Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Apakah Quraish Shihab Seorang Syi’ah?


SERU juga menyaksikan adu argumentasi di bedah buku Sunnah – Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? karya Prof Dr Quraish Shihab yang digelar di Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas, hari ini (26/10). Meski terlambat datang, saya cukup beruntung karena bisa menyaksikan langsung bagaimana Quraish Shihab membedah ayat-ayat secara mengagumkan. Ia diserang habis-habisan dengan banyak kutipan ayat, namun ia juga tangkas menjawab dengan kutipan ayat pula. Sangat terlihat kalau ia sangat menguasai apa yang sedang dibahas.

Jika di televisi ia banyak mengupas tafsir kitab-kitab, maka dalam seminar di Unhas, ia membedah bukunya sendiri yang membahas satu isu sensitif dalam Islam dan tekah membelah umat dalam dua kubu besar dalam sejarah. Ia membahas upaya menyatukan dua aliran yakni Sunni dan Syi’ah. Ini memang satu topik yang cukup sensitif sebab sejarah peradaban Islam adalah sejarah konflik yang penuh dengan peperangan dan bersimbah darah. Generasi hari ini mewarisi konflik yang sudah berurat akar sejak masa silam.

Yang menarik karena Quraish Shihab adalah seorang sunni. Namun ke-sunni-an itu tidak menghalangi pandangannya untuk meneropong isu Islam secara proporsional. Ia tidak mau mengkafirkan para penganut syi’ah. Ia menawarkan dialog dan hendak menunjukkan bahwa masing-masing aliran punya kebenaran dan kesalahannya sendiri-sendiri. Ia membahas bagaimana pahaman sejarah telah mengkonstruksi umat ke dalam dua bahagian besar. Mestinya, kita lebih arif dalam melihat sejarah. Kita mesti bisa memeras kebenaran dan kearifan dari kanvas sejarah, dan bukannya terjebak pada fanatisme buta. Sebab melalui kebenaran dan kesalahan itu, kita bisa saling belajar menghormati dan mengapresiasi satu sama lain.

Ia menentang pengkotak-kotakan berpikir. Ia agak heran karena ketika mengkritik prilaku sahabat Rasul, tiba-tiba saja ia dicap sebagai syi’ah. Padahal, semua yang disampaikannya sudah pernah dikemukakan para ulama-ulama besar sunni di masa silam. Ketika sejumlah kolega melarangnya menerbitkan buku itu karena dicap syi’ah, ia menampiknya. Kata Quraish, ia sudah mencapai semua puncak impiannya baik di karier akademik, maupun rezekinya yang lancar. Olehnya itu, tanpa pretensi apa-apa, ia ingin menunjukkan kebenaran kepada banyak orang. Ia tidak peduli apakah akan dikafirkan atau tidak. “Tak ada yang saya cemaskan menyangkut dunia. Amanah ilmiah menuntut saya agar menyampaikan apa yang diyakini. Saya khawatir, jangan sampai sikap diam diyakini Allah sebagai menyembunyikan kebenaran,“ katanya.

Dalam penjelasannya, saya bisa menangkap kesungguhannya. Ia tetap sunni yang mencintai keluarga Rasul dan juga bersikap kritis pada masa silam. Ia menolak disebut syi’ah, sebab ia adalah penganut sunni. Tetapi ia juga menolak pada anggapan banyak orang tentang kesesatan syi’ah. Untuk itu, ia banyak mengutip ayat-ayat atau kitab yang menunjukkan bagaimana ulama-ulama besar dari dua aliran ini saling mengutip. “Mestinya dua aliran besar ini bisa saling berdialog. Kita saling belajar sebagaimana pernah dilakukan para ulama terdahulu.“

Sayangnya, kata Quraish, banyak di antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang memadai. Tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, banyak yang merasa dirinya paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain. Ia tidak menampik fakta banyak ulama masa silam yang juga terjebak kebodohan, sehingga mempengaruhi umat di masa kini. Makanya, sikap kritis mesti diperlukan untuk menelaah kembali semua pemikiran di masa silam demi menemukan titik-titik kesamaan di masa kini.

“Kalau kita mau cari perbedaan supaya kita konflik, akan banyak sekali ditemukan. Namun, apa tujuannya kita berkonflik? Kita semakin membatasi diri kita. Lebih baik kita mencari titik kesamaan supaya kita bersatu sebagai sesama umat Islam,“ katanya.

Pendapat ini bukannya tanpa kritik. Ketika sesi dialog dimulai, bertubi-tubi pertanyaan ditujukan kepadanya. Namun, sebagaimana gayanya yang khas, ia bisa menjawab semua pertanyaan itu dengan jawaban yang cerdas. Bahkan, terhadap pernyataan seorang penanya yang menyatakan bahwa ajaran syi’ah tidak dibahas di Universitas Al Azhar, ia menentangnya habis-habisan. “Saya tantang berdebat siapapun yang menyatakan itu. Saya sejak SMP sudah belajar di Al Azhar, sampai jadi doktor. Saya belajar tentang semua mazhab dalam Islam di Al Azhar. Tidak cuma sunni saja, melainkan ada delapan mazhab yang saya pelajari di kampus,“ katanya yang disambut dengan tepuk tangan.

Di tengah banjir pertanyaan itu, ia mengatakan, “Masalah besar umat Islam sekarang ini adalah masalah kebodohan. Banyak yang sok pintar dan mengkafirkan yang lain. Padahal itu pandangan yang salah,“ katanya.

Saya menikmati diskusi ini. Saya rasa akan sulit mendebat seorang profesor bidang hadis yang sudah menulis banyak buku tentang tafsir. Mendebat Quraish tentang hadis adalah mengajaknya berduel di sebuah arena yang amat dihapalnya. Ia menghabiskan hidupnya untuk menelaah kitab-kitab sehingga pengetahuannya membukit. Makanya, saya tak mau ikut-ikutan latah. Saya lebih memilih belajar kearifan darinya, belajar pada keikhlasannya untuk menyampaikan kebenaran, apapun resikonya.(*)

Test Pengajar Ilmu Politik

SAYA termasuk pihak yang alergi dengan politik. Kadang-kadang saya berpikir bahwa kegiatan politik adalah kegiatan membohongi orang banyak demi memaksimalkan keuntungan pribadi dan kelompok. Kadang-kadang saya berpikir bahwa politik itu kotor sebab bisa menenggelamkan kita pada sikap pragmatis, menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Meskipun saya sadar juga, di tangan mereka yang bijaksana, politik bisa menjadi seni mengelola perubahan sosial.

Sayangnya, kebencian saya bidang politik harus disingkirkan dulu untuk sementara. Dalam waktu dekat, saya akan segera test menjadi pengajar politik di satu universitas negeri. Saya tak pernah membayangkan berkarier di latar ilmu politik. Pendidikan sarjana dan magister saya amat jauh dari ilmu politik. Tetapi anehnya, pihak kampus tersebut meminta saya untuk menjajal tes sebagai pengajar ilmu politik. Terpaksa, saya mengikut saja. Yang penting saya bisa menjalani test. Persoalan jurusan dan program studi, nantilah dilihat apakah bisa lulus ataukah tidak.

Sebab hidup seperti air mengalir...

Globalisasi yang Mematikan Petani Sutera

"Andaikan semua kokon ini bisa dimakan,
hari ini juga akan saya makan.
Saya tidak tahu mau dijual di mana,"


DEMIKIAN ucap lirih seorang petani sutera di Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Ia tak berdaya tatkala kokon (kepompong) sutera --hasil kerja kerasnya selama beberapa waktu-- tiba-tiba teronggok di rumahnya, tanpa bisa dipasarkan. Kokon itu adalah hasil dari kerja memelihara ulat sutera selama dua minggu. Mestinya kokon itu dipasarkan kepada sejumlah pengusaha tekstil untuk diolah menjadi benang sutera. Kini, harapan itu ibarat menggantang asap dan mengukir langit.

Masuknya aneka benang sutera impor dari Cina dan India telah memukul iklim persuteraan di Wajo. Para petani menjadi pihak yang paling dirugikan sebab merasakan langsung dampaknya. Para pengusaha banyak yang beralih ke benang impor karena lebih murah dan berkualitas. Para pengusaha justru tenang-tenang saja, sebab akan semakin banyak pilihan terhadap benang. Jika ingin menggenjot produksi, mereka cukup memilih benang impor yang lebih murah dan lebih berkualitas. Sementara para petani justru tidak punya pilihan. Mereka hanya bisa gigit jari. Kokon yang sedianya bisa memberikan tambahan penghasilan, tidak bisa dipasarkan. Akhirnya, kokon itu hanya memenuhi gudang di desa-desa.

Selama beberapa hari bertemu dan mewawancarai para petani sutera, saya bisa merasakan kesedihan itu. Mereka kehilangan mata pencaharian yang digeluti sejak lama. Apalagi, rata-rata para petani itu menjalankan profesi yang dulunya juga dijalankan orang tua mereka. Profesi yang telah terwariskan selama sekian generasi. Tatkala kokon tidak bisa dipasarkan, lantas apa daya mereka? Mereka hanya bisa menyaksikan kenyataan pedih itu dengan mengurut dada.

Susahnya adalah karena tidak banyak pihak yang bisa mengerti dan memeta-metakan apa yang sesungguhnya terjadi. Sementara pemerintah hanya berhenti pada tingkatan janji dan komitmen. Ada begitu banyak baliho dan sticker di rumah petani yang menampilkan para calon bupati dan calon anggota legislatif (caleg) yang berkoar-koar tentang komitmen memelihara kelangungan hidup para petani sutera. Sementara realitas di lapangan, para petani justru menjerit karena kokon tidak bisa dijual.

Tatkala para petani ramai-ramai menebang pohon murbei --sebagai makanan ulat sutera—maka itu harus ditafsir sebagai bentuk respon mereka atas globalisasi yang menghisap energi kehidupan mereka. Jika globalisasi bisa dibaca sebagai terbukanya belahan bumi atas aneka akses informasi, maka globalisasi itu menjadi ancaman yang makin memperparah kehidupan para petani. Dalam kondisi seperti ini, maka semestinya proteksionisme atau perlindungan negara kepada petani mesti dilakukan. Mestinya pemerintah bisa memperketat impor benang demi memacu produksi sutera dalam negeri sekaligus mempertahankan energi hidup dari para petani di tingkat grass root. Pemerintah tak perlu dengan segala retorika akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Cukup menghentikan impor benang, maka sontak akan menghidupkan industri persuteraan yang mati suri dan kembali memberikan penghidupan bagi ribuan petani sutera di Kabupaten Wajo.(*)

Rehat di Wisma Yuliana


PENELITIAN memang melelahkan. Namun, selalu ada saat-saat menyenangkan untuk rehat dan melepas lelah. Seperti yang sedang saya lakukan di Wisma Yuliana, di Kota Watan Soppeng, Sulawesi Selatan.

Energi yang Mendefinisikan Kita


SELAMA beberapa bulan ini, Makassar adalah kota yang menyebalkan. Hampir setiap hari, listrik selalu padam. Kadang sampai tiga kali sehari, seperti jadwal orang makan obat. Saya berani memastikan bahwa hampir semua penduduk Makassar kesal dengan situasi ini. Koran-koran hampir tiap hari menurunkan berita bernada protes atas apa yang terjadi. Sementara PLN selalu berkilah bahwa banyak hal yang menyebabkan listrik selalu padam.

Susahnya adalah kita tidak bisa memprediksi kapan listrik akan padam di kompleks kita. PLN semaunya saja memadamkan listrik. Mestinya ada pemberitahuan dari PLN, mana saja dan jam berapa saja listrik akan dipadamkan di satu kompleks. Andaikan ada pemberitahuan, maka kita bisa mengantisipasinya dengan baik, dan segera menyelesaikan apa yang mestinya dikerjakan saat listrik menyala.

Selama beberapa minggu ini, saya sering memikirkan betapa tergantungnya kita semua dengan listrik. Kita adalah generasi yang terlanjur menggantungkan hidup pada listrik sebagai sumber energi. Hampir semua rumah, selalu memajang aneka peralatan yang dialiri listrik. Saat berjalan ke mana-mana, kita selalu menenteng perangkat yang mengandalkan listrik, seperti telepon genggam, atau laptop. Tanpa listrik, tiba-tiba kita tak bisa bergerak. Kita tidak bisa melakukan banyak hal. Dan untuk itu, kita siap melampiaskan kekesalan kita agar listrik segera menyala.

Mungkin, saatnya kita harus waspada akan bahaya krisis listrik yang lebih luas di masa mendatang. Kita banyak tergantung pada teknologi yang semata-mata tergantung pada alam untuk mengatasi pasokan listrik. Sementara, tabiat alam semesta sudah tidak sama dengan dulu. Iklim di alam kita sudah tidak bisa diprediksi sebagaimana dulu ketika para petani merencanakan kapan waktu tanam. Semuanya karena ulah manusia yang memperlakukan alam dengan penuh keserakahan. Makanya, alam memberikan reaksi dengan iklim yang mudah berubah dan sukar diprediksi.

Sementara kita terlanjur menggantungkan hidup pada listrik sebagai sumber energi. Di abad modern seperti sekarang, kota-kota sudah menjelma jadi mesin besar raksasa yang sekrup-sekrupnya digerakkan oleh energi. Tanpa energi, kota seakan mati dan kehilangan daya. Dulu, nenek moyang kita hidup tanpa banyak bergantung pada listrik. Tapi itu kan dulu. Kita terlanjur tercemar dan belepotan dengan berbagai pranata modern hingga melekat menjadi bagian dari diri kita. Rutinitas yang tinggi serta intensitas kerja menyebabkan alat-alat modern itu seolah mendefinisikan diri kita. Tanpa alat-alat modern itu, kita jadi lumpuh, tak berdaya.

Kembali ke zaman tradisional juga bukanlah solusi. Hampir tak mungkin untuk menggantikan mobil sedan dengan kereta kuda. Demikian pula untuk menggantikan keberadaan pesawat dengan unta untuk menempuh perjalanan jauh. Modernitas memaksa kita untuk berlari dengan cepat, sefisien mungkin, serta menaklukan ruang dan waktu. Kita tak siap kembali pada zaman nenek moyang kita dulu menjalani hidup. Kita bergantung pada energi, dan energi itu menaklukan hidup kita.

Yup. Energi menjadi sesuatu yang tidak hanya menggerakkan kota, namun juga menggerakkan orbit kehidupan kita. Dalam buku Political Ecology yang ditulis Paul Robbins, disebutkan bahwa konflik besar di masa mendatang disebabkan karena konflik energi. Sebegitu tergantungnya kita pada energi, sehingga mudah berkelahi dengan sesama kita hanya karena soal energi. Mungkin, kita bisa memahami bagaimana konflik Timur Tengah, serta peran Amerika Serikat di situ. Semuanya karena konflik energi.

Dan kita juga paham betapa cerdasnya bangsa Iran yang memperkaya nuklir. Dengan cara memperkaya nuklir, mereka hendak menaklukan masa depan dan tidak mau menjadi taklukan bangsa barat, yang secara diam-diam memperkaya nuklir. Mereka menyadari bahwa satu gram uranium bisa memasok listrik untuk satu kota besar. Betapa efisien dan hebatnya listrik yang mengandalkan tenaga nuklir. Dan bisa pula kita prediksi bagaimana nasib bangsa ini ke depan dalam hal energi. Kita tak punya teknologi. Mungkin negeri ini akan semakin tergantung pada bangsa lain. Akan menjadi bangsa yang hanya bisa mengharap belas kasihan semata.(*)

Pemadaman Listrik Akibat Trans Studio World

ADA dinamika arus informasi yang menarik kala membahas pemadaman listrik di Makassar. Hampir warga yang menghuni semua situs pertemanan seperti facebook dan friendster, menyalahkan beroperasinya Trans Studio World --yang konon katanya—membutuhkan pasokan listrik dalam jumlah besar sehingga menyedot listrik rumah tangga. Sementara para bos PLN sibuk menyalahkan pembangkit listrik tenaga air di Sulsel yang tidak bisa beroperasi maksimal karena debit airnya terbatas.

Saya agak skeptis dengan pernyataan para bos PLN tersebut. Kalau persoalan debit air, kenapa nanti tahun ini terjadi pemadaman listrik dalam waktu lama? Bukankah kemarau dan krisis air terjadi setiap tahun. Lantas, kenapa sampai harus tahun ini kita memelihara masalah yang sama. Apakah ini cuma akal-akalan saja dari PLN agar terjadi penggantian biaya instalasi pembangkit listrik, dan setiap penggantian itu, pasti banyak biaya yang masuk kantong pribadi. Apakah demikian? Saya tidak tahu.

Selama beberapa minggu para bos PLN menggelar konferensi pers, tetap saja tidak memadamkan rumor yang beredar tentang keberadaan Trans Studio World sebagai biang krisis listrik. Susahnya karena banyak pegawai PLN yang juga mengiayakan hal tersebut. Mereka juga mengatakan hal itu sehingga semakin kuatlah keraguan yang ada di benak masyarakat. Di sini ada dua arus besar informasi. Dari sisi bos PLN, mereka mereproduksi kebenaran sendiri, yang pada saat bersamaan juga dibantah para karyawan PLN dengan kebenarannya masing-masing.

Jika para bos PLN memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk mengemukakan kebenarannya, maka para karyawan itu justru menyebarkan kebenarannya melalui rumor dan gosip yang menyebar seperti rumput liar yang disulut api.(*)


Makassar, 19 Oktober 2009

Mati Ide

SAYA tidak sedang punya ide untuk mengisi blog ini. Mungkin saya sedang tidak fokus, makanya bisa mati ide. Tapi daripada blog ini kosong, saya isi saja dengan coretan ini.



Hidup untuk Menggapai Makna


.....
Hidup bukan untuk kau sesali
Hidup bukan untuk kau tangisi
Hidup adalah menyelam ke dalam lautan makna
Kemudian berenang hingga menggapai samudera pengetahuan

Kau tak akan pernah sanggup menaklukan hidup
Sebab hidup bukan untuk ditaklukan
Kau tak akan sanggup membengkokkan hidup
sebagaimana remote control mengendalikan acara televisi
Kau hanya sanggup mengikuti arus,
kemudian menjelma laut lepas
....

Makassar, 12 Oktober 2009,
Pukul 21.00 wita

Pelangi di Tengah Badai

SELALU saja ada pelangi seusai hujan badai. Selalu saja ada bahagia di tengah situasi yang runyam. Minggu ini ada begitu banyak bahagia yang menyapa, setelah minggu lalu saya terpaksa mengundurkan diri dari proyek riset tentang kemiskinan di Sulawesi Selatan. Minggu ini, di saat uang di kantong juga mulai menipis, saya sudah harus siap-siap dengan proyek riset dari Toyota Foundation yang akan segera jalan, di mana saya menjadi koordinator, serta riset tentang bisnis kain sutra yang juga sudah harus turun lapangan.

Namun hal yang paling membuat saya bahagia adalah buku Naskah Buton, Naskah Dunia yang sudah terbit. Bagi saya, buku ini adalah bagian dari idealisme yang saya bangun sejak lama bersama teman-teman Respect. Sebuah buku adalah kulminasi perjalanan intelektual yang akan abadi dan menjadi catatan emas atas perjalanan seseorang. Saya selalu mengapresiasi mereka yang melahirkan karya-karya, tak peduli seberapa bagus atau jelek karya tersebut.

Dengan melahirkan karya, maka seseorang sudah jauh melangkah maju, ketimbang mereka yang hanya bisa mencibir melihat karya. Di banding para akademisi kampus yang sepanjang hidupnya tidak menghasilkan satupun karya, saya sudah bisa menepuk dada karena melebihi mereka. Setidaknya, saya punya tiga buku yang lahir melalui proses yang amat panjang, mulai dari penentuan tema, diskusi tentang bagaimana perencanaan isi serta tampilan fisik buku, hingga proses cetak yang rumit. Buku Naskah Buton, Naskah Dunia adalah saksi tentang proses belajar dan proses mencipta karya. Ibaratnya, saya belajar dengan cara mencebur langsung ke dalam kolam renang, kemudian mengambil intisari dari proses tersebut.

Saya tidak menghiraukan mereka yang hanya bisa mencibir. Dalam dunia kepenulisan, sering berlaku kalimat “Kalau hendak mengkritik suatu buku, maka buatlah buku yang sekelas, atau tidak, kritikan itu harus dibuat dalam bentuk buku.“ Setiap kritikan atau hujatan atas sebuah buku, mesti dijawab dengan cara melahirkan buku pula. Jauh lebih terhormat mereka yang mengkritik dengan cara menyusun buku, ketimbang mereka yang hanya bisa mencibir, tanpa melahirkan karya satupun. Apapun alasannya, seorang pengarang harus mendapatkan apresiasi, sebab ia telah menghasilkan sesuatu, ketimbang para kritikus yang sinis.

Insyaalllah, hari ini saya balik ke Bau-Bau untuk mempersiapkan acara launching-nya tanggal 17 Oktober nanti. Melalui blog ini, saya ingin mengucapkan selamat dan apresiasi kepada teman-teman Respect, serta harapan besar agar kelak buku ini bukanlah akhir dari perjalanan teman-teman. Semoga buku ini adalah awal dari karya-karya besar yang akan menginspirasi di masa mendatang. Selamat!

From Thailand With Love


TIAH, kakak saya, baru saja datang dari Thailand. Ia berada di Negeri Gajah Putih itu selama sepekan untuk mengikuti seminar tentang gizi, bidang ilmu yang digelutinya sejak lama. Ia membawakan oleh-oleh untuk saya, Dwi, serta untuk semua keluarga di Bau-Bau. Sayang sekali karena saya tidak sempat lama ngobrol dengannya, mendengar pengalamannya selama di sana. Saat saya ke rumahnya, ia sedang sibuk dengan temannya yang juga berdatangan.

Tapi, oleh-olehnya sudah saya ambil dan bawa pulang. Ia membelikan dua buah baju kaos yang bertuliskan Thailand. Untuk Dwi, ia belikan baju etnis Thai yang amat memesona. Saya membayangkan ketika Dwi mengenakannya maka akan nampak seperti putri Istana Muang Thai yang terkenal itu. Hehehe...

Untuk keluarga di Bau-Bau, ia juga membelikan oleh-oleh baik baju maupun makanan. Semuanya mendapat bagian. Bahkan untuk dua ponakan kecil di Kolaka, ia juga membelikan sesuatu. Ia tak pernah lupa pada keluarganya sendiri yang telah mewarnai hari-harinya.

Tak bisa saya gambarkan betapa senangnya saya menerima pemberian ini. Baju ini akan saya simpan dan hanya dikenakan pada momen khusus. Bagi saya sendiri, harganya tidak penting. Keikhlasan membawakan oleh-oleh dari negeri yang jauh adalah sesuatu yang jauh lebih penting. Saya bahagia karena di tengah penjelajahannya menyusuri Sungai Chao Praya yang eksotis itu, ia tidak lupa untuk membawakan oleh-oleh buat saya.

Melalui oleh-oleh itu, saya merasakan sesuatu yang berdenyut di antara kami. Saya merasakan manifestasi cinta kepada sesama keluarga. Ada cinta yang tumbuh bertunas, dan buahnya amat lezat untuk dinikmati bersama-sama. Kelak, cinta yang lezat itu akan kami wariskan kepada anak-anak kami kelak. Maka lahirlah satu lapis generasi yang menjaga cinta dan silaturahmi di antara semua keluarga kelak. Generasi yang saling memelihara cinta. Dan betapa bahagianya bapak dan mama ketika menyaksikan itu.

Saya berharap semoga kelak saya bisa mengikuti jejaknya, bisa melihat negeri-negeri yang jauh dan hanya terbetik dalam ruang hati. Semoga.(*)

Sebab Nasib adalah Kesunyian Masing-Masing

SEORANG kawan di kampus Unhas akan meninggalkan Makassar. Ada sedih dan haru dalam hati tatkala mengingat hari yang berjalan di mana kita sama-sama mengisinya dengan kenangan serta ingatan yang indah-indah. Kenangan adalah satu-satunya tempat untuk menemukan dirimu. Kenangan adalah gumpalan-gumpalan bahagia yang mengendap di dasar hati kita dan terus membayang ketika kita hendak mengingat masa silam. Melalui kenangan itu, kita menemukan bahagia. Dan kampus adalah saksi tentang kenangan dan tentang kebersamaan yang pernah diukir bersama.

Kita pernah sama tumbuh dan mencari matahari, namun pada satu titik, kita harus sama-sama keluar dan mencari nasib dan menggantungkan hidup kita di situ. Chairil Anwar benar ketika mengatakan nasib adalah kesunyian masing-masing. Kita menerima nasib sebagai kulminasi dan kerja keras, serta tangan-tangan Tuhan yang bekerja atas apa yang kita mohonkan dan kita ukir. Nasib adalah kesunyian sebab kitalah yang menanggungnya, merasakannya dalam aliran darah kita, menjadi oksigen bagi setiap tarikan napas kita.

Nasib pulalah yang mempertemukan kita di sini, di kampus Unhas. Kita datang sendirian, dan pada akhirnya kelak kita akan sama-sama meninggalkan kampus ini sendirian. Kampus pernah menempa kita dengan satu pengharapan agar kelak kita sama-sama memberi makna bagi semesta kita yang melingkupi. Agar kelak kita sama-sama berbuat sesuatu yang lebih baik bagi semesta, bagi dunia sekitar kita, dan bagi setiap tetes kehidupan yang mengalir di permukaan bumi.

Semoga kau tetap mencari dan memberi makna, pada setiap inchi kepergianmu. Jadilah matahari bagi sekitarmu...



Buat Rahe yang akan kembali ke Gorontalo
Keep fighting till the end...

Gelar Doktor sebagai Gelar Kebangsawanan Baru


HARI ini ada sesuatu yang berbeda di gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin (Unhas). Saat berkunjung hari ini, saya melihat banyak kendaraan yang parkir di depan PKP. Banyak juga karangan bunga yang dipasang di depan gedung dan bertuliskan ucapan selamat kepada seseorang yang berhasil meraih gelar doktor.

Hari ini ada ujian promosi doktor di bidang ilmu hukum. Bagi mereka yang kuliah di Unhas, pemandangan ini adalah pemandangan yang sudah sering disaksikan. Seseorang yang meraih gelar doktor diperlakukan dengan amat istimewa. Acara promosinya berlangsung meriah. Ucapan selamat mengalir dari mana-mana. Banyak undangan yang hadir dengan mengenakan pakaian terbaik. Suasananya seperti pesta besar dan banyak kado yang bertumpuk dan ditujukan kepada para penguji yakni para guru besar yang berdatangan bak dewa-dewa dan menempati kursi di depan yang lebih tinggi. Merekalah yang memberi fatwa tentang nasib seseorang, apakah layak mendapatkan gelar doktor ataukah tidak.

Di kampus Unhas, ujian promosi doktor adalah ujian formalitas yang sifatnya show semata. Saya belum pernah mendengar ada orang yang tidak lulus di ajang ini. Konon, sebelum mencapai ujian promosi, mereka sudah ‘dibantai’ lebih dahulu dalam ujian hasil penelitian. Sementara ujian promosi adalah semacam testamen terbuka kepada siapa saja bahwa baru saja ada orang yang menyandang gelar doktor. Semacam pengumuman kepada seluruh penjuru alam semesta kalau saat ini ada lagi orang yang bergelar doktor, puncak tertinggi dari ilmu pengetahuan dan layak memberikan penilaian atas bidang ilmu tertentu. Banyak jurnalis berdatangan. Banyak pula para petinggi kampus yang hendak memberi ucapan selamat. Ada wawancara, ada jabat tangan, ada acara cium pipi kiri dan rangkul erat tanda ucapan selamat.

Ketika anda mendapatkan gelar doktor, maka saat itu juga disematkan gelar akademik sebagai tanda kehormatan. Anda adalah segala-galanya. Anda seolah memasuki dunia baru, sebagai puncak tertinggi dari perjalanan pengetahuan di bangku akademik. Namun benarkah posisi anda di puncak tertinggi pengetahuan? Bagi saya, itu belum tentu. Kapasitas anda akan dipertaruhkan dalam ajang selanjutnya yang lebih ril. Siapa tahu anda cuma tipe doktor yang menjalankan kewajiban akademik, mengikuti semua mata kuliah, mematuhi silabus dan kurikulum, hingga akhirnya bisa lolos. Pada akhirnya, dunia ril yang akan ‘menembak’ anda, apakah pencapaian itu bisa dipertanggungjawabkan ataukah tidak.

Kita hidup pada suatu masyarakat yang masih melihat gelar itu sebagai sesuatu yang wah. Suasana seperti pesta yang saya saksikan itu adalah alamat kalau masyarakat masih melihat gelar itu seperti dewa-dewa yang bertahta di kahyangan. Pesta besar menyambut gelar doktor itu menjadi simbol dari begitu agungnya sebuah gelar bagi masyarakat kita. Pada masyarakat dengan struktur tradisional, pesta serupa juga digelar bagi mereka yang mendapatkan gelar kebangsawanan tertentu dari istana. Pesatnya sama meriah sebab gelar memiliki status sosial yang khusus dan menempati posisi penting dalam masyarakat kita.

Mungkin itu pulalah motivasi kuat yang mendorong orang-orang untuk menggapai gelar doktor. Saya mengenal seorang kawan yang kuliah doktor demi status sosial seperti ini. Ia berharap ketika meraih gelar doktor, maka pundi-pundi keuangannya semakin menebal. Ia makin punya posisi tawar yang kuat dan menjadi konsultan di mana-mana, meskipun tidak jelas apa yang dilakukannya. Seorang kawan tersebut akhirnya menghalalkan banyak cara. Ia tidak serius mengerjakan disertasi dan menyuruh orang lain dengan imbalan tertentu. Inilah potret dari negeri ini di mana mereka yang mengaku sebagai ilmuwan lebih suka menerobos jalan pintas, tanpa menghormati proses yang sedang berjalan.

Dalam pandangan saya, seorang doktor adalah mereka yang memiliki pedang pengetahuan dan menebas kenyataan yang dipandangnya tidak adil. Ia bisa menjelaskan hal-hal yang menjadi bidang keahliannya, memeta-metakan persoalan secara jelas, kemudian memberikan inspirasi-inspirasi bagi masyarakat untuk menemukan jawabannya. Seorang doktor punya piranti pengetahuan sebagai senjata, punya energi besar untuk menelusuri belukar ilmiah, demi menemukan hikmah-hikmah yang tersembunyi di situ. Seorang doktor adalah mereka yang menceburkan diri dalam lapangan ilmiah, dan menjadikan hal yang ilmiah itu sebagai bejana untuk membasahi dahaga masyarakat akan inspirasi.

Makanya, di negeri ini, jumlah para doktor tidaklah identik dengan jumlah karya ilmiah yang dihasilkan sebagai bukti kepakaran. Menjadi doktor tidak lantas menajamkan kepekaaan pada suatu gejala sesuai dengan bidang ilmu masing-masing. Menjadi doktor hanyalah tahapan untuk memperoleh status sosial yang bergengsi di tengah masyarakat kita. Gelar doktor adalah gelar bangsawan di abad modern.(*)



Saatnya Membaca!

PENANTIAN itu akhirnya terjawab sudah. Dua buku yang saya pesan melalui internet datang juga semalam. Sekarang saya sudah yakin kalau belanja lewat internet cukup aman dan cepat. Buktinya, hari senin lalu saya mentransfer uang ke bukabuku.com dan pada hari Kamis malam, saya menerima buku yang dipesan tersebut. Simpel dan praktis.

Sekarang adalah waktunya membaca buku tersebut. Mudah-mudahan bisa kelar dalam waktu dua hari.(*)

Syair tentang Ikarus yang Meleleh


BARANGKALI ini adalah saat di mana kata-kata menjadi basi. Segala sedu-sedan, puisi dan syair sudah tidak mempan untuk pikiran kita yang beku. Bahkan filsafat sudah nampak usang, ketimbang gemerlap cita-citamu bergondola di suatu negeri. Barangkali inilah saat ketika kesabaran kalah oleh ketidaksabaran, ketika langkah-langkah kecil harus tersaput ambisi membuat lompatan kuantum. Barangkali inilah saat ketika rasio kita jadi mainan usang yang tidak lagi menghiburmu ketika sedang gundah.

Kau selalu menuntut. Kau selalu meminta sesuatu. Kau ingin segera melihat matahari. Sementara aku harus menjadi Ikarus yang perlahan terbakar dalam perjalanan menuju matahari. Aku rela menjadi martir seperti Ikarus, sekadar demi sebuah dongeng yang kelak kau tuturkan kepada anakmu. Namun, sebelum benar-benar terbakar, bisakah aku memberikan sebuah permintaan terakhir? Bisakah aku meminta keikhlasanmu untuk memberikan sedikit saat bagiku demi menatah ulang hiasan di karpet merah perjalanan kita? Atau bisakah kamu memberi sekeping saat bagiku untuk merajut baju sutra yang kelak kamu kenakan di gerbang impianmu?

Aku selalu menghargai segala pesimisme atas langkah kecilku. Puluhan tahun silam kita adalah anak kecil yang sama-sama menyenangi istana pasir. Kini, aku bermain pasir sendirian. Sementara kamu, perlahan berperahu menuju pelangi harapan. Kamu memintaku untuk menyusulmu. Namun kakiku masi goyah dan lelah membangun kapal besar yang menantang samudera. Dan biarlah aku yang bahagia melihat jejak perahumu di pelangi harapan. Terkadang kamu lelah dan ingin kembali ke istana pasir ini, tetapi tarikan-tarikan kebutuhanmu yang kian membukit menjadi benteng yang menghalangi gerakmu ke sini. Aku ikhlas melepasmu ke negeri impian. Aku bahagia melihatmu berlayar. Bisakah aku mengharap keikhlasan yang sama?

Rasanya, aku kian renta untuk mengejar segala hajat dan nafsu binalmu untuk bergondola di negeri antah berantah itu. Rasanya, duniaku seolah terpental dari duniamu. Kau perlahan membangun istana kue di negeri pelangi yang bisa kau makan remahnya sedikit demi sedikit, sementara aku masih bermain dengan istana pasir yang sesekali kuleburkan dengan air laut. Kau mulai mengenal rupa-rupa bangsa yang hilir mudik di situ. Sementara aku masih terpenjara di sini, negeri yang semata kupilih agar tidak jauh-jauh ketika hendak berlabuh di hatimu. Aku masih menganyam mimpi untuk sama-sama berlabuh denganmu. Biarlah aku menjadi Ikarus yang meleleh atas segala mimpimu...(*)

Modem Indosat IM2

MULAI hari ini, aku akan memposting pesan dengan modem Indosat IM2. Lama merencanakan, akhirnya aku terpaksa membelinya. Kebutuhanku untuk berselancar di dunia maya tak mampu kubendung. Aku ingin mengalir, mengikuti arus besar mereka yang mengalir.



Life Lessons dan Semangat Berbagi


KEMARIN saya membeli buku Life Lessons, yang berisikan kisah-kisah inspiratif dari para penulis Chicken Soup for the Soul. Selama seharian saya baca buku itu hingga nyaris tuntas. Saya sangat menikmati kisah-kisah yang disajikan di dalamnya. Saya bisa paham kenapa disebut chicken soup for the soul. Mungkin, kisah itu dimaksudkan sebagai makanan bagi jiwa kita. Seperti halnya tubuh, jiwa kita juga butuh makanan berupa motivasi, semangat, harapan, serta kekuatan untuk menghadapi semua cobaan. Buku itu menyediakan makanan jiwa tersebut.

Rata-rata kisah yang disajikan adalah kisah yang relevan dengan keadaan saya sekarang. Makanya, saya menemukan kesamaan dalam banyak hal. Membaca buku ini serasa menghadirkan kembali cahaya terang bagi pekatnya gelap yang menyelubungi kita. Kita menemukan mercusuar di tengah derasnya gelombang dan karang kehidupan yang merintangi langkah kita. Kita menemukan arah dan motivasi sebagai oksigen untuk melewati hari. Melalui buku ini, saya menemukan kembali inspirasi dan semangat yang sejatinya senantiasa ada di sekitar kita. Ternyata, kita ibarat ikan yang berenang sana-sini dan mencari-cari air.

Saya suka gaya bertutur dalam buku ini sebab semangatnya adalah membagi pengalaman, tanpa bermaksud menggurui yang lain. Apalagi, mereka yang men-sharing pengalaman itu adalah mereka yang sukses melewati berbagai rintangan dan berhasil mentrasformasikannya menjadi keberhasilan. Saya benar salut dengan keberhasilan atau pencapaian itu. Namun, sebagaimana dikatakan seorang penulis kisah, keberhasilan itu tidaklah penting. Yang paling penting adalah upaya keras untuk menggapai keberhasilan tersebut. Inilah kemenangan yang sesungguhnya.(*)

Amankan Pesan Buku Lewat Internet?


UNTUK pertama kalinya saya memesan buku melalui internet. Selama beberapa hari saya menjelajahi aneka toko buku di Makassar untuk mencari dua buah buku karya AB Lapian yakni Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut serta buku Kembara Bahari. Namun, pencarian itu gagal sebab distribusi buku di Makassar selalu terlambat dibanding daerah lainnya. Akhirnya saya memutuskan untuk memesan lewat internet.

Dari berbagai situs yang menyediakan layanan pesan buku, saya memilih bukabuku.com. Saya ingat teman Rahe yang rajin membeli buku melalui situs ini. Harga yang ditawarkan lebih murah dari harga jual di toko buku sebab ada diskon 15 persen untuk semua produk. Tapi ada beban ongkos kirim. Jadi, jika ditotal, saya hanya rugi sekitar Rp 20 ribu dibandingkan belanja langsung di toko buku.

Saya diminta memasukkan semua data pribadi seperti nama dan alamat serta nomor hp. Selanjutnya diminta transfer uang ke sebuah nomor rekening. Saya lalu ke bank untuk transfer, dan konfirmasi ke bukabuku.com. Semua proses itu saya lewati. Selanjutnya adalah menunggu, kapan buku itu akan tiba. Apakah tiba dalam sehari ataukah dua hari. Saya tak tahu, sebagaimana saya tak tahu apakah aman belanja buku melalui internet.(*)

Kendari, Karaoke Tenda, dan Gadis Seksi


DARI sedikit kota-kota yang pernah saya jelajahi, barangkali hanya di Kota Kendari dan Ternate, yang menyajikan karaoke di dalam tenda seperti pedagang kaki lima. Jika berkunjung ke Ternate, maka pemandangan karaoke tenda itu bisa kita temukan di Jalan Boulevard, maka di Kendari, bisa ditemukan di Kendari Beach, depan hotel yang konon katanya pernah dimiliki oleh pengusaha Tomy Winata. Dari segi jumlah, karaoke tenda di Kendari masih jauh lebih banyak dibanding yang ada di Ternate.

Di Jakarta, Makassar, dan beberapa kota besar lainnya, karaoke adalah aktivitas yang dilakukan dalam gedung yang eksklusif dan dikelola sebagai bisnis hiburan yang cukup menguntungkan. Namanya juga keren-keren, misalnya Rumah Bernyanyi, Happy Puff, Naff, atau nama lain yang menghindarkan kesan negatif. Segmentasi rumah karaoke seperti ini adalah semua anggota keluarga, mulai dari ayah, ibu hingga anak-anak. Jika berkunjung ke rumah karaoke seperti ini, kita bisa menemukan berbagai lapisan usia di situ.

Namun di Kendari, jangan berharap akan menemukan karaoke seperti itu. Di sini, karaoke identik dengan sebuah rumah atau gedung yang di dalamnya ada kamar yang remang-remang, kemudian ada televisi yang menayangkan video klip dan ada seseorang yang bernyanyi, walau dengan suara yang fals dan asal-asalan. Karaoke juga identik dengan minuman bir, pekatnya asap rokok, serta musik yang berdentam-dentam. Di sini juga ada cewek dengan celana pendek atau rok mini –yang menampakkan kakinya yang putih seksi dan setiap saat bisa dijamah. Tahu sendirilah, cewek Kendari tersohor cantik-cantik dan berkulit bersih.

Biasanya, tempat karaoke seperti yang saya gambarkan di atas, tarifnya agak mahal. Kita mesti mengeluarkan uang sebesar Rp 45.000 untuk sebotol bir, Rp 50.000 untuk tarif cewek yang menemani. Itu belum termasuk tip yang kita berikan. Menurut seorang kawan yang saban malam ke tempat karaoke, ia bisa habiskan uang sampai Rp 500.000 dalam semalam. “Kalau saya sih, cuma minum sebotol bir udah mau mabuk. Tapi cewek yang saya temani, minumnya kayak minum air. Dalam sejam bisa habis empat botol bir,“ kata teman itu dengan bersungut-sungut. Berapapun yang diminum si cewek, semuanya harus anda bayar.

Nah, mahalnya tarif memasuki tempat karaoke, menimbulkan inspirasi untuk lahirnya karaoke tenda. Tarifnya tidak semahal memasuki kafe karaoke, namun soal rasa, tentunya sama saja. Tempatnya tidak keren sebab hanya sepetak dan berdekatan dengan penjual makanan. Namanya juga kaki lima, anda mesti setiap saat waspada, kalau-kalau ada kolega atau keluarga yang menyaksikan anda di situ. Sebab pembatasnya hanya berupa kain bekas spanduk yang hanya selebar satu meter. Kalau anda duduk di situ, kaki anda akan nampak dari luar.

Saat berkunjung ke Kendari, saya melihat di depan karaoke tenda itu, menunggu beberapa orang cewek dengan riasan yang agak menor dengan pakaian yang menampakkan keseksiannya. Saat melongkok ke karaoke itu, seorang cewek agak lama memperhatikan saya, kemudian datang. Fisiknya mengingatkan saya pada artis Sandra Dewi. Tinggi, putih, hidung mancung, dan mata sipit. Celananya super pendek hingga paha putihnya menyembul. Saya menahan napas.

“Hallo,” sapanya.
“Hallo juga,”
“Ingin masuk ke dalam dan mencoba barang satu atau dua lagu?” tanyanya lagi.
“Tidak. Saya cuma mau lihat-lihat saja,“
“Punya rokok?”
“Kebetulan, saya ada satu bungkus,”

Saya lalu mengeluarkan rokok Sampoerna Mild, kemudian menyodorkannya. Ia mengambil tiga batang. Dua batang rokok dimasukkan dalam tasnya, sedang satu lagi langsung dibakarnya di situ. Ia menghembuskan asapnya langsung ke wajah saya. Saya agak terbatuk. Ia lalu tersenyum. Manis sekali.

Saya memandang ke sekeliling. Saya melihat karaoke tenda ini agak ramai juga dengan pengunjung. Dugaan saya, mereka sudah punya pelanggan tetap yakni mereka yang mencari hiburan yang murah-meriah. Di depan karaoke tenda itu, berjajar begitu banyak motor dari para pria yang mencari hiburan di situ. Di satu sudut yang agak remang-remang, dua orang sedang duduk berdempetan dan berpelukan. Mereka berciuman, dan tak peduli dengan pandangan saya yang tak lepas dari adegan itu.

“Sudah lama kerja di sini?” tanyaku
“Sekitar tiga bulan,” jawabnya dengan logat Kendari yang khas.
“Senang yaa?“
“Siapa sih yang senang kerja di tempat seperti ini,“
“Tapi kan penghasilannya lumayan,“ jawabku sok tahu.
“Ah siapa bilang. Di sini penghasilannya tidak tentu. Tergantung kalau lagi banyak pria yang mau booking. Kalau hanya dari karaoke, tidak seberapa,“ katanya.
“Mbak cantik. Pasti banyak yang mau,“ kataku
“Tidak juga kok. Buktinya, malam ini saya nganggur. Padahal, tarif saya tidak seberapa mahal.,“
“Kalau saya booking mbak, bayar berapa?“
“Yah, sesuai standar booking cewek di Kendari,”
“Berapa?”
“Standarnya Rp 400 ribu untuk short time,” katanya sambil menghembuskan asap rokok ke wajahku.

What?!! Rp 400 ribu untuk short time. Itu jauh kebih tinggi dari kerjaan saya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Enak betul dia sebab kerjanya hanya ngangkang dan setelah itu terima uang. Sementara saya harus ‘menjilat’, memanipulasi laporan keuangan, dan menyetor ke atasan. Saya termangu. Nampaknya ia paham kegalauan ini. Ia menatapku lurus, lalu menunduk, dan menyisir rambutnya dengan tangan. Saya bisa melihat leher yang jenjang dan agak putih itu dengan sedikit keringat di pori-pori kulitnya. Wajahnya benar-benar manis. Saya bimbang. Uang di kantong saya sebanyak Rp 1 juta. Apakah saya harus mem-bookingnya semalam? Tiba-tiba, ia menyilangkan kakinya. Paha putihnya nampak anggun. Duh.. kok begitu sulit saya menelan ludah ini?


Kendari, 3 Oktober 2009

Merpati yang Sayapnya Lelah


PAGI ini aku berangkat ke Kendari. Besok akan berangkat ke Makassar. Aku sudah terbiasa dengan keberangkatan. Selama beberapa tahun ini, keberangkatan menjadi aktivitas yang paling sering kulakukan. Aku mulai menikmatinya. Kadang terasa berat, namun kadang pula terasa ringan sebab akan berhadapan dengan suasana baru, iklim yang baru dan menantang.

Aku ibarat merpati yang terbang lepas dan membumbung tinggi ke angkasa. Pandangan kuarahkan jauh menggapai titik yang bisa kujangkau. Aku melesat dan mengendarai angin demi menggapai sesuatu, yang kini mulai lelah kujangkau. Sayapku mulai lelah dan terbangku tertatih. Namun, berhenti lama di satu tempat bisa melemahkan kemampuan terbangku. Aku ingin mengangkasa dan berpindah-pindah demi memelihara semangat terbang dan menjaga lincah kepak sayapku. Aku masih ingin menembus mega-mega, meski dengan sayap yang mulai lelah. Tapi, aku tetap ingin lepas...