Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Filsafat Kearifan, Filsafat Alex Ferguson

Manajer Manchester United Alex Ferguson (kanan)
berjabat tangan dengan pelatih Barcelona Josep Guardiola


SUNGGUH indah menyaksikan pertandingan sepakbola tadi subuh. Tahun ini, Liga Champion Eropa kembali mempertemukan dua tim kharismatis yang sama-sama perkasa. Tim Barcelona asal Spanyol berhadapan dengan Manchester United (MU) asal Inggris. Keduanya adalah tim legendaris yang sama-sama menjadi buah bibir kesuksesan, sama-sama menggetarkan siapapun lawan yang dihadapinya, sama-sama memuncaki klasemen sepakbola di negara masing-masing.

Di Stadion Wembley, keduanya adalah barisan manusia luar biasa. Saya tidak melihat Barcelona sebagai sekumpulan anak muda boncel dengan teknik tinggi laksana pemain akrobatik. Saya meihat mereka sebagai pasukan pemberani yang memasuki medan laga dengan semangat membara. Sementara MU memasuki lapangan dengan segala kemegahan yang menyelubungi. Mereka berpendar dan penonton serasa menyaksikan pasukan dewa-dewa yang turun dari langit. Pasukan pemberani dan pasukan dewa itu lalu bertarung dengan segala ajian dan kesaktian yang mereka miliki. Pada akhirnya, pasukan pemberani asal negeri Catalan itu sukses membawa pulang supremasi tertinggi di jagad sepakbola Eropa.

Maka sebuah pekik membuncah bersama letusan seribu kembang api ketika Barcelona sukses di Champion Eropa. Strategi serangan ala pasukan Catalan sukses diperagakan para ksatria seperti Lionel Messi, Andreas Iniesta, dan Xavi Hernandez. Mereka sukses mengobrak-abrik formasi serangan setan merah yang diperagakan barisan malaikat itu. Mereka menang dengan mempertaruhkan teknik bertarung terbaik yang mereka miliki. Dan tim Manchester pun meninggalkan lapangan dengan kepala tegak. Mereka sukses menampilkan permainan terberat yang pernah dihadapi Barcelona. Apa boleh buat. Tahun ini bel kemenangan tidak berdentang di Gereja Westminster Abbey, Inggris, melainkan berdentang dengan nyaring di Gereja La Sagrada Familia di jantung kota  Barcelona.

Gelandang Barcelona, Javier Mascherano, saat merayakan kemenangan (foto: AFP)

Sebagai pendukung Manchester United (MU), saya tertegun. Bola sungguh menunjukkan rigoritas kuasanya: Manusia tak bisa memastikan kemenangannya. Di sini jelas, bahwa bukan awal, melainkan akhirlah yang menentukan. Persis, seperti dikatakan Michel Platini, “Dalam bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya.” Manusia mengira awal adalah segalanya. Bola mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya.

Maka, bila sudah menggelinding, bola adalah dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch: “Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.” Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, efisiensi, kalkulasi, atau rasionalitasnya. Ya, terhadap dunia modern yang benci terhadap irasionalitas dan nasib ini, bola mengharuskan mereka mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas manusia itu.

Nujuman Bloch itu dirasakan benar oleh tim MU. Bersinar terang bagai bintang adalah awal yang kemudian menjadi bencana. Hampir semua bursa taruhan justru meramalkan mereka. Terakhir, seekor gurita bernama Iker juga meramalkan kemenangan MU. Maka jatuhlah MU justru karena mereka sedang berada di titik atas sehingga kehilangan daya untuk refleksi dan menata ulang formasi setan merah yang menjadi darah tim ini. Tapi di atas segala kekalahan ini, MU tetap berhutang prestasi dan pencapaian pada manusia luar biasa di pinggir lapangan bernama Alex Ferguson.


Yup. Alex Ferguson -pelatih MU-adalah kata kunci atas pencapaian hebat sebuah tim. Di pinggir lapangan, pada posisi yang tidak pernah diperhatikan para penonton, ia berdiri dalam jarak yang tidak terlalu jauh dengan Pep Guardiola -pelatih Barcelona. Mereka adalah sosok pelatih kharismatis yang saling beradu strategi. Memang, tak banyak yang memperhatikan mereka, namun mereka adalah sosok penting yang melihat pertempuran sebagai arena untuk mengaktualkan skema-skema berpikir di alam imajinasi, dan menariknya turun ke lapangan hijau. Para pelatih bukan sekadar pengatur strategi, mereka adalah motivator yang membangkitkan asa dan menghangatkan bara permainan hingga membakar sanubari pemainnya.

Filsafat Kearifan

“Seorang pelatih jenius adalah seorang yang belajar dari setiap permainan, “ demikian kata mantan pelatih timnas Argentina, Cesar Luis Menotti. Ferguson, lelaki kelahiran Glasgow, Skotlandia itu, adalah manusia paling hebat yang pernah menduduki tampuk kepelatihan di kota Manchester. Sungguh menggetarkan melihat adegan ketika Sir Alex -demikian ia biasa disapa-justru datang berjabat tangan dengan Pep Guardiola. Tanpa sedikitpun berkilah, Sir Alex mengakui kehebatan tim Barcelona. Inilah sikap ksatria yang mengapresiasi keunggulan lawannya. Sir Alex menerapkan code of ethics atau standar etik bagi ksatria Skotland untuk mengakui kehebatan lawannya. Pada titik ini, kemenangan sudah tidak penting. Sebab yang penting adalah bagaimana seseorang bisa mengasah dirinya dari setiap kekalahan.

“Kami kalah. Tak ada cara lain untuk menjelaskan situasi itu. Kami dikalahkan oleh tim fantastis tentunya. Namun, saya berharap kami berbuat lebih baik. Akhirnya, kami akan mengakui bahwa kami kalah oleh tim yang lebih baik,” ujar Ferguson. Ia tidak mau mencari-cari alas an kekalahan sebagaimana sering dilakukan tim-tim di negeri yang jauh, yang ketap menyalahkan wasit atau hakim garis. Secara ksatria, Ferguson mengakui kekalahan itu. Ia memberi jempol kepada dewa bola asal Argentina Lionel Messi. “Mereka menyerang Anda dengan sangat kuat dengan permainan umpan dan kami tak pernah betul-betul mengendalikan Messi, sekalipun banyak orang mengatakan itu sebelumnya,” katanya dengan tenang.

Pelatih Barcelona Pep Guardiola dengan terang-terangan menyampaikan kekagumannya pada Ferguson. Ia justru angkat topi atas segala capaian kakek asal Skotland itu. Baginya, sungguh tak mudah membentuk sebuah tim dan menjaga performa selama lebih dari 25 tahun menukangi sebuah industri sepakbola. “Itu adalah cara yang berbeda. Buat dia, jadi manajer selama 25 tahun dan membentuk tim baru dan tim baru yang dia miliki adalah sesuatu yang saya kagumi. Saya tahu itu sulit,” tambahnya. Terhadap level permainan MU, Pep dengan rendah hati menjawab, “Sejarah Manchester United mengatakan kepada kami bahwa kami akan mengalami kesulitan (melawan mereka). Mereka bermain di level tinggi dan berhasil menyamakan kedudukan begitu cepat setelah kami mencetak gol pertama. Saya pikir, kami harus gembira karena kami sangat kompetitif hari ini.”

Tapi Ferguson justru balik menjawab, “Saya pikir, mereka adalah tim terbaik yang pernah kami lawan. Mereka berada di titik terbaik dari siklus mereka dan Anda mendapatkan tim yang menaikkan diri mereka sendiri ke status itu dan saya pikir Barcelona adalah tim itu,” tuturnya.

Sir Alex Ferguson

Maka sepakbola kemudian tidak lagi menjadi panggung perebutan gelardan kehormatan. Sepakbola menjadi panggung yang mempertontonkan kearifan dan kebesaran jiwa. Di tangan Ferguson dan Guardiola, sepakbola adalah permainan yang mengasah karakter dan kerendahhatian. Mereka berdua adalah penganut filsafat kearifan yang tak pernah mau berhenti belajar. Kekuatan mereka bukanlah pada sesumbar sebagaimana Jose Mourinho. Kekuatan mereka adalah pada ketenangan, sikap terbuka, dan pada kesediaan untuk terus belajar dari segala yang dialami dan ditemui. Kerendahan hati itu adalah buah yang dipetik dari pengalaman Ferguson selama bertahun-tahun ditempa di lapangan sepak bola. Ia memahami bahwa bola bukan sekedar permainan belaka, melainkan panggung filsafat yang menempa kematangan seorang pemain maupun pelatih. Bola adalah field untuk mengasah kepekaan sebagai manusia di panggung kehidupan.

Kerendahan hati di sini adalah “kunci” dari semuanya. Khususnya dalam hal memanfaatkan “waktu”. Sepakbola tak harus dipandang sebagai “pemain-pemain yang berlari-lari.” Tapi sekaligus juga bermain-dalam- “diam”,–yang bagi Guus Hiddink disebut sebagai “mengambil-posisi” alias: positioning. Jadi, bukan soal berlari sebanyak-banyaknya, yang membuat seorang pemain jadi maestro. Tapi bagaimana justru otot bergerak, sambil intuisi dan naluri serta otak, membuat seluruh lini lapangan menjadi “panggung” keindahan. Si pemain tiba-tiba bermetamorfosis menjadi “seniman”. Penonton dan lapangan hijau kemudian menjadi momen upacara bersama, di mana sarkasme kalah menang, takluk di bawah “daulat” upacara bersama itu. Dan si pelath adalah para filsuf yang saling mengasah dirinya, mentransformasikan segala yang terjadi di lapangan demi memperkaya filsafat kearifan yang bersemayam dalam diri. Bagi saya, Ferguson bukanlah pelatih. Ia adalah seorang filsuf!


Baubau, 29 Mei 2011

meski kalah taruhan, saya tetap mengucapkan selamat buat Barcelona. Congratulation!


A Tribute to Tony Rudyansjah

PENGAJAR Universitas Indonesia (UI) Tony Rudyansjah kembali meluncurkan dua buah buku baru. Ia menulis KESEPAKATAN TANAH WOLIO: Ideologi Kebhinekaan dan Eksistensi Budaya Bahari di Buton. Buku yang lebih baru adalah ALAM, KEBUDAYAAN & YANG ILAHI: Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori-Tori Sosial Budaya.


Di tengah kegersangan karya akademik, saya sangat mengapresiasi karya terbaru salah satu pengajar favorit di Departemen Antropologi, Universitas Indonesia (UI) ini. Sebuah buku adalah sebuah jendela untuk melihat sejauh mana kapasitas dan penjelajahan seseorang di wilayah akademik. Buku adalah sebuah pertanggungjawaban kepada publik atas capaian, kualitas, serta kemampuan seseorang di ranah ilmiah. Ketika seseorang akademisi gagal membuat buku, maka ia tidak punya kebanggaan di ranah akademik yang selama ini digelutinya. Buku ibarat senjata bagi seorang petempur di medan laga. Tanpa buku, apalah yang bisa dibanggakan seorang akademisi di medan tempur pengetahuan? 


Selain itu, saya pun bangga karena Tony menulis buku tentang Buton. Belakangan ini, publikasi tentang Buton tidak seberapa banyak. Sejarah Buton hanya dituturkan lewat tradisi lisan dengan segala klaim kebesaran. Makanya, publikasi tentang Buton mesti digalakkan untuk mengangkat wacana kebutonan di ranah ilmiah, ranah yang bisa diperdebatkan berbagai pihak. Publikasi ini akan kian memperkaya khasanah pengetahuan tentang Buton sebagai satuan kebudayaan yang pernah besar dalam sejarah negeri ini. Selamat buat Tony

The Puzzle of Love


I miss you from the bottom of my heart. Every day and night I always dream every word that we ever discuss before. Many years ago we discussed about our future. I still remember the day when I come to your dormitory. It was very important day for us. In that day I believe we will live together, reach our dream, and build the same path for our future. 

In that day I know that I was not the perfect man for you, but I believe that love is like a strongly bridge to connect our hearts. Love is like a puzzle game. We are two of pieces that complete each other and make its perfect. It is our destiny. Now, I’m not only think about you, but also a beautiful baby in your body. Maybe you think I’m “lebay”, as you ever told me before, but let me explain the truth. I miss all of you. You are part of my body. Without all of you, I’m no one.

Bocah Cilik Perenang Koin di Pelabuhan Baubau

perenang koin di Pelabuhan Baubau


DI ujung Pelabuhan Murhum di Kota Baubau yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, sejumlah anak kecil sedang berperahu. Mereka berusia sekitar enam tahun, sebuah usia yang masih cukup muda, namun sudah sedemikian berani mengemudikan perahu kecil. Mereka menuju ke dekat sebuah kapal Pelni yang merapat. Beberapa penumpang kapal milik pemerintah itu lalu melemparkan koin ke laut, tidak terlalu jauh dari perahu anak kecil tersebut. Hup! Tiba-tiba saja, beberapa anak kecil langsung menyelam. Beberapa menit kemudian, kepalanya menyembul dan tangannya mengacung, sambil memperlihatkan koin yang ditangkapnya. Semua bertepuk tangan.

Hampir semua warga Baubau sudah kenal dengan kiprah para perenang koin tersebut. Biasanya, mereka berusia antara enam hingga 12 tahun. Meski masih kecil, jangan pernah meragukan kemampuan renangnya. Mereka sanggup menyelam hingga kedalaman beberapa meter demi menemukan koin yang dilempar. Mereka juga mahir membawa jenis perahu kayu kecil seukuran kano, yang dalam bahasa Buton disebut koli-koli. Mereka berenang dan menyelam tanpa dibantu pelampung atau alat renang. Hebat khan?

Melihat kelihaian mereka, saya lalu merogoh kantong. Saya menemukan beberapa koin pecahan lima ratus rupiah. Mengikuti tingkah para penumpang kapal, saya langsung melemparkan beberapa keping koin itu ke laut. Ternyata, anak-anak itu dengan cekatan berlompatan. Yang menakjubkan, dari lima koin yang saya lemparkan, semuanya bisa ditemukan. Mereka lalu tersenyum-senyum sambil mengucapkan terimakasih. Meskipun sudah sering melihat mereka menyelam, saya tetap saja takjub. Entah kenapa, saya tiba-tiba saja ingin berbincang dengan mereka. Ketika beberapa anak naik ke atas dermaga, saya lalu menyempatkan diri untuk ngobrol.

Saya lalu berbincang dengan seorang anak bernama La Bio. Darinya saya mengorek beberapa informasi penting. Di antaranya adalah mereka bersekolah di pagi hari. Mereka menyelam tidak setiap hari. Biasanya, mereka menghapal jadwal kapal yang singgah, dan hanya datang pada saat itu. Sayateringat tayangan sebuah televise nasional tentang para perenang cilik tersebut. Mereka disebut sebagai ‘pengemis cilik di laut’, sebuah sebutan yang ternyata salah total. Sebabnya adalah para jusnalis terbiasa melihat dengan perspektif sebagaimana orang kota. Pikirnya anak-anak itu hidup dari kemampuan menyelam, sehingga mengemis uang di pelabuhan. 

perahu jenis koli-koli
Apakah benar mereka pengemis? La Bio hanya tertawa. Katanya, uang itu hanya dipakai untuk senang-senang. Malah, mereka lebih banyak tidak bawa uang, tapi tetap saja rutin datang ke pelabuhan. La Bio juga bercerita kalau dirinya terdaftar sebagai siswa sekolah dasar. Ia paling senang saat menceritakan ayahnya yang berprofesi sebagai pelaut dengan rute hingga Singapura.

Ternyata, mereka tinggal pada pulau kecil yang terletak tidak begitu jauh dari Pelabuhan Murhum. Dengan menumpang speedboat, kita bisa mencapai pulau itu dengan waktu tempuh sekitar sepuluh menit. Jika anak-anak itu menggunakan koli-koli, maka mereka bisa kembali ke pulau itu dalam waktu sekitar setengah jam. Bayangkan, dalam usia sekecil itu mereka sudah bisa mengayuh sampan hingga lebih setengah jam. Bisa dibayangkan betapa kuatnya fisik mereka.

Tak puas dengan jawaban itu, saya penasaran dengan perenang koin tersebut. Apalagi, saat bersamaan, saya punya satu urusan di pulau kecil tempat anak itu tinggal. Di saat sore menjelang, saya pun ikut bersama mereka mendayung menuju pulau itu. Mendayung bukanlah aktivitas yang mudah dilakukan. Mendayung membutuhkan skill tertentu, termasuk kemampuan menjaga keseimbangan di perahu, serta fisik prima untuk mendayung. Baru beberapa menit mendayung, saya mulai kelelahan.Tapi anak-anak itu seakan tak kehilangan energi. Mereka tetap mendayung dengan gembira dan seakan tidak pernah kelelahan. Sementara saya sendiri sudah kepayahan dan ingin istirahat. Apa boleh buat, saya harus mengakui ketangguhan para perenang cilik itu.

Setiba di pulau itu, kami lalu berpisah sebab saya harus menyelesaikan urusan di satu instansi pemerintah di pulau tersebut. Sejam kemudian, saya lalu singgah ke rumah yang sebelumnya sudah ditunjukkan La Bio. Barulah saya sadar bahwa anak-anak itu bukanlah para pengemis. Mereka memiliki rumah yang asri dan termasuk mewah untuk ukuran warga pulau. Rumahnya adalah rumah panggung yang cukup besar. Di kolong rumah, terdapat banyak jala yang berfungsi sebagai jarring untuk menangkap ikan. Terdapat pula beberapa perahu yang dipasang dalam keadaan telungkup.

Keluarganya sangat ramah. Dengan menggunakan bahasa Wolio, bahasa yang digunakan di sekitar Kota Baubau, mereka menyilahkan saya untuk amsuk. Saat memasuki rumah, saya bisa menyaksikan beberapa peralatan elektronik dipajang di beberapa ruangan. Saya akhirnya tahu kalau eluarga itu cukup berada. Ayah La Bio bekerja sebagai pedagang yang memiliki beberapakapal layar untuk mengangkut hasil bumi seperti teripang, lola, serta rumput laut. Biasanya, pedagang di Pulau Buton membawa dagangan ke Surabaya hingga Singapura. Ketika kembali dari Singapura, muatan kapal diisi dengan karung-karung berisi pakaian bekas pakai. Di Buton, kami menyebutnya RB alias rombengan.

Di lihat dari lautan, nampak bahwa daratan Buton bukanlah daratan yang subur. Daratan itu lebih nampak sebagai pulau karang yang tandus. Kemudian banyaknya kapal kayu di pesisir pantai menunjukkan bahwa penduduknya sejak dulu menjadikan laut sebagai medium untuk mencari nafkah. Kecakapan orang Buton menaklukan laut sudah ditegaskan dalam banyak kepustakaan. Bahkan, seorang anak kecil pun sudah dilatih untuk memiliki kecakapan menaklukan laut. 

Orang Buton, Orang Laut

usai menyelam demi koin
Pengalaman menyaksikan atraksi anak-anak di lautan adalah pengalaman yang bisa sedikit menyibak fakta bahwa orang Buton sejak dulu dekat dengan laut dan menjadikan lautan sebagai medium untuk beraktivitas. Mengacu pada sejumlah pustaka, sebagian besar penduduk Buton di masa silam menjadi nelayan-nelayan perkasa berkelana hingga ke banyak pantai di Nusantara dan menggantungkan hidupnya pada nasib yang menghampar di lautan. 

Ligtvoet (1800) mencatat, tradisi pelayaran orang Buton sudah tercatat dalam teks bangsa asing sejak ratusan tahun silam. Orang Buton sejak dulu telah menjadikan lautan ibarat kanvas yang kemudian dilukis dengan berbagai jejak dan penjelajahan. Seperti halnya  bangsa maritim lainnya, bangsa Buton meyakini kebenaran petuah bangsa Bajo bahwa lautan adalah suatu wilayah luas yang bisa disinggahi siapa saja. Bahwa di atas lautan, semua manusia berbaur menjadi satu dan saling belajar bagaimana menaklukan ombak demi menjaga keseimbangan perahu dan tidak tenggelam. Bahwa lautan bukan sekedar air yang tenang dan bergelombang, namun mengasah kecakapan dan tradisi maritim untuk mengembangkan layar kebudayaan sebagai bentuk adaptasi dan penaklukan manusia terhadap alam semesta yang membentang. Inilah cikal-bakal dari tradisi maritim sebagai khasanah kekayaan Bangsa Buton yang dikenal luas di manca negara.

Secara geografis, Pulau Buton diapit oleh lautan yaitu Laut Banda di sebelah utara dan timur, kemudian Laut Flores di sebelah selatannya, sedangkan di sebelah barat terdapat Selat Buton dan Teluk Bone. Di pulau ini, dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan yang bernama Buton atau Wolio yang beribukota di Bau-bau. Daerah kekuasaan Kesultanan Buton pernah meliputi, selain Pulau Buton, juga beberapa pulau di kawasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku.  Persentuhan dengan lautan tersebut, telah mengasah kecakapan orang Buton dalam menaklukan laut. Sampai-sampai, antropolog Christian Pelras menyebut hanya lima bangsa di Nusantara yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa pelaut. Lima bangsa itu adalah Bajo, Makassar, Mandar, Buton, dan Using (Madura).  

Hari ini saya sangat beruntung karena bisa bertemu dengan anak kecil yang lihai bereang di laut. Terhadap tudingan sebagai pengemis cilik, salah seorang paman La Bio memberikan jawaban yang sangat menarik. Menurutnya, aktivitas berenang menangkap koin adalah aktivitas yang dulu juga dilakukannya. Ada semacam regenerasi di kalangan perenang koin. Aktivitas itu memang hanya dilakukan anak kecil. Bukan untuk mengumpulkan uang, atau digunakan untuk makan sehari-hari. Aktivitas itu bertujuan untuk melatih anak-anak kecil itu untuk mencintai laut, serta mengasah skill mereka saat berada di lautan.

“Suatu saat mereka akan bawa kapal sendiri ke laut. Makanya perlu latihan sejak kecil,” katanya. Saya membatin dan merenungi salah kaprah yang pernah dituliskan sebuah media yang bermarkas di Jakarta. Anak-anak itu adalah calon pelaut besar yang kelak akan menghadapi ganasnya gelombang samudera. Mereka adalah bahari yang mempertahankan tradisi emas para pelaut bangsa ini yang memahatkan jejak petualangan hingga ke negeri yang jauh seperti Australia, ataupun Singapura hingga ke Madagaskar. Anak-anak itu adalah calon pelaut besar yang kelak hidup meniti buih dari atas perahu, menjaga warisan kearifan trasidi sebagai bangsa pelaut, sekaligus menggedor kesadaran banyak orang tentang betapa kayanya lautan negeri ini.

Terimakasih La Bio.(*)

indahnya Pantai Nirwana di Baubau

The Rise of Buton Sultanate

the innauguration of Sio Limbona (the legislative body in Buton Sultanate)
Today, Buton’s people discuss about how to revitalize the Buton Sultanate. I’m amazing because they still talking about the past without a concept of present and future. They just say that an action is needed because Buton culture is in endangering situation. What they meant with an action is an effort to restore the Buton Sultanate which was dismissed in more than 50 years ago. They want to back to the past but their legs are still in present time. Furthermore, they want to rebuild the Buton Kingdom. When I asked them what the reason, they do not have the right answer. They think a sultan or a king is someone who has all of answer for today’s problems.

Many anthropologists said this is a romanticism view in culture. If you are a romanticist, you will think that the past time always better than today. You will see the past time with idealistic thinking. You will see everything in the past is right and never wrong. All of cultures have the tendency to guide their follower into idealistic thinking.  They insist everything in the same situation with everything in the past. They have a statical thinking as their ancestor in the past, so they talk about the preservation of culture. The problem is rise when we talk about how to solve the problem today. The idea of preserving culture is fail to understand the complex of reality today.
bonto ogena (prime minister)
Actually, we still live on today. We must face our problem today with our best effort. The restoration of Buton Sultanate cannot answer what our problem now especially about economy, politics, and also moral ethic. The reservation of our tradition is only fulfills the interest of a group of people which have privilege in the past. I believe we must find interpret our tradition and make it progress to answer our problem today. I think we must find the dynamic effects in our culture to practice in our daily live. I hope someday they will understand what I want to say. In this situation, what can I do?

Lebaran Tradition in Buton Island


Wherever the birds fly, they will back to their nest. That’s a popular saying to describe the behavior of the people in my family. I was born and grow up in Buton Island, the small coastal area which located at South East Sulawesi Province, Indonesia. Since the age was young, many people in Buton Island crossed the ocean to the big city for different reasons. Even though they lived and created family in other island, sometime they need to come back to their island and to meet their relatives. Usually, they come back home together at Lebaran, the important ceremony in Islamic tradition. There are several reasons why Lebaran is very important for them.

The first is religious moment. Most people in my island are Islamic follower. Many historians noted that Buton is one of the ancient Islamic Kingdom which has long tradition throughout the Indonesian history. Now we still find the remains of that tradition in many people who devoted themselves in Islamic traditions. The historian also noted that Buton people had unique traditions in fasting month, a ritual that started a month before Lebaran. Beside that, there is also a traditional believes that fasting month and Lebaran must celebrated with our family. I don’t know since when this tradition began, but this tradition became the magnet to pull every people from my island to come back home and celebrated Lebaran together.

The second is reflective reason. In my family, Lebaran is not only as religious day, but also a reflective moment. In that day, we reflect our past life whether we ever do something wrong to our relatives or not. In that day, we must reflect everything that we ever done in the past life. We apologize to every people that we know. We meet the elder and say sorry for whatever our behavior. Surprisingly, the elder meet us too to say the same words. For me, this is the most memorable moment when all of member of the families ask for forgiveness each other and keep the commitment that we not repeat all mistakes that we ever done before.

The third is social reason. Beside the reflective moment, Lebaran also has a social impact. Many people from other island come to my hometown and start to discuss about the future. This tradition is strengthening our families bond and becoming the trigger to discuss several problems in my hometown. Last year, many people from the outside island agree to give donations to build several mosque and educations facility. I think this is a good tradition which has impact to our hometown.

In conclusion, Lebaran is very important in my family for several reasons such us religious moment, reflective reason, and social reason. I believe Lebaran increase our solidarity and respect to our relatives and also enrich our human kind.(*)

Berjuta Dukungan buat Ruhut Sitompul

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD kesal luar biasa pada politisi yang juga Juru Bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Ia jengkel karena Ruhut tidak mencerminkan kapasitasnya sebagai orang yang mengerti hukum, kemudian memberi komentar pedas atas orang lain.

Mahfud, mengatakan persoalan hukum yang seringkali dikomentari di gedung parlemen DPR RI oleh Ruhut merupakan materi mahasiswa strata satu (S1). “Komentar Ruhur, komentar orang bodoh. Komentar dia (Ruhut) di DPR itu, adalah komentar anak-anak mahasiswa S1,” ujar Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Jum’at (20/5) sebagaimana bisa dibaca DISINI.

Sebagai mantan mahasiswa saya agak tersinggung. Tapi setelah melihat realitas gerakan mahasiswa hari ini, mungkin Mahfud menyindir sikap Ruhut yang asal ngomong, tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang lain atas apa yang diomongkannya. Ia tak peduli jika komentar pedasnya melukai orang lain. Tapi, apakah analogi mahasiswa itu tepat? Entah. Anda sendiri yang menilainya.

Komentar pedas Ruhut bukan cuma sekali. Ia sudah pernah membuat kesal banyak orang atas komentarnya di hadapan Jusuf Kalla, serta komentar tentang politisi lainnya. Anehnya, mengapa partai politik sebesar Partai Demokrat malah mengangkatnya sebagai juru bicara?

Salah negeri ini mengapa memilih Ruhut sebagai representasi suara rakyat. Ia lebih banyak menghabiskan karier sebagai pengacara dan artis sinetron. Tidak heran jika ia menadikan parlmen sebagai panggung sinetron. Ia leluasa memancing amarah, kekesalan, serta kejengkelan banyak orang. Ia terbiasa memainkan peran ala sinetron.

Oleh sebab itu, marilah bersama kita mendukung Ruhut kembali menjadi pemain sinetron yang handal. Pengalaman yang hanya seumur jagung menjadi pesinetron telah menggelisahkan Ruhut sehingga memindahkan panggung sinetron ke dalam panggung politik. Politik tidak lagi dijelmakan sebagai arena untuk menyempurnakan hidup manusia. Politik menjadi arena yang penuh intrik dan saling serang sesuai skenario yang sebelumnya disusun, dan posisi seorang politisi layaknya seorang aktor yang sedang memainkan peran.

Marilah bersama mendukung Ruhut menjadi bintang sinetron yang tersohor. Kalimat-kalimat makian yang meluncur dari tuturnya akan kian menemukan ruangnya melalui penggung sinetron tersebut. Ia akan sukses menjadi aktor watak, dan boleh jadi, ia akan sukses meraih Piala Citra sebagai supremasi tertinggi dalam dunia seni peran. Ia akan sukses mentransformasikan sinetron menjadi tayangan berkualitas. Dunia seni peran akan menemukan titik kegemilangannya karena kesuksesan Ruhut mengekspresikan kualitas peran yang pernah dimainkannya di panggung politik. Ruhut akan menjadi prasasti tentang bagaimana menerjemahkan sebuah skenario yang apik ke dalam sebuah panggung.

Marilah bersama mendukung Ruhut menjadi seorang bintang. Dan di atas panggung politik, kita tak lagi mendengar seruan makian. Kita tak lagi mendengar kalimat pelecehan. Di atas panggung itu kita menyaksikan sebuah upaya penemuan kebenaran yang sebelumnya mengabur karena sibuk meladeni konflik yang diciptakan Ruhut. Biarlah panggung politik kita kembali menjadi arena epistemologis di mana masing-masing partai politik saling menguji argumentasi, tanpa harus saling menyakiti antar politisi. Tanpa saling teriak-teriak dan suasana gaduh bak pasar malam.(*)

Memahami Logika Ilmu Sosial

TIDAK semua orang memahami logika ilmu sosial. Banyak orang yang menganggap ilmu sosial serupa ilmu alam yang punya kebenaran mutlak. Padahal dalam ilmu sosial, setiap kebenaran adalah sebuah penghampiran, bukan kemutlakan. Setiap peminat ilmu sosial mesti memahami kaidah-kaidah berpikir konstruktivisme dalam menelaah setuiap gejala sosial. Dalam konstruktivisme, setiap kebenaran selalu bergantung pada perspektif seorang individu dalam menginterpretasi, memahami, dan menjelaskan sebuah realitas. Setiap individu memiliki alam pikirannya sendiri, sehingga melihat kebenaran dnegan cara terpisah-pisah.

Olehnya itu, kebenaran selalu bersifat sementara, sebab apa yang kita sebut kebenaran mutlak tak akan pernah ditemukan. Upaya mendekatinya adalah dengan cara memahami setiap kepingan kenyataan, kemudian menggabungkannya dengan kenyataan lain.

Salah satu kisah yang bisa menjadi perumpaan tepat adalah kisah 11 orang buta yang hendak menjelaskan gajah. Mereka lalu dipersilahkan menyentuh gajah, kemudian menjelaskan seperti apa bentuk gajah. Bagi yang menyentuh belalai, akan menganggap gajah serupa ular. Sementara mereka yang menyntuh telinga akan mengaggap gajah seperti daun lebar, pemegang kaki gajah akan menganggap gajah serupa pohon. Semua orang buta memiliki asosiasi sendiri tentang apa yang disebut gajah.
 
Apakah mereka salah? Tidak. Mereka punya kebenaran masing-masing. Mereka tetap benar sepanjang apa yang disentuhnya merupakan pengalaman sendiri yang kemudian diceritakan kepada orang lain. Mereka belajar mengenali kenyataan, kemudian menjlaskan dengan perspektifnya. Tentu saja, yang mendekati kebenaran adalah sosok yang bisa menggabungkan berbagai kenyataan tentang apa yang disentuhnya, dengan apa yang disentuh temannya sendiri. Dengan cara menggabungkan banyak data, maka kebenaran akan lebih terkuak.

Inilah yang disebut logika dalam ilmu sosial.(*)

Buddha, Hidup, dan Kemutlakan

HARI ini adalah hari Waisak. Umat Buddha merayakan kelahiran Sidharta Buddha Gautama melalui momentum Waisak. Aku tak banyak tahu tentang kisah hidup Buddha. Pengetahuanku tentang pria yang lahir sebagai pangeran di India ini hanya sebatas film Little Buddha yang dibintangi Keanu Reeves dan disutradarai Bernardo Bertolucci. Pengetahuanku tentang Buddha adalah pengetahuan yang didapatkan melalui film kungfu mandarin, serta beberapa teks yang kutemukan secara terpisah. Pernah pula kubaca hingga tuntas delapan seri komik Buddha yang dibuat komikus legendaris Jepang, Osamu Tezuka. 

Buddha sebagaimana digambar Osamu Tezuka
Dalam setiap bacaan tersebut, selalu ada kisah tentang tiga perjumpaan; ketika Siddharta bertemu tiga sosok berbeda, mulai dari orang sakit, orang tua, hingga orang meninggal. Tiga keping realitas itu yang kemudian mengubah mindset-nya atas dunia. Ia tercerahkan setelah menyadari bahwa ada sebuah kemutlakan yang akan menghampiri setiap manusia. Ia gelisah melihat manusia yang lebih memilih kesementaraan, ketimbang kemutlakan. Maka setelah memotong rambutnya, Siddharta memilih transformasi menjadi Buddha. Ia memilih kemutlakan, sekalipun kemutlakan itu menempatkan dirinya bak seorang hamba sahaya. 

Buddha adalah sosok yang menerima segala hukum yang berlaku atas alam; tanpa sedikitpun penolakan. Mungkin atas dasar itu, ia melihat kehidupan laksana sungai yang jernih dan mengalir perlahan di sela-sela bebatuan. Dan sepanjang proses mengalir itu, manusia akan menemukan pencerahan ketika memahami ke mana hidup hendak di arahkan. Bukankah kitapun akan menuju kemutlakan?

Selamat Hari Waisak!

Simulasi Masa Silam

ANAK muda Buton tengah gandrung sejarah. Mereka membahas sejarah dengan penuh semangat untuk mengembalikan tatanan masa silam untuk masa kini. Semangat terpancang kuat untuk menghidupkan masa silam, namun saat ditanya seperti apa bentuk pengembalian masa silam itu, semuanya tak punya peta konseptual. Maka masa silam yang dihadirkan adalah masa silam yang telah mengalami proses idealisasi. Kita membayangkan sesuatu yang romantik tentang tatanan yang serba harmoni, namun kita sering melupakan fakta kekelaman masa silam, sehingga membuat kita kehilangan kekuatan untuk membahas masa kini dan masa depan.

ilustrasi
Pada awalnya adalah idealisasi. Dalam konsepsi Plato, dunia ideal adalah sebuah dunia yang semestinya. Dalam mitos manusia gua, Plato bercerita bahwa manusia gua terikat dalam posisi menghadap dinding. Sepanjang hidupnya, mereka hanya menyaksikan bayangan-bayangan di tembok gua. Maka bayangan itu dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Ketika suatu saat ikatan terlepas dan mereka keluar gua, maka terkejutlah mereka ketika melihat realitas yang berbeda dari konsepsi. Tersentaklah mereka saat menyaksikan betapa senjangnya perbedaan antara imajinasi idealitas dan realitas.

Jika kita manusia gua itu, mungkin kita bisa shock dengan dunia yang berubah. Akan tetapi konsepsi ideal sebagaimana yang disaksikan di tembok itu mestinya menjadi isyarat-isyarat untuk memetakan masa depan. Konsepsi itu mesti ditarik ke masa kini hingga sebuah peta jalan baru akan menghampar dalam pikiran. Kita selanjutnya mulai bicara tentang jalan-jalan yang mesti ditempuh, tentang daya upaya untuk menjebol, tentang tenaga ekstra untuk membangkitkan Kerajaan Tuhan di muka bumi.

Namun, masih relevankan membahas tentang pengembalian masa silam? Tentu tidak. Diri yang selalu mengembalikan tatanan masa silam adalah diri yang kehilangan pegangan di masa kini, diri yang kehilangan ruang gerak, diri yang tak mampu menaklukan zaman kini dan membuka ruang sosial baru hingga merindukan tatanan masa silam yang beku dan dikiranya ideal. Diri yang gagal di masa kini itu lalu mencari peta rujukan nilai yang ideal di masa silam. Masa silam menjadi ideolog. Semua yang di masa silam, pastilah sesuatu yang baik dan wajib ditaati. Kalian yang membantah adalah manusia yang tak punya idealitas!


Nah, persoalannya adalah siapakah yang berhak menafsirkan masa silam? Sebuah diri akan berhadapan dengan banyak diri yang masing-masing punya konsep sendiri. Masa silam didekagi dengan banyak perspektif sehingga perlahan batas antara representasi dan realitas mulai mengabur. Filosof Jean Baudrillard menyebutnya simulasi, sebuah hubungan di mana representasi tidaklah merefleksikan satu realitas. Simulasi adalah dunia seolah-olah. Simulasi adalah dunia yang tunduk atas olah pikir seseorang melihat masa kini, lalu menelusuri masa silam demi menemukan idealitas, yang kemudian berujung pada sebuah konsep yang seolah baku dan final.

Mungkin semuanya berpulang pada diri masing-masing. Mungkin kita terlalu asyik memintal pikiran kita sendiri hingga tak mampu mengenali dunia empiris. Kejamnya dunia tidak harus membuat kita mencari dunia ideal di mana segala yang ada di pikiran bisa mengaktual. Mungkin waktunya untuk memhamai Aristoteles dengan empirisme. Kata seorang idealis, empirisis adalah mereka yang tak punya visi ke depan, tak punya daya nalar untuk menjangkau sejarah idealis. Saya membayangkan seorang empiris akan balik menuding, “Setidaknya saya realistis jika sedang berpijak di bumi.”


Memahami Keindonesiaan Melalui Agnes Monica

Agnes Monica

MINGGU lalu, artis Agnes Monica tampil membawakan presentasi dalam bahasa Inggris di hadapan sekitar 300 peserta Program Beasiswa-Mikro Bahasa Inggris Access di Pacific Place Mall, Jakarta. Sebagaimana ditulis Kompas.com, ia tampil membawakan prsentasi singkat mengenai “Dream, Believe, and Make It Happen,” berdasarkan pengalamannya.Ia tampil dengan bahasa Inggris yang sangat fasih hinggamengundang decak kagum banyak orang.  Bahkan, seorang moderator berkebangsaan AS sempat memberikan pujiannya terhadap Agnes, “Penggunaan bahasa Inggris-nya lebih baik ketimbang saya berbicara bahasa Indonesia.”

Penampilan tersebut laksana oase dari hujan kritikan yang diterima Agnes beberapa bulan silam. Di ajang American Music Awards (AMA) tahun 2010 lalu, Agnes nampak kikuk dan hanya bisa cengengesan ketika didaulat sebagai presenter. Saat berbicara, sangat terlihat kalau ia grogi dengan kemampuan bahasa Inggris-nya yang pas-pasan. Tak pelak, Agnes jadi bulan-bulanan kritik media di Indonesia. Sejak itu, ia belajar bahasa Inggris dengan serius. Kini, ia mulai memetik buahnya. Ia telah sukses menguasai bahasa yang bukan merupakan bahasa ibunya.

Nadine Chandrawinata
Hal menarik untuk dicermati bersama adalah mengapa publik selalu bereaksi ketika ada warga kita sendiri yang tidak fasih berbahasa Inggris. Ini bukanlah yang pertama di Indonesia. Kasus ini pernah pula dialami dua mantan Miss Indonesia Nadine Chandrawinata dan Qory Sandirova. Pada ajang pemilihan Miss Universe tahun 2006, Nadine -sebagai wakil Indonesia– menghebohkan jagad hiburan tanah air ketika dalam sesi wawancara, ia berkata, “Indonesia is a big city.” Sementara Qory Sandioriva juga jadi bahan olok-olok ketika gadis asal Aceh ini mengikuti Miss Universe tahun 2010. Dalam sesi wawancara, terlihat kalau ia tidak fasih berbahasa Inggris.

Rentetan kasus tersebut menjadi sesuatu yang menarik untuk didiskusikan. Baik Agnes, Nadine, maupun Qory sama-sama menjadi sasaran kecaman dan celaan banyak orang, hanya karena dianggap tidak fasih berbahasa Inggris. Padahal, saya sendiri berpikir sebaliknya. Mereka tak pandai berbahasa Inggris sebab hanya pandai berbahasa Indonesia. Bukankah ini adalah satu kenyataan yang membahagiakan kita sebagai bangsa? Bukankah kita mesti bangsa sebab tidak fasihnya mereka berbahasa Inggris menunjukkan bahwa mereka sangat Indonesia, dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu yang menjadi alat komunikasi sehari-hari? Lantas, mengapa harus malu ketika kita tidak bisa berbahasa Inggris?

Sebagaimana dikemukakan di atas, pengalaman Agnes, Nadine, dan Cory bisa menjadi pintu masuk untuk menguak jantung sosiologis masyarakat Indonesia serta relasinya dengan dinamika dan percaturan global. Pengalaman mereka yang mendapatkan bertubi-tubi kecaman justru menjadi jendela untuk melihat kebudayaan kita sendiri serta bagaimana kita memahami konsep keindonesiaan. Saya sendiri mencatat beberapa hal menarik.

Nadine Chandrawinata
Pertama, di abad di mana informasi menjadi komoditas penting, kita seakan kehilangan kedirian kita di pentas global. Kita laksana seseorang yang mematut-matut diri kita di depan cermin dan berusaha menyamakan diri kita dengan bangsa lain baik dari sisi selera maupun kebudayaan. Kita kehilangan kedirian kita dalam konteks global ketika kita justru hadir tanpa karakter. Kita lebih suka dengan segala tampilan asing, termasuk bahasa, dan merasa minder dengan kemampuan bahasa asing yang terbatas. Saya tak punya banyak pengalaman di pentas global, namun saya punya beberapa pengalaman bertemu teman dari Jepang dan Cina yang justru berbahasa Inggris dengan pas-pasan. Tapi mereka justru bangga dengan dirinya sebab menunjukkan kecintaan yang luar biasa pada bahasanya sendiri. Demikian pula dengan teman bangsa Perancis yang justru menolak penggunaan bahasa Inggris dan berusaha untuk ‘mengekspor’ bahasa Perancis ke mana-mana.

Beberapa bulan lalu, saya membaca publikasi tentang betapa masygulnya warga Malaysia karena warganya lebih suka memakai bahasa Inggris ketimbang bahasa Melayu. Malah, seorang pejabat Malaysia sangat sering mengutip contoh tentang orang Indonesia yang demikian bangga berbahasa Indonesia. Di abad secanggih ini, ada semacam kekhawatiran akan tergerusnya budaya lokal akibat penetrasi budaya global. Bahkan ada kecurigaan bahwa internasionalisasi bahasa Inggris memiliki muatan ideologis berupa ekspansi pasar ke negeri-negeri lain demi mempertebal pundi-pundi para bule di negeri sono. Di level Asia, bangsa seperti Cina, jepang, dan Korea, perlahan mulai sukses menjadikan bahasanya sebagai bahasa global demi memuluskan jalan bagi ekspansi industri kreatif melalui televisi. Makanya, beberapa bangsa berusaha memproteksi kebudayaannya dengan menggalakkan gerakan mencintai kebudayaannya sendiri. Lantas, ketika seorang warga kita justru tidak fasih bahasa Inggris, mengapa harus ditertawakan?

Kedua, fenomena ini menunjukkan bahwa sebagai bangsa, kita mengidap sebuah paradoks. Di satu sisi kita selalu berbicara tentang kepribadian nasional dan pentingnya mempertahankan jati diri sebagai bangsa Indonesia, namun di sisi lain kita mudah mentertawakan seseorang yang kurang fasih berbahasa Indonesia. Baik Agnes, Nadine, maupun Qory telah menunjukkan kepada kita bagaimana menjadi bangsa Indonesia yang menggunakan bahasa kita sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan. Lucunya, banyak yang mempertanyakan kelayakan mereka sebagai representasi Indoensia.

Qory Sandirova
Padahal, bahasa yang tidak fasih itu menunjukkan bahwa mereka sangat Indonesia. Justru mereka yang tidak fasih itu adalah cerminan diri kita sendiri yang memang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Justru yang tidak fasih itu adalah potret masyarakat kita yang –dengan segala lebih dan kekurangannya– telah bertransformasi sebagai bangsa Indonesia yang berpikir dan berbicara dalam bahasa nasional.  Bagi saya, tak ada yang salah dengan ketidakmampuan berbahasa Inggris. Yang salah adalah ketika ada warga kita yang justru tak bisa berbahasa Indonesia.

Ketiga, boleh jadi banyak di antara bangsa kita yang sok ngerti bahasa Inggris, tapi sejatinya tak bisa berbahasa Inggris. Di kampung saya, di Kota Baubau, banyak nama toko, usaha, pasar serba ada, atau merek barang yang berbahasa Inggris. Di sekitar rumah saya terdapat sebuah took kelontong yang namanya MGM (dan dilafalkan em ji em). Padahal, sang pemilik toko justru tak bisa sama sekali berbahasa Inggris. Ini hanya satu contoh kecil bahwa bahasa Inggris seolah identik dengan kelas social tertentu sehingga ‘memaksa’ kita untuk selalu menggunakannya dalam segala aspek kehidupan kita, meskipun kita sendiri tak terlalu paham maknanya. Tak percaya? Lihat saja banyak produk di took-toko kelontong. Rata-rata menggunakan bahasa Inggris sebab diyakini akan meningkatkan gengsi atau kelas social.

Qory
Keempat, adalah merupakan kesalahan berpikir jika menganggap tidak fasih berbahasa Inggris identik dengan kebodohan. Malah, meluasnya penggunaan bahasa Inggris itu bisa pula disebut sebagai buah dari proses Amerikanisasi di kawasan Asia Tnggara yang sudah berlangsung selama beberapa dekade usai perang dunia kedua dan perang dingin. Sejak saat itu, terbetuk tata dunia baru di mana Amerika Serikat (AS) menjadi poros utama yang menentukan ke mana dunia bergerak. Selama periode itu, bangsa-bangsa berusaha mengikuti selera Amerika, tak hanya dari sisi kebijakan politik, hingga aspek berbahasa. Apalagi, bahasa Inggris adalah bahasa yang sudah menginternasional.

Akibatnya, saat ini sedang bertumbuh satu generasi dalam masyarakat kita yang mulai permisif berbahasa Inggris. Ini sangat kontras dengan generasi sebelumnya yang justru membutuhkan proses untuk berbahasa Indonesia. Kalau tak salah, dalam lakon Srimulat tahun 1970-an, selalu terdapat parodi tentang penggunaan bahasa Indonesia sebab lawakan disajikan dalam bahasa Jawa. Pada masa itu, bahasa Indonesia masih dalam proses pertumbuhan. Kini, bahasa Indonesia berhasil menjadi bahasa ibu, dan selanjutnya bahasa Inggris yang mulai menjadi bahan olok-olok bagi sebagian orang. Ketika melihat penampilan Tukul -yang notabene adalah generasi Srimulat-kian menegaskan transformasi masyarakat yang kian memijak dua kaki yakni memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, namun mulai melek atau mengenal istilah-istilah bahasa Inggris.

Ungkapan bahasa Inggris mudah ditemukan di mana-mana. Dulu, istilah itu dikutip demi meningkatkan gengsi atau kesan atas substansi pembicaraaan, kini istilah itu digunakan karena kita mulai kesulitan menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kita mulai lebih nyaman dnegan istilah bahasa Inggris, misalnya kita lebih suka menggunakan kata download ketimbang kata unduh, atau kata laptop ketimbang komputer jinjing. Istilah berbahasa Inggris mulai hadir karena kita mulai kesulitan menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa ibu kita sendiri. Bahasa Inggris perlahan menjadi bahasa sains yang mutlak dikuasai ketika belajar di tingkat universitas.

Agnes Monica
Dalam situasi seperti ini, kehadiran artis semacam Agnes, Qory, dan Nadine adalah potret masyarakat kita yang sedang memijak dua kaki tersebut. Mereka fasilh berbahasa Indonesia (sebab merupakan bahasa ibu), tapi mengerti sedikit-sedikit istilah bahasa Inggris. Ketika mereka tidak fasih, janganlah kita ikut-ikutan tertawa sebab mereka telah menunjukkan wajah kita yang sesungguhnya. Meskipun kini Agnes telah fasih berbahasa Inggris, kita tetap tidak didera kekhawatiran bahwa bahasa kita akan tergerus. Sebab bahasa Inggris hanya digunakan pada saat tertentu yang sifatnya terbatas. Gimana menurut Mbak Agnes? Setuju?
.

Pentingnya Berprasangka Baik

TULISAN Hernowo di Facebook hari ini telah membuka mata hati saya (baca DI SINI). Hernowo beberapa kali mengutip pemikiran Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) tentang pentingnya berprasangka baik untuk kemudian menjadi frame berpikir kita. Nampaknya, berprasangka baik adalah hal yang sepele. Namun pernahkah kita merenungi, seberapa seringkah kita berprasangka baik? Ataukah kita lebih banyak berprasangka buruk?


Dalam tulisan tersebut, Hernowo mengajak semua orang untuk berprasangka baik pada apapun yang dihadapi. Ia mengatakan, setiap orang senantiasa dihadapkan pada dua pilihan yakni berprasangka baik dan berprasangka buruk. "Apa pun yang kita pilih, pilihan kita akan sangat mempengaruhi keadaan jiwa atau kondisi mental diri kita." Untuk itu, ia mengajak kita untuk menentukan pilihan yang memberikan manfaat-manfaat yang memungkinkan diri kita untuk tetap berada dalam keadaan emosi positif.

Saya mengamini pendapat Hernowo. Sebab saya pernah membaca artikel bahwa rasa marah, benci, dengki, cemburu, serta iri hati bisa menghadirkan energi negatif dalam diri kita. Energi negatif bisa berujung pada upaya menyakiti diri sendiri sebab secara medis, rasa itu bisa berujung pada penyakit dalam diri. 

Berkebalikan dengan itu, perasaan gembira, menyayangi, serta prasangka baik adalah energi positif yang ibarat atmosfer akan melingkupi diri kita. Berprasangka baik akan mendatangkan bahagia, kesenangan, kesehatan, serta aoutcome yang sukses dalam setiap situasi dan tindakan. Pernah saya baca artikel tentang orang terrtua di dunia. Ditanya rsepnya, ia hanya menjawab singkat, "Hilangkan rasa marah, benci, dan dengki. Kamu akan mencapai usia panjang sebab tubuh akan selalu fit."

Tulisan Hernowo ibarat embun sejuk yang membasahi kepala ini. Apalagi, dalam tulisan itu, ia banyak mengutip pemikiran Jalaluddin Rakhmat tentang kebahagiaan. Salah satu kalimat Kang Jalal yang menyentuh adalah ketika ia mengutip hadis Rasul yang berbunyi, 

“Dugalah perilaku seseorang dengan hal paling baik sampai kau yakin keburukannya benar-benar terbukti di matamu. Jangan pernah menilai-buruk ucapan seseorang sampai kamu tahu alasan kenapa dia mengucapkannya.” 

Pelajaran usai membaca tulisan ini adalah usahakan untuk selalu berprasangka baik. Jangan sekalipun berprasangka buruk, sebelum menyaksikan sendiri tindakan buruk tersebut. Itupun kita mesti menelusuri alasan hingga muncul tindakan buruk tersebut. Dengan berprasangka baik, maka kita telah menghadirkan energi positif dalam diri kita sendiri, energi yang kemudian menjadi darah dan nyawa yang mengaliri seluruh diri kita.(*)


Baubau, 14 Mei 2011

Suku Bajo dalam Bingkai Eksotika Wakatobi

SEBAGAIMANA sudah saya perkirakan sebelumnya, film The Mirror Never Lies bukanlah jenis film yang bisa ditonton sembari bersantai dan melepas penat. Sebagaimana film-film yang dibuat Garin Nugroho, film ini adalah jenis film yang membuat kening berkerut, dan ketika film usai, kita masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang hendak disampaikan oleh sutradara? 

Memang, film ini tidak dibuat oleh Garin Nugroho, melainkan anaknya Kamila Andini. Namun, saya bisa merasakan aura Garin yang sangat kuat dalam film ini. Ciri khas film Garin yang sering saya temukan adalah eksplorasi yang detail pada suatu wilayah, lanskap alam yang indah sempurna, karakter warga lokal yang masih setia dengan kultur, serta –entah kenapa-- alur cerita yang disajikan susah untuk dimengerti. Saya bisa menyebutkan beberapa film Garin yang pernah saya tonton yakni Surat untuk Bidadari (film tentang Flores), Bulan Tertusuk Ilalang (Jawa Tengah), Daun di Atas Bantal (Yogyakarta), hingga Aku ingin Menciummu Sekali Saja (Papua). 

Film-film itu bukan dibuat untuk disaksikan pasar yang luas dan berasal dari berbagai segmen masyarakat. Tapi film tersebut dibuat untuk konsumsi berbagai festival film di panggung internasional. Dan jika berbicara tentang festival, Garin adalah yang terbaik di bidangnya. Ia adalah pembuat film yang kemudian jadi spesialis juara di festival-festival film. Resepnya sederhana yakni eksplorasi atau deskripsi yang luas tentang kebudayaan, hubungan antar karakter yang unik, serta dilemma manusia tradisional yang tiba-tiba saja dipertemukan dengan tatanan modern.

Film The Mirror Never Lies bisa diteropong dari perspektif ini. Kekuatan film ini adalah lanskap alam yang indah dan menakjubkan. Sepanjang scene, kita bisa menyaksikan demikian kayanya Wakatobi dengan segala rupa sumber daya alam serta panorama bawah laut yang sempurna. Sebagai warga pulau yang terbiasa melihat pasir putih dan laut biru, saya tidak terlalu surprise dengan pemandangan yang tersaji dalam film. Namun, saya bisa membayangkan, betapa kagumnya mereka yang lahir dan besar di wilayah urban, tiba-tiba menyaksikan lanskap Wakatobi yang indah dengan segala keanekaragaman hayati yang tetap terjaga. Sebagai bagian dari promosi Kabupaten Wakatobi (yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton) dan kampanye lingkungan WWF, film ini sukses mengeksplorasi sisi-sisi indah yang dimiliki kabupaten tersebut. Beberapa orang yang saya temani saat menonton film ini, langsung memasukkan Wakatobi sebagai satu destinasi yang mesti dikunjungi.

Diskursus tentang Bajo


Film ini akan mengajak kita masuk mengamati kehidupan masyarakat suku Bajo dari posisi yang sangat dekat. Sejauh ini, nyaris belum ada film yang khusus membahas tentang Bajo. Padahal mereka adalah suku laut yang tersebar luas di Indonesia, Malaysia, Filipina, hingga Thailand.  Sejauh ini, sejarah kita tidak banyak mencatat Bajo sebagai satu etnis besar yang unik sebab berumah di atas laut. Sehingga sejarah dan pengetahuan tentang Bajo berada di lapis pinggir dari bangunan besar pengetahuan kita tentang kebudayaan negeri ini. 

Sejarah Bajo sebagai bagian dari pulau-pulau sejarah yang terpinggirkan (history of neglected island), meminjam istilah antropolog Marshal Sahlins. Mungkin ini disebabkan oleh fakta bahwa Bajo tidak pernah membangun satu imperium besar yang kemudian ekspansif ke sana-sini. Bajo hanya membentuk satu komunitas kecil yang didalamnya warga memiliki kebebasan untuk saling memencar di sepanjang pesisir laut demi sebuah keyakinan bahwa Bajo berumah di atas lautan mana saja. Mungkin atas alasan ini pulalah sehingga tidak banyak informasi tentang Bajo. Belakangan, beberapa peneliti telah menjelaskan dinamika Bajo dalam berbagai perpspektif. Kajian ini kian menambah khasanah perbendaharaan pengetahuan banyak orang tentang etnis Bajo. Bahkan keberadaan film The Mirror Never Lies ini menjadi medium yang sangat strategis untuk memperkenalkan Bajo pada banyak pihak. 


Film ini menyajikan kenyataan tentang Bajo dari dekat. Kita bisa merasakan gejolak emosi serta kegelisahan satu keluarga yang kehilangan sosok pemimpin di keluarganya. Sang bapak pergi melaut dan entah apa alasannya, tidak pernah kembali. Sang Ibu, Tayung (Atiqah Hasiholan) terkesan begitu pesimis bahwa suaminya tidak akan pernah lagi kembali dari laut, meskipun ia masih menganyam harapan kelak keluarganya bisa utuh lagi. Sementara anak perempuan satu-satunya, Pakis (Gita Novalista) sangat merindukan ayahnya. Itu sangat terlihat dari sikapnya yang selalu murung dan kehilangan senyum. 

Pakis merindukan seorang ayah. Harapan bertemu ayah selalu dibawa kemana pun ia pergi, dalam wujud sebuah cermin yang tidak lain adalah pemberian sang ayah. Terkadang jika dia begitu rindu dengan ayahnya, Pakis akan menghempaskan tubuhnya ke laut, mencurahkan isi hatinya dan berharap laut bisa menyampaikan ceritanya kepada sang ayah.

Dalam film, Pakis sangat sentimental dan seakan tidak rela jika kehilangan ayah. Sepengetahuan saya, warga suku Bajo tidaklah sesentimentil apa yang digambarkan dalam film ini. Mereka memang seorang petualang hebat di laut yang selalu berjanji akan kembali, namun mereka juga selalu menyerahkan semua jalan nasib kepada lautan itu sendiri. Sementara keluarga di rumah juga selalu bersiaga dengan berita kemalangan. Sebab mereka meyakini bahwa kehidupan akan terus berjalan sebagaimana pasang naik dan pasang surut. Saya sering memperhatikan beberapa anggota keluarga saya yang menikah dengan warga Bajo. Bagi penduduk suku Bajo, kehilangan bukanlah sesuatu yang diratapi dengan penuh sedu sedan. Tapi kehilangan dihadapi sebagai fenomena hidup yang kerap terjadi di masyarakat. 


Kita bisa mengatakan bahwa film ini adalah sebentuk interpretasi atas Bajo. Meskipun dalam pandangan saya, karakter tokoh di dalamnya tidak murni Bajo, namun gambar-gambar yang disajikan sangatlah membantu pemahaman atas Bajo. Apalagi, akting ketiga anak asal Bajo –yang beberapa dialognya menggunakan bahasa Bajo—kian menambah daya tarik film ini. Pada akhirnya, film ini sukses menyajikan lanskap kebudayaan bajo secara umum, meskipun alur ceritanya agak njilmet untuk dipahami masyarakat luas, termasuk orang Bajo sendiri.(*)

Ikan Parende Terenak

SALAH satu makanan khas di Kota Baubau adalah ikan parende. Menu ini amat populer dan menjadi salah satu ikon makanan enak di kawasan Buton Raya. Menunya berupa ikan yang dimasak dengan cara ditumis. Rasanya? Hmm.. Jangan tanya deh. Buat mereka yang tinggal di Buton, parende identik dengan menu enak yang dulunya hanya disajikan pada momentum tertentu. Tapi seiring dengan kian banyaknya kelas menengah yang berpunya, parende menjadi produk kuliner yang mudah ditemukan di mana-mana. 


Hari ini saya singgah makan ikan parende di satu rumah makan bernama paseba. Letaknya tepat di pendakian menuju kantor Dinas Kesehatan Buton, yang tak jauh dari Stadion Betoambari. Dalam bahasa Wolio, paseba artinya duduk bersila. Maknanya serupa dengan kata lesehan yang tersohor sebagai tata krama duduk bersila saat berada di restoran di Jawa. 

Saat melihat nama rumah makan Paseba, saya membayangkan rumah makan dengan menu ala Buton. Setelah berada di dalam dan melihat daftar menu, saya agak kecewa sebab makanan khas Buton hanya ada satu yakni parende. Tapi tak apa. Saya lalu memesan ikan parende. Tak sampai beberapa menit, pelayannya datang sambil membawa mangkuk yang cukup besar berisi ikan parende. Di situ, saya melihat ikan jenis kakap yang disajikan dengan kuah panas. Di situ juga disediakan piring kecil, yang di dalamnya terdapat cabe merah dan jeruk nipis. Setelah memeras jeruk nipis itu, mulailah saya melahap parende nikmat itu.

Dari sisi rasa, menu parende di rumah makan ini sama enaknya dengan parende di tempat lain. Namun kalau saya dipaksa untuk memilih, saya lebih memfavoritkan parende di rumah makan Labomba (dekat Pekabuhan Murhum), serta menu patende di Plaza Umna Wolio. Rasa parende di dua tempat itu tak tertandingi. Boleh jadi ada tempat lain yang juga punya menu parende enak, tapi saya butuh waktu beberapa hari untuk melakukan eksplorasi.

Apakah anda juga suka ikan parende?

Filsafat Konservatisme

Konservatisme bermula dari hasrat kuasa yang nikmat, kemudian mengalami pelestarian dalam adat dan tradisi. Konservatisme adalah pemikiran yang selalu ingin mengembalikan tatanan sebagaimana yang diinginkan dan menutup telinga atas dinamika atau perubahan. Mereka yang konservatif adalah mereka yang status quo, menginginkan sesuatu yang stabil, tidak terbuka pada gerak atau perubahan, serta melestarikan sesuatu yang dianggap mapan.

Jangan pernah berbicara tafsir ulang, rekontekstualisasi, atau redefinisi ulang atas segala cara pandang kita. Kaum konservasionis tak peduli dengan wacana tersebut. Mereka tetap kukuh ingin mempertahankan sesuatu yang kemudian disebutnya tradisi, adat, budaya luhur, serta warisan adiluhung. Tradisi diperlakukan serupa porselen yang tak bisa diganggu-gugat. Tradisi harus dijaga dan terus dibersihkan demi menjaga terang cahayanya yang tetap menyilaukan.

Mereka melihat adat sebagai rumusan pola-pola yang sudah baku sehingga mutlak untuk diwariskan. Mereka yang menyebut dirinya konservatif menemukan bahagianya pada masa silam. Mereka melihat masa silam dengan penuh keemasan, sehingga melahirkan dalil bahwa masa silam itu mesti dijaga dengan kukuh. Masa silam adalah samudera tempat mereka menyelam demi menemukan makna. 

Mungkin inilah bedanya dengan kaum progresif. Kaum konservatif melihat kejayaan pada masa silam, sedangkan kaum progresif berbicara tentang kejayaan di masa mendatang. Keduanya bicara tentang waktu, tapi dengan teras imajinasi serta tafsir dunia yang berbeda. Nah, apakah Anda termasuk konservatif ataukah progresif?

Musim Semi Pernikahan


BULAN ini adalah musim semi pernikahan. Beberapa sahabat dekat di Baubau mulai menikah dengan pasangannya masing-masing.Bulan ini adalah musim di mana masing-masing pihak mengikat janji. Ada harapan yang dihembuskan laksana kupu-kupu yang kemudian mengangkasa demi membawa sebaris pesan: semoga kehidupan akan terus langgeng dan semuanya akan bergerak kian menyempurna.

Inilah Tipe Pengunjung Warkop di Makassar

suasana di Warkop Phoenam, Makassar

HAMPIR di semua kota-kota di Sulawesi Selatan (Sulsel) mudah ditemukan kafe atau tempat minum kopi. Mulai dari kelas elite, hingga kelas pinggir jalan. Tempat kaum elite biasanya agak berkelas dan sering merupakan franchise asing, seperti Black Canyon, atau Excelso. Sementara yang kelas pinggiran biasanya ditempati para mahasiswa dengan modal seribu rupiah, kemudian memesan teh panas dan stand bye ber-internet hingga sepuluh jam. Setiap kelas sosial mereproduksi sebuah tempat nongkrong, tempat berbagi cerita dan ngobrol ngalor ngidul dengan para relasi. Pertanyaannya, mengapa banyak wrung kopi di Sulsel dan untuk apa keberadaan warung kopi tersebut?

Seorang kawan Abdul Hakim Alle mengatakan warga Makassar senang ngobrol apa saja. Mereka suka berkumpul dan membahas segala rupa topik. Dan warung kopi adalah tempat paling murah meriah. "Dengan biaya murah, kita bisa ngobrol sampai seharian. Iya khan?” katanya dalam satu komentar di facebook. Komentar Hakim ini sangat menarik. Tapi, komentar ini tidak bisa menjelaskan kebiasaan orang-orang yang suka nongkrong di kafe-kafe mahal. Bukan rahasia lagi jika di Makassar berdiri banyak kafe eksekutif sekelas Black Canyon atau Excelso. Saya beberapa kali ke tempat itu. Harganya memang mahal, namun pengunjungnya seakan tak putus-putus. Makanya, saya menempatkan komentar Hakim dalam perspektif seorang mahasiswa yang suka nongkrong di kafe-kafe atau warung kopi.

Tapi ada point menarik yang didiskusikan Hakim. Ia menyebut bahwa warga Makassar senang ngobrol. Pendapatnya menarik sebab yang dilakukan di warung kopi tidak cuma berinternet ria, namun menjalin hubungan dengan banyak orang, berbicara banyak tema, hingga berjam-jam. Mungkin nongkrong di warkop sudah menjadi tradisi. Lantas sejak kapan tradisi ini muncul? Siapa sajakah yang suka ke warkop? Entahlah. Yang jelas, selama tinggal di Makassar, sayapun sering nongkrong di warkop. Makanya saya bisa memilah-milah para pengunjung warkop dengan karakteristik sebagai berikut:

Pertama adalah mereka yang suka aroma kopi dan menikmati sensasi kopi sebagai bentuk petualangan. Kebetulan pula, Makassar tak jauh dari Toraja yang merupakan basis kopi lokal yang cukup tersohor di dunia. Makanya, aroma kopi di makassar cukup khas dan tak ada duanya. Saya mengenal beberapa sahabat yang memang penggila berat kopi. Ia tidak sembarang memilih tempat nongkrong. Ia mementingkan aroma kopi yang nikmat. baginya, harga bukan soal. Ia memilih nongkrong di Phoenam, sebuah kafe yang populer di Makassar karena cita rasa kopinya yang khas. Jumlah mereka yang seperti teman saya cukup banyak. Sebab bagi mereka, kopi adalah minuman yang bisa membuat ketagihan. Bagaimana dengan anda?


Kedua adalah tipe para politisi atau aktivis NGO. Jangan kaget, jika di Makassar, warung kopi adalah tempat mengkonsolidasikan gerakan politik ataupun gerakan sosial. Segala hal menyangkut politik didiskusikan di warung kopi secara bersama-sama, kemudian membuat perencanaan. Seiring dengan digelarnya pilkada di banyak daerah di Sulsel, warung kopi jadi tempat strategis. Tempat ini menjadi lokus pertemuan dan tempat merencanakan tindakan. Bahkan hamper setiap minggu, warkop jadi tempat diskusi dengan berbagai tema politik. 

Sedemikian pentingnya warkop bagi politisi, sehingga banyak politisi yang menginvestasikan dana untuk membiayai berdirinya sebuah warkop. Tujuannya simple. Selain memang hobi ngopi dan ngumpul, warkop bisa jadi tempat merancang strategi. Bagi para aktivis NGO, warkop juga tempat mengkonsolidasi gerakan. Saya pernah ke satu warkop yang di dalamnya ada dua kelompok pengunjung. Satu adalah politisi yang mendukung kebijakan pemerintah, satu lagi adakah kelompok aktivis NGO yang hendak melakukan demo. Menariknya, kedua kelompok ini bisa duduk bersisian dan tidak saling mengganggu.

Ketiga adalah tipe mereka yang hendak belajar politik. Baik mahasiswa, wartawan, dan calon politisi sama-sama memenuhi warung kopi demi membahas gossip politik sekaligus belajar banyak di situ. Ibarat universitas, warkop menjadi kawah candradimuka yang membesarkan soerang calon politisi. Di sini memang tidak ada kuliah. Namun mereka bisa belajar banyak hal melalui diskusi, canda, serta  dialog-dialog lepas. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi tim sukses dan menjadikan warung kopi sebagai basis.

Keempat adalah tipe pebisnis. Biasanya mereka adalah tipe yang suka mengintip-intip peluang bisnis saat di warkop. Mereka bergaul dengan semua politisi, namun tidak menganut ideologi tertentu. Pilihan politiknya juga abu-abu. Hari ini bisa gandrung pada partai A, keesokan harinya adalah partai B. Dalam konteks pilkada, mereka bisa berada di mana-mana. Mereka mengincar proyek-proyek dari semua politisi demi memaksimalkan pundi-pundi yang mereka miliki. Tipe seperti ini cukup banyak. Biasanya mereka sangat ramah pada politisi manapun sebab mengincar sesuatu. Selain para pebisnis kakap. Saya juga menemukan tipe pebisnis kelas teri yang sering menawarkan HP. Bahkan ada juga sejumlah kawan yang bergerak di multi Level markerint (MLM). Ketika kita memasuki kafe, maka mereka melihat sebagai calon pelanggan baru. Maka siap-siaplah untuk diprospek. 

Kelima adalah tipe perajut hubungan silaturahmi. Biasanya kelompok ini tidak terlalu peduli dengan politik atau perkembangan terbaru. Mereka asyik-asyik aja. Mereka hanya suka ngobrol dengan teman-teman di situ. Mereka membangun silaturahmi sekaligus meng-update informasi atau gosip-gosip terbaru tentang satu hal. Biasanya kelompok ini datang rutin ke warkop hanya untuk ngobrol. Pengalaman saya di Makassar, hampir semua warkop memiliki komunitas pelanggan sendiri. Kita bisa memetakan warkop berdasarkan pelanggannya. Jika hendak berbincang dengan mahasiswa, saya memilih warkop tertentu. Demikian pula ketika hendak bertemu politisi.


Keenam adalah tipe suka-suka. Inilah tipe mereka yang kurang kerjaan dan ke warkop tanpa tujuan. Kalau ditanya apa tujuannya, mereka bingung mau menjawab apa. Boleh jadi mereka membawa laptop, kemudian memesan segelas teh panas dan duduk hingga berjam-jam, tanpa peduli dengan sekitar. Mereka tidak peduli kalau di situ ada diskusi yang membahas negara. Tidak juga peduli jika di sebelah warkop sedang ada kebakaran. Pokoknya mereka tetap online dan terhubung dengan relasi atau teman ngobrol di mana-mana. Tipe suka-suka ini biasanya senang dengan hal-hal gratisan. Makanya, siapapun bisa jadi sahabat selagi nongkrong di warkop. Just info, saya pun termasuk tipe suka-suka yang ke warkop tanpa tujuan selain dari bertemu teman, kemudian saling berbincang banyak hal, kemudian kembali focus ke laptop.

Nah, dari banyak tipe di atas, di manakah posisi anda?

salam dari Pantai Losari, Makassar