Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Hari Ini Aku Melamarmu

HARI ini aku melamarmu. Dengan mengucap lafal Basmallah, aku memohonkan harapan untuk mengajakmu menjadi bagian diriku. Dengan melepas ribuan mantra ke udara, aku menginginkan sebuah penyatuan denganmu. Bersama kita menciptakan ruang imajinasi bersama. Bersama kita berbagi mimpi dan harapan sembari menggerakkan langkah-langkah kaki kecil kita di altar kehidupan. Bukankah segala yang agung selalu dimulai dari langkah kecil?

Hari ini aku melamarmu. Embun pagi menjadi saksi dari niat yang tulus. Ikan-ikan di akuarium berkecipak dan memamerkan sisiknya yang berkilauan, berkejar-kejaran saat kupandangi dengan cemburu. Matahari tak terlalu terik. Langit mengirimkan awan untuk memyangi langkah menuju dirimu yang menunggu dengan seulas senyum. Sepanjang jalan, sepasang merpati putih beberapa kali melintas di hadapanku. Merpati yang mengibaskan sayap dan berkicau hendak membisikkan sesuatu. Aku melihat tanda-tanda alam yang kesemuanya adalah semesta yang sedang melingkupi kita.

Hari ini aku melamarmu. Ada rasa takut yang mulanya merayap di hati ini. Bukan takut pada segala yang melingkupimu. Aku takut kalau-kalau tak mampu memikul beban sejarah dan tanggungjawab atasmu. Tapi tenggelam dalam sungai ketakutan bukanlah solusi yang baik. Aku mesti mengalir dan menelusuri labirn-labirin kehidupanmu demi memastikan tanaman bahagia tetap tumbuh semerbak di hatimu. Aku mesti member air kehidupan, memberi pupuk, dan menjadi matahari atas tunas kehidupanmu. Dan betapa bahagianya diriku ketika dirimu mekar dan indah semerbak bersamaku.

Hari ini aku melamarmu. Aku memberanikan diri untuk menyayangimu, menemani hari-harimu, dan menjadi sosok yang baik untuk menelan segala sedihmu. Kita akan membuka lembaran baru dari buku kehidupan kita yang kelak akan dipenuhi catatan yang kita goreskan bersama. Kita akan sama-sama menjadi saksi atas buku kecil sejarah kehidupan kita masing-masing. Kita akan sama-sama memberi makna atas setiap jengkal perjalanan kita. Sebab kita adalah dua tubuh dan satu jiwa. Kau dan aku akan melebur jadi satu kesatuan.

Hari ini aku melamarmu. Dengan penuh bunga-bunga harapan dan karpet merah yang kubentangkan di depan rumahmu. Kau berjalan laksana putri dengan gaun indah. Dan aku sebagai lelaki yang menunggumu di seberang....
 

Makassar, 28 Juni 2010


Solusi Internet Murah

MULAI hari ini, rumah kami berhenti berlangganan speedy. Sementara kebutuhan berinternet ibarat candu yang sudah untuk direm. Internet menjadi kebutuhan utama. Internet menjadi jendela untuk mengintip banyak hal di dunia sana, tanpa harus terkungkung dengan suasana pulau yang sepi dari aktivitas. Tapi, bertahan dengan speedy ternyata menguras isi kantong. Sudah dua bulan ini, tagihan speedy di rumah membengkak hingga Rp 400 ribu. Dengan sangat terpaksa, koneksi tersebut diputus karena kesulitan menanggung beban biaya setiap bulannya.

Untunglah ada solusi untuk mentatasi kebutuhan berinternet. Di depan rumah saya ada warnet yang bersedia menyambung kabel ke laptop masing-masing. Biayanya murah. Cuma Rp 100 ribu per bulan, saya sudah terkoneksi dengan internet selama 24 jam. Di banding speedy, ini jelas jauh lebih murah. Bahkan dibandingkan koneksi TelkomFlash atau IM2, sambungan kabel di rumah jelas jauh lebih murah. Iya kan?


Bahagia Bersama Ponakan


SUNGGUH menyenangkan bertemu dengan keponakan. Nikmat pula saat-saat bercanda dan bermain bersama. Saya membayangkan bahwa sayapun pernah menempati tubuh yang kecil dengan suasana hati yang sama. Saat melihat ponakan (Ian dan Caca) yang berusia beberapa tahun itu, saya serasa melihat diri saya sendiri sehingga bisa merasakan emosi yang mengalir, keriangan yang deras bagai udara, hingga gelak tawa lepas, tanpa harus merekayasa.

Saat di Yogyakarta, saya amat bahagia saat bertemu dua keponakan kecil. Saya senang melihat mereka yang tumbuh dewasa. Saya senang melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang manis dan ceria. Para ponakan kecil itu juga menyenangi saat-saat bertemu saya. Buktinya, hampir setiap detik mereka selalu mengajak saya untuk bermain-main dan kejar-kejaran.

Dunia anak-anak, dunia paling menyenangkan. Hari-hari adalah bermain-main, tanpa memikirkan hendak makan apabesok, tanpa harus bersedih karena sesuatu, entah apa. Sayang sekali saya tak bisa lama bersama mereka. Kepada semua ponakan itu saya menitip sebaris harapan agar tali kasih keluarga ini tetap terikat erat, meskipun kita sama-sama terpisah . Kepada ponakan kecil yang manis, saya meniupkan rasa bahagia yang terus tercurah untuk kalian. Rasa rindu dan cinta ini terus berdenyut untuk kalian. I miss u all…..


Suasana Jogja



 Pulang ke kotamu
ada setangkup haru
dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
suasana Jogja
...............

(Yogyakarta by Kla Project)

“Wow..!!! Kecil-kecil Udah Bisa Main”

SUARA gamelan dan instrument Jawa terdengar indah di telinga. Pada panggung kecil, di depan Museum Perjuangan di Yogyakarta, Sabtu (19/6), pada peresmian Friend of Museum bersama Walikota Yogyakarta Herry Zudianto, saya menyaksikan sebuah orchestra music tradisional yang memukau. Mulanya saya mengira music itu dimainkan para musisi professional yang bertebaran di seantero kota Yogyakarta. Tapi, setelah mendekat ke panggung itu, saya tercengang. Ternyata, orchestra Jawa yang memukau itu dimainkan oleh rombongan anak kecil berusia sekitar tujuh tahun. Seorang kawan dari Makassar langsung nyelutuk, “Wow… luar biasa. Kecil-kecil udah bisa main.”


Tak satupun orang dewasa yang nimbrung dalam orchestra tersebut. Anak-anak itu memainkan music seperti gendang, kentrung, gong hingga alat music lain dengan keterampilan khas seorang maestro. Beberapa anak juga menjadi sinden dengan suara yang melengking dan membuat perasaan saya tersayat-sayat. Usai mendendangkan satu lagu, seorang anak tiba-tiba pipis di atas panggung. Ia lalu menangis memanggil orang tuanya yang membawa popok dan celana ganti. Di tengah pergelaran tersebut, sang anak lalu dipakaikan celana baru, kemudian lanjut bermain music. Semua penonton bersorak lalu bertepuk tangan memberikan semangat. Musik dilanjutkan.


Selama ini saya membayangkan bahwa music tradisional adalah instrument yang nyaris punah ditelan zaman. Saya selalu membayangkan bahwa kesenian tradisional kita kelak akan menjadi sesuatu yang hanya bisa disaksikan di museum saja. Di tengah gegap gempita music modern, music tradisional adalah nyanyi sunyi yang sepi peminat. Kita adalah bangsa yang secara perlahan menghamba pada music asing dan kehilangan identitas. Kita tak punya nasionalisme pada segala hal yang lahir dari bangsa kita, sebagai puncak-puncak perjalanan berpikir dan butir-butir kearifan dari ceceran sejarah peradaban bangsa kita. Dan anak-anak kita tumbuh sebagai generasi yang dipaksa untuk tumbuh cepat dewasa dan melupakan music yang luhur dari bangsanya sendiri.

Saya langsung teringat pada hysteria anak-anak saat menyaksikan tayangan Idola Cilik di RCTI. Saya amat kesal karena dalam acara tersebut, anak-anak bertingkah sebagai orang dewasa dan menyanyikan lagu-lagu band papan atas. Dalam usia yang amat muda mereka bernyanyi tentang cinta-cintaan atau kerinduan pada sosok kekasih. Ini acara yang sangat tidak mendidik sebab mengajarkan anak-anak untuk cepat dewasa. Namun, betapa susuahnya menemukan acara yang menarik di televise sehingga anak-anak kita seakan tidak punya pilihan. Mereka terpaksa menyaksikan acara yang jelek itu, dan tanpa sadar mereka telah direcoki dengan sesuatu yang tidak mendidik.

Seorang teman saya di Jakarta justru menjauhkan anaknya dari televisi. Ia hanya mengajak anaknya nonton film-film bertemakan ilmu pengetahuan yang dibelinya sendiri. Ia tak mau anaknya menjadi penonton televisi karena menyadari dampaknya yang berbahaya. Ia mendewasakan anaknya dengan nyanyian tradisional yang bertemakan kearifan dan petuah-petuah agar kelak menjadi manusia yang berjalan di atas titian yang lurus. “Saya ingin menumbuhkan anak saya dengan kearifan tradisional kita. Bahwa menjadi manusia yang hebat itu bukanlah manusia yang kaya dan cerdas sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah. Saya ingin anak saya kelak tumbuh dewasa dan mencintai semua manusia di sekitarnya. Solidaritasnya tumbuh dan tidak pernah melupakan asal-usulnya,” demikian kata teman saya tersebut.


Saya salut dengan teman tersebut. Tapi, berapa banyakkah manusia Indonesia yang mencintai khasanah tradisionalnya sebagaimana teman saya tersebut? Hampir setiap hari kita dijejali dengan hal-hal yang identik dengan kemajuan dan modernitas. Bung Karno pernah bilang bahwa salah satu musuh terbesar bangsa kita adalah virus kemajuan. Kita gagap memaknai apa yang disebut kemajuan dan dengan mudahnya mencap seseorang dengan kata-kata tradisional atau tertinggal. Kita sedang berhadapan dengan realitas akan punahnya hal-hal yang berbau tradisional.

Saat mendengar seseorang menyanyikan lagu Tombo Ati, dengan mudahnya kita menuduh tradisional. Namun pernahkah kita menyelam ke lautan makna lagu tersebut? Bukankah lagu itu adalah pesan-pesan masa silam bagi seseorang untuk menjadi manusia sempurna yang gemanya masih terasa kontekstual di masa kini? Lantas, mengapa kita harus malu dan ragu untuk menyerap kearifan dari bangsa kita sendiri?

Ini adalah sebuah kegelisahan. Setahun yang lalu, saya berkeliling di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk melihat sejauh mana pengetahuan anak-anak tentang hal-hal yang bernuansa tradisional. Hasilnya tidak terlalu mengejutkan. Anak-anak kecil di daerah jauh lebih mengenal lagu-lagu yang dimainkan Ariel Peterpan ketimbang music tradisional daerahnya sendiri. Anak-anak Sulsel tidak mengenal lagi karya sastra La Galigo yang dicatat para ilmuwan asing sebagai kanon sastra dunia atau karya sastra terpanjang di dunia. Karya sastra tersebut malah teronggok rapi di Leiden, Belanda, tanpa sempat diketahui oleh generasi baru pewaris kebudayaan tersebut di Sulsel.


Saya juga menemukan fakta yang menggiriskan tentang ancaman punahnya generasi pemusik tradisional. Para maestro music tradisional sudah berusia lanjut sehingga dikhawatirkan akan terjadi kondisi di mana music itu hanya menjadi kisah-kisah yang dituturkan sebagai pengantar tidur. Anak-anak kita akan dewasa dengan music band seperti peterpan dan J-Rock. Mereka akan mencaci hal-hal yang berbau tradisional dan melupakan sejarah bangsanya sendiri.

Tapi di Yogyakarta, saya melihat ada harapan yang berhembus kuat. Anak-anak yang sedang bermain music itu adalah angin segar bagi kekhawatiran akan masa depan bangsa kita. Bulan lalu saya ke Bali dan juga menyaksikan anak-anak kecil yang sedang belajar tarian tradisional. Anak-anak itu adalah pewaris tradisi sekaligus tamparan keras buat kita semua yang mulai melupakan tradisi. Mereka adalah generasi baru yang kelak merawat tradisi, menumbuhkan karakter bangsa kita, serta melestarikan khasanah kebudayaan yang merupakan jejak emas pencapaian bangsa kita.

Anak-anak itu seolah meletakkan imaji dalam ruang-ruang berpikir saya. Merekalah yang kelak akan menjaga napas dan denyut nadi bangsa ini. Tiba-tiba saja saya menemukan jawaban atas pertanyaan Bung Karno puluhan tahun silam, “Apakah kelak Indonesia masih akan berdiri sebagai bangsa yang api kepribadiannya berkobar-kobar??” Saya masih bisa menjawab lantang. “Masih Bung. Semangat itu tetap berkobar di sini. Pada jiwa anak-anak yang masih melestarikan kekayaan bangsa kita. Pada anak-anak di Yogyakarta.”


Yogyakarta, 19 Juni 2010


Wuihh... Cantiknya Gadis Yogyakarta

SESEKALI mata gadis itu mengerling. Jemarinya gemulai ketika berperan sebagai Sinta dalam Sendratari Ramayana di Purawisata, Jalan Katamso, Yogyakarta, semalam. Tariannya penuh gerakan yang lembut, amat berbeda dengan tarian di kawasan timur Nusantara yang menghentak dengan irama yang berdentam. Mulanya gadis itu menari sendirian. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, muncul sosok Rama dengan anak panah tersampir di punggungnya. Mereka sama-sama menari dalam satu alur kisah Ramayana. Sesekali sang Rama menyentuh pinggang Sinta. Busyet..!!! Saya cemburu.


Malam ini saya sedang menyaksikan sebuah pagelaran tari yang luar biasa. Dalam kunjungan ke kota ini selama beberapa hari, teman-teman dari Dinas Pariwisata, Seni, dan Kebudayaan (Disparsenibud) Yogyakarta mengajak saya untuk menyaksikan sebuah pagelaran kolosal yang digali dari khasanah Ramayana. Seumur-umur, inilah pertama kali saya menyaksikan sendratari Jawa klasik dengan tarian yang lembut, namun sarat makna. Terus terang, saya tak paham bahasa Jawa. Tapi entah mengapa, saya paham alur kisah yang hendak disampaikan dalam sendratari ini. Semua gerak tari itu adalah tuturan kisah Ramayana yang disajikan dengan nuansa Jawa yang kental.

Pertunjukan ini sarat dengan emosi yang membuncah dalam setiap adegan. Saya sempat sedih ketika Sinta diculik. Saya juga sedih ketika elang perkasa Jatayu babak belur dihajar raksasa Rahwana. Saya membayangkan pertarungan seru saat keduanya mengangkasa, di tengah mega-mega. Jatayu, sang garuda perkasa menerkam Rahwana dan hendak mencabik tubub raksasa itu. Tapi Rahwana langsung menghantam Jatayu dengan gada. Jatayu terjatuh dan terus-menerus digodam oleh Rahwana.

Saya juga tertikam lara saat membayangkan nasib Sinta di Alengka. Ia sendirian dan hanya ditemani seorang dayang-dayang yang setia membantunya. Bukankah kesedihan terbesar seoran pencinta adalah ketika berpisah dengan sosok yang dicintainya? Sanggupkah seorang burung menahan rindu saat dikurung dalam sangkar emas? Sebagaimana burung itu, Sinta merindukan kebebasan yang sebebas-bebasnya demi berlarian dengan riang dan bersatu dengan Rama.


Untunglah Hanoman hadir dan menerjang pasukan Rahwana. Hanoman, kera putih yang sakti mandraguna dalah pelipur lara yang membawa pesan Rama. Ia meniupkan bahagia, kemudian memporak-porandakan Alengka. Saya tercengang menyaksikan hanoman yang berjumpalitan dan membakar Alengka melalui tubuhnya yang menyala-nyala. Saya juga bahagia ketika akhirnya Sinta diselamatkan oleh Rama bersama ribuan pasukan kera di bawah pimpinan Sugriwa. Saya senang menyaksikan tarian para kera yang dinamis, energik, agak berbeda dengan Sinta yang lembut.

Di antara semua tarian yang mentas, saya paling senang menyaksikan Sinta. Maaf, saya bukan seorang Playboy yang keranjingan melihat gadis-gadis cantik. Entah kenapa, saya merasakan desiran aneh saat pemeran Sinta mengerling. Mungkin ini adalah bagian dari tarian, di mana seorang penari akan menampilkan seluruh pesonanya di atas panggung demi menjerat perhatian para penonton.

bersama para penari

Mungkin pula ini adalah bagian dari filosofi sebuah tari sebagai arena ekspresi dari seseorang yang menjelmakan dirinya menjadi sosok tertentu. Jika perannya adalah Sinta, maka dirinya menjelma sebagai Sinta yang jelita. Mala mini saya sedang menyaksikan seorang penari yang tengah memancarkan semua pesonanya sebagai Sinta yang aduhai dan ditahbiskan sebagai wanita terayu di kolong jagad. Ia cukup berhasil. Setidaknya, saya jadi terpesona menyaksikan kejelitaan melalui kerling mata tersebut.

Usai pementasan itu, saya lalu menemui si gadis. Namanya Ningsih. Ia tinggal agak jauh dari Purawisata sehingga mesti mengayuh sepeda bersama ayahnya usai pementasan. Diskusinya asyik. Dalam waktu singkat, kami berbincang banyak hal, mulai dari makna Ramayana hingga diskusi dengan tema yang menyerempet pada hal-hal filosofis. Mengapa tarian Jawa demikian lembut? “Saya tak tahu banyak. Saya rasa untuk menjadi penari Jawa yaitu orang harus memiliki pengendalian emosi. Jadi lebih kepada memahami harus seperti apa menjadi orang Jawa itu. Misalnya, mengendalikan emosi agar tidak keluar langsung namun lebih dalam bentuk tersirat, tidak tersurat,” katanya

Saya teringat bacaan yang ditulis para antropolog tentang kebudayaan Jawa. Kalau tak salah, perangai seseorang yang besar dalam kultur Jawa identik dengan nilai-nilai kelembutan. Nilai itu nampak dari unsur simbolik yang tampak dari tarian sebagai ekspresi jiwa. Dalam memahami tarian Jawa, kita tak bisa memaknainya hanya dari apa yang tampak. Tarian itu adalah jejaring tanda yang mesti disingkap demi memahami pesan di dalamnya. Seorang penari senior pernah mengatakan bahwa tari Jawa itu lebih tersirat dari dalam kemudian terungkap ke luar lewat tubuh, lewat ekspresi jiwa. Dalam kebudayaan Jawa, rasa yang lebih dipentingkan. “Ketika saya hendak bicara A, maka tidak lantas diungkapkan begitu saja. Saya mesti mengantar dulu orang lain untuk masuk pada A yang hendak saya kemukakan,” kata Ningsih.

Saya termangu mendengar tuturannya. Ia tak hanya menari dengan gerakan yang aduhai. Pemikirannya juga cemerlang. Ia mengetahui makna tarian, juga memahami makna kebudayaan dengan baik. Saya makin semangat ngobrol dengan Ningsih.

Ia bercerita kalau dirinya belum lama menjadi penari. “Ibu saya dulunya penari di Purawisata ini. Saya belajar tentang tari dari ibu. Kata ibu, ia sudah menarikan Sinta sejak puluhan tahun lalu,” katanya lembut. Ah, masak sih? Jika ibunya menari di sini sejak puluhan tahun lalu, artinya tarian Ramayana di sini telah lama pula dipentaskan. Benarkah?

Saya tak sempat bertanya lebih jauh. Ayahnya yang juga anggota tim kesenian tersebut mengajaknya pulang. Kami berpisah. Ia hanya menitipkan nomor telepon dan meminta agar saya menghubunginya ketika ada waktu luang. Dengan senang hati, saya menyanggupinya.

Makna Sebuah Dedikasi

Keesokan harinya, saya bertanya pada mas Wawan, pegawai Dinas Pariwisata Yogyakarta. Ternyata, apa yang disampaikan sang penari benar adanya. Lakon Ramayana telah dipentaskan di Purawisata sejak 32 tahun lalu. “Mereka mementaskan tarian itu setiap malam. Tanpa satu haripun berhenti. Lamanya adalah 32 tahun,” kata Mas Wawan. Pertamakali lakon itu dipentaskan pada tahun 1976 dan hingga kini belum pernah berhenti, meskipun cuma sehari.

“Bahkan saat hujan sekalipun, mereka tetap mentas. Jika hujannya deras, mereka akan pindah di gedung besar di belakang panggung itu,” lanjut Wawan. Atas dedikasi tersebut, tak salah jika Museum Rekor Indonesia (MURI) telah memberikan penghargaan sebagai kelompok seni yang mementaskan Ramayana selama 32 tahun, tanpa pernah berhenti.

Kepastian untuk tampil setiap malam itu menjadi modal besar sehingga kelompok ini tetap hidup dan disaksikan para turis. Ketekunan untuk tampil, apa pun yang terjadi, membuat para penari dipercaya oleh sejumlah agen perjalanan. Kepercayaan itu terbentuk dalam kerja sama dengan 74 agen perjalanan yang secara rutin memasok penonton ke pentas mereka. Pertunjukan itu terpaket dalam Dinner Performance. Dari tiket seharga Rp 220.000 per turis, Sendratari Purawisata mendapat Rp 60.000, sisanya untuk agen perjalanan.

"Kelompok ini dijalankan berdasar filosofi ketekunan Jawa, saupa dawa, sakepel cunthel. Harta sedikit itu cukup, harta banyak itu malah habis dalam sesaat," kata pemimpin kelompok ini sebagaimana dikutip Kompas.


Membaca catatan tentang pementasan ini saya benar-benar kagum. Saya belajar banyak tentang makna dedikasi dan kecintaan pada profesi. Ternyata mereka menari bukan semata demi uang, sebab ada kecintaan serta dedikasi yang mengalir dalam setiap pembuluh darah mereka. Mereka menjadi pengawal seni tradisi di tengah gegap gempita seni modern yang menjadi idola baru bagi masyarakat urban. Mereka tetap bertahan di tengah kepungan globalisasi yang telah memunahkan sejumlah tradisi yang dianggap kian terbelakang. Merekalah para pahawan yang menjaga warisan tradisi masa silam demi menyerap intisasri dan butiran-butian makna yang agung tersebut agar dipraksiskan pada masa kini.

Saya langsung teringat pada Ningsih. Ia menjadi penari sebagai amanah dan tanggungjawab yang diwariskan orangtuanya. Ia mencintai profesinya dan bertekad untuk tetap menari hingga tubuhnya renta dan tak sanggup lagi berdiri.

Saat membayangkan gadis jelita itu, tiba-tiba saja HP-ku bordering. Ada suara gadis yang sepertinya kukenal. “Mas Yusran, ini Ningsih. Apa mas bisa hadir saat saya nari di keraton? Ningsih ingin ngomong sesuatu. Tapi malu. Mas bisa datang khan?,” bisiknya lembut.(*)


Yogyakarta, 19 Juni 2010



The Last Olympian

SAYA cukup beruntung karena telah memiliki buku ke-5 serial Percy Jackson yang berjudul The Last Olympian. Selama beberapa bulan saya menanti-nanti ending serial ini. Usai membaca buku ini, semuanya jadi terjawab. Saya tidak cuma memahami ulang bagaimana kisah semua mitos-mitos Yunani, tapi juga menemukan api yang membakar semua kisah tersebut, sebuah konsep yang membuat kita jadi paham bagaimana sesungguhnya landasan berpikir yang membangun semua mitos tersebut.

Saya menemukan titik terang mengapa Nietzsche mengidolakan Dyonissian, atau Karl Marx selalu menyebut Prometheus. Atau bagaimana pengaruh sosok Zeus pada agama Kristen. Memahami mitos Yunani adalah memahami bagaimana fundasi peradaban Eropa, bagaimana mereka memandang sesamanya serta bagaimana mereka memeta-metakan kenyataan.

Buku The Last Olympian ini telah membawa saya pada petualangan terakhir Percy Jackson sebagai putra Dewa Laut, Poseidon. Setelah hanyut membaca kisah ini mulai dari episode awal, tiba-tiba saya sedih mengapa kisah ini harus berakhir. Sama halnya ketika membaca The Deathly Hallow, serial terakhir Harry Potter, saya juga tiba-tiba merasa kehilangan besar pada satu bacaan yang amat mengasyikkan. Tapi inilah takdir sebuah kisah yang mesti menemui titik akhir. Barangkali hanya Sherlock Holmes satu-satunya kisah yang sudah berakhir, namun dibangkitkan lagi karena tekanan bertubi-tubi yang dialami pengarangnya, yang berniat untuk mengakhiri kisah dnegan kematian.

Yah… saya kehilangan sebuah kisah yang asyik diikuti. Entah, apakah dalam waktu dekat ini, apakah masih ada lagi kisah sebagus Harry Potter dan juga Percy Jackson. Semoga saja dalam waktu yang tidak terlalu lama akan muncul kisah yang sama dahsyatnya.(*)


Bandara Djuanda yang Bertabur Ekspresi Seni

BANDARA Djuanda di Surabaya mendapatkan predikat sebagai bandara terbersih di Indonesia. Meskipun bandara ini lebih kecil dari Bandara Hasanuddin di Makassar, namun saya sangat tertarik dengan yang mengedepankan ekspresi seni grafis khas Jawa Timur yang nampak di bandara ini. Ornamen dindingnya khas. Juga lampu-lampu gantung di langit-langit.





Dilihat dari luar, atapnya berbentuk limas seperti rumah joglo. Saya membayangkan istana keraton zaman Singasari. Mungkin karena predikat sebagai bandara internasional yang membuat bandara ini berupaya menampilkan ekspresi cultural. Bisa pula dikatakan bahwa bandara adalah representasi dari ekspresi seni suatu masyarakat. Ini yang saya senangi dari bandara Djuanda.

Saat keliling bandara ini, saya sempat melihat pameran foto dan lukisan di tengah-tengah. Kembali saya kagum-kagum. Di tempat lain, sebuah bandara hanya menjadi gerbang keberangkatansaja. Tapi di Djuanda Surabaya, bisa pula menjadi panggung ekspresi seni. Salut buat pihak pengelola bandara!


Senja Langit Bau-Bau

PERNAHKAH Anda melihat senja atau sunset yang indah? Pasti jawabannya sering. Negeri ini dianugerahi matahari yang terik sepanjang tahun, dan bagi mereka yang tinggal di pesisir, pastilah senja adalah pemandangan yang sering disaksikan. Namun saya amat yakin bahwa tidak banyak dari Anda yang melihat senja dari ketinggian. Tak banyak yang pernah melihat senja dari atas mega-mega yang berarak dengan latar langit biru.

Saya sudah menyaksikannya saat penerbangan dari Bau-Bau ke makassar. Pemandangannya jauh lebih indah daripada hasil jepretan dengan kamera saku. Tapi tak apa. Setidaknya saya bisa berbagi apa yang saya lihat. Dan Andapun bisa membayangkan sensasi indahnya melihat senja dari atas awan. Inilah foto senja di atas awan tersebut. Silakan menyimak!





Terbang Jam 4, Tiba Jam 4

KEMBALI saya melakukan perjalanan. Selama beberapa bulan ini, saya cukup banyak melakukan perjalanan. Kali ini saya berangkat ke Yogyakarta. Saat di Makassar dan hendak mencari tiket ke Yogya, saya baru sadar kalau mencari tiket pesawat pada masa libur ibarat mencari jarum di tengah tumpukan jerami. Kita tak akan mudah mendapatkannya sebab penerbangan selalu penuh dengan orang yang hendak bepergian.

Semuanya memang tanpa direncanakan. Bos memanggil saya, kemudian memerintahkan agar keesokan harinya sudah harus ada di Yogyakarta untuk mengikuti pertemuan Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Dalam keadaan seperti ini, saya tak mungkin menolak. Meskipun untuk itu, saya harus pontang-panting mencari tiket. Apalagi, hanya ada satu flight penerbangan Makassar-Yogya. Itupun, tiket sudah habis sejak beberapa hari sebelumnya.

Saya lalu menempuh opsi untuk terbang ke Surabaya, kemudian lanjut ke Yogyakarta. Tiketnya juga luar biasa mahal. Tiket yang tersedia seharga dua juta rupiah. Padahal, dalam keadaan normal, harga tiket hanya satu juta rupiah. Andaikan ini bukan instruksi langsung dari bos, pastilahsaya akan menolaknya. Saya tidak banyak pilihan dan terpaksa membeli tiket semahal itu. Dan selanjutnya, dimulailah perjalanan ke Yogyakarta pada tanggal 18 Juni lalu.

Ada hal unik yang saya alami. Saat berangkat dari Makassar, jam menunjukkan pukul 4 sore. Penerbangan ke Surabaya ditempuh dalam waktu sejam. Saat tiba di Surabaya, waktu tetap menunjukkan pukul 4 sore. Saya seolah tidak berpindah. Sementara perjalanan itu sendiri menelan waktu sejam. Mulanya bingung. Selanjutnya saya tersenyum sendiri saat menemukan jawabannya. Sebab perjalanan itu menembus zona waktu yang berbeda antara Surabaya dan Makassar. Tapi, tetap saja ada pertanyaan yang tersisa. Apakah waktu memang relatif? Mungkin Einstein yang bisa menjelaskannya.(*)


Tari Mangaru, Tari Perang


INI adalah foto Tari Mangaru yang dipentaskan sejumlah orang tua untuk menyambut tamu. Dulunya, tarian ini untuk menyemangati para prajurit yang hendak bertempur. Lihat saja para penari yang memegang parang serta perisai. Kata sejumlah orang, dulunya para penari saling tebas dengan parang, namun badannya kebal dari senjata tajam. Kini, para penari hanya saling ancam dan teriak lalu sama-sama menari. Unsur hiburannya lebih menonjol ketimbang unsur ketegangan.(*)

Buku Ketiga yang Akan Segera Terbit

SIAPA bilang buat buku itu sulit? Banyak orang yang terjebak mitos seolah-olah membuat buku itu amat sulit. Bagi saya dan teman-teman Respect, membuat buku itu amat mudah. Saya tidak asal ngomong. Pengalaman membuat dua buah buku bisa menjadi tolok ukur bahwa saya dan teman-teman sudah merasakan bagaimana suka-duka membuat buku. Maka, jangan salahkan jika kami pongah dan mengatakan bahwa buat buku itu mudah. Tidak sesulit yang disangkakan orang.



Salah satu problem dunia perbukuan di Tanah Air adalah dikte atau kuasa dari penerbit. Mereka hanya mau membuat buku yang kira-kira bisa diserap oleh pasar. Ketika sebuah naskah dianggap susah dijual, maka mereka enggan untuk menerbitkannya. Padahal, boleh jadi itu hanyalah akal-akalan penerbit saja. Itu kan pendapat para penerbit saja. Mereka selalu mengatasnamakan pasar, sementara apa yang disebut pasar itu adalah kriteria mereka sendiri. Saya yakin tabiat pasar susah ditebak. Bahkan oleh penerbit bergengsi sekalipun, pasti sulit menebak.

Buktinya, sekitar sepuluh penerbit pernah menolak naskah Harry Potter yang disodorkan JK Rowling. Mereka berkilah kalau naskah itu pasti susah dijual. Tatkala sebuah penerbit berani menerbitkannya, naskah itu langsung meledak dan menjadi capaian terbesar dalam sejarah. Dan sebagaimana bisa ditebak, para penerbit yang menolak itu hanya bisa gigit jari. Rasain deh!!

Tanpa bermaksud membandingkan dengan Harry Potter, dalam waktu dekat ini saya dan teman-teman Respect akan menerbitkan buku ketiga yang berjudul Negeri Seribu Benteng. Kembali kami menerbitkan sebuah buku yang digali dari kearifan lokalitas. Kami memungut mutiara-mutiara dari perjalanan sejarah masa silam di masyarakat yang selanjutnya disajikan untuk memperkaya masa kini. Kami hendak menerabas mitos seolah-olah membuat dan menerbitkan buku itu sulit. Buktinya, kami sanggup menghasilkan buku baru.

Kami hendak mengatakan kepada banyak budayawan lokal bahwa kami bisa membuat sesuatu yang abadi dalam sejarah. Tidak hanya berkoar-koar dan bangga dengan pencapaian saja. Kami telah menghasilkan produk berpikir, sesuatu yang gagal mereka persembahkan. Kamilah anak-anak muda yang hendak menobrak kebuntuan berpikir.

Maafkan kalimat yang angkuh di atas. Jika buku yang kami hasilkan bisa disebut jelek, maka jawablah dengan sebuah buku pula yang lebih baik. Inilah tantangan. Dan jika ada yang menjawab tantangan ini, betapa bahagianya masyarakat Buton yang iklim perbukuannya semakin bergairah.

Insyallah, buku ketiga bisa segera dicetak. Mudah-mudahan, hasilnya bisa lebih baik dari dua buah buku yang sebelumnya kami terbitkan. Sebagai flashback, saya tampilkan sampul dua buah buku yang sebelumnya terbit. Yakinlah bahwa buku ketiga nantinya akan jauh lebih baik dari buku pertama. Saya sangat yakin akan itu.(*)


Embun-Embun Spiritualitas

TIDAk banyak saya temukan buku-buku bernuansa spiritualitas yang enak dibaca dan bisa bikin termenung selama berhari-hari. Buku karya seorang biksu Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya adalah pengecualian. Buku ini berkisah pengalaman sehari-hari sang biksu serta pelajaran berharga yang bisa dipetiknya. Saya membaca buku ini dengan amat asyik. Sesekali saya tertawa kala menyadari apa yang ditulis Brahm pernah pula saya alami. Namun sesekali saya berkerut dan terkagum-kagum karena Brahm sanggup memetik hikmah dari setiap pengalaman tersebut.

Saya mencatat beberapa kelebihan buku ini. Pertama, buku ini sangat jauh dari kesan menggurui. Hal yang saya benci dari buku spritualitas adalah sering penulisnya merasa dirinya lebih hebat sehingga kalimatnya seperti titah yang harus dipatuhi. Malah, sering kalimatnya penuh dengan ancaman, misalnya jika tidak melakukan ini, maka Anda akan masuk neraka. Saya menghindari buku yang penuh ancaman. Hidup ini sudah cukup ruwet, untuk apa mempersulitnya lagi? Hidup ini kadang menakutkan, ngapain makin membuat diri ketakutan gara-gara membaca buku?

Kedua, buku ini adalah catatan tentang pengalaman sehari-hari. Dan pengalaman itu bisa saja sama dengan pengalaman orang lain. Brahm berbicara tentang hal-hal yang pernah kita alami. Misalnya rasa takut, rasa sedih, kemalangan, kemarahan, permaafan, hingga tema-tema seperti kebahagiaan dan pencerahan. Ini adalah hal-hal yang sifatnya universal dan bisa melanda siapa saja. Ia menjadikan pengalamannya sebagai contoh dan tidak hendak memaksakan bahwa pengalamannya mesti dialami orang lain. Tidak. Justru ia hendak mencontohkan bagaimana sebuah perspektif lain memandang masalah tersebut, kemudian bagaimana pengalaman itu bisa diperas menjadi butiran hikmah yang bisa memperkaya sisi kemanusiaan kita.

Ketiga, tanpa sadar kita sedang belajar spiritualitas di balik setiap tindakan. Memang, buku ini ditulis seorang biksu. Tapi saya tidak menemukan satupun rujukan pada kitab suci Buddha atau rujukan pada pengalaman yang pernah dialami sang Buddha. Ini berbeda dengan spiritualitas agama lain, yang cara pengajarannya adalah melalui kisah-kisah yang pernah dialami pada masa silam, pada abad pertengahan. Saya sering heran, mengapa banyak agama yang mengajarkan kearifan melalui pengalaman nabi-nabi atau para rahib yang hidup pada masa silam.

Saya sering berpikir, bukankah zamannya berbeda? Memang, problem yang dihadapi manusia bisa sama di setiap zaman. Tapi kan dinamika dan kompleksitas masa kini justru lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Lantas, ngapain harus selalu mengacu ke masa yangamat jauh. Mengapa tidak belajar kearifan dari pengalaman sendiri kemudian menemukan mutiara kehidupan di situ. Mengapa kita tidak menjadikan diri kita sebagai pengais ilmu di timbunan pengalaman yang pernah kita jalani? Mengapa kita tidak menjadikan semua gerak kehidupan sebagai embun bagi jiwa kita?

Buku karya Ajahn Brahm ini telah mengajarkan spiritualitas, tanpa berpretensi menggurui. Saya sangat nikmat membacanya, senikmat menyantap sup ayam bagi jiwa.(*)


Tantangan dan Adrenalin

SERING saya mengkhawatirkan virus malas dan tidak produktif. Tinggal di daerah kecil seperti ini, semuanya seolah berjalan slow motion. Tak ada tantangtan yang berarti. Semuanya serba tersedia. Semuanya serba mapan. Di saat perut lapar, makanan tersedia di dapur. Saya tak menemui tantangan yang bisa menaikkan adrenaline. Kalau keadaan begini terus, saya bisa stagnan dan tidak berkembang.

Dulu, saat masih tinggal di kota besar, hari-hari saya adalah bagaimana menghadapi tantangan. Saat bangun pagi, saya segera memikirkan bagaimana mendapatkan uang untuk membiayai hidup hari itu. Tantangan itu membuat saya kreatif dan bergerak mencari sumber-sumber penghasilan baru. Bukan soal seberapa banyak duit yang dihasilkan, namun bagaimana kita bisa keluar hidup-hidup dari sebuah masalah dan tantangan yang mendera. Ini yang belum saya temukan di tempat ini.

Dari sisi intelektualitas, saya juga merasa jalan di tempat. Tiadanya tantangan, membuat saya kian malas membuka-buka buku demi menemukan inspirasi. Di sini, saya tak pernah diundang untuk memberi materi diskusi, sesuatu yang dulu rutin saya jalani dan telah mengasah capaian intelektualitas. Saya juga tidak mengajar sehingga tak punya kesempatan membaca dan membaca agar tidak tampil bodoh di depan mahasiswa.

Satu-satunya hal yang membuat hidup saya tertantang adalah dunia menulis. Dunia ini sejenak bisa melepaskan saya dari semua masalah yang mendera. Dunia ini bisa menjadi arena bermain yang membuat saya semakin eksis. Apalagi sejak saya bergabung di beberapa social blog, saya tertantang untuk menghasilkan tulisan yang bernas dan laris dibaca. Saya menemukan banyak teman baru yang sama-sama saling berbagi pemikiran. Kami saling belajar dan berinteraksi dalam satu wadah social blog.

Dan saya bersyukur karena dunia inilah yang membuat saya tetap memelihara semangat untuk tetap membaca dan berpikir, mengasah ide, menemukan tema-tema baru dalam menulis, mengeksplorasi ranah-ranah yang belum sempat saya jejaki. Dunia ini menerbangkan saya ke mana-mana dan tidak terkungkung.(*)


Perlukah Kuliah Doktor?

TADI saya berbincang dengan seorang kawan. Katanya, Pemerintah Kota Bau-Bau memasukkan nama saya sebagai salah seorang staf yang akan dikuliahkan pada program doctor. Menurutnya, terdapat 20 nama yang diusulkan ke walikota, namun yang disetujui hanya 10 nama, termasuk saya sendiri. Entah benar apa tidak, saya tidak tahu bagaimana mesti memosisikan diri. Apakah saya harus senang ataukah sedih dengan tawaran ini.

Saya memang menyenangi dunia akademik. Saya menyenangi saat-saat ketika belajar sesuatu. Tapi, saya jadi bertanya-tanya, seberapa relevankah kuliah doctoral bagi seorang praktisi. Bagi akademisi, pengetahuan di tingkat doctoral akan mempengaruhi aktivitasnya sebagai pengajar. Sementara bagi praktisi, entah di mana harus meletakkan pengetahuan itu. Bukankah, bagi seorang praktisi, pengalaman dan interaksi akan menempanya sehingga pada satu titik bisa mensintesiskan gagasan-gagasan baru? Maafkan saya yang sedang bingung.(*)


Maradona, Seks, dan Tuhan

KAKI itu seakan bermata. Ketika Lionel Messi menyentuh bola, kakinya seakan-akan bisa menebak ke arah mana bola itu harus disepakkan. Setelah berkelit dari terkaman sejumlah pemain, Messi dengan hati-hati menceploskan bola ke sudut kiri gawang. Bola meluncur bak anak panah. Semua mata terpaku. Napas tertahan. Plakk..!! Bola itu berhasil ditepis oleh penjaga gawang Nigeria Vincent Enyeama. Messi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kesal, sambil melirik sosok pria yang berdiri di pinggir lapangan. Ia melirik sosok kharismatis bernama Diego Armando Maradona.

Dewi Fortuna tidak secara langsung berpihak pada Messi dan tim biru langit Argentina. Sepanjang pertandingan itu, Messi terus berupaya memanggil nama Dewi Fortuna demi kemenangan Argentina. Apalah daya, sang dewi tidak sedang berpihak. Ada apakah gerangan? Sebuah media asing menyebutkan bahwa sang dewi keberuntungan sedang cemburu dengan sosok kharismatis di pinggir lapangan itu. Sosok yang ditahbiskan sebagai dewa di dunia sepakbola.


Yah, di pinggir lapangan itu Diego Maradona tengah mengawasi jalannya pertandingan. Penampilan maestro sepakbola ini agak berbeda dengan biasanya. Janggut putih memenuhi dagunya sehingga mengesankan dirinya yang dewasa. Ia memang menghindari kesan bengal dan berangasan yang banyak dilekatkan padanya. Ia menolak cap sebagai pria kurang ajar yang suka mencuri kemenangan dengan cara curang. Janggut itu mewakili tanda kedewasaan, sebuah visi tentang ke arah mana sepakbola Argentina.

Saya membayangkan sosoknya seperti Chou Yun Fa dalam film Confucius. Saya yakin ia tidak bermaksud meniru Confucius. Namun sebagaimana Confucius, janggut itu mewakili gambaran tentang kedewasaan dan kematangan. Ia hendak menegaskan diri yang berbeda. Bukan lagi sosok yang terjerat kokain dan hanya bisa terbaring pasrah di satu pusat rehabilitasi di Kuba. Ia mengemban amanah untuk menjawab semua doa dan mantra yang dirapalkan banyak orang, mulai dari Buenos Aires hingga jalan-jalan di kota kecil Napoli di Italia yang menjadi saksi-saksi atas kedigdayaannya.

Saya merasa beruntung karena bisa menyaksikan sosok Maradona dalam piala dunia ini. Memang, ia tidak lagi mengolah si kulit bundar. Ia hanya berdiri di pinggir lapangan dan mengawasi anak asuhannya yang sedang berlaga. Menyaksikan tokoh ini seolah menyaksikan dewa bola yang tiba-tiba saja hadir di tenah gegap gempita piala dunia. Memang, fisiknya sudah tidak sebugar ketika mempermalukan Inggris di ajang Piala Dunia 1986 atau saat membela Napoli, sebuah klub miskin di kancah Liga Italia yang kemudian melesat bak meteor. Tapi setidaknya ia masih memelihara karisma, sesuatu yang dulu membuat semua lawannya merinding.

Sebulan sebelum Piala Dunia digelar, Maradona sempat berkontemplasi di satu sudut Argentina. Ia membaca beberapa buku filsafat, dari Plato hingga Emannuel Levinas. Membaca Plato, telah membersitkan dialog-dialog dengan dirinya sendiri. Di masa silam, dirinya adalah sosok yang dicintai sekaligus dikutuk banyak orang. Ia mengenang saat-saat ketika membuat gol ke gawang Inggris dengan tangan. Gol yang hingga kini telah melukai public Inggris itu telah menyebabkan dirinya dicap sebagai penipu yang licik. “Gol ini sungguh kejam. Gol ini telah melanggar hukum,” umpat manajer inggris Bobby Robson. Sang dewa hanya berkilah kalau gol itu adalah gol “tangan Tuhan.” Kilah yang kian menegaskan dirinya sebagai seorang penipu.

Kisah Maradona adalah kisah penuh kontradiksi. Tak ada satpun yang meragukan kedigdayaannya sebagai pemain yang menyihir jalannya pertandingan. Pada Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat (AS), pemain Yunani kehilangan percaya diri dan terlolong-lolong melihat kehebatan maradona. Sampai-sampai, Alketas Panagouilas, pelatih Yunani, marah-marah. “Andaikan pemain saya boleh membawa kamera di lapangan, mereka akan mengambil foto maradona sepanjang permainan,” katanya.

Seks Maradona

Namun sosok itu juga mewakili kehidupan yang runyam dan berantakan. Sosok itu mengalami kontradiksi. Dalam film Hand of God, terpampang gambaran tentang sosok yang melewati masa kecil dengan kesederhanaan, dan saat dewasa tiba-tiba saja jadi glamour. Ia menjadi sorotan media dan mulai kehilangan dirinya sendiri. Kemanapun ia pergi, ia dikuntit para paparazzi dan wartawan. Kata orang, ia terkejut saat menjadi sosok kaya-raya, maestro yang tak berkekurangan. Ia jadi sosok penuh hura-hura dan terjerat narkoba. Dalam catatan hariannya yang sempat dimuat media Argentina, ia mengungkapkan kerinduan akan masa kecil yang serba sulit itu. Ia kerap bermimpi tentang lapangan bola di mana anak-anak bermain. Ia benci dengan mereka yang memanfaatkannya. Ia tiba-tiba benci pada mereka yang menganggapnya sebagai Tuhan.

“Diego tak pernah lagi punya kesempatan menjadi anonym. Tidak mungkin lagi ia bermain bola di jalanan dengan teman atau saudaranya. Padahal baginya, permainan macam itulah sepakbola yang sesungguhnya. Diego kehilangan kegembiraan masa kecilnya,” kata Oswaldo Ardilles, mantan pemain tengah Argentina.

Maka sang bintang lalu melepaskan semua bebannya dengan menjadi sampah masyarakat. Tak hanya kokain, ia juga menjadi pemain seks yang bejat. Srjak masih remaja, ia sudah terbiasa dnegan seks bebas dengan siapa saja. Bahkan ketika memperkuat klub Italia, Napoli, ia mengkhianati istrinya, Claudia Villafane. Dia juga berhubungan intim dengan gadis setempat hingga akhirnya punya anak. Maradona menolak untuk melakukan tes DNA guna membuktikan apakah Maradona Junior benar-benar anaknya. Namun, pada 2003 dia mengakui anak itu sebagai keturunannya.

Sebenarnya, itu bukan pertama dan satu-satunya. Maradona dikenal doyan pesta dan sering larut dengan wanita lain, kemudian tenggelam dalam perselingkuhan. Percekcokan dengan istrinya pun seolah menjadi acara rutin. Pada 2004, Maradona pun cerai dari Claudia yang telah memberinya dua putri, Dalma Nerea dan Giannina Dinorah. Giannina sampai mengatakan, ternyata cerai adalah jalan terbaik. Maradona sendiri mengatakan, tak pernah percaya 100 persen kepada Claudia, meski dia adalah cinta dalam hidupnya. Ia juga selingkuh dengan wanita Napoli, Christina Sinagra, yang mengaku telah melahirkan anak dari Maradona. Bahkan Sinagra siap untuk menjalani test DNA demi membuktikan kalimatnya. Maradona menolak, meskipun belakangan mengakui kenyataan tersebut. Kelakuannya sendiri juga sering menjadi penyebab kehancuran keluarga mereka. Selain suka mabuk dan mengonsumsi kokain, Maradona sering berselingkuh. Saat menjalani rehabilitasi ketergantungan narkoba di Kuba, dia menggandeng gadis 19 tahun, Adonay Fruto. Bahkan, dia tak segan menunjukkan kemesraan di depan umum.


Apakah yang sebenarnya dicari Maradona? Tampaknya, ia sedang berupaya menemukan dirinya. Kenakalan dan kebandelan itu adalah resultan dari pengalaman masih kecil saat hidup sebagai warga miskin di jalan-jalan. Boleh jadi, ia melihat seks sebagai jalan pembebasan. Hawa nafsu adalah tali kekang yang bisa menjadi bendungan atas imajinasi dan daya dobrak kreativitas pada diri seseorang.

Mungkin ia membaca Sigmund Freud yang melihat libido harus dilepaskan, bukannya dikekang. Ia beda pendapat dengan pelatih Inggris, Fabio Capello, yang enggan mengizinkan para pemainnya bertemu pasangan saat Piala Dunia digelar. Tidak mengherankan jika sebelum Piala Dunia 2010 digelar ia menerapkan kebijakan yang mengejutkan yakni mengizinkan para pemain untuk berhubungan seks dengan pasangannya. Ketua Tim Dokter Keseblasan Argentina, dr Donato Villani, mengamini kebijakan tersebut. “Seks adalah bagian yang normal dalam kehidupan sosial. Seks bukan masalah,” katanya.

Tuhan Maradona

Usai membaca Plato, Maradona lalu menerawang ke depan. Kembali ia berharap agar dirinya bisa menjadi pembebas dari rasa haus akan gelar bagi tim Argentina. Rasanya, ia ingin berbuat sesuatu yang lebih, yang bisa melampaui kapasitasnya sebagai manusia biasa. Maha bintang asal Brasil, Pele, pernah meledeknya. “Bayangkan, Maradona telah menganggap dirinya Dewa, dan bukan manusia. Padahal ia tak lebih dari pemain besar seperti Alfredo di Stefano, Zico, dan Cruyff. Maradona telah kehilangan dasar religious dan kekeluargaan, sesuatu yang dibutuhkan para pemain bola,” katanya.

Mungkin Pele asal ngomong dengan pernyataannya. Toh klaim itu tak pernah datang dari Maradona. Justru klaim itu datang dari penggemar yang ingin sesuatu yang berlebih. Namun, benarkah sosoknya seperti dewa? Bagi warga Argentina, sosoknya lebih dari itu. Jika dewa adalah mahluk langit yang tunduk pada perintah Tuhan, maka bagi sebagian orang, Maradona adalah Tuhan itu sendiri.

Pada Piala Dunia 2006 lalu di Jerman, banyak supporter yang menulis kalimat dalam bahasa Jerman: Der papst ist Deutscher. Gott ist Argentinier – Diego X. Artinya: Paus Orang Jerman. Tuhan Orang Argentina-Diego X. Jika supporter menyebut Diego tanpa embel-embel, maka yang dimaksudkan adalah Diego Armando Maradona. Adapun huruf “X” menyimbolkan nomor keramat yang selalu dikenakan sang dewa saat bermain yakni nomor 10.

Sedemikian cintanya rakyat Argentina sehingga merekapun membangun ruang pemujaan Gereja Maradona di dekat Buenos Aires pada tahun 2003. Tak hanya rakyat Argentina saja, rakyat Napoli, Italia, juga membangun altar pemujaan atas sosoknya. Ribuan orang berdoa agar dirinya kembali membuat keajaiban sebagaimana Piala Dunia 1986 di Mexico City. Ribuan orang mengucap mantra demi kedigdayaannya. Catat, Maradona belum tewas, namun ia sudah mendapat kehormatan dan pemujaan yang dahsyat sehingga warga Napoli menyebutnya Santa Maradona.

Kini, Sang “Tuhan” akan diuji kembali. Dalam Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan sihir Santa Maradonakembali ditunggu. Saat hendak menuju lapangan tempat pertandingan untuk berhadapan dengan elang super Nigeria, maradona sempat memanggil pemain kebanggaannya Lionel Messi. Ia lalu berbisik, “Kalaupun kita harus mati, maka langit pun harus ikut runtuh bersama kita.”



Pulau Buton, 13 Juni 2010, pukul 11.04
Saat siap-siap pergi mancing


Serunya Bermain Hulla Hop

ANAK-anak di sini sedang tergila-gila dengan permainan Hulla Hop. Setiap kali saya jalan-jalan keliling, selalu saja saya menyaksikan anak-anak yang bermain Hulla Hop. Permainan ini berupa lingkaran warna-warni yang kemudian diputar-putar di pinggang, kandang leher, hingga kaki. Entah, apa yang menarik dari permainan ini, tapi di sepanjang tempat pulau ini, saya selalu saja menyaksikan anak kecil bermain Hulla Hop.

Tahun 1980-an, permainan ini sempat ngetop. Namun tenggelam begitu saja, tanpa ada kejelasan mengapa sampai demikian. Saya tidak pernah tertarik bermain Hulla Hop. Itu permainan cewek. Tapi saat ini, permainan ini adalah magnet bagi semua anak, tak peduli cowok atau cewek.



Kemarin, saya menyaksikan dua pertandingan Hulla Hop. Pertama, saya menyaksikan di Lapangan Lembah Hijau, Bau-bau, dan kedua, saya saksikan di perkemahan apel siaga di Bukit Samparona. Kalau di lembag hijau, pertandingan itu sifatnya individual, sedangkan di Samparona, permainan itu kolosal sebab melibatkan ratusan anak kecil. Serunya lagi karena saat memainkan Hulla Hop, music keras ikut berdentam. Beberapa anak langsung beratraksi dengan cara goyang ngebor atau gerakan pinggul yang unik. Tanpa sadar, sayapun ikut bersorak.(*)


Isi Talang Haroa


BAGI masyarakat Buton, haroa adalah ritual untuk merayakan hari besar Islam sekaligus memanjatkan dia syukur atau permohonan kepada Sang Pencipta. Sebagai ritual, haroa dirayakan di rumah-rumah penduduk yang juga berfungsi untuk mempererat jaringan sosial. Keakraban sesame warga kembali diperkukuh, dan di saat bersamaan juga memiliki fungsi spiritual untuk berdoa kepada Sang Pencipta.

Saya sudah beberapa kali menulis tentang haroa, sebagaimana bisa dibaca DI SINI dan DI SINI. Namun, saya belum pernah memajang foto tentang makanan dan kue yang mengisi sebuah talang haroa. Kali ini, saya akan menampilkan talang dan kue-kue yang mengisinya. Saya menuliskan nama kue itu dalam foto di atas. Masih banyak yang kurang. Tapi setidaknya, gambar makanan di atas bisa menjadi gambar awal yang menjelaskan tradisi haroa di Buton.(*)


Punahnya Nama "La" dan "Wa" di Masyarakat Buton



SEBUT saja namanya La Mane. Ia adalah seorang pejabat di satu kantor di Bau-Bau. Saya tidak hendak membahas pekerjaannya. Saya senang dengan namanya yang unik dan khas Buton. Dulu, di zaman ketika bapak saya masih hidup, banyak warga Buton yang namanya berawalan La atau Wa seperti La Mane.

Kini, nama itu mulai pudar. Banyak warga yang sudah tidak mau lagi mengenakan nama berawalan La atau Wa. Apa alasannya? “Ah,.. nama itu kesannya kampungan. Kayak orang desa saja,” kata seorang teman ketika saya tanyai.

Saat ini, pemilik nama berawalan La atau Wa masih bisa ditemukan pada generasi yang berusia 50 tahun ke atas. Jika berkunjung ke sejumlah desa-desa di Buton-Muna, masih banyak pula ditemukan nama demikian. Aneh juga, mengapa generasi bapak saya mulai menanggalkan kata La dan Wa buat anak-anaknya.

Padahal, kata itu memiliki makna dan sejarah yang panjang. Tidak sekedar membedakan jenis kelamin lelaki yang menggunakan kata La, dan jenis kelamin perempuan yang menggunakan kata Wa. La dan Wa bukan sekadar penanda identitas. Namun maknanya jauh lebih dalam.

Kata bapak saya, panggilan itu bisa dilacak sejak masuknya Islam. Bangsa Buton memiliki banyak pandangan filosofis yang digali dari ajaran tasawuf. Dalam pandangan tasawuf, titik tertinggi yang mesti digapai manusia adalah Allah SWT.

Selanjutnya titik kesempurnaan berikutnya adalah Muhammad SAW. Allah dan Muhammad dipandang sebagai sesuatu yang berpasangan sebagaimana hubungan ayah dan ibu, atau hubungan antara lelaki dan perempuan. Allah adalah puncak kesempurnaan. Demi menyampaikan perintah di muka bumi, maka Muhammad mengemban tugas mulia untuk menjadi kesempurnaan yang mengaktual.

Kata La diambil dari kalimat tauhid “Laa Ilaa Ha Illallah.” Sedangkan kata Wa diambil dari kalimat “Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.” Posisi Allah dan Muhammad ibarat dua keping yang saling melengkapi. Dalam khasanah tasawuf di Buton, Allah ibarat ayah, dan Muhammad ibarat ibu yang mengasihi. Makanya, lahirlah panggilan La dan Wa bagi lelaki dan perempuan. Panggilan ini jelas bersumber dari ajaran tasawuf yang dahulu amat marak di Kesultanan Buton.

Kini, modernisasi mulai menggilas semuanya. Orang-orang Buton mulai malu jika masih mengenakan panggilan itu. Sudah amat jarang saya menemukan nama itu melekat pada nama lengkap seseorang.

Orang Buton mulai merasa panggilan itu amat tradisional sehingga tidak tepat lagi untuk dikenakan. Kini, mereka mulai mengadapasi nama-nama keren yang dulunya cuma ada di sinetron. Mungkin ini adalah konsekuensi kemajuan. Tapi amat disayangkan jika kemajuan itu menyebabkan kita kehilangan ciri dan identitas.(*)




Terimakasih Ariel Peterpan

SELAMA seminggu saya tidak pernah bersentuhan dengan internet. Juga tak pernah memposting tulisan blog. Dan betapa terkejutnya saya ketika mengetahui begitu tingginya respon warga dunia maya terhadap kasus video mirip Ariel Peterpan dan Luna Maya. Lebih terkejut lagi saat menyaksikan tayangan infotainment yang penuh dengan pembahasan kasus ini. Setiap hari ada banyak selebritis dan orang-orang yang berkomentar. Semuanya menyengat dan selalu membawa-bawa moralitas bangsa. Berita televisi juga menayangkan tentang razia ponsel yang dilakukan di beberapa sekolah di tanah air. Saya tersentak dan bertanya-tanya, sebenarnya ini menggambarkan apa?


Terus terang saya mulai muak dengan pemberitaan itu. Saya merasa sudah terlampau banyak kalimat yang bikin ngantuk, misalnya kalimat yang selalu membawa-bawa moralitas bangsa, namun di saat bersamaan mengabaikan fakta bahwa moralitas itu juga tercermin pada jutaan orang yang ramai-ramai mengunduh dan mengoleksi semua video tersebut. Saya mulai jenuh dengan pribadi-pribadi yang terbelah. Di satu sisi memaki-maki Ariel dan Luna, namun pada kesempatan lain, selalu saja mencari-cari di manakah gerangan video-video yang lain.

Saya mengenal seorang sahabat yang setiap hari berceramah tentang moral yang tercabik-cabik akibat video tersebut. Tapi, saya tahu persis bahwa sahabat itu mengoleksi video mirip Ariel. Saat bertemu sahabat-sahabat yang lain, ia lalu berbisik, “Sudah lihat video Ariel? Saya punya koleksinya lho…” Saya jadi geli melihatnya. Ngapain mengoleksi benda itu? Apakah hendak memberikan contoh tentang kebejatan?

Saya yakin, mereka yang seperti sahabat itu tidaklah satu orang. Saya yakin banyak yang bersorak melihat Ariel bagai pesakitan, selalu menyebut moral bangsa, namun saat bersamaan punya hasrat mengoleksi semua video itu, lalu menyaksikannya secara diam-diam dengan penuh nafsu. Malah, membayangkan video itu saat berada di kamar mandi. Inilah potret bangsa kita yang suka memaki, namun juga menikmati apa yang dimaki tersebut. Saya jadi terkenang ucapan wartawan Muhtar Lubis tentang kepribadian kita yang hipokrit, suka berbohong.

Sepatutnya kita berterimakasih pada sosok mirip Ariel Peterpan. Ia telah membuka topeng yang selama ini kita kenakan. Sosok itu telah mengekspos dengan gamblang wajah manusia Indonesia sesungguhnya, yang setiap saat memaki dengan membawa moral, namun di saat bersamaan menikmati tayangan tersebut. Selama ini kita selalu berbangga dengan retorika ketimuran, jargon bahwa kita bangsa yang santun dan berkepribadian. Kita pongah dengan diri kita yang agamis, menjadikan moral sebagai senyawa yang memberi napas bagi semua tindakan, memiliki kesantunan dan tabu membahas seksualitas. Namun jutaan anak bangsa justru menikmati video tersebut. Kitalah bangsa yang terbelah itu.

Sosok mirip Ariel itu telah menelanjangi kepalsuan yang selama ini menghinggapi rakyat Indonesia, mendefinisikan ulang bahwa sesuatu yang tabu justru makin menarik untuk dilanggar, serta menunjukkan wajah kita sendiri; wajah yang selama ini terbelah. Jutaan manusia Indonesia yang men-download video tersebut menjadi gambaran utuh tentang sosok kita yang sesungguhnya. Ribuan orang yang juga membuat video serupa adalah fakta-fakta yang tak bisa diabaikan begitu saja. Inilah potret bangsa kita. Bukan sekedar potret mereka yang sedang berdoa khusyuk di satu tempat, namun juga potret para penikmat video seks itu, juga potret mereka yang mencari teman tidur di hotel-hotel, maupun di pinggiran rel kereta api, mengumbar nafsu di dekat pemukiman tikus got.

Sepatutnya, kita berterimakasih pada sosok mirip Ariel tersebut. Ia juga telah mengajak kita untuk mendefinsikan ulang tentang batasan seksualitas. Selama ini kita beranggapan bahwa seksualitas itu adalah sesuatu yang tertutup dalam kelambu, sesuatu yang haram untuk dibicarakan. Sesuatu yang terlarang bagi siapapun, khususnya seorang anak untuk membahasnya. Bisa buat kita masuk neraka. Namun sosok mirip Ariel itu telah menjadikan seks sebagai ruang terbuka, bisa diakses siapa saja dan kapan saja. Seks bisa dinikmati semudah membeli kacang goreng di pinggir jalan. Seks menjadi kehilangan unsur ketabuannya. Kita menikmatinya dengan begitu enak, lalu mengabaikan semua petuah dan tabu yang dipaksakan sejak masih kecil serta disosialisasikan dalam retorika tentang kepribadian bangsa yang luhur. Lantas, apakah masih relevan sikap memaki sosok mirip Ariel?

Potret Bangsa yang Terbelah

Bagi saya, video itu telah membukakan lapis-lapis kenyataan sosial. Kita selayaknya berterimakasih pada sosok-sosok dalam video tersebut. Mereka telah menunjukkan sosok kita yang sebenarnya, tanpa topeng. Maka, berhentilah memaki sosok mirip Ariel. Marilah kita melihat video itu sebagai pelajaran berharga bagi kita semua. Marilah kita membuka lapis-lapis hikmah untuk sama-sama kita petik dan persembahkan kepada masyarakat kita sendiri. Bukan saja tentang watak bangsa kita, namun fakta-fakta yang menajwab pertanyaan mengapa masyarakat kita harus sedemikian gandrung dengan video itu. Saya sendiri mencatat beberapa argumentasi.

Pertama, seorang selebriti masih memiliki magnet yang amat besar bagi masyarakat. Seorang selebriti –dan juga politisi-- serupa ‘mahluk luar angkasa’ yang hidup dalam dunia seolah-olah dan mereka wajib menyandang moralitas serta menjadi teladan di masyarakat. Kita terkejut dengan fakta ketika seorang selebriti bisa berbuat salah. Kita penasaran menyaksikannya sehingga apapun berita yang menyangkut selebriti serupa dengan bola salju yang terus membesar.

Kedua, seorang selebiriti seolah hidup dalam dunia sendiri yang berbeda dengan kita. Setiap hari kita menyaksikan sang selebriti dengan segala dandanan cantiknya yang glamour di televisi. Kita seolah melihat mereka hidup dalam dunia yang serba menyenangkan; dianugerahi wajah cantik, tubuh seksi, dan uang berlimpah. Di saat bersamaan, kita juga melihat diri kita yang bagaikan bumi dan langit. Dikarenakan mereka seolah berasal dari planet lain, kita memaksakan mereka untuk menjadi penjaga gawang moralitas. Kita ingin para pesohor itu berperilaku sebagaimana sosok yang diperankan dalam sinetron atau lirik lagu. Padahal, mereka juga manusia biasa yang memosisikan akting dan syair sebagai lading untuk cari makan. Dan ketika mereka berbuat salah –yang sebenarnya justru menunjukkan sifat manusianya—kita bersorak kegirangan. Kita senang karena mereka pada akhirnya meninggalkan kotak kaca itu dan kembali pada kehidupan jelata sebagaimana kita sehari-hari.

Ketiga, tanpa sadar kita kerap iri dan cemburu dengan para selebriti itu. Kitapun menginginkan bisa menggenggam dunia sebagaimana para seleb itu. Dan ketika seorang selebriti berkasus sebagaimana video mirip Ariel ataupun Luna, tanpa sadar, kita seolah bersorak kegirangan. Kita seolah nggak rela melihat karier orang lain yang melejit bak meteor. Kita mengidap penyakit ‘kepiting’ dalam baskom. Kita selalu ingin menjepit siapapun di antara kita yang hendak keluar dari baskom.

Keempat, kasus video ini telah menyingkap watak bangsa kita yang sesungguhnya. Bukan waktunya untuk mengabaikan kenyataan ini. Bukan waktunya untuk mengabaikan kasus-kasus seperti ini dalam retorika budaya bangsa atau kepribadian bangsa. Namun menerima apa yang terjadi sebagai fakta sosial, kemudian sama-sama merumuskan apa langkah terbaik untuk menyelesaikan apa yang dianggap sebagai masalah. Mereka-mereka yang menyebarkan video porno ini adalah anak bangsa juga yang membutuhkan tangan-tangan kita untuk menyelamatkan mereka. Mereka butuh embun sejuk yang bisa menuntun mereka untuk melihat matahari pagi yang cerah. Bukan sekedar memaki dan menyalahkan mereka.

Capek ah. Nanti dilanjutkan lagi pada tulisan lain.


Pulau Buton, 11 Juni 2010
Saat baru bangun tidur


Surat buat Kekasih

Kekasih …. Cinta ini adalah milik kita. Bukan milik mereka yang selalu mempertegas tentang status sosial dan gengsi. Kitalah yang merasakan indahnya cinta. Bukan mereka yang hanya bisa mempertentangkan ukuran-ukuran dirinya. Kita terkepung oleh dua tradisi serta keyakinan yang berbeda. Kita adalah pelanduk di tengah dua gajah kebudayaan yang bertarung. Kita hanya penonton dari mereka yang saling unjuk gigi dan meneriakkan kata aku hingga memekakkan telinga. Kita adalah penonton yang setiap saat bisa terjepit dan lemas di tengah. Saya mengkhawatirkan perasaan kita yang sama-sama akan jadi korban dari pergulatan ini.

Kekasih …. Kita tak mesti membenci mereka semua. Mereka menyayangi kita dengan caranya sendiri-sendiri. Kita dan mereka sama-sama dipandu oleh logika dan rasionalitas masing-masing. Logika dan rasio telah mengalami pendefinisian ulang. Toh, apa yang disebut logika tak lebih dari pengabsah atas konsep berpikir kita masing-masing. Entah apa mereka paham tentang logika kita. Dan entah, apakah kita juga paham dengan logika mereka.

Yang pasti, kita adalah anak kandung dari dua tradisi yang sedang berhadapan. Tapi kita punya dunia sendiri. Kita hidup dalam sebuah rasa. Semesta indah semerbak yang menganak sungai dan di dalamnya berenang ikan-ikan kebahagiaan yang berkecipak di dasar hati kita. Kita sama-sama tumbuh dalam tunas-tunas cinta yang kuncupnya merekah di pagi hari dan semerbak dengan keharuman tiada tara. Keharuman yang hanya bisa kita rasakan dan nikmati sama-sama.

Kekasih …. Mungkin tak ada yang memahami apa yang sesungguhnya berkecamuk dalam diri kita, apa rasa yang mengalir di sela-sela hati ini. Bukankah dulu tak ada juga yang sanggup memahami apa yang menjalar di hati San Pek ketika melihat Eng Thay? Atau saat Jayaprana melihat Layonsari, atau saat Syamsul Bahri memandang Sitti Nurbaya? Merekalah para martir yang mendedikasikan hidupnya di jalan cinta. Merekalah pencinta yang tidak dipahami oleh zamannya. Di dasar hati mereka mengendap sebuah sungai yang hanya bisa dimaknai mereka sendiri. Bukankah rasa bahagia itu untuk dipendam dan tak pernah benar-benar bisa dibagi?

Kekasih … izinkan aku untuk tetap menyayangimu dalam segala ketidakberdayaan ini. Izinkanlah aku mencintaimu dalam segala mati rasa dan lumpuh yang menjalari kakiku. Biarlah kita sama-sama menjadi abu atas apa yang menyala dalam diri kita. Biarlah kita sama-sama menjadi awan yang tersaput oleh hujan hingga tak berbekas.

Kekasih… aku merinduimu…


Toko Buku dan Bioskop

TAHU tidak, ada hal yang menjadi agenda utama setiap kali memasuki Kota Makassar. Saya akan mengunjungi tempat favorit saya yakni toko buku dan bioskop. Inilah tempat-tempat yang sering bikin saya kangen di kota ini. Andaikan dua hal tersebut bisa saya temukan di kampong, tentunya saya tidak berniat untuk selalu masuk kota.

Sehari setelah mendarat di Makassar, saya langsung ke toko buku. Ternyata, belum ada juga buku baru yang bikin saya kepincut. Kebanyakan buku baru hanyalah buku-buku bertemakan motivasi atau yang sifatnya how to. Mungkin warga bangsa ini sedang putus-asa sehingga buku sejenis how to bisa laris bagai kacang goreng.

Setelah lama memilih-milih, akhirnya saya memebeli beberapa buku. Pertama, edisi terbaru National Geographic (NG). Sudah hampir setahun, saya menjadi pembaca tetap majalah ini. Saya selalu mengikuti isu-isu terbaru yang disajikan. Baik itu isu lingkungan, maupun isu tentang manusia. Saya menyenangi liputan tentang peradaban manusia di belahan bumi lain. Apalagi, gaya tulisan di NG selalu khas dan sifatnya etnografis.

Kedua, saya juga membeli buku Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto. Ini buku lama. Dulunya, saya tidak berniat membacanya. Namun saat meresensi Nagabumi di Kompasiana, banyak yang merekomendasikan buku ini. Dan saya mudah terpengaruh atas rekomendasi orang tentang bagus tidaknya satu buku. Kalau banyak yang bilang bagus, siapa tahu buku itu memang bagus. Saya terpengaruh.

Ketiga, buku riwayat Emile Durkheim. Sejujurnya, tak ada niat membeli buku teks. Tapi saya kepincut setelah membaca nama pengarangnya Hanneman Samuel. Beliau adalah pengajar sosiologi pengetahuan di UI. Saya sering ngobrol sama beliau di kantin Fisip UI dan saya tahu betul kalau dia amat cerdas dan menguasai tema-tema sosiologi pengetahuan. Saya membeli bukunya karena saya mengenal pengarangnya.

Nah, setelah membeli buku, selanjutnya saya ke bioskop. Film Prince of Persia sudah menanti saya. Hmm… inilah sisi lain dari Makassar yang tidak saya temukan di kampung saya.(*)