkan potensi, akan selalu merindukan momen indah ketika pertama kali mencari eksistensi jati diri demi tumbuh dan berkembang. Kampus menjadi lahan yang menyemai benih kepribadian serta hasrat untuk mencintai ilmu pengetahuan dan mengabdikan diri pada arena kemanusiaan.

Namun siapapun yang besar di tengah lahan yang justru mematikan potensi, pasti akan tumbuh sebagai generasi yang tidak ingin kembali menginjakkan kaki di tempat tersebut. Ini adalah hukum sejarah bagi siapapun alumni yang menemukan kejanggalan di kampus. Ia akan menjadi elang yak tak peduli tempat asalnya. Mungkin saja ia berkilah bahwa kebobrokan yang dilihatnya adalah sesuatu yang kemudian menyuburkan karakternya untuk tidak melakukan hal yang sama. Mungkin saja ia tidak akan melihat kampus sebagai menara ilmu pengetahuan, namun menara yang menjadikan ilmu hanya sebagai selubung demi menutupi praktik iblis yang mencari duit di tempat itu.

marching band (foto: Yazid Sururi)
Di Indonesia, tidak semua institusi pendidikan bisa menjadi lahan subur yang menumbuhkan potensi dan karakter. Malah, banyak lembaga pendidikan yang justru menghadirkan trauma tentang para pengajar yang bisanya hanya ngasih tugas, kemudian justru membenci mahasiswanya sendiri, atau tentang korupsi atau nepotisme yang subur di stau kampus.

Idealnya, kampus bisa menjadi tempat persemaian gagasan dan idealisme, tempat menyusun narasi masa depan. Namun, pernahkah kita bertanya pada diri kita sejauh mana pengalaman kita di kampus? Apakah kampus kita menjadi tempat persemaian idealisme serta harapan tentang masa depan? Apakah kampus kita menjadi benteng terakhir yang menjaga nilai dan kearifan? Marilah kita bertanya pada nurani masing-masing.

Namun, setidaknya di acara Homecoming Day ada pertemuan dengan semua sahabat dan rekan sejawat. Hingga kini, saya masih berkeyakinan bahwa persahabatan jauh lebih penting dari perkuliahan. Saya terngiang kalimat Prof Mattulada (guru besar Universitas Hasanuddin), "Para sahabat ibarat barisan malaikat yang selalu mengingatkan dirimu pada jalan ideal yang sebelumnya hanya bisa kamu impikan."

Saya sangat sepakat dengan beliau. Melalui persahabatan, saya tidak sedang belajar ilmu pengetahuan, tapi saya belajar ilmu kehidupan. Melalui persahabatan, saya belajar menyemai benih idealisme, menjaganya dari segala parasit kehidupan, hingga menumbuhkan bunga-bunga yang mengiringi setiap tapak kaki di altar kehidupan. Saya bukanlah malaikat. Tanpa sahabat dan segala ilmu kehidupan yang saya serap dari mereka, tentunya saya sudah lama tergilas roda-roda zaman hingga terseret tertatih-tatih.(*)



Athens, Ohio, 16 Oktober 2011

Hati-hati Mbak! Ntar bisa jatuh


Telaga Jernih di Masjid Athens




JUMAT (15/10), saya menunaikan salat Jumat di Islamic Center, Athens. Di lihat dari kejauhan, saya tak menemukan jejak masjid. Di tanah air, masjid adalah bangunan yang mudah ditemukan sebab arsitekturnya selalu khas berupa kubah yang serupa payung seakan menutupi bangunan masjid. Biasanya, ada pula menara besar yang di atasnya terdapat pengeras suara demi memanggil umat di kejauhan.

Tapi di Athens, Ohio, bangunan masjid seperti layaknya bangunan rumah biasa. Satu-satunya penanda adalah tulisan Islamic Center di pintu masuk. Andaikan saya tidak bersama seorang kawan, mungkin saya tak mengenali bahwa bangunan putih serupa rumah itu adalah masjid, yang juga berfungsi sebagai Islamic Center.

Saya ke Islamic Center bersama seorang kawan beragama Katolik. Ia ikut masuk ke dalam masjid. Teman saya tersebut cukup fleksibel, sebab saat bertemu orang Arab, ia lalu mengucapkan kalimat Assalamu Alaikum. Selanjutnya, ia duduk di tempat paling belakang (dekat tembok) lalu mulai memejamkan mata dan berdoa dengan cara Katolik. Sementara saya langsung bergabung dengan shaf lalu salat sunat.


Pengunjung masjid ini tidak seberapa banyak. Saya bisa memetakan dalam beberapa kategori. Pengunjung terbanyak adalah mahasiswa asal Timur Tengah. Kebetulan, saya banyak mengenal mereka. Selanjutnya adalah warga Afrika. Lalu, warga Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia), dan yang tersedikit adalah warga Amerika Serikat sendiri.

Dekorasi dalam masjid juga sangat sederhana. Hanya ada karpet serta beberapa dekorasi kaligrafi. Saya melihat jadwal shalat tulisan berbahasa Arab, entah apa maknanya. Semuanya serba standar.

Saya dan jamaah menunggu datangnya khatib. Ketika datang, saya agak terkejut karena khatibnya bukanlah sesepuh yang datang dengan pakaian ala timur tengah. Sang khatib adalah anak muda yang memakai baju kaos. celana mirip jeans, yang sering dipakai untuk mendaki gunung. Dari wajahnya, saya bisa menebak kalau sang khatib berasal dari Timur Tengah. Sang khatib berprofesi sebagai mahasiswa.


Ia lalu membuka khutbah dengan bahasa Arab yang fasih, bukan sengaja difasih-fasihkan. Setelah itu, ia mulai khutbah dengan bahasa Inggris. Isi khutbahnya cukup menarik yakni tentang Islam yang mengajarkan cinta kasih serta perdamaian.

Bagian yang paling mengena adalah ketika ia memaparkan bahwa peperangan diawali dendam yang kemudian beranak-pinak. Semuanya diawali dari satu kejadian, lalu dendam membara, selanjutnya muncullah lingkaran dendam yang tak berkesudahan. Saya rasa bagian ini sangat relevan dan kontekstual untuk menggambarkan realita zaman ini.

Selama sang khatib berkhutbah, saya merefleksi pengalaman mendengar khutbah di banyak tempat. Saya besar di Baubau, Buton, yang para penceramahnya berbahasa Indonesia. Saya pernah salat di masjid Bone, Sulsel, yang khutbahnya disampaikan dalam bahasa Bugis. Sering pula saya mendengar khutbah dalam bahasa Makassar. Pernah pula salat di Yogya, yang khutbahnya dalam bahasa Jawa. Kali ini, saya salat di Amerika, yang khutbahnya berbahasa Inggris.

bahan bacaan di masjid

Mungkin ada satu pesan laksana embun di tengah kegersangan spiritual. Bahwa manusia bisa terpencar dalam bangsa dan kaum berbeda. Tapi mereka sesungguhnya sama-sama diikat oleh kesatuan tema yang menyentuh hati. Mereka sama-sama berhadapan dengan persoalan yang sama yakni bagaimana memetamorfosiskan agama sebagai ruh yang menggerakkan kehidupan, bagaimana menjadikan agama sebagai mata air kecemerlangan yang mengalirkan nilai-nilai dan menyingkiran debu-debu keangkuhan atas pengetahuan yang bersemayam di diri masing-masing. Manusia sama mempunyai sisi-sisi lain dari hati yang sesungguhnya merindukan sentuhan spiritualitas, demi menjelmakannya sebagai cahaya yang menerangi segenap jalan.

Memang, khutbah disampaikan dalam bahasa berbeda. Namun saya menemukan kesatuan tema yang amat menyentuh hati. Bahwa pada dasarnya bahasa hanyalah satu pintu untuk memasuki relung-relung hati manusia. Manusia bisa berbeda bahasa, akan tetapi memiliki satu jiwa yang memijar terang hingga tak tersesat di rimba kehidupan, menjadi telaga jernih yang mengatasi dahaga spiritualitas di tengah kegersangan kehidupan dan mejadi cahaya yang memancar di sekeliling. Bukankah pesan ini amat indah?


Athens, Ohio, 15 Oktober 2011

Membaca Ulang Percy Jackson

DUA hari ini, saya membaca fiksi anak. Saya yakin bahwa buku untuk anak akan disesuaikan dengan bahasa anak yang menginginkan sesuatu yang simple dan tidak bertele-tele. Makanya saya mulai membaca ulang beberapa fiksi untuk anak-anak. Untungnya, perpustakaan di Ohio University at Athens juga menyediakan buku-buku untuk anak yang berlimpah. Segala jenis dongeng, novel, dan fiksi anak tersedia di sini. Saya jadi punya banyak pilihan.

Tadinya saya ingin membaca novel terbaru Rick Riordan berjudul The Lost Heroes. Kisahnya sama dengan serial Percy Jackson tentang seorang anak yang ternyata adalah putra seorang dewa-dewa Yunani kuno. Sayangnya, buku itu sedang dipinjam seseorang selama beberapa bulan. Makanya, saya membaca buku lama tentang Percy Jackson. Tak mengapa. Hitung-hitung, saya bisa membaca ulang dalam versi bahasa Inggris dan membandingkannya dengan versi bahasa Indonesia.

Nah, apakah rasa bahasanya beda? Yup. Jelas sekali. Saya jadi tahu bahwa sebenarnya novel ini isinya adalah dialog antara si Percy dengan pembacanya. Di sepanjang dialog itu, Percy lalu flash back menceritakan pengalamannya saat kesulitan belajar hingga akhirnya tahu bahwa dirinya putra Poseidon, lalu ikut dalam beberapa misi penting. Baru baca beberapa bab, saya sudah menemukan banyak kosa kata bau di situ. Intinya, buku ini jauh lebih menarik jika dibaca dalam bahasa Inggris.(*)

Rumah Kecil di Tepi Telaga


AKU ingin rumah yang bukan di tengah pemukiman padat. Aku tak cocok dengan bunyi knalpot kendaraan bermotor atau suara bising dan kemacetan berjam-jam. Aku tak suka dengan suara-suara ramai yang riuh, suara-suara yang bisa membunuh keheningan yang kubutuhkan untuk menggapai ketenangan.

Aku tak ingin rumah yang mentereng. Aku tak suka melihat rumah yang angkuh dan berdiri tinggi dengan pilar-pilar menjulang. Di tanah kita, rumah-rumah berdiri megah dengan pagar tinggi-tinggi yang menjadi benteng bagi penghuninya. Rumah itu membangun jarak dengan sekelilingnya. Aku tak ingin rumah seperti itu.

Aku ingin rumah yang sederhana, biasa, dan mudah diakses. Aku ingin rumah itu di tepi kota, dekat lembah-lembah atau ngarai tempat kita kelak berlari-lari sambil main layangan dengan anak-anak. Kelak kita akan duduk di tepi telaga di lembah itu sambil mmberi makan burung-burung, lalu tertawa-tawa bersama saat terpleset di tepi sungai saat hendak mengambil air.

Aku juga suka kalau rumah itu di dekat gunung. Sesekali bagus juga kalau kita mendaki gunung itu lalu melihat ke daratan luas sambil bertanya-tanya, apa sesungguhnya makna dari daratan maha luas ini. Kita akan memandang bulan dari atas gunung itu, sebagaimaa Ibrahim, sang nabi yang mengira bulan adalah Tuhan, dan keesokan harinya lalu berubah pikiran.

Aku juga suka punya rumah di tepi pantai. Atau di tebing tinggi yang halaman belakangnya bisa melihat lautan luas. Kubayangkan di situ aku akan menganyam hari dan mengingat saat-saat diriku masih bocah dan berlari-lari di tepi laut di Pulau Buton. Aku ingin mengenang saat penuh keriangan itu sambil bertanya dalam diri, mengapa pula aku harus jadi dewasa dan mengapa pula aku tidak tetap kecil agar keceriaan itu terus bertahta dalam diri.

Mungkin saat ini semuanya adalah impian. Tapi bukankah beberapa kali kukatakan bahwa impian serupa dua kepak sayap yang akan menerbangkan kita ke langit-langit imajinasi tak bertepi yang seringkali secara tak terduga dan dengan cara yang amat ajaib telah mengabulkan segala yang kita inginkan? Impian itu serupa cahaya yang memberikan terang pandang, menjadi mercu suar atas gelap pekat kehidupan, serta menjadi embun di tengah oase kehampaan tujuan dan makna menjalani hidup.

Jika hari ini kita sedang menganyam impian, maka kita sesungguhnya sedang menganyam masa depan yang kelak kita lalui. Kita sedang melalui masa penuh perjuangan. Masa penuh kerja keras. Diriku di sini serupa siput yang jauh meninggalkan rumahnya. Melalui tulisan ini kualirkan semua mimpi, harapan, obsesi, dan ingatan-ingatan atas masa depan. Semoga semua mimpi itu terus mengalir menuju sungai, lalu ke samudera maha luas yang laksana sihir akan mengabulkan semuanya.(*)

Silat Harimau Gemparkan Pittsburgh

dua pesilat sedang beraksi di Pittsburgh

LELAKI itu menunduk lalu menyapukan kaki dan membentuk kuda-kuda. Tangannya mengembang dan membentuk gerak seolah harimau yang hendak menerkam. Matanya menatap lurus ke depan sembari mengirimkan sinyal penuh kemarahan. Lelaki di hadapannya juga menatap lurus sembari mengepalkan tangan lalu membukanya seolah sedang mencakar. Sayup-sayup terdengar suara saluang, musik suling khas Sumatera Barat, mengalun lirih dan memberikan kesan mistis.

Di atas panggung itu, keduanya sedang menguji kelelakian. Ditingkahi gendang yang bertalu-talu, keduanya saling terjang dan saling pukul. Keduanya menampilkan  gerakan yang penuh energi dan mematikan. Keduanya saling serang dan mengincar titik-titik terlemah di tubuh lawannya. Saya bergidik. Di panggung itu, keduanya seolah bermetamorfosis menjadi harimau yang saling cakar. Namun mereka tak pernah saling melukai. Mereka saling menguji sampai sejauh mana batas kemampuan bertarung masing-masing. Di situ tak ada kalah menang. Yang ada adalah apresiasi atas gerak serta kemampuan melihat celah dari jurus yang mengalir deras laksana topan di samudera.

Mereka adalah para pendekar silat yang mengasah diri di Amerika Serikat (AS). Mereka tampil bersama dalam rangkaian acara Indo Cultural Day yang diadakan di Pittsburgh, Pennsylvania, Minggu (9/10) lalu. Jangan terkejut. Mereka bukanlah warga Indonesia. Beberapa di antaranya adalah warga asli Amerika yang belajar silat dan mempraktikkan bela diri itu sehingga terpilih sebagai atlet silat Amerika. Dalam acara tersebut, mereka ikut meramaikan pagelaran acara parade budaya Indonesia, bersama sejumlah penari Bali, reog Ponorogo, serta medley lagu-lagu Nusantara.

Saya mengunjungi acara tersebut bersama rombongan dari Persatuan Mahasiswa Indonesia-Amerika Serikat (Permias) Athens yang dikomandani sang presiden Yazid Sururi, serta didamping sejumlah kakak senior, di antaranya Dyah Arin Hening, yang terdaftar sebagai mahasiswa program doktor di Ohio University.

Kami menjadi saksi dari penetapan Indo Cultural Day sebagai festival tahunan bagi warga Pitsburgh. Penetapan ini disambut dengan applaus meriah, dan menumbuhkan harapan bahwa kegiatan Indonesia akan mendapat tempat di hati warga Pittsburgh. Menurut pejabat yang mewakili Walikota Pittsburgh, penetapan ini didasari kenyataan kian banyaknya warga Indonesia di Pittsburgh, khususnya yang menikah dengan warga setempat. Ia senang karena banyaknya kebudayaan mancanegara itu kian mengukuhkan posisi kota Pittsburgh sebagai kota multikultural yang dicirikan pergaulan lintas negara.

Pittsburgh adalah kota kedua terbesar di negara bagian Pennsylvania. Kota ini amat indah sebab dialiri sungai Ohio dan bebukitan Appalachia. Dahulu, kota ini terkenal dengan industri baja yang hingga kini masih mudah ditemukan jejaknya. Inilah sebab mengapa kota ini sering disebut The Steel City alias kota baja. Selain itu, banyaknya jembatan baja juga makin menguatkan julukan kota ini sebagai “The City of Bridge” atau kota jembatan. Kini amat kondang sebagai pusat pengembangan robotik, kota pendidikan, serta pelayanan kesehatan yang baik. Meski demikian, semua jejak masa silam seperti baja dan jembatan masih tersimpan rapi dan menjadi obyek wisata.

Dikarenakan posisinya yang penting, sejak dulu, kota ini telah menjadi destinasi banyak pihak. Menurut informasi panitia, populasi warga Indonesia di Pittsburgh cukup besar. Meski tak sebanyak New York, namun mereka cukup solid dan sering bertemu untuk kegiatan kebudayaan. Yang menarik, di Pittsburgh ada komunitas gamelan, yang anggotanya adalah anak-anak serta remaja Indonesia. Mereka melestarikan musik tersebut dan sering memainkannya pada momen tertentu, termasuk di acara Indo Cultural Day.

kota Pittsburgh di malam hari

Nah, di antara semua acara yang ditampilkan, silat menjadi menu acara yang paling digemari. Selama pertunjukan tersebut, tak satupun yang beranjak dari kursi. Semua penonton menunjukkan ekspresi tegang serta khawatir kalau-kalau darah akan muncrat di panggung. Saya melihat banyak warga Amerika Serikat (AS) yang mendekat ke panggung. Semua penasaran menyaksikan bela diri dari sebuah negeri yang jauh namun memiliki karakteristik yang khas.

Silat yang ditampilkan adalah silat harimau, yang kondang di seantero Sumatra. Para pesilat mengenakan pakaian merah dengan ikat kepala khas Sumatra, kemudian gerakannya juga meniru harimau. Makanya, sesekali mereka menunduk dengan posisi tangan seolah sedang mencakar.

Michael, salah seorang warga Pittsburgh, mengaku terkesima dengan atraksi tersebut. Mulanya ia mengira beladiri yang ditampilkan adalah kungfu sebab berasal dari Asia. Apalagi, poster acara tersebut terpampang di beberapa sudut kota. Setelah mengetahui bahwa beladiri yang akan ditampilkan bukan kungfu, ia makin penasaran. “Sungguh menakjubkan. Saya kagum dengan gerak serta jurus mematikan dari beladiri itu. Seni beladiri ini telah menggemparkan Pittsburgh.“


Populer di Amerika

Menurut informasi dari panitia, kelompok yang memperagakan seni beladiri ini adalah Padepokan Silat Al Azhar, yang bermarkas di Washington. Padepokan ini berdiri sejak tahun 1970 di Masjid Al Azhar oleh Muhammad Sufiyono dan Djauharul Abidin Bakir. Nama Al Azhar sendiri diperkenalkan oleh ulama legendaris Buya Hamka. Selanjutnya, Muhammad Sufiyono lalu memopulerkan silat hingga membuka cabang di banyak negara seperti Amerika Serikat (AS), Australia, Jerman, dan Afrika Selatan.

numpang narsis

Di Washington, padepokan ini telah melahirkan beberapa pesilat yang kemudian sering mewakili Amerika Serikat (AS) pada beberapa kejuaraan dunia pencak silat. Salah seorang di antaranya adalah Abdul Malik Ahmad. Kebetulan, kemarin, Abdul Malik Ahmad sempat mengunjungi Pittsburgh bersama beberapa anak asuhnya. Ia beberapa kali mewakili AS, dan kini berprofesi sebagai pelatih. Pria berusia 35 tahun ini mengenal pencak silat sejak usia 15 tahun. Ia diperkenalkan dengan bela diri ini saat berada di masjid di Washington. Setelah coba menjalani, ia langsung jatuh cinta dan memutuskan untuk menjadi pesilat. Mengapa tertarik dengan pencak silat? “Sebab silat memandu kita pada banyak hal. Ada sisi olahraga, namun ada juga sisi spiritual. Silat juga punya banyak senjata. Anda tak akan pernah bosan belajar silat. Selalu ada hal yang baru di situ.”

Malik sangat senang jika suatu saat diundang warga Indonesia untuk menampilkan silat. Ia sempat terkejut saat diberitahu kalau seorang mahasiswa Indonesia bernama Anni di Athens, Ohio, juga mendalami silat dan tengah menyempurnakan jurus-jurus terbarunya. “Mudah-mudahan saya bisa diundang ke Athens, Ohio, dan saling mengadu silat dengan Anni,” katanya.

Saya menyenangi dialog dengan pesilat ini. Ia menunjukkan sisi-sisi lain yang eksotis dari kebudayaan Indonesia. Padahal, banyak di antara para pesilat ini yang bukan warga Indonesia. Mereka melestarikan budaya, mengisinya dengan napas baru, dan mengayakannya sehingga adaptif menembus ruang-ruang baru.

Belum sempat kami saling mengucapkan perpisahan, tiba-tiba di atas panggung terdengar suara keras. Seorang pesilat bersalto sambil melakukan gerak pukul mematikan. Pesilat lainnya menyambut dengan golok terhunus. Saya mendengar bunyi crash! Saya tersentak dan maju ke depan demi melihat dari jarak dekat. Wuihh! Saya sempat ketakutan.(*)


Athens, Ohio, 11 Oktober 2011

Pleidoi atas Ketidakproduktifan

KETIKA pertama datang ke Amerika Serikat (AS), saya bertekad untuk menulis sebanyak-banyaknya. Sebulan ini, saya mulai mengevaluasi diri betapa tidak produktifnya saya ke sini. Tulisan saya di blog ini jadi sangat berkurang. Saya juga baru sekali menulis di Kompasiana. Padahal idealnya, saya menulis sekali dalam seminggu di Kompasiana, dan menulis tujuh kali untuk konsumsi blog.

citizen reporter di Tribun Timur

Saya juga belum pernah menulis untuk media massa, dalam hal ini menulis opini. Padahal, mestinya saya bisa menulis opini secara regular agar nama saya tidak tenggelam begitu saja. Saya teringat tekad saya untuk menembus media-media besar di tanah air. Tampaknya saya harus memperbarui tekad itu sehingga saya bisa tetap produktif.

Mengapa jadi tidak produktif? Karena saya masih membutuhkan adaptasi di sini. Ini bulan pertama. Saya masih kesulitan memahami materi di kelas. Saya juga sering mengalami kesulitan untuk memahami idiom-idiom dalam bahasa Inggris. Makanya, saya rasa pengetahuan yang di dapat di sini tidaklah seberapa maksimal. Mudah-mudahan saya bisa segera mengatasi kendala bahasa ini dalam waktu yang secepat-cepatnya sehingga saya bisa melakukan banyak hal lain yang bermanfaat.

Untungnya, saya masih bisa mengirim catatan pendek atau citizen repoter untuk Tribun Timur, media paling besar di Sulawesi Selatan. Mudah-mudahan warga Makassar belum menghilangkan memori tentang keberadaan diri saya di kota itu. Tulisan itu menjadi penanda jejak bahwa saya pernah berumah dan meramaikan wacana intelektual di Kota Makassar.(*)