Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Long Journey to be the Champion

Indonesian Super League (LSI)


It is like the battle of two lions in one cage. That’s a brief description about Indonesian football situation. There are two regular competitions which have been running for a month. One is the regular competition, Indonesian Super League (LSI), held by Football Association of Indonesia (PSSI). PSSI has been running the regular competition since 1950, but the achievement is very poor in international tournament. The other competition is Indonesian Premiere League (LPI) managed by Konsorsium Liga Primer Indonesia and PT Liga Primer Indonesia. LPI competition is expected to be a hope for Indonesian football situation that missing achievement in the last two decades. Both LSI and LPI are totally different for several reasons.

The first difference is the status of two tournaments. LSI is claimed by PSSI as a legitimate competition and registered in Federation Internationale de Football Association (FIFA), the international organization governing body of association football. LSI is also registered in Asian Football Clubs (AFC) as one of the members of the main organization of football in Asia. In contrast, LPI is not registered both in FIFA and AFC. 

Although it is supported by the Indonesian Ministry of Youth and Sports, LPI is still considered as illegal tournament by PSSI. LPI was established by the National Football Indonesian Reform Movement (GRSNI) which consists of various members who have the same purpose to improve Indonesian football climate. In September 17, 2010, LPI was declared by 20 Indonesian football clubs together with GRSNI. The Declaration essentially related to the concerns of the conditions of national football clubs over the collapsing condition of the national football. It was lead by Arifin Panigoro (a local bussinesman). 

The next difference is funding. For several decades, the club who join in LSI is financed by the government. They get funding from local government budget (APBD) in every year. For example, Persija Jakarta, the main football club in Jakarta, gets the allocation 450 billion rupiah every year from the government of DKI Jakarta. Like Persija, PSM Makassar, the main club in Makassar, gets 300 billion rupiah every year from the city government of Makassar. Many people argue this allocation. They stated that this allocation is contrary to public opinion and public demand. It is better if the allocation spends to support the progress of development and provide the public service. Minister of Home Affairs, Gamawan Fauzi, has given warning that the financial assistance from the local budget to fund the football club actually contrary to Government Regulation (PP) 58 in 2005 on the Management of Regional Finance and Minister of Home Affairs Regulation 13 in 2006 on Regional Financial Management Guidelines. But members of LSI are still persistent with the idea of the allocation of local budget. They say, “Football is come from people, so it is not something wrong if we spend the money from people.”

Different with LSI, the members of LPI have the same commitment. They refuse to use the allocation from local budget. They declare their independence from the government and build the professionalism in football. To achieve independence, LPI provides assistance consortium in forms of the initial capital for each participating club. With this assistance, the clubs are expected to run without funds from Local Government Budget (APBD). The initial capital will vary between clubs according the audit results that have been held. Additionally, the LPI embrace the principle of division of revenues in a transparent and accountable to the club participants. According to agreement with the club, LPI revenue sharing will be based on two schemes, namely schemes to league revenues (eg: sponsor the league, broadcasting rights, etc.) and schemes for income matches (eg: local sponsorship, broadcasting rights, tickets, etc.).

Next is commitment to fight corruption. For several decades, Indonesian football has always been filled with intrigue. Among club participants LSI often heard the term non-technical factors that affect the outcome of the game. This term refers to the act of cheating the referee, linesman, and the players on the field. These factors also supported the lobby outside the field to influence the score of the match. Many people pointed out that the boards of PSSI easily bribed with money, so they can manipulate the rules to win a particular club. It can be seen in many cases, particularly in an important game. Many people worried about corruption that occurred either on a football field or outside. But until now, there is no serious effort from PSSI to improve the situation which has been running for many years. 

Contrast with LSI, LPI promises professionalism and competition in a healthier climate. LPI promises transparency or accountability in managing the game and promises not to interfere in the match and ensure that all fair. LPI will use foreign referees as an early stage in order to educate local referees to have the same quality with them. The commitment to eradicate corruption is supported by the public. Many people are support and appreciate LPI in various social media such as Facebook and Twitter. People hope LPI will create better environment for our national football climate. 

After all, LSI and LPI are different. Even though they have the same purpose to improve national football competition, they have several differences in status, funding, and commitment. These differences represent the fact that there is a long journey to be a champion in the future. It would be better if LSI and LPI can learn together. It would be nice if PSSI improve itself and learn from LPI about how to manage the professionalism in football and how to against corruption.(*)


Misteri Nusantara Kalahkan Peradaban Maya (2)

DALAM tulisan sebelumnya, saya telah menggambarkan salah satu relief yang ada di Candi Penataran, Jawa Timur. Di situ terdapat banyak relief pertempuran antara leluhur Nusantara versus prajurit Suku Maya yang digambarkan terjadi di Amerika Latin. 

gambar relief di Candi Penataran yang menggambarkan prajurit Suku Maya

Tapi dalam versi para arkeolog kita, relief itu digambarkan sebagai pertempuran antara Kresna melawan salah satu kerajaan. Mengapa mereka tidak mengeksplorasi simbol-simbol pakaian serta perhiasan juga tumbuhan yang nampak? Bukankah analisis ini akan membawa pada dugaan tentang adanya kontak kebudayaan Nusantara dengan peradaban Maya, yang disebut-sebut sebagai salah satu peradaban yang unggul.

Saya berpendapat bahwa munculnya beberapa artefak arkeologis kian menguatkan beberapa dugaan yang dikemukakan beberapa sarjana barat tentang letak Atlantis yang disebut-sebut sebagai pusat peradaban pada masanya. Temuan-temuan itu makin menunjukkan betapa hebatnya bangsa ini pada masa silam. Inilah negeri yang disebut Plato sebagai bangsa yang paling unggul dan telah menaklukan lebih dari tiga perempat dunia, yang kemudian tenggelam ketika Gunung Krakatau meletus dan memicu letusan gunung-gunung lainnya hingga es di kutub meluber. Selanjutnya banjir bandang terjadi dan menenggelamkan Nusantara.

Saya mendukung hipotesis Prof santos bahwa pada masa lalu, seluruh wilayah Nusantara menyatu sebagai sebuah daratan yang disebut Patahan Sunda (Sunda Plate) yang kemudian di dalamnya terdapat peradaban Atlantis. Pada masa itu, Nusantara pernah mencapai masa kejayaannya hingga dikenal di banyak tempat di dunia. Namun proses meleburnya es di kutub, serta proses sejarah yang kemudian menghempaskan negeri ini hingga ke tititk nadir dan kehilangan kebanggaannya.

Sebelum kian jauh dengan beragam spekulasi, marilah kita melihat beberapa kesamaan artefak antara Nusantara dengan peradaban Maya. sebagaimana telah dibahas pada tulisan sebelumnya. Seperti tulisan sebelumnya, saya tetap mengacu pada makalah Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi dari tim Geger Nuswantara dan Turonggo seto.

relief raksasa di Candi Penataran
Salah satu relief di candi Penataran yang mudah dikenali adalah wajah raksasa yang mengeluarkan lidah. Topeng wajah ini sangat populer di negeri kita dan muncul dalam berbagai nama. Saya lebih banyak menyaksikannya di Bali, dan dinamakan topeng rangda. Reliefnya juga ada di Candi Penataran, serta mudah ditemukan di mana-mana. Sebagaimana gambar berikut.

topeng Rangda di Bali

Nah, dalam penelusuran di internet, ternyata relief wajah yang sama juga ditemukan di Amerika Latin, dan dikenali sebagai salah satu Raja Aztec.  Pada tahun 2009, para arkeolog Mexico mengumumkan ditemukannya kuburan salah satu Raja Aztec yang terletak di Templo Mayor (Great Temple) di Mexico. Sekarang, perhatikan wajah yang ada di kuburan raja tersebut. 

patung Raja Aztec di Amerika Latin

Bahkan National Geographic juga ikut memuat gambar foto tentang ditemukannya kuburan tersebut, sebagaimana bisa dilihat DI SINI. Silakan koreksi jika saya salah. Wajah yang dianggap sebagai Raja Aztec tersebut adalah wajah barong atau topeng Rangda. Bagaimanakah menjelaskan kemiripan ini?

berita di situs National Geographic tentang ditemukannya kuburan Raja Aztec

Tak hanya itu. Di Candi Penataran juga ditemukan patung penjaga raksasa yang disebut Dwarapala. Raksasa tersebut memegang gada yang disampirkan di bahu sebelah kanan. Patung ini cukup populer dan telah mengalami modifikasi dalam bentuk yang bisa ditemukan di berbagai gedung yang ada di Jakarta dan Bali.

patung kecil penjaga raksasa di Candi Penataran.
Sayang sekali karena ujung gada terpenggal

Yang mencengangkan, patung ini juga bisa ditemukan di Amerika Latin dalam wujud penjaga. Perhatikan baik-baik patung yang ada di Candi Penataran, dan bandingkan dengan patung penjaga di peradaban Maya (Aztec) sebagaimana nampak pada gambar di bawah. Silakan koreksi jika saya salah. Bukankah ada kemiripan di situ? Kalaupun ada perbedaan, maka patung di Candi Penataran lebih detail bentuknya, serta penggarapannya lebih sempurna.

patung penjaga di Peradaban Maya

BERSAMBUNG....

Baca Juga:



Nikmat Futsal, Perih Persendian

TUBUH ini serupa mesin yang juga butuh dipanaskan. Jika tidak dipanaskan, maka banyak komponen yang akan aus dan perlahan-lahan berkarat hingga benih penyakit tumbuh subur. Ungkapan ini sering kudengar dari banyak sahabat. Tapi betapa susahnya memanaskan tubuh, menyetrum semua engsel agar tetap normal, hingga memberinya latihan demi latihan agar tetap kuat dan bertenaga.

Tadi siang, saya latihan futsal bersama para sahabat. Bukan untuk sebuah kejuaraan. Bukan pula untuk membela kehormatan sebuah kelompok. Saya bermain futsal demi melemaskan otot, membakar kalori, hingga mengeluarkan keringat yang lama mengendap di tubuh ini.

Seingat saya, terakhir saya bermain bola sepak beberapa tahun silam. Pantas saja ketika tadi usai bermain, tiba-tiba saja seluruh persendian jadi sakit. Lutut ini langsung bergetar dan keringat keluar hingga tubuh basah kuyup. Bersama teman-teman, saya hanya bermain sejam. sebab di jakarta ini, biaya sewa lapangan cukup mahal yakni Rp 100 ribu sejam. Jika bermain melebihi hjam itu, berarti kami mesti merogoh kocek lebih dalam lagi. Makanya kami putuskan untuk bermain sejam. 

Lagian, sejam itu cukup untuk tubuh saya yang malas berolahraga. Bermain sejam itu cukup untuk membuat semua persendian jadi sakit hingga susah berjalan.(*)

Misteri Nusantara Kalahkan Peradaban Maya (1)

ILMUWAN Brazil Professor Santos memaparkan tesis yang menggemparkan dunia tentang asal-muasal benua Atlantis yang disebutnya terletak di Nusantara. Publik segera heboh sebab Atlantis dianggap sebagai negeri yang menjadi muara mengalirnya kebudayaan Sumeria, Mesir Kuno, hingga peradaban Maya. 

Santos mengungkapkan tesisnya setelah melakukan analisis atas karya Plato yang menggambarkan Atlantis. Ia lalu membandingkan kemiripan secara geologis antara naskah Plato dengan keadaan Nusantara. Ia menjawab teka-teki yang selama ini memantik rasa kepenasaranan bangsa Eropa dan Amerika. Namun, apakah riset tersebut didukung data-data secara arkeologis bahwa di sinilah surga Atlantis yang memiliki peradaban tinggi tersebut? 

Selama beberapa bulan ini, saya bergabung dengan sejumlah peneliti muda di Kelompok Geger Nuswantara atau Turonggo Seto yang sangat yakin bahwa Nusantara pernah menjadi pusat peradaban dunia. Mereka adalah para peneliti muda yang lahir dari perguruan tinggi besar di negeri ini. Mereka lapis intelektual terdidik yang kemudian mengejutkan saya dengan eksplorasi serta penjelajahan di banyak tempat. Tulisan tentang Nusantara Versus Peradaban Maya ini adalah hasil ekspedisi dari tim Turonggo Seto yang dituliskan Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi dalam bentuk makalah. Saya hanya menyajikannya ulang.

Latar belakang para peneliti di tim ini berbeda-beda. Ada yang arkeologi, antropologi, fisikawan, geolog, hingga arsitek. Mereka mengumpulkan data lalu membandingkan temuan tersebut dengan temuan di negeri lain. Salah satu temuan mereka yang mencengangkan adalah relief beberapa candi yang justru mengisahkan hal-hal yang mengejutkan. Salah satunya adalah penaklukan yang pernah dilakukan nenek moyang hingga ke Amerika Latin. Kaget? 

Salah satu candi yang memuat kisah penaklukan itu adalah Candi Penataran di Jawa Timur. Candi ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, tepatnya di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Blitar, Jawa Timur, pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut. Candi ini menyimpan misteri besar sebagaimana yang terukir di relief-relief di sekitarnya. Dari sisi material, candi ini agak berbeda dengan material candi lain yang dibangun pada masa Majapahit. Candi penataran dibangun dari batu kali, berbeda dengan candi di era majapahit yang kebanyakan dibuat dengan bata merah, sehingga ditarik kesimpulan bahwa candi ini berasal dari peradaban yang jauh lebih tua dari Majapahit.

Yang mengejutkan adalah banyak relief candi ini yang menggambarkan bangsa lain seperti Sumeria, Mesir, hingga Maya. Sebegitu menakjubkannya relief di situ hingga Wapres Budiono pun meminta supaya ada riset yang lebih mendalam untuk mengungkap sejarah kita di masa silam. Mudah-mudahan saya bisa memuatnya secara berseri dalam berbagai tulisan berikutnya.

Mungkin kita bisa saja mengatakan bahwa pada masa silam sudah ada kontak kebudayaan. Namun bukankah fakta itu sudah cukup mengejutkan sebab menunjukkan jauhnya penjelajahan leluhur kita hingga ke negeri-negeri lain lalu menaklukannya.

perhatikan gambar kaktus di relief Candi Penataran

Mulanya saya tak percaya. Tapi saya lihat salah satu relief tumbuhan kaktus. Saya tersentak karena kita sama mafhum bahwa tumbuhan kaktus ini hanya bisa ditemukan di benua Amerika. Lantas, kenapa sampai bisa ditemukan gambar kaktus di Candi Penataran?

relief prajurid Maya di Candi Penataran

Tak hanya kaktus, ada juga relief tentang seorang prajurit dari peradaban Maya. Perhatikan gambar relief prajurit Maya tersebut dan bandingkan dengan patung prajurit Maya sebagaimana bisa ditemukan di Honduras. Jika masih penasaran, bisa cek gambar prajurit Maya di google.

prajurit bangsa Maya dari Kerajaan Copan
yang sekarang terletak di Honduras

Peneliti Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi menyimpulkan bahwa relief ini bercerita tentang penaklukan yang dilakukan nenek moyang kita atas bangsa Indian atau bangsa Maya di Amerika latin.  Bangsa Indian digambarkan mempunyai sejenis pasukan gajah, dan gajah tersebut seperti gajah sekarang dan serta tidak menyerupai mammoth. Terlihat di relief bahwa daerah yang dikuasai adalah daerah yang ada pohon kaktusnya. Padahal kaktus diketahui berasal dari benua Amerika. Dengan bukti relief gajah dan kaktus, maka dapat diperkirakan bahwa bangsa yang ditaklukkan leluhur kita adalah bangsa Maya dari Kerajaan Copan yang sekarang terletak di negara Honduras.

Secara lengkap, relief itu menggambarkan sebuah cerita menarik. Kali ini, saya tidak akan banyak beropini. Silakan menyimak gambar-gambar yang buat Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi. Silakan menyimak!

Leluhur Nusantara berhasil mengambil alih
salah satu kereta berkuda dan memanah ke arah lawan
Penambahan pasukan Indian untuk menyerang leluhur Nusantara
Kelihatan bala bantuan Indian terburu-buru dan berlari menuju ke medan perang
Pasukan Indian membawa pasukan gajah
Leluhur Nusantara menikam panglima Indian Maya
sebuah klimaks ketika leluhur Nusantara diangkat sebagai pemimpin.
Perhatikan relief kaktus yang menandakan lokasi pengangkatan tersebut



Mereka yang Bertarung demi Hidup

Di kota sesesak ini, saya lebih memilih bus kota ketimbang busway. Memang, busway menawarkan kenyamanan, suasana dingin, meskipun untuk itu kita mesti menunggu lama. Tapi saya jauh lebih nyaman menggunakan bus kota, dengan alasan kenyamanan. Bukan kenyamanan dalam artian fisik, namun ada sesuatu yang membasahi jiwa, menghadirkan sejuta tanda tanya di benak, serta mata air yang tak henti mengaliri hati ini.

Di bus kota, saya menikmati pemandangan yang ramai dan sesak, serta banyaknya pengamen dan pengemis yang lalu lalang. Setiap menyaksikan mereka, saya seakan merasakan bahwa inilah gambaran kenyataan sosial yang sesungguhnya, realitas yang tengah berdenyut di masyarakat kita. 

Saya tersentuh melihat kerja keras membanting tulang dan mengabaikan harga diri itu. Saya tahu, mereka melakukannya demi sesuatu yang amat prinsipil yakni bertahan hidup. Kota ini ibarat bejana besar bernama kemiskinan yang di dalamnya terdapat jutaan manusia yang berupaya untuk bertahan hidup dan keluar dari situ. Hidup serupa pertandingan di mana selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Nah, barisan yang kalah inilah yang kemudian berkeliaran di bis kota dan menadahkan tangan demi receh demi receh.

Bagi saya, mereka yang mengemis itu bukanlah sampah sebagaimana kerap dituduhkan aparat. Mereka adalah bagian dari nadi bangsa ini, sosok-sosok yang menyangga bangunan besar bernama republik. Mereka adalah bagian kecil dari bangsa ini yang menjadi deru napas pembangunan. Dalam konstitusi negeri ini terdapat rumusan, "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia." Namun, sejauh manakah negara peduli dengan kesejahteraan mereka? Apakah tangan-tangan kekar negara justru menghardik mereka serupa penyakit yang mesti dienyahkan?

Melihat mereka, saya sering termenung. Puluhan tahun negeri ini merdeka, namun tetap saja gagal menyejahterakan jutaan orang yang berkeliaran di jalan-jalan sebagai pengemis, mereka yang banyak di antaranya bunuh diri karena tidak sanggup menjalani hidup yang berat, serta mereka yang tak berdaya di tengah kota sesesak ini. melihat wajah yang lelah karena menadahkan tangan, saya membayangkan laporan pertanggungjawaban presiden tentang angka-angka kemiskinan yang katanya kian turun.

Benarkah jumlah mereka kian berkurang? Ataukah laporan itu dipenuhi oleh akrobat angka-angka yang memanipulasi realitas yang sesungguhnya di masyarakat kita. Bisakah jumlah mereka disederhanakan dengan statistik? Tidak bisakah kita memandang dunia sebagaimana cara pandang mereka yang menjadikan bus kota sebagai ladang untuk mencari nafkah?

Akhirnya, bus kota menjadi suatu arena sosial yang menggedor kesadaran saya tentang lapis kecil kenyataan negeri ini. betapa banyaknya pekerjaan besar yang mesti dilakukan demi sebuah empati buat mereka yang selama ini terpinggirkan.

Saat termenung, muncul seorang pengamen cilik yang menyodorkan kaleng rombeng.  Saya langsung terngiang-ngiang kalimat Iwan Fals, "Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu..."

The Mighty Transvestite Person in Buginese Culture

In many societies, transvestite people are usually identified as an unusual phenomenon or a kind of disease, but in Bugis society, the transvestite persons are accepted as part of society and might become the high priests or bissu. They have privilege position in the society and serve as leader in ritual process such as planting ritual, harvesting ritual, and marriage. Perhaps this sounds strange, but it is the fact that this tradition is still remain today and becoming one of the greatest heritages of Buginese people. Last year, Saidi Puang Matowa, one of the leaders of bissu community in Pangkep Regency, South Sulawesi, said, there are several processes for those who want to become a transvestite high priest.

The first is the acceptance of bissu community. As Saidi said, not every transvestite person is accepted as bissu. A bissu candidate must get the recognition from the high priests community. He must prove his willingness and his strong motivation to become high priest. The high priests will ask whether he serious or not to become one of them. They will monitor the background and the experience of someone who want to become the bissu

The second is the test about the understanding of the Buginese tradition from hundred years ago. Because bissu have important role in all of society rituals, they must understand the detail of Buginese culture. For Buginese, bissu have to combine female and male. They must also combine human elements with spirit elements and able to communicate with the spirit. Buginese people believe God is not male or female but combination of both. The high priest or the mediator between God and human is someone who has the quality of man and woman. That’s why a bissu candidate must be recognized as transvestite person. 

The third step is divine power test. A candidate should know the supernatural power because one of the famous performances of bissu is the ma’giri or self stabbing. To perform this, a bissu will take a sacred keris (knife) which had been passed down through many generations of bissu, and attempt to penetrate their skin with the keris. Bissu will even go to the extent of lying on the floor with the keris pressed into their throat. A bissu is not only mastering the spiritual power, but also know the magic spell. He will mediate the real world with spiritual world. He must learn torilangi language, the special language to communicate with spiritual world. 

The fourth step is inauguration. Before that, a candidate must follow the ritual of Irebba or contemplation in the sacred house. He stays in holy house for several days and rethinking his choice. If feeling uncertainly, he might cancel his decision. He should fasting for 40 years and after that he is bathed and shrouded with white cloth that is used to death people. After all, he is inaugurated as the new bissu. 

However, if someone is a transvestite person and interested to become a bissu, he must prepare his physical, his magic spell, his knowledge about Buginese culture. He must prepare himself to follow the long journey to become a high priest. 


Sensasi Jadi Headline (7)

SAYA agak terlambat menampilkan postingan beberapa tulisan yang jadi headline di Kompasiana, social blog terbesar dan paling terkemuka di negeri ini. Di banding tidak sama sekali, masih jauh lebih baik jika tetap menampilkannya, meskipun terlambat. Inilah daftar HL tersebut:





Inspirasi Paulo Coelho

blog Coelho


SAYA merasa sangat beruntung bisa menemukan blog pribadi milik Paulo Coelho, yang beralamat DI SINI. Sebagaimana novel Alchemis yang menggetarkan, isi blog Coelho adalah tetes-tetes inspirasi yang dikumpulkan melalui pengalaman selama puluhan tahun. Ia mengolah semua pengalamannya menjadi hikmah-hikmah yang kemudian disebarkan pada banyak orang. Paolo adalah seorang sufi yang tak pernah menyebut kata sufistik dalam setiap uraiannya.

Hampir setiap hari, saya rajin mengikuti tulisan-tulisannya. Hari ini ia seakan mengetuk pintu kesadaran saya ketika membahas tentang anak. Ia bercerita tentang pengalamannya saat dianggap gila seaktu remaja hingga tiga kali dikirim ke panti rehabilitasi. Ia hendak berkata bahwa mereka yang muda memiliki dunia sendiri yang seringkali tidak dipahami, malah dipaksakan oleh para generasi tua. Ia lalu berjanji kelak ia akan menuliskan pengalamannya agar semua anak muda bisa bertarung demi mimpinya. Kata Coelho, "I promised to myself that one day I would write about this experience, so young people will understand that we have to fight for our own dreams from a very early stage of our lives."

Saya makin tersentuh ketika ia mengutip puisi Gibran tentang anak. saya sudah pernah membaca puisi ini. Dulunya biasa saja. Tapi entah kenapa, saya tiba-tiba saja tergetar saat kembali membaca ulang. Kata Gibran, saya bisa memiliki tubuh seorang anak, tapi tidak pada jiwanya. sayaSbisa memberinya cinta, namun tidak pada pemikiran. Jiwanya merdeka dan berumah di masa depan, masa yang tidak mungkin saya gapai. Saya serupa busur dan dirinya adalah anak panah yang akan melesat jauh. Dirinya adalah milik kehidupan itu sendiri.

Inilah puisi Kahlil Gibran yang menggetarkan itu:


Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.


You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.


You are the bows from which your children
as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
and He bends you with His might
that His arrows may go swift and far.
Let our bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also the bow that is stable.


Tolong!!! Sahabat Saya Tertembak

sahabat muda yang tertembak


SOFYAN tertembak. Pesan itu saya terima di satu pagi melalui catatan seorang sahabat di Facebook. Nun jauh di Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar), Sofyan, sahabat yang berprofesi sebagai dosen tersebut tertembak di leher. Berposisi di tengah masssa yang sedang berdemonstrasi, alumni Ilmu Komunikasi, Fisip Unhas itu, menjadi sasaran empuk para penembak jitu di kepolisian. Tiga peluru tajam menembus tubuhnya hingga terkapar bersimbah darah.

Mulanya saya pikir ia akan sebagaimana sedia kala. Namun, dokter yang memeriksanya memberi pernyataan yang mengejutkan. Ternyata peluru itu menembus leher hingga tulang belakang ke pusat jaringan saraf. Ia divonis bakal menderita kelumpuhan dari leher hingga ke bawah. Bisakah kita membayangkan bagaimana seorang sahabat yang dulunya aktif dan lincah bergerak tiba-tiba mengalami kelumpuhan?

Saya mengenalnya sejak tahun 2001 saat ia terdaftar sebagai mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin (Unhas). Ia aktif berorganisasi dan kerap terlibat dalam kepanitiaan organisasi. Fisiknya kekar dan gempal. Dalam beberapa kegiatan, ia pernah menjadi tim keamanan. Setahu saya, sahabat itu kerap meledak-ledak. Ia bukan tipe seorang yang sabar dan tenang duduk di satu tempat. Ia sangat loyal pada organisasi. 

Saya ingat ia pernah menjadi ketua panitia Figur, kegiatan pelatihan buat mahasiswa baru. Ia sempat keringatan saat hendak memberikan sambutan. Tubuhnya basah kuyup. Namun momen itu menjadi momen penting yang kian menautkannya pada organisasi mahasiswa tempatnya bernaung. Ia membuktikan loyalitasnya sebagai aktivis kampus yang setia dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Menjadi aktivis memang nampaknya klise bagi sebagian orang. Kita sering menggeleng dan meremehkan ketika mendengar seseorang memilih aktif di jalan pedang, jalannya mereka yang mempertaruhkan kebenaran. Kita menganggapnya jalan sesat sebab bukannya jalan mereka yang hidup normal. Betapa kian pragmatisnya kita ketika mengabaikan mereka yang memilih jalan tersebut dan memperjuangkannya di tengah sinisme banyak orang. 

Saya tak hendak larut pada sinisme tersebut. Saya tahu bahwa ruang gerak saya amat terbatas untuk berkata tidak pada sebuah rezim yang lalim atau menyampaikan isi hati yang menggelegak. Makanya saya sangat menghargai siapapun yang mendedikasikan hidupnya di jalan pedang. Saya tak pernah melihat mereka sebagai mahluk aneh yang mengorbankan masa muda untuk mengasah pedang konflik. Bagi saya mereka adalah pahlawan yang menyampaikan sesuatu di tengah barisan massa yang memilih menjadi batu. Dengan cara ini saya sangat mengapresiasi posisi Sofyan ketika berada di Sulbar, saat menjadi staf pengajar di universitas Asy'ariah, Polewali Mandar, Sulbar. 

Bisa juga kita mengatakan bahwa ia hanya ikut-ikutan massa mahasiswa yang hendak mempertahankan aset kampus itu yang hendak digusur. Tapi apapun spekulasinya, yang jelas ia berada di tengah massa yang sedang meradang dan berdemonstrasi. Dan para aparat bersenjata itu tiba-tiba ikut beringas dan menghamburkan peluru pada warga sipil, pihak yang justru harus dilindunginya. Sofyan terkapar dan bersimbah darah. Saya sangat sedih ketika membayangkan sahabat yang berusia 27 tahun itu hanya bisa berbaring untuk menghadapi hari. Ia punya istri dan dua orang anak yang masih kecil. bahkan, saat ini istrinya tengah hamil muda. Apakah gerangan yang dilakukan sahabat muda itu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya? Saya hanya sanggup berempati. 

Seorang kawan berbisik ia akan menjalani hari sebagaimana fisikawan Stephen Hawking di atas kursi roda. Namun, Sofyan bukanlah Hawking yang sebelumnya divonis penyakit ganas, dan punya momen untuk menenangkan dirinya secara psikologis dan memikirkan hendak ke mana. Sahabat saya itu lumpuh karena tertembak, sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, semacam petaka yang tiba-tiba jatuh dan menyapa. Kita memang tak pernah sanggup menebak teka-teki nasib sebagaimana Sofyan yang tak sanggup membaca ke mana arah larinya tiga butir peluru. Nasib serupa kisah tentang malaikat bertudung dan mebawa arit dan tiba-tiba saja memilih siapapun hanya berdasarkan selera hati.

Sungguh saya menyangka jika sang nasib memilih sahabat muda itu. Saya amat sedih hingga tak mampu berkata-kata. Setiap hari saya merindukan berita gembira dan keajaiban, sebagaimana yang pernah Tuhan titipkan pada beberapa manusia yang sedang ditimpa lara. Namun apa daya, berita yang saya dengar adalah vonis kelumpuhan dari dokter yang merawat.

proyektil yang bersarang
Saat ini, beberapa teman tengah mengupayakan agar pelakunya dihukum seberat-beratnya. Dalam bayangan saya, aparat yang menembak itu mungkin saja kehilangan pekerjaan, namun ia masih bisa mencari pekerjaan pada jalur lain. Mungkin saja kelak ia akan menjadi bodyguard, atau pembunuh bayaran dengan keahliannya sebagai sniper yang pernah menjejalkan peluru ke leher Sofyan. Tidakkah ia berempati pada nasib korbannya yang mengalami kelumpuhan di saat mesti menghidup sebuah keluarga kecil?

Sementara bagi atasannya, kelumpuhan hanya dianggap sebagai efek samping dari sebuah operasi. Palingan, hukumannya adalah penundaan kenaikan pangkat, ataupun mutasi ke tempat baru, yang sesungguhnya menjadi dalih untuk melindungi karier. Kita memang hidup di sebuah dunia di mana penderitaan orang lain hanya dilihat sebagai penanda kecil dari sebuah berkas laporan. Kita susah menemukan kebesaran hati yang bersedia mengakui kesalahan dan bersedia untuk meletakkan jabatan sebagai wujud jiwa besar atas kesalahan. Di negeri ini kebesaran hati tiba-tiba saja menguap, tanpa meninggalkan jejak.

Rasa-rasanya suara ini kian parau ketika membahas tentang kesedihan atas Sofyan. Saya tak bisa menolerir pilihan untuk memuntahkan peluru pada warga sendiri. Mengapa harus Sofyan yang ditembak? Mengapa bukan Gayus Tambunan? Sejuta pertanyaan bersarang di benak ini. Kita seakan kembali ke zaman koboi ketika pistol setiap saat bisa menyalak, dan tiba-tiba ada tubuh yang rebah dan bersimbah darah, tanpa alasan jelas. 

Saya tak sekadar memikirkan Sofyan, saya memikirkan bahwa siapapun bisa menjadi korban berikutnya. Siapapun dan di manapun posisi kita pasti akan berhadapan dengan risiko menjadi sasaran tembak dari sebuah rezim. Kita sedang hidup dalam situasi ketidakamanan. Kita adalah rakyat yang ternyata tak dilindungi kekuatan besar bernama negara. Konsensus dan janji untuk melindungi itu tak lebih bualan dari para pemodal yang menguasai negeri para cukong ini. Dalam berbagai situasi, sebuah peluru bisa menyalak dan menembus tubuh hingga terkapar. Dan kita hidup di atas bara ketidakadilan hingga seribu pertanyaan menguap di kepala kita.

Dalam situasi seperti ini, di manakah posisi pemerintah? Di manakah posisi aparat? Mereka memang melindungi kita sebagai warga negara. Tapi bukankah kalimat itu hanya tercantum di konstitusi sebagai barang sakral yang dijaga-jaga? Bukankah kalimat itu tak pernah menjadi baju zirah yang melindungi Sofyan dari bahaya yang mengancamnya sebagai warga?

Maafkan karena saya tak sanggup berkata-kata lagi. Saya hanya bisa menangis lirih ketika mendengar isak sedih istri dan anak-anak Sofyan di belahan bumi sana. Di negeri ini, tangis sedih menjadi nyanyi sunyi yang terus terabaikan. Tangis sedih tak lagi menggetarkan. Hanya menjadi sebuah dengungan yang setelah itu lenyap. Dan di sana, di Sulawesi Barat, seorang sahabat hanya bisa berbaring di rumah karena tak sanggup menggerakkan tubuh. Di sana, seorang sahabat tengah mengetuk pintu hati kita. Seorang sahabat yang masih sangat muda.(*)


Jakarta, 22 Januari 2011

Motivator Versus Penceramah



DI satu toko buku besar di kawasan Matraman, saya menyaksikan seorang motivator tengah membawakan materi di sebuah ruangan yang penuh manusia. Suaranya meledak-ledak, sebagaimana penceramah yang sering saya saksikan di televisi. Para hadirin --yang dari penampilannya bisa diidentifikasi sebagai kelas menengah perkotaan dan para profesional-- tampak menyimak serius dan sesekali mengepalkan tangan ke udara saat diminta sang motivator. Mereka menjawab dengan penuh semangat saat ditanya tentang perlunya melakukan perubahan diri. 

Jakarta sedang kebanjiran para motivator. Hampir semua instansi tiba-tiba saja membutuhkan motivator, sosok yang dianggap bisa melejitkan semangat, menguatkan tekad, sekaligus membakar keinginan kuat untuk melakukan sebuah perubahan. Para motivator ini digaji dengan amat mahal, serupa gaji para manajer. Banyak di antara mereka yang dahulu adalah pengusaha sukses atau karyawan hebat, namun banting setir menjadi motivator. Kerjanya jadi lebih simpel sebab hanya memberi sugesti untuk membakar semangat dan setiap orang seolah merasa tercerahkan.

Seperti apakah peran seorang motivator? Setiap melihat motivator, saya tiba-tiba teringat dengan peran para koordinator lapangan (korlap) saat demonstrasi. Juga teringat sosok juru kampanye (jurkam) partai politik. Posisi mereka sama. Yakni bagaimana membakar semangat orang untuk melakukan sesuatu. Mereka menyentuh emosi sehingga publik menjadi antusias, menjadi lebih bergairah. Perbedaan mereka hanyalah kemasan. Jika seorang korlap melakukan aksinya di tengah massa, di tengah terik matahari yang memanggang tubuh, maka seorang motivator melakukannya di sebuah ruangan AC yang dingin, dengan publik yang rata-rata berpakaian rapi sebagaimana pakaian para pekerja profesional. Tapi, sebenarnya sama saja. Iya khan?

Itu dari sisi performance. Saya tak punya banyak pengalaman menyaksikan para motivator khususnya dalam hal bisnis atau pemasaran (marketing). Beberapa teman menceritakan bahwa para motivator memiliki kemampuan untuk membius seseorang sehingga siap menggapai target tertinggi dalam penjualan. Beberapa teman yang sering ikut training motivasi langsung bergairah untuk menggapai target, menggapai pelanggan sebanyak-banyaknya, dan langsung kaya-raya.


Namun, motivator yang paling laris adalah yang fokus pada motivasi hidup dan prilaku yang benar. Saya menyaksikan ini pada sosok seperti Mario Teguh, Kafi Kurnia, Andreas Harefa atau Erbe Sentanu. Mereka mengajarkan hal-hal sederhana, seperti bagaimana mencintai sesuatu, bagaimana menyayangi sesama, serta belajar kebijaksanaan dari hal-hal sepele yang dihadapi masyarakat kota. 

Saya tidak terlalu tertarik dengan motivasi seperti ini. Sebab yang dilakukan para motivator itu adalah menyarikan konsep universal dalam ajaran agama menjadi etika universal untuk masyarakat kota. Etika Islam, dipadu dengan etika universal dalam ajaran Kristiani dan Budhis menjadi etika atau pola yang menuntun hidup masyarakat kota. Memang, tak ada sesuatu yang baru di situ, sebab hanya daur ulang dari sumber-sumber kearifan yang ada dalam ajaran agama. 

Malah, ada motivator yang mengajarkan tentang sufisme perkotaan, meskipun tidak pernah menyebut kata sufi. Tapi dari sisi materi, ia mengemas ulang, khasanah kekayaan ajaran kesufian dan diberi label sebagai motivasi untuk masyarakat kota. Bagi sebuah masyarakat yang jarang menggali kearifan, itu menjadi wacana baru dan luar biasa mengejutkan. Tapi buat yang sering menggeluti khasanah bacaan spiritualitas, tentunya tak akan asing. Malah, gagasan sang motivator jadi sesuatu yang basi. Lantas, ada apakah gerangan? Mengapa profesi motivator tumbuh subur di negeri ini? Saya mencatat beberapa alasan menarik. 

Pertama, fenomena hadirnya motivator menjadi isyarat tidak menariknya metode penyampaian ketika dalam ajaran agama. Nilai-nilai itu kian surut sebab disampaikan dalam kamar-kamar sempit bernama agama sehingga pesannya menjadi amat terbatas. Metodologi penyampaian makna universal dalam ceramah mulai dianggap sebagai hal yang membosankan sebab seringkali penceramah tidak peduli dengan keinginan para pendengar, serta disampaikan dengan gaya monoton. Saya sering kesal dengan penceramah yang sering mengancam akan masuk neraka. Hidup ini sudah cukup memusingkan. Tak usah ditambah dengan ancaman-ancaman baru lagi. Bagi saya, penceramah, khatib, maupun pengkhotbah tidak pernah belajar psikologi massa serta cara menyampaikan pesan dengan lebih efektif. Gaya ceramah yang monoton serta menyalahkan situasi zaman yang dianggapnya penuh kemungkaran atau kemunafikan, jadi sangat tidak menarik di tengah massa yang membutuhkan pencerahan dan sudah lelah dengan hari-hari yang bergegas. 

Kedua, masyarakat kita memang membutuhkan sesuatu yang instant. Ini yang tidak ditemukan dalam ajaran agama. Sebab ajaran agama disampaikan dengan pesan yang lebih menekankan ritual. Sementara hal-hal semacam etika praktis justru banyak diabaikan. Padahal, etika praktis justru paling dibutuhkan sebab akan menjadi nilai yang mengendalikan prilaku serta tindakan dalam berinteraksi dengan siapapun. Masyarakat kita menginginkan sesuatu yang cepat saji. Orang-orang tak mau lagi bersusah payah merefleksikan segenap pengalamannya menjadi butiran hikmah yang bernilai untuk diterapkan dalam mengarahkan kemudi kehidupan. Semuanya ingin sesuatu yang sudah jadi. Bahkan untuk kalimat bijak --yang mestinya lahir dari hasil bacaan serta refleksi atas perjalanan hidup seseorang—orang-orang ingin langsung mencomotnya saja. Tanpa proses refleksi atau pendalaman.

Ketiga, munculnya banyak motivator bisa menjadi isyarat bahwa masyarakat kita tengah menghhadapi penyakit serius berupa keletihan menghadapi irama kehidupan yang kian mengalir cepat. Pilihan untuk berumah di kota bukanlah pilihan yang mudah, sebab seseorang akan kehilangan waktu sebab dihabiskan di perjalanan, serta menghadapi situasi yang penuh ketidakramahan dalam situasi ketika orang-orang tidak saling mengenal, tak adanya orang yang bisa jadi panutan, serta krisis nilai yang mendera masyarakat. Perkotaan menjadi wilayah di mana segala hal menjadi permisif sehingga nilai-nilai sering jadi kabur. Seseorang diajari untuk menyayangi keluarga, namun bekerja dalam irama yang tinggi serta target-target, bisa mengubahnya menjadi sosok yang mulai melupakan keluarga. Bukan berarti sama sekali tidak peduli pada keluarga, namun seseorang kehilangan perhatian untuk hal-hal kecil, meskipun itu hanya untuk menemani seorang anak mendongeng atau menciumnya saat hendak tidur. 

Ketika seorang motivator hadir dan memberikan bisikan tentang perlunya membangun hubungan emosional, seseorang tiba-tiba saja terisak. Padahal, tak ada yang baru dari ajaran sang motivator. Ia hanya mengingatkan kembali pesan-pesan tradisional yang sebenarnya sudah diketahui orang-orang.

Keempat, masyarakat perkotaan adalah masyarakat yang pada dasarnya merindukan nilai-nilai spiritualitas seperti kebajikan, atau kasih sayang. Mereka amat spiritual, namun tidak berkesempatan untuk menggali spiritualitas tersebut sebab tenggelam dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Mereka sibuk dengan pekerjaan, memulai hari dengan ke kantor pada pagi hari, lalu kembali ke rumah pada malam hari. Mereka kehabisan waktu untuk mengejar kekayaan, sehingga merindukan nuansa emosional yang menyejukkan hati dan menyegarkan pikiran. Dalam kondisi yang demikian sibuk, mereka mudah rindu dengan kearifan tradisional berupa petuah bijak sehingga mereka bisa belajar dari hal-hal sederhana yang dialami dalam hidup. 

***

Pada akhirnya, motivasi menjadi hal esensial yang dibutuhkan masyarakat kota. Di tengah masyarakat yang mengalami krisis nilai dan tujuan hidup, krisis etika praktis, krisis percaya diri sehingga kehilangan dunia sosial, serta krisis kasih sayang, maka seorang motivator akan selalu hadir memberikan jawaban yang singkat, namun praktis untuk diterapkan. Ini juga menjadi pertanda kian monotonnya metode penyampaian ajaran agama sehingga gagal menjadi jawaban atas pencarian masyarakat kota. Seorang kawan yang rajin mengikuti training motivasi kerap menjawab singkat, “Saya tidak ingin jadi orang alim yang rajin baca kitab. Saya hanya ingin jadi orang baik yang memberi makna bagi siapapun.”


Jakarta, 16 Januari 2011


Pesan Imam Ali

“Orang yang intropeksi diri pasti mendapat kemenangan. 
Sementara orang yang lalai pasti merugi. 
Orang yang takut pasti mendapat keamanan. 
Orang yang belajar pasti mengetahui. 
Orang yang mengetahui pasti memahami. 
Dan, orang yang memahami, itulah ilmu yang sebenarnya."

(Ali bin Abu Thalib)

Nagabumi II: Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang

BEBERAPA hari ini, saya sering singgah ke Toko Buku Gramedia untuk melihat-lihat kalau-kalau ada buku terbaru. Saya sudah lama merindukan bacaan berupa fiksi yang kalimat-kalimatnya mengalir deras serupa anak sungai. Saya merindukan fiksi yang tidak cuma membakar sanubari kita serupa kertas tipis hingga menyala-nyala, namun fiksi yang sanggup membekukan, lalu mencairkan hati kita perlahan-lahan. Namun sayang sekali, saya belum bertemu kisah fiksi yang sanggup membakar sekaligus mengembun.

Nagabumi II

Hari ini, saya membaca website yang menginformasikan bahwa karya terbaru Seno Gumira Adjidarma yang berjudul Nagabumi II: Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang Sudah beredar. Saya tersentak dan tidak sabaran. Tiba-tiba saja adrenalin saya terpacu untuk segera memiliki buku itu. Setahun lalu, saya telah membaca Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk. Novel ini adalah genre silat yang sudah lama saya nanti-nantikan. 

Saat membaca Nagabumi I, saya membayangkan para pendekar yang tidak cuma digdaya saat bertarung cepat bagai kijang, dengan tubuh seringan capung saat menapak di atas daun, namun para pendekar yang menemukan filsafat dan kesempurnaan hidup melalui setiap detail pertarungan yang dilewati. Saya menemukan kisah pendekar yang mencapai kebijaksanaan, pendekar yang memperlakukan sebuah pertarungan laksana puisi yang kadang merobek-robek, namun sesekali serupa angin lembut yang menghampar.

Nagabumi I berkisah tentang pendekar tanpa tanding yang tak terkalahkan. Ia tak bernama sehingga disebut Pendekar Tanpa Nama. Ia berkelana di masa-masa ketika Candi Borobudur hendak berdiri. Ia lahir dari rakyat jelata, dan tidak memanggul tugas suci sebagaimana kisah pendekar yang serupa para rasul. Ia manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar, namun tidak hendak tunduk pada siapapun. Ia berkelana sesukanya, mencari kesempurnaan hidup, dan menghadapi silih-berganti pendekar yang hendak mengalahkannya dalam adu pertarungan agar tersohor di rimba persilatan.

Sepintas, Tanpa Nama seperti kisah Kenji Himura, tokoh dalam serial kartun Samurai X, atau seperti Pedang Patah, dalam film kolosal Hero. Tanpa Nama hendak mengasingkan diri dari rimba persilatan. Namun, ia terus dikejar-kejar para pendekar yang ingin tersohor karena mengalahkannya. Maka berkelanalah ia menjangkau jantung peradaban Jawa, menjangkau tanah Sumatra, hingga ke Campa (Vietnam), Burma, dan negeri Tiongkok. Ia memulai petualangan di dunia yang manusianya saling menjajal kesaktian. Di sini tersaji petualangan, angkara murka, cinta kasih, serta hasrat kuat untuk menemukan kesempurnaan. 

Rahasia Nagabumi II

Seperti apakah kisah Nagabumi II? Dalam website pribadi milik seno, di situ terdapat sinopsis kisah. Di situ tertulis sebagai mana uraian di bawah:

Mengikuti hasrat pengembaraan, Pendekar Tanpa Nama dari Javadvipa tiba di Tanah Kambuja pada tahun 796. Perjumpaan dengan seorang perempuan pendekar, membuat ia terlibat berbagai pertarungan maut yang setiap kali nyaris mencabut nyawanya. Bersama perempuan pendekar itu, ia bergabung dengan pasukan pemberontak An Nam yang melawan penjajahan, yang kemudian membuatnya wajib melakukan perjalanan rahasia ke Negeri Atap Langit untuk membongkar persekongkolan.

Kesetiaan dan pengkhianatan, sihir dan nalar, silat dan filsafat, cinta dan birahi, mengharubiru petualangan Pendekar Tanpa Nama yang harus mengatasi tantangan alam luar biasa antara dongeng dan kenyataan. Mengapa ia terdampar di kampung pelarian Pemberontakan An-Shi? Bagaimana caranya Pendekar Tanpa Nama mengatasi gungfu Perguruan Shaolin? Apa yang membuat perjalanannya berbelok ke Shangri-La dan terpaksa menghadapi para penyamun terbang? Nagabumi, autobiografi Pendekar Tanpa Nama, yang ketika menuliskannya selalu diganggu para pembunuh bayaran!

Wow! Saya tak sabar membacanya. Sayang sekali, harganya cukup mahal untuk ukuran kantong saya. Namun, untuk apa membahas masalah harga buku jika kepuasannya serupa meminum sebuah ramuan yang menguatkan jiwa, menghadirkan imajinasi yang melayang-melayang, hingga tubuh yang terus bergerak dan menemukan kesempurnaannya? Bukankah semuanya itu tak ternilai oleh materi?

BACA JUGA:



Tafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton


Respect akan segera menerbitkan buku baru. Posisi saya adalah sebagai konsultan dan salah satu penulis dalam buku tersebut. Sahabat saya Mukmin berperan sebagai editor baru yang selanjutnya akan menggantikan peran dan fungsi saya di Respect. Lembaga ini memang butuh kaderisasi. Saya ingin menyebarkan virus menulis pada semua sahabat di daerah. Saat ini Mukmin sedang menikmati peran barunya, kelak sahabat lain yang akan menjalankan peran tersebut.  Dengan cara ini, Respect akan terus berkembang di masa mendatang.

Setiap melihat sampul-sampul buku Respect, ada bahagia yang terselip dalam benak. Saya tidak menyangka, sebuah lembaga yang awalnya dibuat dengan sedikit main-main, ternyata bisa memublikasikan beberapa buah buku. Saya tidak menyangka betapa energi kreatif dan semangat untuk berkembang bisa membuahkan karya-karya.

Saya bangga karena di saat banyak orang hanya bisa berceloteh dan mengklaim dirinya sebagai ilmuwan, namun tak selembarpun buah pemikiran yang dilahirkannya, sementara anak-anak muda di Respect akan segera menerbitkan enam buah buku. Dalam diam, kawan-kawan muda tersebut  telah menghasilkan karya-karya yang kelak akan abadi dan menjadi bukti pencapaian kebudayaan hari ini, mensintesakan berbagai pemikiran, membangun jaringan intelektual, dan melahirkan bacaan yang abadi di ruang waktu.

Semoga karya-karya tersebut akan semakin berkembang di masa mendatang. Amin!

Misteri Patung Berdasi

patung sosok berjas dan dasi di lereng Gunung Lawu

Patung ini ditemukan di lereng gunung Lawu di satu tempat yang diyakini sebagai bekas situs Kraton Wiroto Wetan. Saya mendapatkannya dari grup Geger Nuswantara yang intens mengkaji temuan benda arkeologis. Uji laboratorium menunjukkan bahwa patung ini diperkirakan berusia lebih dari 500 tahun sebab dibuat pada masa kerajaan Majapahit. Patung ini disimpan di rumah salah satu penduduk di sekitar situs tersebut.

Apa yang menarik dari patung ini? Patung ini adalah sosok yang memakai jas, dasi kupu-kupu, dan dasi panjang. Padahal jas mulai dikenal sejak tahun 1800. Patung ini menjadi luar biasa sebab bisa menjadi patokan awal bahwa pada masa kerajaan dulu, manusia setempat telah mengenal bentuk pakaian berupa jas dan dasi. Benarkah?

Ini hanyalah asumsi yang mesti dibuktikan lewat argumentasi yang kokoh. Kerja ilmu seperti antropologi dan arkeologi adalah memberikan interpretasi atas berbagai fenomena yang disaksikannya. Analisis ilmiah atas temuan masa silam, serupa menebak-nebak apa gerangan yang dipikirkan manusia pada zamannya. Lantas, analisis apa yang bisa kita berikan melihat patung manusia modern yang merupakan produk masa 500 tahun yang silam?

Asumsi yang pantas dikemukakan adalah manusia masa silam memiliki penerawangan atas masa depan. Mereka memiliki kemampuan untuk mengendalikan waktu dan menemukan kenyataan bagaimana sosok manusia masa depan serta pakaiannya kelak. Mungkin mereka sempat bertandang ke masa depan dengan mata batinnya, melihat langsung bagaimana hutan belukar telah menjadi kawasan perkotaan, dan bagaimana manusia masa kini memakai pakaian.

Seorang sahabat di milis Geger Nuswantara punya analisis lain. Katanya, patung ini seolah menggambarkan sosok orang Eropa yang berhidung mancung dan tertawa lebar. Bisa saja, nenek moyang kita hendak melacak sejarah kekalahan negeri ini di masa depan dan menemukan fakta yang menyedihkan. ternyata keturunannya di masa depan justru dikalahkan manusia berdasi dan berjas sebagaimana patung yang kemudian dibuatnya. Ada kesedihan, namun ada ikhtiar untuk memberitahu zaman bahwa seperti inilah sosok yang memenangkan masa depan.

Saya sendiri punya asumsi. Bisa jadi manusia masa silam menyaksikan seseorang yang datang dari masa kini yang datang dengan menggunakan mesin waktu dan mengenakan jas serta dasi? Nenek moyang kita melihatnya, kemudian menjadi inspirasi untuk membuat patung seperti ini. Bukankah asumsi ini juga masuk akal?

Memang, berbagai asumsi mesti dikemukakan untuk menjawab misteri masa silam. Namun jika manusia masa silam sanggup menggambar sosok kita di masa kini, lantas, mengapa kita tak sanggup menggambarkan sosok manusia masa depan dan dijadikan artefak sebagai bukti sejarah akan kejeniusan penerawangan kita? Bisakah kita melakukannya dengan menciptakan mesin waktu?

Ah, mungkin saya kebanyakan nonton film fiksi. Lantas, apa analisis yang kira-kira tepat dan masuk akal saat mengamati patung ini? Marilah sama-sama menafsir satu set kenyataan bersama-sama.(*) 

Kristen Ambon yang Bersahaja

sosok J Leimena

BARUSAN saya menyaksikan film dokumenter tentang dr J Leimena, seorang dokter asal Ambon yang kemudian menjadi tokoh pergerakan nasional. Dalam dokumentar yang ditayangkan MetroTV, saya menyaksikan sejumlah narasumber seperti ahmad Syafii Ma'arif, dan Anhar Gonggong. mereka membahas ketokohan, kontribusi, serta kiprah leimena di kancah pergerakan nasional.

Saya menikmati dokumenter ini. sebab leimena adalah salah satu tokoh sejarah yang terpinggirkan dari sejarah resmi kita. Pada masa orde lama, ia menjadi sosok yang sangat dekat dengan Bung Karno, bahkan pada detik-detik jelang Bung Karno meninggal. tayangan ini kian menegaskan keyakinan bahwa negeri ini telah melahirkan banyak tokoh besar, namun disingkirkan oleh kekuasaan.

Apa yang paling menarik dari Leimena? Menurut saya terletak pada pandangannya tentang kekristenan. inilah gagasan penting yang saya temukan dalam dokumenter ini. Bagi Leimena, kekristenan tidak terpisah dari kebangsaan. Baginya, kekristenan menyatu dengan semangat keindonesiaan sehingga menjelma sebagai spirit yang meniupkan ruh bagi semangat kemerdekaan.

Menurut saya, ini adalah pandangan yang sangat revolusioner. Pandangan Leimena mengingatkan saya pada semangat teologi pembebasan yang pernah didengungkan di Amerika Latin yang dipimpin para pastor yakni Gustavo Guitterez dan Mgr Oscar Romero. Hebatnya, Leimena melakukan sintesa itu dalam konteks keindonesiaan sehingga sebuah ajaran bisa menjadi pedang yang menebas keangkuhan kolonialisme.

Leimena melengkapi barisan tokoh yang berpikir kontekstual dan menjawab masalah yang dihadapi bangsanya. ia seperti Sukarno, Hatta, sjahrir, dan Tan malaka, tokoh-tokoh besar yang menjawab masalah bangsanya dengan berpikir kontekstual, dan tidak menjadi intelektual yang mengkopipaste pemikiran barat untuk diterapkan. Dengan cara berpikir kontekstual, maka mereka telah memberikan kontribusi berharga bagi bangsa ini.(*)

Saatnya Bergegas

LIBUR telah usai. Saatnya bergegas kembali pada rutinitas. Saya kembali harus belajar, mengerjakan tugas-tugas, dan bersiap-siap menghadapi stres karena ujian. Sebenarnya, saya masih menginginkan liburan. tapi saya tidak berdaya di tengah situasi seperti ini. Pilihan terlanjur diambil. Mundur dari sini adalah sebuah kebodohan besar sebagaimana jalannya para pecundang. Jalan terbaik adalah menghadapi semua pilihan tersebut dengan hasil maksimal. Saya mesti menggapai finish sebagai bagian dari para pemenang. Bukannya sebagai pecundang!

A New Year Party and The Cultural Contradiction of Modern People

I always wonder why the modern people celebrate a new year. And why many people wish to do something in the special moment like a new year. As a tradition, a new year is celebrated in various way. Yesterday, many people in Jakarta celebrated a new year with fireworks and firecrackers. They come together in around National Monument with their relatives. They watched musical performance and dance. In other side of Jakarta, i hear a news about many people who celebrate new year with pray. Maybe this is a spiritual way to encounter a new moment.

In the middle of a new year night, i watched the news about tradition to celebrate new year in many culture. The people in United States come to Manhattan and enjoyed the celebration. But i shocked when watched a news about Korean people who celebrated new year with sex party. Wow!

Maybe we live in crazy century which usually never gives an explanation about why and how. We have done some activities without reason or an explanation. We just flow like the river and follow the desire in our heart. But how social scientist explained this phenomenon? 

I ever read Cultural Contradiction of Capitalism which was written by Daniel Bell.  Bell says that there is always a contradiction between economic and cultural in modern people’s way of thinking. In the day, we live with economic principal like rationalism and economical thrift. We work hard to get much money. But in the night, sometimes we spend all of our money in entertainment sections. Entertainment is like a prime need for modern people that makes them to earn more money and to satisfy themselves. Bell says this is a cultural principal. And he also says that both economical and cultural principal always compete and fight in modern people mind. 

We sometimes wonder why many people spend all of money in a new year’s party. They want to release their tired, to enjoy themselves, and to celebrate the freedom from the cage in work activity in the day. According to Daniel Bell, the modern people interpret a new year’s moment as catharsis to release their tired and unpleasant feeling in the day. Are you agree with me?

Terimakasih Timnas Indonesia

TIM nasional gagal menjadi juara. Keseblasan yang dijuluki Tim Garuda itu harus menelan pil pahit di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Di sekitar rumah saya, petasan meluncur ke udara dan berdentum seolah hendak mengabarkan kesedihan ke seluruh anak negeri.

Hamka Hamzah tergeletak di belakang
pemain Malaysia (Foto: Agus Susanto/ Kompas)

Sebuah tim yang sedemikian anggun memperagakan tarian bola selincah reog Ponorogo, dengan keindahan serupa lukisan batik, harus menerima kenyataan pahit dari tim negeri seberang yang kerap pongah dan mencaplok kekayaan budaya negeri ini. Sebuah tim yang kelincahannya serupa tari pendet yang mengerling menawan di babak penyisihan, tiba-tiba porak-poranda dalam laga di Malaysia, meskipun memetik kemenangan tipis di Gelora Bung Karno.

Saya termasuk orang yang tertegun menyaksikan itu. Mulanya, saya tiba-tiba merasa kesepian. Selama beberapa saat, saya hanya bisa mematung dan tak bisa berkata-kata. Saya memang pendukung fanatik tim nasional. Bersama jutaan warga, saya tengah merayakan nasionalisme yang ditarik hingga titik tertinggi. Ini Indonesia, Bung! Inilah bangsa yang warganya rela melakukan apapun atas nama negeri.

Bung! Anda sedang bermain di stadion bernama Gelora Bung Karno, yang menyandang nama Sukarno, sosok inspiratif yang membawa bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Sukarno, nama yang menggetarkan itu, masyhur dalam sejarah dan pernah didatangi pemimpin Malaysia yang ingin menggabungkan negeri. Takdir kita memang berbeda. Dalam tuturan Sukarno, kita lahir dalam kurun sejarah yang berbeda. Kami lahir dari percikan-percikan kisah tentang keperkasaan untuk menegakkan kedaulatan atas negeri ini. Kami lahir dari semangat garuda yang membumbung tinggi dan menjebol kolonialisme.

Tapi, dalam permainan semalam, bola sungguh menunjukkan rigoritas kuasanya: Manusia tak bisa memastikan kemenangannya. Di sini jelas, bahwa bukan awal, melainkan akhirlah yang menentukan. Persis, seperti dikatakan pesepakbola kondang Michel Platini, “Dalam bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya.” Manusia mengira awal adalah segalanya. Bola mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya. Maka, bila sudah menggelinding, bola adalah dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch: “Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.”

Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, efisiensi, kalkulasi, atau rasionalitasnya. Ya, terhadap dunia modern yang benci terhadap irasionalitas dan nasib ini, bola mengharuskan mereka mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas manusia itu. Di ajang Piala AFF ini, nujuman Bloch seakan mengejawantah pada tim garuda. Spektakuler di awal laga penyisihan, namun terkapar justru di titik akhir. Mereka jatuh justru karena mereka sedang berada di titik atas sehingga kehilangan daya untuk refleksi dan menata ulang formasi tari pendet dan reog ponorogo menjadi darah tim nasional.

Tapi apapun hasil pertandingan, di stadion itu, saya melihat semangat yang menggila. Saya merinding melihat permainan tim nasional yang terus menjebol tanpa kenal lelah. Nasuha, Bustomi, dan Firman bertarung tanpa kenal lelah. Mereka seperti garuda terluka yang mempertaruhkan kehormatan dan harga diri bangsa. Di situ, saya tidak sedang melihat sebuah keseblasan yang tengah berjuang menggapai point penting kemenangan. Saya melihat mereka sebagai pejuang-pejuang bangsa yang mempertaruhkan nyawa dan kehormatan bangsa hingga titik akhir.

Inilah bangsa Indonesia dan masyarakatnya yang saya cintai. Kalian -para pemain bola yang luar biasa itu– telah mempertontonkan bahwa bangsa ini tidak akan pernah menyerah hingga detik akhir. Kalian memperlihatkan ciri khas anak muda yang tengah merayakan kegembiraan lewat sepakbola. Bola adalah arena tempat mereka bermain lepas, tanpa harus terbebani dengan politik ala generasi tua yang sibuk berebut pencitraan. Yup. Generasi tua itu adalah generasi yang tak kenal sejarah. Mereka adalah generasi yang hanya bisa mengklaim kemenangan kalian, namun saling tuding ketika kalian kalah. Mereka yang hanya bisa diam ketika melihat kalian terluka dengan darah yang menetes-netes saat berjibaku di lapangan itu, namun demikian pongah ketika kalian menang.

Muhammad Ridwan (merah) berusaha
melewati kepungan pemain Malaysia (foto: Dhoni Setiawan/ Kompas)

Tapi lapangan ini tetaplah milik kalian. Kalian memang anak-anak muda yang punya tafsir sendiri atas politik. Di saat mereka mengkilaim semua kemenangan itu, kalian telah bekerja tanpa kenal lelah untuk bangsa ini. Lapangan ini menjadi saksi dari kebahagiaan bermain bola di tengah samudera dan gelora nasionalisme yang berkobar-kobar. Lewat permainan menawan itu, kalian telah menunjukkan bahwa negeri ini bisa bersatu, melupakan perbedaan, dan bersikap jauh lebih sportif dari negeri maling yang kalian hadapi, negeri yang kemerdekaannya adalah hasil mengemis pada bangsa lain.

Indonesia memang kalah di pertandingan itu. Tapi semangat itu telah memincut hati kami para pencinta sepakbola. Inilah bangsa kita, yang tak akan pernah menyerah hingga titik akhir. Mereka boleh saja memenangkan pertandingan ini, tapi kita memenangkan banyak hal, termasuk sportivitas, serta darah juang sebagaimana para pendiri bangsa ini yang telah melepaskan apapun.

Saya menyaksikan rona sedih terpancar di wajah Bambang Pamungkas. Sejak awal turnamen, saya kepincut dengan kedewasaan serta kematangan Bambang. Beliau adalah pemain paling bijaksana, berpikir positif dan membangkitkan semangat. Di saat banyak orang pesimis atas hasil di Malaysia, Bambang tetap percaya diri. Ia mengatakan, “Football is an unpredictable thing.. Some results will make you shock, but that’s the thing that makes it passionate, the mystery in it.”

Bambang selalu menghibur semua pemain dengan mengutip kalimat sang pelatih Alfred Riedle, “Hey,, saya tidak ingin melihat kalian semua berjalan tertunduk saat keluar dari ruangan ini. Malam ini kita memang tidak bermain baik, akan tetapi perjuangan ini masih belum selesai dan kalian semua harus ingat itu..!!”..

Semalam, kalimat optimisme Bambang telah saya saksikan lewat permainannya di lapangan. Ia telah mentransformasi dirinya menjadi filsuf bola yang membangkitkan sesamanya. Ia serupa Diego maradona dalam Piala Dunia 1986 yang inspiratif dan jadi nyawa bagi tim. Bagi Bambang, dalam sebuah pertandingan sepakbola. Setiap kemenangan akan membuat tim menjadi lebih percaya diri dan lebih baik sebagai sebuah tim. Akan tetapi setiap kekalahan juga mampu membuat tim menjadi lebih dewasa dan kebih kuat, jika kita mampu menyikapinya dengan cara yg bijaksana. Akan selalu ada pelajaran yg dapat kita petik dalam setiap kekalahan.

Semalam, usai kalah, ia memimpin doa penutup di ruang ganti. Sebelum berdoa, ia setengah berteriak dan mengatakan, “Rekan-rekan kekalahan ini harus berhenti di ruangan ini. Kita tidak memerlukan pembahasan yg lebih panjang mengenai apa yg terjadi malam ini, tidak ada saling menyalahkan tentang apa yg terjadi di lapangan tadi. Kita menang bersama-sama dan sudah seharusnya kita juga kalah bersama-sama”.

Luar biasa! Kalian telah menyalakan nasionalisme di dada ini. Terimakasih atas permainan yang menawan ini.(*)


Jakarta, 30 Desember 2010

Tulisan ini telah dimuat di Kompasiana