Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Hari Terakhir sebagai Bujangan

INI adalah hari terakhir sebelum janji suci diikrarkan. Barangkali ini pulalah tulisan terakhir yang saya goreskan sebagai seorang bujangan. Masa bujangan ibarat sebuah layang-layang putus yang bebas terombang-ambing ke manapun. Masa bujangan adalah masa yang bebas dalam pengertian bahwa dirimu berhak melangkahkan kaki ke manapun, tanpa harus berpikir tentang seseorang yang menunggumu di rumah atau seseorang yang mesti kau pastikan apakah sudah makan ataukah belum.

Hari ini saya agak gamang. Masa bujangan ini terlampau menyenangkan dijalani. Tapi berkubang dalam kesenangan itu ternyata membosankan pula. Sesekali kita ingin keluar dari zona nyaman dan memasuki tantangan-tantangan baru yang kelak akan mendewasakan kita. Masa bujangan ini akhirnya membosankan juga. Siapa sih yang tidak bosan jika bergerak terombang-ambing sepetrti layangan putus tanpa jelas hendak ke mana? Meskipun untuk menjalani tantangan itu kita mesti menegarkan diri, menguatkan iman agar tetap pada satu garis lurus yang menuntun kita ke jalan kebenaran.

Saya memilih keputusan untuk menjadi layangan dengan benang yang terikat erat. Walau jauh mengangkasa, setidaknya saya tidak akan lepas ke mana-mana sebab ada benang yang menahan laju terbang hingga tetap memandang bumi. Tanpa benang, takkan ada layangan. Sebaliknya, tanpa layangan, benang mustahil mengangkasa. Melalui pernikahan, saya mengikatkan diri saya pada satu sosok yang kelak menjadi partner dalam mengarungi bahtera kehidupan. Saya ingin mengangkasa dalam tarikan benang sehingga selalu kembali ke bumi.

Saya bahagia dengan semua pilihan ini. Walaupun pernikahan itu ribet dan rumit. Kelak saya ingin menuliskannya.

Pernikahan Ajaib

SERING saya berpikir bahwa kesediaan untuk menikah antara dua insan adalah sesuatu yang ajaib. Betapa tidak, dua manusia yang terlahir dengan asal-usul berbeda tiba-tiba saja bersedia dipersatukan dalam satu jalinan kasih, bersama membangun konsensus untuk saling menjaga dan mengasihi, serta menguatkan komitmen untuk menumbuhkan cinta di hati masing-masing. Bukankah ajaib dan luar biasa tatkala dua insan dari latar yang berbeda tersebut tiba-tiba langsung mengkristal jadi satu? Bukankah ajaib ketika tumbuh kesediaan untuk saling menjaga, melahirkan generasi baru dan meniti di atas sebuah janji untuk sehidup semati hingga waktu menelan?


Hingga kini --bahkan menjelang nikahpun-- saya tetap merasa bahwa kesediaan itu adalah hal yang amat ajaib. Mungkin Anda atau siapa saja boleh punya alasan sendiri. Tapi sampai detik ini saya tak punya alasan. Bahkan sampai kepala ini dipaksa berpikir menemukan jawaban, tetap saja tak ada jawaban yang melintas. Semuanya terjadi begitu saja secara alamiah.

Namanya Dwiagustriani. Wanita Bugis yang dari a sampai z amat berbeda dengan saya. Titik kesamaan kami adalah kami sama-sama suka bercanda dan menulis. Kami sama-sama blogger dan terbiasa menuangkan pikiran melalui media online. Saya membangun blog pribadi, sementara dia DI SINI. Saat Kompasiana mulai hadir, kami lalu sama-sama bergabung dan meramaikan dunia kepenulisan DI SINI. Saya memilih jenis tulisan yang populer, sesuai selera pasar, namun tidak kehilangan muatan filosofis. Tidak dengannya (akunnya DI SINI). Ia masih setia dengan tulisan gaya reflektif khas dirinya. Pada titik inilah kami bertaut. Saya tak mau mendiktenya. Toh, melalui menulis kita sama-sama merayakan kebebasan.


Kami juga sama-sama menyukai petualangan. Kami suka jalan-jalan mengunjungi bangunan tua, ataupun tempat-tempat wisata yang banyak bertebaran di senatero Makassar. Meskipun saya pernah berdomisili di Jakarta dan Depok selama beberapa tahun, tetap tidak menghalangi jalinan kasih yang kami rajut sama-sama hingga kokoh. Nah, blog dan internet menjadi tempat kami bertemu, menyelami labirin pikiran masing-masing dan menemukan kalau-kalau rajutan kasih itu masih bertaut.

Sungguh, saya tidak menyangka bisa tiba pada titik ini. Di saat pernikahan kami tinggal menghitung hari, masih banyak misteri antara saya dan dia yang hendak saya sibak. Saya masih saja bertanya-tanya, mengapa pula saya harus memilih dia dan mengapa pula dia dengan entengnya bersedia menjalani hidup dengan saya. Saya bukan seorang borju, satu kelas sosial yang disebut Karl Marx sebagai kelas berpunya. Justru saya adalah seorang proletar yang saban hari sudah mengais-ngais rezeki demi melihat matahari pagi. Saya adalah seorang manusia yang tidak seberuntung mereka yang mengumpukan butir demi butir berlian. Saya hanyalah pengumpul receh demi receh untuk mengganjal hidup sehari dan keesokan harinya harus mencari-cari lagi.

Pernah suatu malam, saya sengaja memeriksa bagian belakang kepalanya. Kata seorang teman, jangan-jangan dia pernah jatuh di kamar mandi sehingga ada bagian yang korslet di otaknya. Buktinya, kok tiba-tiba saja dia mau seperahu dengan seorang pria dekil, miskin, jelek, dan hancur seperti saya. Maaf, saya tidak bermaksud untuk merendah sebab semuanya adalah fakta tentang diri saya (hiks..).

Tadinya saya pikir teman itu sedang bercanda. Tapi semakin lama dipikir, saya jadi penasaran. Jangan-jangan dia pernah jatuh sehingga mempengaruhi kejernihannya dalam berpikir serta menjatuhkan pilihan. Suatu hari, saat saya bersama dengannya, saya lalu minta izin memeriksa belakang kepalanya, pada bagian yang ditutupi rambut. Aneh, saya tak menemukan benjolan di situ.

Padahal, saya berharap teman saya benar kalau ada bagian yang korslet. Jika ada benjolan, saya bisa tahu alasan mengapa dia memilih saya. Tapi dengan tidak adanya bejolan itu, maka alasan apa pula yang kira-kira menggerakkan hatinya untuk memilih saya? Ah... saya tak punya satupun jawaban selain kata ajaib. Iya khan?


Dia memilih saya karena ada sesuatu yang ajaib telah menggerakkan hatinya, menggoyahkan imannya, menggetarkan seluruh jiwa raganya, membersitkan sesuatu dalam batinnya bahwa sayalah sosok terpilih yang bersamanya kelak akan mengucap janji suci di atas altar pernikahan. Ada sesuatu yang ajaib telah berbisik dalam jiwanya bahwa sayalah yang akan menemaninya menerabas semua onak dan duri-duri kehidupan untuk menemukan satu jalan yang lempang tempat dirinya mengukir sebuah prasasti keabadian sebagai pertanda kepada zaman mendatang bahwa dirinya pernah ada.

Bahwa sesuatu yang ajaib itu pulalah yang menggerakkan dirinya untuk menentukan semua pilihan. Sesuatu yang ajaib telah menuntunnya untuk tiba pada satu pilihan bahwa sayalah yang kelak membantunya menelusuri labirin kehidupan, dengan lentera yang sama kami pegang, meskipun sesekali tertatih dalam kegelapan. Perahu cinta kami akan melewati hadangan dan gelombang samudera kehidupan, dan akan diuji sejauh mana daya tahan kami melalui semuanya. Kami adalah nakhoda kehidupan yang bermodalkan nekad namun berani mengarungi samudera dengan komitmen kecil yang kami ikrarkan di pantai sebelum menaikkan layar.

Alam semesta (terserahlah jika kamu hendak menyebutnya Tuhan) telah mengatur semuanya. Kasih kami bertaut, membelit, dan disuburkan oleh keajaiban-keajaiban kecil. Kini, tanaman cinta yang dahulu hanyalah sebuah kecambah, telah memasuki fase yang amat membahagiakan. Kami telah tiba pada titik ini yakni membangun sebuah komitmen dalam altar suci pernikahan. Wow,…. Bukankah ini sesuatu yang ajaib?


Bahaya Ciuman KD


SUNGGUH, saya tak sedikitpun hendak mempermasalahkan adegan ketika Krisdayanti (KD) mencium Raul Lemos. Urusan cium-mencium adalah urusan mereka sebab mereka punya hak asasi untuk melakukannya. Persoalannya, ciuman itu hadir di televisi yang menyentuh ranah publik, mulai dari orang dewasa hingga kanak-kanak. Saya tidak sedang bercanda. Hari ini saya menyaksikan hampir semua infotainment menayangkan adegan cium tersebut yang kemudian disaksikan jutaan rakyat Indonesia.

Rabu (21/7) lalu, KD dan Raul lemos memperlihatkan kemesraan secara terbuka. Mereka sepakat bicara terus terang tentang hubungan mereka berdua. Menjelang acara jumpa pers, keduanya tanpa sungkan berciuman dan saling memegang tangan saat berbicara dengan media. Raul juga tak malu mengatakan dirinya sering memberi kecupan sayang kepada KD. "Oh ya, pasti saya berikan kecupan sayang itu, setiap pagi walaupun tidak ketemu, bisa lewat telepon," katanya.

Adegan cium tersebut telah membuka kotak Pandora dan persepsi publik. Reaksi masyarakat muncul secara bertubi-tubi yang pada intinya mengerucut pro-kontra atas aksi tersebut. Dari sisi media, tayangan adegan cium yang berulang-ulang itu sungguh tak patut. Tayangan itu selayaknya terkena gunting sensor sebab tidak etis jika disaksikan pemirsa stasiun televisi yang beragam. Mestinya pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) langsung menegur semua stasiun tivi yang menayangkan adegan itu.

Saya membayangkan bagaimana reaksi anak-anak yang menyaksikan adegan tersebut. Pengulangan penayangan adegan tersebut bisa menimbulkan kesan yang bersarang di benak bahwa berciuman di depan umum adalah sesuatu yang wajar-wajar saja dan diterima sebagai bagian dari kebudayaan bersama. Namun, benarkah demikian? Lantas, bagaimanakah kita memosisikan diri atas aksi ciuman tersebut?

Bagi saya sendiri, ciuman KD tersebut menyisakan sejumlah hal yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, secara sosiologis, masyarakat kita masih melihat ciuman sebagai sesuatu yang tidak layak dipertontonkan di depan banyak orang. Masyarakat kita belum siap menyaksikan ciuman yang dilakukan secara terbuka antara dua orang yang bukan suami-istri.

Mulanya saya pikir masyarakat kita mulai permisif pada adegan cium. Apalagi, beberapa tahun silam, adegan ciuman antara Nicholas Saputra dan Dian Sastro dalam film Ada Apa dengan Cinta? ditanggapi dengan datar-datar saja. Sejumlah media asing menyebut bahwa sedang terjadi transformasi kultural pada masyarakat Indonesia yang mulai melihat ciuman sebagai sesuatu yang wajar.

Namun adegan cium KD ditafsir secara berbeda dengan adegan Dian Sastro-Nicholas. Mungkin dalam adegan film yang dibintangi Dian Sastro, masyarakat masih melihat itu sebagai film yang semuanya serba rekayasa. Berbeda dengan ciuman KD-Raul yang ditayangkan dalam wawancara dengan infotainment. Ini jelas beda.

Tanpa diperkirakan KD, ciuman itu telah memunculkan umpatan yang mengalir deras. Bahkan di jejaring sosial Facebook, berdiri gerakan ‘Say No to Krisdayanti’ yang diikuti hingga lebih 15.000 pendukung. Padahal, sehari sebelumnya, pendukungnya hanya 4.822 orang. Ini jelas lebih banyak dari fans KD yang mencapai 4.168. Banyaknya pendukung gerakan tersebut menjadi isyarat bahwa rakyat Indonesia masih melihat adegan ciuman sebagai hal yang privat, bukan sesuatu yang wajar jika dipertontonkan kepada public. Ciuman masih dipandang tidak patut dalam masyarakat kita, meskipun ini masih menjadi sesuatu yang mengudang perdebatan.

Kedua, adegan ciuman tersebut telah membuka ulang diskursus kebudayaan tentang makna ciuman. Dari terang pandang studi kebudayaan, pemaknaan adalah hasil dari pertarungan gagasan-gagasan yang menyejarah dan kemudian memberikan warna bagi konsepsi kita atas sesuatu. Di satu sisi, ciuman adalah sesuatu yang wajar sebab menunjukkan bahasa ketertarikan di antara dua insan. Ciuman adalah symbol penyatuan dua hati yang menjadi bahasa kasih dan cinta antara dua orang. Jika diletakkan pada tempatnya, ciuman adalah bahasa cinta yang universal.

Tapi ciuman KD terhadap Raul tentu harus dilihat dengan cara berbeda. Hal ini menunjukkan bagaimana tafsir kebudayaan atas ciuman tersebut. Ada aspek kebudayaan yang bekerja secara diam-diam dalam benak kita dan perlahan menjadi hakim yang memberikan vonis. Tatkala masyarakat menilai bahwa adegan itu tidak wajar, maka ini adalah cerminan dari kebudayaan kita yang masih melihat ciuman sebagai sesuatu yang tidak wajar.

Pada beberapa negara khususnya negara Eropa, ciuman adalah hal yang biasa saja. Di Inggris, pada tahun 1920-an muncullah istilah french kiss untuk menggambarkan aktivitas ciuman yang ditandai saling membuka mulut masing-masing lalu secara bergairan mengadu lidah satu sama lain. Kata Perancis (French) disebutkan disini bukan karena ciuman dengan lidah ini adalah ciuman khas Perancis. Ciuman semacam bisa ditemukan dalam berbagai budaya, entah disebut ciuman lidah, cium basah atau soul kissing. Namun orang-orang Amerika dan Inggris menamakannya demikian karena menganggap orang-orang Perancis sangat liberal dalam hal kegiatan seks. Namun, sebagaimana dicatat dalam banyak artikel, ciuman itu justru dinilai tidak wajar bagi bangsa Asia untuk dipertontokan di hadapan khalayak luas. Bagi bangsa Jepang dan Cina, ciuman adalah sesuatu yang sifatnya privat, dalam artian tidak untuk dipamerkan. Dan saya kira, pandangan ini tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai kebudayaan yang banyak dianut masyarakat Indonesia.

Pantas saja jika banyak pihak yang gerah termasuk Majelis Ulama Indonesia yang ikut-ikutan mempersoalkan ketidakpatutan ciuman tersebut. Bahkan Front Pembela Islam (FPI) ikut-ikutan mengecam ciuman tersebut. Meskipun saya sendiri sering tidak sepakat dengan sikap FPI, namun dalam hal ciuman KD-Raul ada sesuatu yang tidak etis sebab dilakukan di hadapan media yang kemudian menyiarkannya secara terbuka, tanpa melalui sensor.

Ketiga, reaksi publik cenderung positif sebab langsung mengaitkan dampak tayangan tersebut pada perkembangan anak. Menurut saya, ini adalah perkembangan yang positif dalam relasi antara masyarakat dan media. Secara perlahan, public mulai dewasa dan mulai bisa memilah-milah mana tayangan yang positif dan mana tayangan yang bisa merusak anak. Bahkan, pada beberapa media, diangkat pula reaksi anak-anak KD maupun anak Raul yang melihat tayangan tersebut. Di antara pendukung gerakan ‘Say No to Krisdayanti’ itu terdapat nama Titani Aurelia Hermansyah, putri KD sendiri. Pada dinding grup tersebut, Aurel mengatakan “Aku ga tw harus ngapain??’ Pandangan ini mengisyaratkan kegamangan sekaligus kekecewaan atas apa yang disaksikannya.

Lain lagi dengan reaksi anak bungsu Raul Lemos yang nyaris melakukan upaya bunuh diri saat melihat adegan tersebut. Menurut ibunya, Silvalay Noor Athalia (Ata), anak tersebut kecewa dan nekad mengambil pisau. “Pertama dia mengambil pisau dan mau menusuk dirinya, namun gagal karena ketahuan sama pembantu saya. setelah gagal dia mencoba loncat dari balkon rumah lalu ketahuan lagi sama pembantu saya,” ujar Ata, istri Raul. Terakhir, lanjutnya, anak tersebut lari ke depan mau menabrakkan diri, tapi tertahan oleh petugas keamanan rumah.


Terlepas dari benar tidaknya keterangan sang ibu –sebab sang ibu masih geram dengan tingkah suaminya--, namun fenomena ini amat menarik bagi para psikolog sebab menunjukkan bagaimana guncangan hati seorang anak menyaksikan ayahnya berciuman dengan perempuan lain. Yang pasti, tayangan tersebut telah memicu reaksi yang positif sebab public langsung mengaitkannya dengan bagaimana sikap seorang anak.

***

Saya kira tantangan terbesar yang mesti kita hadapi di masa mendatang adalah bagaimana membangun benteng kesadaran yang kuat pada semua orang agar menyeleksi semua tayangan media secara efektif. Tanpa proses seleksi, tayangan media bisa menjadi virus yang membahayakan proses berpikir, mempengaruhi proses penilaian atas sesuatu, yang nantinya bisa menyebabkan kita menerima sesuatu yang keliru sebagai sebuah kebenaran. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun media literacy atau gerakan sadar media dan menjadi filter yang efektif atas berbagai tayangan yang tidak mendidik. Bukankah demikian?



Bau-Bau, 23 Juli 2010

Saya Ingin Meninju Tembok, Meskipun Berdarah!


HUH….!!! Saya tak suka dengan hidup yang datar-datar saja, tanpa kerja keras. Saya tidak mau menjalani kehidupan yang segalanya tersedia di depan mata. Hidup yang seperti sinetron televisi di mana semuanya serba kaya-raya. Saya menginginkan hidup yang bergejolak. Hidup yang penuh dengan dinamika dan tantangan. Saya ingin berjalan di atas jalan yang penuh cadas sehingga mengasah inteligensi dan naluri saya untuk senantiasa menemukan jalan terbaik.

Saya tak mau hidup yang segalanya disediakan dan tinggal menjalani. Saya siap berdiri tegak menantang matahari, meskipun kelak akan bernasib seperti Icarus yang meleleh sebelum menggapai matahari. Saya dikepung hasrat untuk menggapai sesuatu. Saya ingin menghantamkan tinju ini ke tembok, meski resikonya adalah berdarah-darah.

Hidup adalah perkara menentukan pilihan-pilihan di tengah banyaknya pilihan yang serba sulit. Dan saya memilih hidup yang penuh dengan gemuruh. Saya menyenangi saat-saat ketika bangun pagi, sudah dihadapkan dengan masalah-masalah. Saya menyenangi saat-saat memutar otak untuk lepas dari belitan masalah. Saat-saat ketika semua pikiran dan emosi tercurah menjadi tindakan-tindakan bermakna, penuh kehati-hatian, dan melepaskan diri dari jerat masalah. Saya ingin hidupnya para petarung yang siap menjadi martir di medan laga.

Dan inilah saya yang bahagia dengan hidup penuh dinamika. Inilah hidupnya para lelaki yang terlahir untuk bertarung dengan alam dan menaklukan nasib demi sebuah karpet merah masa depan. Inilah hidup yang saya banggakan. Bukan seperti hidup ala sinetron.(*)

Panggil Aku Cina!!!

Gong Li
MEI LING (19) sedang berdoa dengan khusyuk di satu klenteng di Makassar. Jemarinya mengenggam hio yang mengepulkan asap tipis. Selama beberapa menit wanita yang berparas seperti aktris Gong Li itu berdoa dengan tenang. Matanya terpejam dan mulutnya sesekali komat-kamit. Setelah itu, ia keluar ruangan lalu singgah di rental Odiva yang terletak tak jauh dari klenteng tersebut. Ia memilih-milih film sebelum akhirnya menyewa film The Forbidden Kingdom yang dibintangi Jet Lee dan Jackie Chan.

Ayah Mei Ling memiliki beberapa kios di Pasar Sentral Makassar. Biasanya, sepulang berdoa, Mei Ling kembali menjagai toko tersebut sebagai pengisi waktu luang di sela-sela aktivitasnya sebagai mahasiswa di Universitas Atmajaya Makassar. Namun, di kampus namanya bukanlah Mei Ling. Nama Mei Ling hanya digunakan di rumah saja serta dalam lingkungan terbatas. Di kampus, ia menyandang nama Angelique Wijaya, nama yang juga tertera di akte kelahiran dan kartu tanda penduduk (KTP) Makassar. Sebagai warga keturunan Tionghoa, Mei Ling tak tahu banyak tentang sejarah. Ia tak paham bahwa kaumnya dulu dilarang menggunakan nama bernuansa Tionghoa. Mereka sempat dipaksa menjadi warga Indonesia, melalui apa yang disebut politik pembauran.

Sejak Orde Baru bertahta, warga Tionghoa seperti Mei Ling dilarang mengenakan segala atribut yang menunjukkan identitas kulturalnya. Pemerintah Orba melarang segala bentuk representasi identitas Tionghoa sebab didera kekhawatiran akan membangun jaringan dengan Cina sebagai negara komunis. Sekolah Tionghoa ditutup. Mereka dipaksa untuk ganti nama dengan nama lain yang tidak bernuansa Cina. Selama 32 tahun, mereka tak punya pilihan dan harus menjelma menjadi sosok lain. Bahkan ketika detik-detik Orde Baru tumbang, toko-toko milik keluarga Tionghoa dirampok dan dibakar. Lebih dari 150 wanita Tionghoa diperkosa secara massal, tetapi wanita-wanita ini kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas atau bukti kekejaman.

Sejarah kaum Tionghoa adalah sejarah yang selalu terabaikan dalam republic ini. Mereka menguasai kekuatan ekonomi, namun di saat bersamaan juga mengalami diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Meskipun setelah reformasi yakni pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), keberadaan mereka sudah diakui, namun tetap menyisakan pertanyaan bagaimanakah strategi mereka untuk mengembalikan identitas Tionghoa yang selama ini diredam? Apakah identitas itu justru terkubur ataukah mengalami pemaknaan baru secara terus menerus? Saya sering bertanya-tanya dalam hati, jika di masa Orba mereka menolak dipanggil Cina, apakah ketika keberadaan mereka diakui dan sama dnegan etnik lain, mereka justru meminta dipanggil Cina?

Saya memelihara pertanyaan itu selama beberapa waktu. Secara teoritik, jika identitas cultural seseorang diredam atau dibendung selama bertahun-tahun, maka mereka akan menjelma menjadi sosok baru yang berbeda dengan sebelumnya. Dalam bayangan saya, pastilah identitas kecinaan sudah lama pudar sebab direpresi dengan segala cara oleh pemerintah Orba. Benarkah demikian?

“Tidak. Orang tua saya memang marah kalau dipanggil Cina. Tapi tidak dengan saya dan teman-teman. Justru saya bangga sebagai warga Tionghoa. Saya senang dipanggil Cina sebab saat Cina adalah negara yang besar dan maju,” kata Mei Ling saat berbincang di Pantai Losari, Makassar.

Diskusi ini membangkitkan keingintahuan saya. Bagi wanita berparas cantik ini, nasionalismenya tidak perlu dipertanyakan. Ia mencintai bangsa ini sebab lahir dan besar di sini. Namun, tak seperti generasi sebelumnya, ia justru menerima identitas kecinaannya sebagai sesuatu yang wajar dan membersitkan rasa bangga. Yang mencengangkan saya, sebagai generasi yang justru sama sekali tak pernah menginjakkan kaki di daratan Tiongkok, ia tetap memelihara benang merah jiwanya dengan daratan Tiongkok. Meskipun itu dirajutnya dalam angan-angan.

Gong Li dalam satu film

Selama beberapa waktu saya didera pertanyaan ini. Hingga akhirnya saya membaca riset yang dilakukan Aimee Dawis PhD di New York University yang berjudul The Chinese of Indonesia and Their Search for identity. Riset ini telah ditermahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Orang Tionghoa Mencari Identitas (Gramedia 2009). Kata Dawis, meskipun mengalami represi atau tekanan pada masa Orba, namun warga Tionghoa masih bisa mengekspresikan kecinaaannya melalui kegandrungan pada serial atau film kungfu. Ternyata, identitas itu mengalami pemaknaan terus sebab senantiasa di-refresh melalui medium cultural seperti film. Walaupun film dan media komunikasi bukanlah satu-satunya penjelas, namun tak bisa dipungkiri, media itu telah membentuk jati diri dan identitas.

Kedengarannya ini menggelikan. Namun, kesukaan atas film tersebut telah merajut kembali imajinasi atau angan-angan mereka tentang kecinaan, menghadirkan rasa bangga yang menyelusup di hati, serta membentuk jati diri mereka sebagai Tionghoa. Ternyata film-film mandarin telah membentuk identitas, memetakan asal-usul dan memelihara kesadaran jati diri kolektif. Film dan berbagai media komunikasi lainnya telah menyediakan cara bagi kelompok ini untuk menempatkan ulang konteks, tradisi dan sejarah mereka sehingga menjadi benang merah yang mempertautkan mereka dengan identitasnya.

Kelihatannya ini sepele bagi sebagian orang. Sayapun menganggapnya demikian. Namun pengalaman saya bertemu dengan Mei Ling yang saban hari rajin menonton film mandarin, mengikuti serial The Legend of Condor Heroes, hingga membaca buku silat terbaru dari serial To Liong To telah membentuk ingatan kolektif atau tanah air bayangan (mythic homeland) yang menumbuhkan identitas batau kebanggaannya pada segala hal yang berbau Tionghoa. Inilah kekuatan media massa yang membangkitkan angan-angan kolektif tersebut.

Pantas saja jika saat ini sedang terjadi titik balik dari identitas Tionghoa. Jika dulunya mereka malu-malu disapa Cina, kini generasi yang lebih muda seperti Mei Ling justru percaya diri dan tanpa malu mengatakan, “Panggil Aku Cina…!!!”


CATATAN
Tulisan ini dipersiapkan untuk tayang di kompasiana

Atraksi Meriah di Festival Perairan Pulau Makasar (FPPM)

KEMARIN, Festival Perairan Pulau Makassar (FPPM) resmi dibuka di Bau-Bau. Festival ini memberikan kesempatan pada banyak masyarakat untuk menampilkan ekspresi seni dan budaya. Saya beruntung karena masih bisa menyaksikan ajang tahunan yang cukup besar ini. Setelah beberapa tahun diselenggarakan, kali ini saya berkesempatan untuk menyaksikannya langsung. Saya beruntung karena sempat memotret momen atraksi di lautan.


Hingga kini saya masih bertanya-tanya, kenapa harus memakai nama Pulau Makassar. Memang, di depan Kota Bau-Bau terdapat pulau kecil yang bernama Pulau Makassar sebab pada abad ke-17, tempat itu adalah tempat pembuangan prajurit Makassar yang dikalahkan dalam perang. Walaupun kini penduduk pulau itu bukan lagi keturunan prajurit Makassar, namun nama itu sudah melekat sebagai nama pulau.


Tapi saya masih belum puas dengan kebijakan pemberian nama festival tersebut. Bagi saya, nama itu mengisyaratkan posisi yang tidak percaya diri dan hendak berlindung di balik nama Makassar. Kita seolah tidak punya nama yang diambil dari khasanah lokal yang kemudian dipopulerkan hingga ke manca negara. Kita hanya bisa mendompleng pada nama besar Makassar demi merebut simpati dan publikasi media massa.

Saya lebih sepakat jika nama Festival Keraton Buton yang dihidupkan kembali dan menjadi perekat semua daerah yang pernah berada di bawah paying kesultanan. Tapi entah apa pertimbangan semua pejabat daerah ini. Hingga kini, belum juga ada satu pernyataan yang tegas tentang kebijakan pemberian nama tersebut.(*)

Saat Bersama Prof Susanto Zuhdi

HARI ini saya bertemu sejarawan yang juga pengajar Universitas Indonesia (UI), Prof Susanto Zuhdi. Ia datang ke Bau-Bau dalam kapasitasnya sebagai seorang pembawa makalah pada kongres bahasa daerah. Saya bahagia bertemu dengannya. Tanpa Prof Santo, saya tidak mungkin bisa menjadi magister. Ia adalah pembimbing tesis, penguji, sekaligus teman diskusi yang mengasyikkan, baik saat membahas tentang Buton, maupun saat membahas teka-teki sejarah di negeri ini.

Berbincang dengan Prof Santo menyalakan kembali rasa rindu yang dalam dengan suasana belajar di UI. Saya suka sekali dengan suasana diskusi yang cerdas di mana masing-masing pihak bisa saling menghargai pendapat masing-masing. Di kampus seperti UI, ada kultur yang berdenyut di mana setiap orang berhak mengemukakan gagasannya, tanpa memandang eselon, tanpa memandang jabatan atau senioritas. Kultur itu susah saya bahasakan, namun berdenyut di sanubari mereka yang pernah belajar di kampus UI. Saya masih merasakan itu sehingga pertemuan dengan Prof Santo tiba-tiba membawa saya pada suasana saat belajar dulu.

Di UI, setiap orang bisa mengasah bakat dan talentanya di ranah ilmu pengetahuan dan menyuburkan hasrat ingin tahu. Saya jarang menemukan pengajar yang selalu merasa tahu semua hal. Justru pengajarnya bersifat humble dan menyadari bahwa kepingan pengetahuan bisa didapat dari mana saja. Hari ini, saya bahagia bersama Prof Santo. Tiba-tiba saja, saya menemukan satu defenisi kebahagiaan yakni saat berinteraksi dengan orang-orang cerdas dan berdiskusi banyak tema hingga melalangbuana. Demikianlah definisi bahagia hari ini.(*)

Ironi Dunia Birokrasi

KAWAN, saya bukan seorang yang cakap di bidang birokrasi. Tapi entah kenapa saya tiba-tiba saja memasuki dunia ini. Sebuah birokrasi ibarat kamar berlapis-lapis. Anda tak mungkin bisa menemui kamar paling ujung tanpa menemui kamar-kamar kecil sebelumnya. Bahkan ketika kamar paling ujung memberi instruksi, ada banyak kamar kecil lain yang siap menjegal semua titah tersebut.

Keberadaan saya masih seumur jagung. Tapi saya sudah mulai merasakan situasi saling sikut di dalam rumah besar bernama birokrasi itu. Sungguh, saya sering tak nyaman dengan situasi ini. Tapi untuk saat ini tak banyak pilihan yang tersedia. Saya hanya menjalani hari, menelan semua lelah dan situasi yang tidak enak, mengeringkan semua sedih yang membekas tatkala menemi terjalnya dinding birokrasi. Entah kapan saya akan terpental ke jurang terjal itu.(*)

Orang Korea di Bau-Bau

SELAMA beberapa minggu ini, kota kecil Bau-Bau dibanjiri warga Korea Selatan. Hari ini saya datang menghadiri Festival Perairan pulau Makassar (FPPM). Saya terkejut menyaksikan banyaknya pemuda dan pemudi korea yang menghadiri acara tersebut. Mereka cantik-cantik dan menyolok. Kulitnya putih bersih, dan banyak di antara gadis-gadis yang mengenakan celana pendek. Napas saya sempat tertahan melihat seorang gadis Korea yang sepintas wajahnya mirip Sandra Dewi. Cantik sekali. 


Mereka juga tidak sombong. Mereka siap dipotret dengan siapa saja. Bahkan, saat menghadiri acara pesta adat Cia-Cia, mereka juga tak malu-malu mencicipi makanan yang disajikan di talang haroa . Seorang teman menjelaskan kalau mereka adalah mahasiswa Korea yang sedang melakukan tugas lapangan di Bau-Bau. Jumlahnya 90 orang. Mereka didampingi sejumlah professor dan dosen senior. Sayangnya, saya belum sempat ngobrol banyak dengan mereka. Saya hanya memotret saja.

Saya teringat, sekitar tiga minggu lalu saya diwawancarai Professor Song Seung Won, perempuan muda yang menjadi professor sejarah di Sogang University. Orangnya sangat energik dan penuh dedikasi. Minggu ini kembali saya menemani pria Korea bernama Fernando Ahn, seorang jurnalis di Yonhap News Agency. Baik Prof Song maupun Ahn sama-sama muda dan penuh dedikasi pada pekerjaannya. Dari mereka, saya bisa belajar banyak hal.

Prof Song mengajarkan saya akan dedikasi pada proses ilmiah. Bahasa Indonesianya lancar. Saya melihat langsung bagaimana kerja kerasnya untuk mengumpulkan data, menganalisis fakta-fakta yang dia temukan, hingga membantunya mengumpulkan beberapa literature. Ia mewawancarai banyak orang dan dengan openuh disiplin, ia mentranskrip semua catatan tersebut. Tak tanggung-tanggung, ia mengkopi beberapa referensi yang saya miliki, termasuk tesis saya yang membahas tentang stigmatisasi orang Buton sebagai anggota PKI. Beberapa kali saya membuat janji dengannya. Dan ia selalu menepati janji. Bahkan, saat ia memperkirakan akan terlambat lima menit dari janji awal, ia akan menelepon saya untuk memberitahu situasinya.

Demikian pula dengan Ahn yang kemarin saya temui. Awal perkenalan dengannya unik juga. Ia sedang mengambil gambar acara Mata’a di Sorawolio. Ia memakai kopiah serta baju koko. Mulanya saya mengira ia adalah jurnalis Koran nasional. Saat itu, saya pun datang memotret. Saya bertanya, “Apakah acara ini sudah lama?” Ia lalu menunjukkan raut wajah tak mengerti. Ia mengajak saya berbincang dengan bahasa Inggris. Saya lalu meladeninya. Ia mengambil alat tulis dan mulai mewawancarai saya. Sebagai mantan jurnalis, saya paham betul kalau ia suka dengan hal-hal yang controversial. Mulailah saya melempar ide-ide gila. Saya katakan bahwa saat ini ada semacam kekhawatiran tentang tergerusnya budaya Buton oleh budaya Korea. Ia tersentak. Ia melihat saya seperti pandangan seorang jurnalis yang melihat peristiwa besar dan layak menjadi headline.

Ia mewawancarai saya selama dua jam. Ia senang dengan jawaban saya yang terbuka dan tidak serta-merta menerima sesuatu secara apa adanya. Saya juga suka dengan pandangan-pandangannya. Ia memprotes relasi yang menurutnya tidak seimbang antara Buton dan Korea. Mestinya, kata Ahn, orang Korea juga belajar banyak hal tentang Buton. “Masak, di acara pesta adat mata’a, gadis-gadis korea itu malah ngerumpi. Pakaiannya juga seksi. Padahal ini acara Islam. Acara kultural yang semestinya dihormati sebagaimana layaknya,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen Amerika.

Saya cepat akrab dengan Ahn. Ternyata, ini adalah penugasan pertamanya ke luar negeri. Dan ini juga adalah pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Asia Tenggara. Makanya, ia merasa surprise saat pertama ke Bau-Bau. Tak seperti warga Korea lainnya –yang mungkin tak mau mengkritik secara terbuka--, Ahn banyak mengkritik suasana di Bau-Bau. Mulai dari jalanan yang penuh motor dan semrawut, hingga kesejahteraan warga yang menurutnya harus ditingkatkan. Tapi ia juga fair saat mengkritik perilaku warganya sendiri yang kadang tak menghargai adat setempat.

Malamnya, kami kembali janjian di hotel. Kali ini saya mengajak Nasruddin, seorang sahabat yang akan diwawancarai mengenaik kerjasama Korea-Baubau. Ahn memperkenalkan saya dengan dua temannya. Seorang di antaranya mirip Park Ji Sung, pesepakbola andalan Korea Selatan. Saat wawancara, ia menyalakan kamera. Katanya, hasil rekaman tersebut akan tayang di televisi Korea. Wah, saya sumringah juga saat membayangkan kalau wajah ini akan tampil di tivi Korea. Hehehe…

Selama wawancara, Ahn menulis dengan cepat di laptopnya. Ia menuliskan setiap detail yang saya dan Nasruddin kemukakan. Pertanyaannya kritis dan beberapa kali buat saya terdiam. Kesulitan saya adalah kadang-kadang ada kosakata tertentu dalam bahasa Inggris yang belum saya kuasai. Tapi secara umum, wawancara itu sukses dan berjalan lancar, meskipun ada saat di mana kami tidak saling memahami karena problem bahasa. Setelah ngobrol selama kurang lebih dua jam, saya lalu pamit pulang.

Nah, kali ini saya menemukan kesamaan dengan Prof Song. Ia meminta waktu untuk mentraktir saya di rumah makan yang bebas saya pilih di mana saja. Dulu, Prof Song juga ingin mentraktir usai wawancara. Sekarang Ahn juga melakukan hal yang sama. Dengan senang hati, saya menyanggupinya. Pulang dari situ, saya membayangkan hendak makan di mana. Ah.. bingung nih. Pokoknya saya ingin ditraktir di temppat yang paling enak dan mahal. Namanya juga traktir. Hehehe…


Senin, 19 Juli 2010

Mengapa PNS Wajib Ikut Prajabatan?




SEBUT saja namanya La Mane. Ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan tiga yang ditempatkan sebagai guru di satu sudut Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara (Sultra). Selama dua minggu lalu, La Mane sibuk menjalani satu ritual wajib bagi seorang PNS sepertinya yakni Diklat Prajabatan.

Sebelum diklat, ia mencukur rambut bak tentara dan menyiapkan perlengkapan. Ke manakah? La Mane hendak memasuki karantina selama dua minggu di Wisma badan Diklat di Puwatu, Kendari.

Seluruh PNS wajib mengikuti diklat sebagaimana yang diikuti La Mane. Jika tidak mengikuti diklat prajabatan, maka status sebagai CPNS bisa gugur. Diklat ini sifatnya wajib dan tidak bisa ditawar-tawar. Mane tak punya banyak pilihan.

Ia mesti ikhlas menjalani karantina selama dua minggu, mengikuti materi dari awal hingga akhir, serta menjalani kegiatan perpoloncoan ala mahasiswa baru. Perpoloncoan? Yup. Dalam dunia PNS, ia sering ditakut-takuti dengan ancaman tidak lulus prajab. Jika itu terjadi, SK gaji 100 persen tidak akan keluar, malah statusnya bisa digugurkan. Terpaksa, Mane menjalani hidup bak seorang pesakitan.

Dua kali dalam sehari ia menjalani apel. Ia mesti mengikuti upacara dan latihan baris-berbaris hingga kulitnya selegam pantat kuali. Jam makan ditentukan. Itupun saat mengambil makan, semuanya harus berbaris rapi ala militer dan makan setelah dipersilakan oleh para instruktur.

Hari-harinya adalah mengikuti materi, meskipun dengan kepala berat dan sesekali tertidur di ruangan. Inilah rutinitas wajib yang konon katanya akan menggembleng para PNS agar menjadi lebih professional dan bertanggungjawab.

Sebagai sahabatnya, saya termenung saat mendengar kisahnya yang runtut. Mengapa pula harus ada Diklat Prajabatan? Yakinkah pemerintah jika diklat ini bisa menjadi kawah candradimuka yang tepat untuk menggojlok para PNS menjadi abdi negara dan abdi masyarakat?

Bagi saya, terobosan pada bidang pelatihan sangatlah besar. Namun anehnya, model Diklat Prajabatan sejak dahulu tak pernah berubah. Masih semi militer, disiplin yang dipaksakan dari atas. Serta peserta yang diperlakukan sebagai objek, tanpa sedikitpun otoritas untuk mempertanyakan apakah makna atau substansi dari suatu kebijakan.

“Kata bosku, ini masih jauh lebih baik. Dulu, di zaman Orde Baru, Diklat Prajab dilakukan di barak-barak militer. Para PNS wajib menjalanik disiplin ala militer dan dipantau setiap saat. Mereka juga harus melalui latihan perang-perangan. Kalau sekarang sih, kita cuma dilatih sama Pamong Praja,” katanya.

Tapi tetap saja saya merasa ada sesuatu yang janggal dari penuturan tersebut. Saya sendiri pernah menjalani prajabatan dengan ritual yang tak jauh berbeda. Sehingga saya bisa mencatat beberapa fenomena dalam Diklat Prajabatan bagi PNS.

Pertama, model pelatihan masih menempatkan peserta sebagai obyek. Para PNS baru masih dilihat seperti botol kosong yang wajib diisi dengan materi. Mereka tak punya suara. Bahkan untuk menyampaikan gagasanpun, mereka tidak sebebas sebagaimana di luaran sana.

Mungkin inilah yang disebut kultur birokrasi di mana anda mesti manut atau patuh-patuh saja pada petunjuk seorang pimpinan, tanpa kreativitas untuk melakukan hal lain. Ini juga diperparah dengan banyaknya para widyaiswara yang tidak memahami materi yang hendak dibawakannya. Banyak yang tidak memahami apa yang hendak dibawakannya. Jangan heran kalau materi itu jadi amat membosankan. Tanpa pengayaan. Bosen!

Mestinya, dalam pelatihan seperti ini, semua peserta memiliki hak yang sama untuk menyampaikan sesuatu. Bahkan, model yang sifatnya doktriner harus ditinggalkan. Peserta mesti diperkenalkan dnegan model doktrin yang sifatnya dari bawah (bottom up). Peserta diajak membangun kesepakatan-kesepakatan sehingga mereka bisa belajar konsekuen dengan kesepakatan tersebut. Mereka mesti belajar bertanggungjawab dengan apa yang sudah disepakati.

Kedua, materi yang diajarkan kepada siswa adalah materi yang mengingatkan pada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sewaktu bersekolah di tingkat SD dan SMP. Perilaku hanya dimaknai sebagai kategori baik buruk yang terlalu mudah dipetakan. Padahal dunia sosial memiliki tabiat yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi watak seseorang.

Ia belajar materi seperti Manajemen Kepegawaian Negara, Pelayanan Prima, Sistem Penyelenggaraan Negara, Wawasan Kebangsaan. Materi itu diperkenalkan dnegan pendekatan yang seolah-olah jatuh dari langit. Semuanya demikian ideal-normatif, sementara para PNS ini sudah tahu bahwa realitas sosial tidaklah sesederhana apa yang diajarkan. Banyak materi yang sudah ketinggalan zaman. Sudah tidak lagi menjadi kebutuhan berharga untuk memasuki dunia birokrasi.

Idealnya, para peserta atau siswa prajab diajak berdiskusi untuk mengangkat semua fenomena yang ada di sekitarnya. Mereka diajak berempati sehingga bisa mengambil bagian dari upaya penyelesaian masalah pada level yang terkecil. Bukannya mendoktrin mereka agar anti-korupsi, namun dalam praktiknya justru korupsi menjadi sesuatu yang mudah disaksikan.

Ketiga, model pelatihan yang padat dan tanpa istirahat seyogyanya ditinjau ulang. Bayangkan, soerang siswa wajib bangun subuh hari, kemudian olahraga bersama. Setelah itu makan pagi, dan lanjut materi. Dalam keadaan ngantuk dan lelah, peserta wajib mengikuti materi sampai malam.

Pertanyaannya, ngapain memaksakan pelatihan berjalan padat, sementara para siswanya dalam keadaan ngantuk dan pura-pura tidur? Mengapa tidak merancang Diklat Prajab itu seperti pelatihan motivasi sehingga para siswa memiliki kemampuan dan motivasi yang tinggi untuk memecahkan semua masalah yang dihadapinya?

Mungkin inilah dinamika sebuah Diklat Prajab. La Mane tak berdaya, selain mengikuti petunjuk dan instruksi dari para pengajar. Setidaknya, dengan berkeluh kesah, ia mengajukan catatan kritis bahwa sudah saatnya pendekatan, materi, dan kompetensi seorang widyaiswara harus terus ditingkatkan demi mendapatkan standar pelatihan yang baik.

Dengan demikian, kualitas dari peserta prajab itu bisa lebih mumpuni dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukankah demikian?

Gadis Berbaju Adat Buton


Gadis-gadis berbaju adat menyambut para tamu. Inilah kilasan pembukaan Festival Perairan Pulau Makassar. Saya selalu menyenangi event pariwisata seperti ini. Melalui event ini, identitas kultural disegarkan kembali. Kita kembali menjadi diri sendiri. Tak perlu menjadi seperti apa yang tampak dalam sinetron.(*)

NB:
Foto karya John Siby

Surat buat Seseorang

MAAFKAN karena aku tak bisa menjanjikanmu banyak hal. Jeda pertemuan kita terlampau singkat. Tak cukup waktu untuk merasakan gemuruh di dada yang hendak meledak dan berdentum. Tak cukup saat buat kita untuk saling merasakan apa yang mengalir di hati masing-masing hingga menganak sungai. Kau dan aku bertemu dalam satu pertemuan yang tak terduga, dan hari ini kita berpisah dalam satu rencana yang sama tidak kita inginkan.

 

Kawan….
Maafkan sikapku yang kadang centil. Terlalu sering aku menganggumu hingga membuatmu tersipu. Aku menikmati saat ketika engkau marah dan memalingkan wajahmu. Semuanya menjadi keping-keping kenangan yang amat romantic buat kita. Aku merindukan saat ketika kita berdua sama menyanyi di depan kelas itu. Masih kuingat lagu yang bersama kita nyanyikan. “Ada suatu antara kita// yang tak dapat kumengerti…..//

Kawan….
Maafkan atas semuanya. Kau sudah bersikap jujur saat mengatakan bahwa ada hati yang terlanjur mengikatmu. Ada sosok yang sudah memacarimu. Namun aku juga sudah berkata jujur saat mengatakan bahwa diriku sudah bersama orang lain. Aku tinggal menghitung hari untuk segera melepas statusku dan mengikhlaskan hari-hariku bersama seseorang. Sungguh, aku mencintainya, sebagaimana cintanya langit pada bumi. Kepadanya kuserahkan keping hatiku yang tersisa. Kepadanya kutarungkan hidup ini.

kawan…..
Maafkan aku. Sebab cinta ini hanya untuk perempuan itu. Ruang hati ini sudah penuh gambaran dirinya.  Tak sanggup aku membaginya lagi.(*)

Wow... Burung Paling Romantis

JANTAN itu tengah bersiap-siap. Ia lalu membangun sebuah menara yang menjulang. Ia menyusun konstruksi ilalang yang saling berhadapan, dan terdapat ruang di tengahnya sebagai tempatnya berdiam. Di tepi sebuah hutan di Papua, ia menghiasi menara itu sehingga nampak menarik. Ia lalu meletakkan bebatuan yang berwarna-warni sebagai jalan masuk ke menara itu. Setelah semuanya rapi, ia lalu menunggu datangnya si betina.


Kawan, saya sedang membahas tentang burung Namdur yang hidup di Papua. Burung ini sebesar burung merpati. Dalam artikel yang dimuat di National Geographic edisi terbaru (Juli 2010), Namdur digambarkan sebagai burung arsitek dan designer yang amat cerdas. Ia membangun sarang yang indah, kemudian membuat dekorasi. Ia pandai memilah benda-benda yang menarik untuk diletakkan di sarangnya sehingga nampak estetis. Kemampuannya memilah sesuatu dan menyusunnya dengan rapi adalah kemampuan yang setara dengan manusia serta menunjukkan kebudayaan dan estetika yang tinggi.

Yang luar biasa, Namdur juga mengecat sarangnya. Ketika membangun sarangnya, ia mengatur ratusan cabang tipis dalam dua jalur yang saling berhadapan, seperti terlihat pada gambar ini. Dengan cara ini, Namdur membangun sebuah sarang yang teduh. Ia lalu menumpuk semua benda yang ditemukannya dari lingkungan sekitarnya di bawah sarangnya. Misalnya, sayap kupu-kupu, bulu burung, kunci mobil, atau beberapa cabikan kertas pembungkus. Burung ini paling tertarik pada benda-benda berwarna biru. Seperti dapat disaksikan pada gambar, burung ini mengumpulkan di dalam sarangnya semua benda berwarna biru yang dapat ditemukannya.

Di samping itu, Namdur juga menggunakan sarana menghias lainnya. Yang lebih hebat lagi, ia menyiapkan sendiri catnya. Ingin tahu bagaimana caranya? Namdur mengumpulkan tanaman berbagai warna dan mengecat dinding menggunakan sari tanaman tersebut. Terkadang, ia menggunakan batu bara, yang dicampur dengan ludahnya. Namdur juga mengecat sarangnya, yang terbuat dari ranting-ranting, dengan sepotong kulit kayu yang dikunyah di mulutnya.



Para ahli dibuat terkejut dengan fenomena Namdur. Pakar biologi evolusi Jared Diamond menyebutnya sebagai burung yang paling mirip manusia. Namdur bisa membangun rumah boneka, mampu mengatur daun dan jamur sehingga artistik. Beberapa Namdur bisa menirukan kicauan burung lain. Juga bisa menari. Bahkan, burung ini juga menangkap serangga untuk menjadi hiasan. Bayangkan, burung ini melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan manusia.


Artikel ini seakan menerabas keangkuhan saya atas semesta. Tak selayaknya jika kita manusia merasa angkuh dengan segala yang sudah kita capai. Toh, burung kecil di dataran Papua itu justru menunjukkan kepada kita semua bahwa keindahan estetis adalah sesuatu yang universal dan bisa dilakukan mahluk manapun yang diciptakan Tuhan. Bahkan binatang seperti Namdur pun bisa memiliki kebudayaan, sesuatu yang merupakan hasil pergulatan ide dengan realitas sosial yang kemudian menjadi daya atau kemampuan pada seseorang untuk menjawab masalah yang dihadapinya.

Burung Paling Romantis

Untuk apakah sebuah sarang yang estetis itu? Kali ini saya kembali tercengang. Marilah kita bersama membedah tanda-tanda ala mini. Namdur yang membuat sarang adalah Namdur jantan. Ternyata ia menyiapkan sarang indah itu untuk memikat betina. Ia adalah tipe burung yang mencintai pasangannya dan melakukan apapun demi memuaskan sang pasangan. Semua yang indah-indah itu dibangun untuk memikat betina. Pada akhirnya, ia bersaing dengan sesama jantan -yang juga memiki estetika tinggi-demi memikat burung betina.


Bayangin, kerja keras selama beberapa waktu untuk menyusun sarang, semuanya dipersembahkan buat betina. Betinalah yang memiliki otoritas untuk memilih. Ketika seekor betina lebih suka pada konstruksi yang dibangun jantan lainnya, maka burung tersebut tidaklah patah arang. Ia akan kembali membenahi sarangnya sehingga seekor betina terpesona dan memasuki sarang tersebut. Sarang tersebut adalah sebuah mahligai, semacam penanda yang menunjukkan batas ke dunia baru sebagai sebuah pasangan. Namdur adalah pencinta sejati yang menyiapkan segalanya untuk pernikahan. Ia memikat betina dan menyediakan dirinya sebagai martir yang melakukan apapun demi membahagiakan sang betina.

Wow.. betapa romantisnya. Saya sampai terkagum-kagum membaca artikel tentang Namdur. Saat ini saya sedang mempersiapkan pernikahan. Saya bisa merasakan apa yang tengah bergejolak di benak burung tersebut. Saya serupa Namdur yang tengah menyiapkan sarang. Dan artikel ini seolah menampar diri saya yang hanya bisa duduk tanpa berbuat banyak seperti Namdur. Saya amat iri dengan cara burung ini memikat pasangannya. Saya cemburu dengan kasih sayangnya kepada betina yang diperlihatkannya dnegan kerja keras membuat sarang.

Ternyata terdapat jutaan -bahkan tak terbilang– pelajaran berharga yang bisa dipetik dengan menyaksikan fenomena alam semesta. Alam semesta ibarat guru yang menunjukkan kita banyak hal. Alam mengajarkan kita untuk tidak angkuh dan senantiasa membuka mata terhadap pelajaran berharga yang ada di sekitar kita. Dan hanya mereka yang pandai pulalah yang menemukan inspirasi dari semesta. Sebagaimana saya yang tiba-tiba saja merasa bodoh karena melihat kecerdasan Namdur serta kecintaannya kepada pasangan. Burung ini telah menunjukkan saya sesuatu yang amat indah sekaligus memperlihatkan bahwa menjadi jantan bukanlah semata menjadi pengendali sesuatu. Posisi jantan adalah posisi pelayan yang mencintai dan meyrahkan semuanya kepada sang betina. Posisi jantan dan betina adalah posisi pengasih yang akan melakukan apapun demi sebuah bangunan bernama cinta kasih.

Nampaknya, saya harus banyak belajar pada burung kecil ini. Terimakasih Allah karena telah membuka mata ini.(*)

Tafsir Baru Keterpencilan


SELAMA dua minggu, saya tidak pernah mengisi blog ini. Selama dua minggu, saya juga tidak pernah berselancar di dunia maya. Saya sedang berada di Kendari untuk suatu urusan. Saya terjebak pada satu rutinitas yang wajib saya ikuti. Saya tak mau membahas tentang rutinitas tersebut. Mungkin kelak saya mesti menulis khusus tentang pesan dan pendapat saya atas rutinitas tersebut.

Saya teringat antropolog asal India Arjun Appadurai. Dalam satu tulisannya di jurnal ilmiah yang diterbitkan Sage Publication, ia mengatakan bahwa di era globalisasi seperti ini, defenisi keterpencilan bukan lagi dilihat dari satuan geografis. Definisi lama tentang keterpencilan sudah waktunya dipertanyakan. Katanya, keterpencilan didefinisikan dari sejauh mana akses kita pada satu jaringan global bernama internet. Meskipun seseorang tinggal di satu hutan yang jauh dan terpencil sekalipun, namun ketika ia masih bisa mengakses internet, maka ia tidak sedang terpencil.

Bahkan ketika seseorang berada di tengah padang es sekalipun, ia tetap tidak terisolasi sepanjang masih bisa menekan tuts di keyboard dan menyapa sesamanya dalam jaringan global. Keterpencilan adalah situasi ketika kamu tak bisa mengakses apapun, tak bisa menyapa siapapun di jaringan global. Di zaman ini, ketika anda tak punya akun fesbuk, maka sama saja dengan kehilangan penanda bahwa diri anda eksis di dunia ini.

Selama dua minggu, saya mengalami keterpencilan itu. Memang, saya masih punya akun fesbuk dan blog, namun apa artinya itu semua ketika saya sama sekali tak bisa berkunjung, tak bisa mengetahui apa wacana serta isu-isu yang marak di dunia maya ini. Saya mengalami keterpencilan dari pergaulan global, terpencil dari sebuah situs di mana saya bisa bertemu dan berbincang dengan banyak orang, meskipun secara fisik saya tidak banyak bersua dengan mereka. Terus terang, saya kehilangan rutinitas di dunia maya.

Tapi setidaknya saya menemukan sisi-sisi lain yang membuat senyum tetap merekah. Di tengah keterpencilan itu, saya mulai bisa beradaptasi. Saya mulai menemukan mata dan tangan untuk membantu saya menelusuri labirin-labirin keterpencilan ini. Saya jadi ingat kata Norman K Denzin dalam buku Handbook of Qualitative Research. Ketika memasuki sebuah tempat baru, kita akan tersesat dan tertatih-tatih saat berjalan. Namun seiring waktu, kita mulai mengenali kenyataan, mengenali jalan-jalan yang mesti dilalui di rimba raya kenyataan.

Perlahan, saya mulai lepas dari belitan belenggu teknologi. Saya mulai bisa beradaptasi dan menemukan hal-hal lain yang lebih asyik ketimbang berjam-jam memelototi laptop atau berselancar di dunia internet. Mungkin kelak saya akan berkisah banyak tentang pengalaman selama dua minggu ini. Tunggulah dalam beberapa hari ini.(*)

Memotret Senja






Ini foto senja yang sudah diedit. Saya memotretnya dari jendela pesawat di atas langit Bau-Bau. Kalau ada lomba, ingin saya ikutkan. Indah khan?

Dua Hari Bersama Prof Song

SELAMA dua hari ini saya selalu bertemu dengan perempuan Korea bernama Song Seung Won. Dia adalah profesor yang bekerja di Insitute for East Asian Studies di Sogang University, Korea Selatan. Perempuan yang spesialisasinya di bidang sejarah ini sedang melakukan riset selama sebulan di kota Bau-bau. ia hendak mengetahui sejauh mana penerimaan orang Cia-Cia di Buton terhadap huruf hanggul.

Mulanya saya menghadiri presentasi yang dihadiri Prof Song di aula pemerintah daerah. Bersama dua rekannya dari Korea, mereka menjelaskan kerjasama dalam bidang pertanian. Suasananya serasa sedang menyaksikan drama Korea di televisi. Ciri yang saya perhatikan pada cara bertutur orang Korea adalah kalimat-kalimatnya terdengar manja di telinga kita orang Indonesia. Suaranya pelan dan seolah sedang merajuk. Padahal, boleh jadi mereka sedang terlibat pembicaraan serius.

Keesokan harinya, tiba-tiba saya kembali bertemu dengan Prof Song. Ia mewawancarai saya banyak hal tentang sejarah Buton dan sejauh mana peran orang Cia-Cia di situ. Saya menjawab hal-hal yang saya ketahui. Selanjutnya, kami bertemu lagi. Kali ini wawancaranya lebih panjang, dan membahas isu-isu yang cukup sensitive, mulai dari ideology, filsafat, hingga kebudayaan bangsa Korea yang berbeda dengan Cina dan Jepang. Selama wawancara, saya terus memperhatikan cara yang ditempuh Prof Song. Ia rajin mengumpulkan catatan, dokumen, serta bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitiannya.

….

Maafkan karena tulisan ini sampai di sini saja. Saya ingin bercerita banyak tentang pertemuan tersebut, diskusi tentang bagaimana dua kebudayaan bisa bertaut hingga menjalin kerjasama. Sayangnya, saya keburu lelah dan hendak tidur. Besok pagi saya mesti ke Kendari. Insyallah, saya akan banyak membahasnya pada tulisan lain. Thanks.(*)

Nyaris Gundul


 SESEKALI aku ingin berpenampilan seaneh mungkin. Aku cukup senang jika sempat membuatmu pangling dan sesaat tidak mengenaliku. Entah dengan penampilanku sekarang. Rambutku telah dicukur habis, nyaris gundul. Terus terang, aku sangat tidak menyenangi potongan rambut seperti ini. Terakhir aku nyaris gundul saat mengikuti Ospek mahasiswa baru pada tahun 1996. Itupun saya melakukannya karena terpaksa.

Kini, saya kembali terpaksa melakukannya. Bukan karena menjalani Ospek, namun karena saya menjalani sebuah ritual yang sebenarnya makin membuat saya tidak nyaman. Saya sedang tak punya pilihan. Inilah aku, seorang gundul seperti seorang anggota Biara Shaolin yang siap-siap meninggalkan perguruan. Pasti saat ini dikau sedang menertawakan diriku. Tak apalah. Setidaknya, dengan menertawakan diriku, engkau beroleh bahagia, sesuatu yang amat mahal bagi banyak orang saat ini.(*)

Selamat buat Ety






Tunas-tunas muda itu terus bermunculan. Mereka tumbuh dengan limpahan kasih dan sayang. Hari ini teman-teman Respect sedang diliputi bahagia. Sahabat kami ety Rahyani telah melahirkan anaknya yang pertama. Semoga kelak anak itu akan menjadi anak yang sehat, bahagia, cerdas, dan lucu. Semoga anak itu kelak akan menambah jumlah barisan mereka yang berahlak baik dan menyayangi sesamanya. Selamat buat Ety!