Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Lilin Refleksi di Hari Ultah


ULANG tahun bukanlah sekadar saat membahagiakan tatkala lapis-lapis kesadaran hadir dalam benak kita bahwa pada satu momen yang lampau, kita telah hadir memandang dunia. Saya memaknai ulang tahun bukan cuma sebuah saat tatkala kita duduk dikelilingi semua sahabat yang menyanyi dengan riang, kemudian kita disodori kue dan lilin-lilin kecil, kemudian kita meniupnya diiringi tepukan membahana. Ada banyak balon, moment cium pipi, jabat erat, serta gembira yang membuncah. Ulang tahun bukan pula saat-saat indah ketika kita merayakan kian panjangnya usia serta harapan yang berlimpah dan mengguyur kita agar kelak kian dewasa dan matang.

Ulang tahun adalah saat kita menatap ulang kilas balik perjalanan kita. Saat paling tepat untuk berrefleksi dan menyadari betapa banyaknya kerikil di jalan panjang kemanusiaan kita. Saat paling pas untuk kembali me-rewind video kehidupan kita yang panjang dan menemukan bahwa kita hanya manusia biasa, bukanlah malaikat yang tanpa salah. Barangkali ulang tahun adalah saat-saat permaafan yang kita haturkan pada banyak orang agar menerima sisi-sisi paling buruk dari kita. Saya sendiri menyadari bahwa ada sisi lain dalam diri yang kadang tidak disenangi bagi orang lain. Namun, saya tak hendak membenci sisi lain itu. Barangkali, sisi lain itu telah menyempurnakan kehadiran saya sebagai manusia yang lahir dengan segala kekurangan.

Andaikan saya sempurna, tentunya saya bukan manusia. Mungkin saya adalah malaikat. Dan andaikan Tuhan menyuruh saya memilih jadi malaikat atau manusia, saya tetap memilih manusia. Memang, malaikat selalu benar dalam tindakannya. Malaikat adalah mahluk yang paling patuh dalam menjaga kerajaan Tuhan. Tetapi malaikat adalah entitas yang tak bisa berpikir dan memilih. Malaikat tak bisa menalar sesuatu, kemudian membuat putusan dari beragam kemungkinan. Malaikat ibarat sebuah kuda poni yang melompat setelah dimasukkan koin oleh Yang Maha Pencipta. Ia tak punya pilihan yang smaar-samar. Semuanya begitu jelas sehingga pilihannya hanya satu sisi.

Saya membayangkan betapa menjemukannya menjadi malaikat yang tak pernah salah. Justru dengan kesalahan-kesalahan itu, saya bisa belajar memaknai hari. Kesalahan itu adalah pelajaran berharga yang kian menyempurnakan jalan panjang kemanusiaan hari ini. Saya bisa paham jalan kebenaran, ketika sering terjerembab pada pilihan-pilihan yang salah dan liar dalam hidup. Kita bisa memahami indahnya jalan terang, tatkala kita pernah mengalami saat-saat gelap.

Di hari ulang tahun ini, saya tak hendak merayakannya dengan melimpah ruah. Semalam saya mentraktir beberapa sahabat. Saya tak merencanakan ke mana-mana. Saya hanya bermeditasi melalui blog ini. Merenungi betapa jauhnya perjalanan, namun betapa sedikitnya kebahagiaan yang ditebar ke sekeliling. Merenungi bahwa meniti di jalan terang, bukanlah sesuatu yang mudah, namun sesuatu yang harus terus diperjuangkan.(*)


Makassar, 31 Mei 2009
Saat merenungi ultah ke-31


Sebuah Salam dari Ruang yang Jauh...

KAWAN... saya tak hendak berberat-berat dengan tulisan ini. Saya hanya ingin berkisah tentang sekerat pengalaman semalam saat membaca sejumlah teori-teori para ilmuwan Jerman dari mazhab Frankrut yang terkenal dengan aliran kritisnya. Mereka umumnya berpendapat sama bahwa teknologi adalah virus yang membuat hidup kita menyempit jadi satu dimensi. Teknologi membuat kita tercerabut dari dunia. Teknologi membuat kita dicekam sunyi serta mengucilkan kita dari dunia yang sesungguhnya hiruk-pikuk.

Semalam, saya percaya kalau mereka benar. Namun tidak siang ini. Barusan saya membuka fesbuk dan menemukan keping kenyataan bahwa para ilmuwan itu tak selamanya benar. Betapa tersentaknya saya ketika menyaksikan begitu banyaknya pesan yang mengucapkan selamat ulang tahun. Saya tak pernah mengabarkan tentang hari jadi ini. Saya tak pernah memberitahukan pada banyak orang, apalagi hendak merayakannya. Namun hari ini, saya sungguh bahagia dan merasakan sensasi yang melimpah ruah. Saya merasakan kehangatan dari para sahabat, sesuatu yang nyaris tidak saya temukan selama bertahun-tahun saya mengalami hari yang sama.

Teknologi khususnya fesbuk telah mempertemukan saya dengan mereka-mereka yang terpaut jarak dan waktu. Teknologi ini tak hanya memintas jarak, namun juga memungkinkan untuk saling membagi kehangatan, menebar rasa peduli pada seorang sahabat yang jauh, sekaligus menjadikan dunia ini menjadi kian sempit untuk saling menyapa. Teknologi ini memungkinkan kita untuk tetap mempertahankan semua benang merah pertemanan yang pernah dirajut, memperkukuh bangunan kasih yang pernah dibangun dengan berdarah-darah pada suatu masa dalam kehidupan kita.

Teknologi ini membuat saya sesaat tercenung karena bahagia yang tak terucap. Tak menyangka jika ada banyak sahabat dari ruang yang jauh dan lama tak bersua, tiba-tiba mengirimkan ucapan selamat buat kita yang sedang sepi. Ada bahagia yang memecah sepi dan mendekatkan kita dengan semua sahabat itu. Terima kasih atas semua ucapan selamat. Thanks...




Rekor 35 Tulisan untuk Bulan Ini

TULISAN ini adalah tulisan ke-35 untuk bulan ini. Dengan demikian, saya berhasil memecahkan rekor tulisan untuk blog ini. Jika biasanya saya menulis hanya sekitar 20-an tulisan, maka bulan ini bisa sampai 35 tulisan. Mungkin bagi anda, ini hal yang biasa saja. Namun, bagi saya ini adalah jumlah tulisan yang cukup fantastis. Terakhir, rekor tulisan saya adalah bulan Desember 2008 lalu, yaitu 33 tulisan. Mudah-mudahan, pada bulan-bulan berikutnya saya bisa melampaui rekor tulisan sebanyak 35 tulisan ini. Semoga…




Menautkan Serpih Jejak-Jejak Kebudayaan Melayu di Indonesia Timur




Bagaimanakah kita menjelaskan batasan kemelayuan?
Bagaimanakah posisi kebudayaan Melayu terhadap kebudayaan Bugis-Makassar?


Dua pertanyaan di atas adalah pertanyaan utama yang bersarang di benak saya ketika menjadi moderator Dialog Budaya Serumpun di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, 28 Mei 2009. Empat pembicara yang hadir dalam dialog itu adalah Prof Richard Chauvel (Victoria University, Australia), Dr Wan Syaifuddin (Universitas Sumatera Utara), Dr Nuraini (UIN Alauddin, Makassar), dan Han Jeng Gon (Korea). Dengan menjadi moderator, saya bisa mengamati dialog ini dengan intens dan menuliskan catatan-catatan ini sebagai kesaksian subyektif saya atas dialog tersebut.

Richard Chauvel memulai dialog dengan presentasi yang membuat saya terkesima. Ia melabrak berbagai defenisi yang selama ini bertahta tentang apakah yang disebut Melayu. Ia mengangkat tema yang tidak biasa yaitu tentang batasan budaya Melayu di Papua dan Maluku. Tema ini tidak lazim. Selama ini kita berpikir bahwa Papua sangat jauh dari aspek Melayu. Papua seolah identik dengan kebudayaan manusia yang berkoteka dan hidup seolah di zaman batu, sebuah budaya yang jauh dari tradisi Melayu. Namun, Chauvel justru memaparkan hal yang lain. Ia memaparkan sesuatu yang sungguh menarik. Menurutnya, kebudayaan Papua sudah lama bersentuhan dengan kebudayaan Melayu, sebab Papua juga adalah bagian dari jalur perdagangan internasional.

Kata Chauvel, pada masa silam, Melayu identik dengan perdagangan dan Islam. Sejak abad ke-15, Islam juga sudah masuk ke Papua melalui Tidore dan tersebar di daerah pesisir pantai, khsusunya di daerah Raja Ampat dan Fakfak. Selain jalur ini, Chauvel mengutip Anthony Reid yang menyebut “Malayness as urban super culture”. Sejak awal abad ke-19 muncul berbagai kota besar di Hindia Belanda yang berbahasa Melayu dengan latar berbagai etnis. Kemelayuan identik dengan pendidikan misi dan zending. Jika di Indonesia barat, Melayu identik dengan Islam, maka di Indonesia timur tidak selalu demikian. Seorang beragama Kristen bisa saja menjadi Melayu.

Chauvel menunjukkan beragam foto serta bukti-bukti yang menunjukkan jejak Melayu di Papua. Sayangnya, sejak masuknya pemerintah kolonial Belanda, identitas Melayu seolah dihambat. Meskipun tetap menjadi bahasa pergaulan, namun pemerintah kolonial justru tetap memunculkan identitas manusia berkoteka pada orang Papua. Artinya, identitas Papua adalah sebuah konstruksi kolonial yang bisa ditafsir sebagai hasil dari tarikan kepentingan ekonomi politik. Chauvel seakan mempertegas pandangan bahwa identitas tidak selalu merupakan pilihan sadar masyarakat penganut budaya tertentu, namun merupakan konstruksi kolonial yang menggambarkan konfigurasi kepentingan kolonial pada tempat tertentu.

Pendapat Chauvel ini agak berbeda dengan pendapat akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Dr Wan Syaifuddin. Akademisi yang lama bermukim di Malaysia ini masih meyakini bahwa tetap ada yang disebut ruh atau inti kebudayaan Melayu. Makanya, ia membantah Chauvel yang menyebut bahwa ada persamaan antara budaya Melayu dengan budaya Papua. “Bukan ada persamaan, tetapi memang sama. Makanya, kita harus kritis pada berbagai teori barat tentang Melayu,” katanya. Ada semangat yang besar dalam penuturan Wan Syaifuddin. Ia ingin mendobrak beragam teori yang menafsirkan Melayu, dan menawarkan pandangannya sendiri yang disebutnya “melihat Melayu dari dalam.” Ia juga mengatakan bahwa inti kebudayaan Melayu itu terletak pada tradisi literasi atau pantun sebagai satu bentuk argumentasi.

Setelah Wan Syaifuddin, pembicara selanjutnya adalah Dr Nuraini. Ia banyak menjelaskan perjumpaan kebudayaan Melayu dan kebudayaan Bugis-Makassar. Orang Melayu banyak yang datang ke Makassar untuk erdagang, kemudian menetap dan beranak-pinak. Sementara orang Bugis-Makassar banyak yang ke tanah Melayu untuk merantau dan menetap di situ. Yang menarik adalah penjelasan Nuraini tentang motivasi merantau yang sudah dibisikkan pada anak sejak masih kecil. “Sejak kecil, orang Bugis sudah diperdengarkan berbagai petuah tentang merantau dan kembali sambil membawa kegemilangan,” katanya.

Saat sesi diskusi, ternyata ada banyak pertanyaan yang mempertanyakan ulang tentang konstruksi Melayu dan bagaimana melihatnya ketika berhadapan dengan Bugis-Makassar. Tak pelak, pandangan Wan Syaifuddin ini banyak dikritik dalam sesi diskusi. Seolah-olah pandangannya, memposisikan Bugis-Makassar sebagai subordinat atau taklukan dari Melayu. Ketika membahasakan Melayu sebagai inti kebudayaan, Syaifuddin memposisikan Melayu sebagai pusat dan daerah lainnya sebagai pinggiran. Seorang penanggap memprotes keras pernyataan itu. Penanggap ini mempertanyakan ulang klaim-klaim tersebut. “Bugis dan Makassar punya dunia sendiri. Bukannya taklukan Melayu,” katanya.


Posisi Bugis-Makassar

Sebagaimana sudah saya tuliskan pada pertanyaan di bagian awal, dalam diskusi ini ada dua tema besar yang selalu dipertayakan. Pertama, menyoal apa saja yang menjadi batasan Melayu. Kedua, bagaimana memosisikan Melayu ketika berjumpa dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain. Nampaknya, dua tema besar ini menjadi hal yang tak kunjung tuntas dibahas dalam diskusi yang singkat ini.

Beragamnya batasan tentang Melayu itu menunjukkan bahwa mesti ada ikhtiar untuk selalu memperkaya makna dari setiap definisi. Apa yang kita sebut sebagai Melayu tidak lebih dari satu konsep yang lahir dari berbagai pergulatan kita dengan realitas sosial termasuk sejarak serta konteks-konteks yang kemudian melahirkan pandangan tersebut. Apa yang disebut sebagai Melayu adalah konstruksi atas sesuatu. Makanya, definisi tersebut harus...................

Dalam beberapa diskusi budaya yang saya ikuti, selalu saja muncul pertanyaan adakah sesuatu yang disebut inti kebudayaan. Dalam ranah ilmu sosial, argumen ini adalah argumen yang essensialis, yang selalu melihat adanya satu inti atau kekuatan utama yang menggerakkan satu kebudayaan.


BELUM SELESAI

Festival dan Dialog Serumpun Melayu di Benteng Rotterdam

DIIRINGI dengan tabuhan gendang dari Wagub Agus Arifin Nu'mang, akhirnya Festival Budaya Serumpun dibuka secara resmi. Hari ini, saya berada di tengah suasana yang semarak. Bertempat di Benteng Fort Rotterdam, lagu-lagu berirama Bugis Makassar mengalun lembut di tengah sepoi-sepoi anging mammiri. Rotterdam, sebuah benteng yang langsung menghadap laut dan menjadi saksi-saksi bagaimana kolonialisme mencengkeram Nusantara. Kini, bangunan tua itu kembali menjadi saksi atas sesuatu yang lain. Saksi dari dialog budaya serumpun.

Pembukaan acaranya diadakan dengan megah. Tarian dipentaskan, puisi dilantunkan. Iringan musik tradisional mengalun rancak ditingkahi bunyi pui-pui, alat tiup khas Makassar. Seorang kawan dari Malaysia mengatakan suasananya sangat elok dan seronok. Hari ini, benteng Rotterdam seakan bersolek dengan aneka pegelaran seni tradisi yang merepresentasikan denyut nadi kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar dan Melayu di masa silam.

Festival budaya serumpun ini digelar sebagai upaya melestarikan benang merah kultural yang sudah dijalin sejak masa silam antara Bugis-Makassar dengan Melayu. Festival ini adalah kegiatan lanjutan yang digelar setelah setahun lalu dibuat acara dialog budaya yang mempertemukan beberapa ilmuwan yang concern dengan isu-isu kebudayaan. Kali ini, tak hanya dialog budaya, melainkan pagelaran tari, lomba cerita rakyat dan seni tradisi, serta lomba layang-layang. Semua pementasan itu adalah bagian dari jejak-jejak bertemunya kebudayaan Bugis-Makassar dengan Melayu pada masa silam.

Catatan sejarah banyak bertutur bahwa sejak masa silam, Bugis-Makassar sudah mengalami perjumpaan dengan Melayu melalui perdagangan. Bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca atau bahasa internasional yang mempertemukan berbagai kalangan. Para pedagang Melayu telah merambah nusantara dan menjalin ikatan kultural dengan berbagai kebudayaan, termasuk budaya Bugis-Makassar. Kini, ikatan pertalian kultural itu kembali dijalan melalui ajang festival.

Tepat pukul 08.00 wib, saya sudah berada di benteng. Festival ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Melayu, Unhas, dan dibiayai secara penuh oleh Pemprov Sulawesi Selatan. Saya masuk dalam tim Pusat Studi Melayu Unhas, dan mendapatkan tugas untuk menjadi moderator dalam dialog budaya serumpun. Makanya, saya sengaja datang ke benteng Rotterdam dengan pakaian yang rapi.

Meskipun kurang tidur semalaman akibat nonton partai final Liga Champion, saya tetap berusaha untuk tiba pagi-pagi sekali. Saya pikir, acaranya akan tepat waktu. Ternyata, acara itu molor juga pembukaannya. Saat bertanya sama beberapa kawan mengapa acaranya molor, dijawab kalau masih menunggu kedatangan wakil gubernur. Yah.... Maklumlah, budaya birokrasi di negeri ini masih saja harus ditunggui. Mestinya pejabat harus lebih dahulu hadir agar memberikan teladan bagi yang lain.

Seusai pembukaan yang melelahkan itu, selanjutnya saya memasuki ruang dialog. Saya akan mengisahkan dialog dalam tulisan yang lain.

Makassar, 28 Mei 2009



Bersama Prof Sumbangan Baja

BERBINCANG dengan Prof Sumbangan Baja sangatlah membahagiakan buat saya. Betapa bahagianya menjadi Prof Sumbangan. Usia belum terlalu tua, namun sudah menyandang gelar profesor. Publikasinya di dunia ilmiah juga sangat banyak, khususnya yang beredar di luar negeri. Prestasinya yang juga mentereng adalah ikut merancang stadion paling megah di Sydney, Australia, yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan Olympiade.

Saya senang berbincang dengannya. Ia menyenangi segala pembicaraan tentang budaya Buton. Ia tak pernah melupakan akar kulturalnya. Meskipun basic science-nya adalah bidang perencanaan kota, ia tak pernah ketinggalan meng-update semua informasi terbaru tentang sejarah dan kebudayaan. Meskipun ia jauh belajar di Australia, namun kecintaannya kepada daerah tak sedikitpun berkurang. Saya salut dengan profesor asal Kamaru ini.

Tadi, saya ngobrol banyak. Ia menganalisis geomorfologi perkembangan Pulau Buton dan Pulau Muna. Ia memulai penjelasannya dari mitos-mitos di Buton tentang bura satongka atau "buih segumpal" yang disebut banyak orang sebagai titik pertama pertama dalam semua pembicaraan tentang Buton. "Orang-orang tua kita bisa menjelaskan bagaimana burasatongka dari aspek mitos atau cerita. Tapi saya bisa menjelaskan proses geologi terbentuknya Pulau Buton melalui kisah burasatongka itu," katanya.

Mendengar kisahnya, saya ingat novel Bilangan Fu yang ditulis Ayu Utami. Dalam novel itu sempat diceritakan bagaimana para geolog ITB menganalisis usia batuan di Jawa Barat dengan cara mengurai kisah Sangkuriang. Jika kisah itu memang berasal dari masa yang lampau, maka pasti struktur batuan di Jawa Barat punya lapisan dan usia yang berbeda,. Sebab Sangkuriang pernah menendang perahu dan kemudian terjadi banjir dan akhirnya terbentuk gunung. Ternyata, penjelajahan melalui mitos dan cerita rakyat itu ada benarnya juga setelah melihat struktur batuan.

Kata Pak Sumbangan, semua kisah-kisah atau tula-tula, bisa jadi peta awal untuk riset yang lebih jauh. Selanjutnya, Sumbangan mengurai dari sisi geologi bahwa Pulau Buton itu adalah patahan paling jauh dari benua Australia. Secara geologi, Pulau Buton sudah terbentuk dalam waktu jutaan tahun. "Beda dengan Pulau Muna yang usianya sekitar ratusan ribu tahun. Makanya Buton sangat kaya dengan tambang, beda dengan Muna yang sama sekali tidak ada tambang," katanya. Ia juga mengurai bagaimana melihat pulau itu dari sisi usia. Katanya, umur tanah di Buton dan Muna sangat berbeda, juga jenis tanahnya.

Saya kagum dengan pengetahuannya. Ia begitu menguasai bidang ilmu yang menurut saya agak pelik dan rumit. Terakhir, ia menunjukkan beragam peta-peta yang dibuatnya tentang Buton. Melalui pengindraan satelit, ia lalu menganalisis potensi tambang, lingkungan, hingga bagaimana mengoptimalkan semua potensi kekayaan di pulau itu.

Masih banyak hal-hal yang saya bahas bersamanya. Tapi nantilah saya kisahkan pada tulisan yang lain. Semoga kelak saya bisa jadi profesor yang pintar dan bijak seperti Pak Sumbangan. Amin...!!




Mace Kampus, Pahlawan Para Mahasiswa

HARI ini saya ada urusan di Fakultas Pertanian Unhas. Saya jalan-jalan di kantin Jasbog Pertanian Unhas, kemudian singgah nongkrong di tempat mahasiswa biasa duduk-duduk menunggu dosen. Suasananya masih seperti dulu. Di situ, saya ngobrol bersama teman sekampung yaitu Mukmin sambil memperhatikan sekeliling.

Satu hal yang sering saya perhatikan adalah mahasiswa Unhas selalu nongkrong di tempat di mana mace-mace menjual. Dalam bahasa Makassar, mace bermakna ibu atau mama. Istilah ini dipakai mahasiswa Unhas untuk menyebut sejumlah ibu-ibu yang menggelar dagangan di lapak-lapak di dalam kampus. Jualannya berupa penganan seperti kue-kue, serta minuman seperti kopi, susu, atau kopi susu. Tempat jualannya juga sederhana. Kadang hanya berupa meja kecil dan di situ diletakkan semua dagangan. Ketika mahasiswa memesan kopi, mace akan menuang air panas dari termos besar yang sudah disiapkannya. Sangat praktis.

Hampir di semua fakultas, selalu bisa ditemukan para mace berjualan. Meskipun secara umum disapa mace, namun saya menemukan banyak nama-nama yang berbeda di beberapa faultas. Misalnya di Fakultas Ekonomi, sapaan mace adalah Madam. Sementara di Fakultas Hukum, sang mace disapa Mama Robert. Keren khan?

Belakangan ini, banyak berdiri kantin-kantin yang megah dan mentereng, namun keberadaan mace tidak lants tergerus. Malah, banyak kantin bagus di Unhas yang justru tak punya pelanggan sama sekali. Sementara para mace justru tetap bisa mempertahankan komunitas pelanggannya.

Mereka tak punya kiat-kiat bisnis untuk itu. Untungnya juga tidak seberapa. Malah, banyak para mace yang mengalami kerugian. Mereka hanya menjalin relasi yang sangat dekat dengan hubungan dengan mahasiswa. Hubungannya bukanlah hubungan pemilik toko dan pelanggan. Hubungannya adalah ibu dan anak. Makanya, bagi mahasiswa --khususnya yang perantau-- keberadaan mace sangatlah penting. Mereka serasa menemukan personifikasi hubungan ibu-anak di situ.

Bagi sebagian mahasiswa, figur mace adalah penyelamat yang selalu siap membantu. Tatkala mahasiswa kehabisan uang bulanan, para mace siap-siap saja ketika mahasiswa itu mengutang. Beberapa teman sering mengutang ke mace dan setelah itu pura-pura lupa atau berpretensi tak punya utang. Tak pelak, seorang mace yang mangkal di Fisip, pernah marah-marah dan mendamprat mahasiswa itu depan mahasiswa lain. Mahasiswa yang didamprat tidak ikut marah. Ia hanya tertawa-tawa ketika banyak temannya tepuk tangan dan memberi semangat kepada mace. Setelah itu, hubungan kembali cair dan seperti sedia kala. Pernah pula saya dengar cerita tentang mace yang mangkal di ekonomi yang memasang pamflet pengumuman berisi daftar utang para mahasiswa. Mahasiswa menjadikan itu sebagai lelucon. Tiba-tiba saja ada yang iseng dan menambahi nama temannya di situ. Padahal, sang teman tak pernah berutang.

Dibalik semua keisengan itu, para mace adalah pahlawan bagi mahasiswa. Pantas saja, banyak mahasiswa yang mencantumkan nama mace di halaman pengantar di skripsinya. Banyak juga mahasiswa yang ketika jauh merantau, suatu saat kembali ke Unhas, kemudian memerlukan waktu untuk singgah menemui mace. Mereka mencium tangan mace dan menyampaikan terimakasih karena telah berjasa mengantar mereka jadi sarjana.

Itulah indahnya dinamika dalam kampus.(*)


Dihantui STATE OF FEAR


(Sebuah resensi buku yang sangat baik, yang dituliskan adik Atun di http://www.rahmitune.blogspot.com/. Saya salut karena Atun bisa menulis resensi dengan sangat baik. Selamat yaa)

Benarkah dunia mengalami pemanasan global? Benarkah bencana alam terjadi karena ketidakpedulian manusia pada alam? Bagaimana jika semua itu hanya omong kosong untuk menakut-nakuti publik, dan dijadikan isu sebagai alat untuk memperoleh uang dari kalangan industri?

Kalimat diatas adalah inti dari novel Michael Crichton yang berjudul State of Fear. Sudah dua hari novel ini menghantuiku, terlebih lagi karena saya anak kehutanan yang notabene juga mempelajari alam. Crichton berhasil mengupas hal-hal tentang alam dan penjelasannya jauh berbeda dengan apa yang selama ini saya pelajari. Selama ini, saya menganggap bencana alam timbul karena ulah manusia. Pemanasan global menyebabkan kerusakan alam, mencairnya es di kutub hingga meningginya air laut dan banyak lagi. Semua penjelasan itu melekat erat dalam kepala dan logikaku saya tidak pernah berpikir bahwa ada penjelasan lain tentang itu semua.

Saya tidak pernah ragu, hingga sekarang. Tapi, novel ini menjelaskan lengkap dengan bukti-bukti ilmiah bahwa campur tangan manusia hanya memberikan dampak minimal pada kehancuran maupun kelestarian alam sebab alam memiliki mekanisme sendiri yang sampai sekarang belum dipahami oleh umat manusia. Misalnya, soal ketinggian air laut, digambarkan bahwa sejak dulu ada saat-saat permukaan air laut meninggi namun ada juga saat permukaan air laut menurun dan ini tidak ada hubungannya dengan pemanasan global yang mengakibatkan pencairan es di kutub. Juga soal awan sampai sekarang belum ada satu ilmuwanpun yang bisa menjelaskan pola awan selain hanya memberinya nama

Hebatnya, Crichton menulis novel ini dengan serius. Ia melakukan riset dan menyertakan 10 lembar daftar pustaka yang mempertegas apa yang ditulisnya,.Novel ini begitu mirip dengan Da Vinci Code di mana fakta-fakta dijalin dengan kisah fiktif. Jika Dan Brown bertutur tentang agama dan simbol-simbol, maka State of Fear bertutur tentang lingkungan. Tokoh utamanya seorang pengacara yang bekerja untuk milyuner penyumbang LSM lingkungan, yang tiba-tiba saja menemukan ada yang salah dengan LSM yang disumbangnya. Novel ini nyaris seperti karya ilmiah lengkap dengan tabel-tabel yang semuanya benar.

Pada akhirnya novel ini hanyalah sebagai pembanding dari apa yang selama ini kita pelajari, mungkin juga novel ini dapat memicu kita untuk makin berusaha mencari bukti atas apa yang selama ini kita tahu. Crichton telah menyatakan pendapatnya lengkap dengan bukti-bukti yang mendukung. Sebagai pencinta lingkungan, mungkin sudah waktunya kita juga menyatakan pendapat kita lengkap dengan bukti-bukti.(*)



Puisi tentang Waktu


Waktu adalah
….. terlalu lambat bagi mereka yang menunggu
….. terlalu cepat bagi mereka yang takut
….. terlalu lama bagi mereka yang berduka
….. terlalu pendek bagi mereka yang bergembira
Tetapi bagi mereka yang jatuh cinta,
waktu itu tidak ada

(Henry VD, sebagaimana dikirimkan oleh Aslan S.Ked)

Pemisahan Jurnalistik dan Komunikasi di UIN Alauddin

PROGRAM studi jurnalistik di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, adalah program studi jurnalistik yang paling unik. Jika di tempat lain, jurnalistik berada di bawah payung jurusan ataupun fakultas Ilmu Komunikasi, maka di UIN Alauddin justru berbeda. Di sana, Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik adalah program yang berbeda, namun keduanya sama-sama berada di bawah fakultas yang sama.

Rasanya aneh juga membayangkan bagaimana kurikulum dan mata kuliah di situ. Apakah beda, ataukah sama saja. Saya jadi bingung. Mungkin, mereka memiliki logika sendiri yang hendak dijalankan. Selama beberapa minggu ini, saat mengasuh mata kuliah Desain Penelitian, saya tak pernah menanyakan itu pada pihak fakultas. Saya hanya menjalankan tugas sebagai pengajar yang baik, tanpa banyak tanya.

Tadi, saya kembali menjalankan tugas mengajar. Saat bertanya pada mahasiswa tentang nama fakultasnya, tiba-tiba saja mereka senyum-senyum dan tidak menjawab. Kembali saya bertanya apa nama fakultas di situ, mereka tersenyum dan malu-malu menjawab. Nama fakultasnya adalah Dakwan dan Komunikasi. Ditanya mengapa tersenyum, mereka menjawab, ”Kami malu kalau menyebut Fakultas Dakwah. Sebab orang-orang langsung berpikir bahwa kami adalah calon khatib atau penceramah.”

Pantas saja mereka malu. Sebab mereka khawatir bahwa kemampuan mereka masih sangat jauh kalau bicara tentang dakwah. Mereka ibarat pasir-pasir dn kerikil yang berada di pesisir pantai dan belum menampakkan kedalaman. Mereka tengah berproses menuju ke situ. Setelah saya tanya lebih jauh, mereka tidak berniat menjadi penceramah. Mereka justru berniat menjadi jurnalis. Mereka bertanya balik sama saya, mengapa meninggalkan status sebagai jurnalis.

Mungkin inilah dilema lembaga pendidikan seperti UIN Alauddin. Tatkala terjadi perubahan status dari institute agama menjadi univesitas, tiba-tiba saja kegamangan seakan melanda mahasiswanya. Mereka tidak terlalu tertarik lagi bekerja di Departemen Agama, atau menjadi khatib atau penceramah. Mereka lebih tertarik menjalani beragam profesi lain seperti menjadi jurnalis. Sebenanya, ini tak masalah. Asalkan pihak kampus tetap memberikan napas keagamaan dalam beragai kurikulum. Seperti halnya mata kuliah yang saya ajarkan. Mestinya diarahkan ke perspektif Islam dalam riset. Saat mereka mengkaji banyak perangkat analisis misalnya semiotika, mestinya mereka bisa mengarahkan kajian itu untuk menyingkap beragam pesan-pesan religius atau simbol-simbol Islam yang merupakan artikulasi dari kerinduan manusia untuk menggapai Tuhan. Dengan cara demikian, Islam menjadi napas atau sukma yang menggerakkan semua mata kuliah.


Sayangnya, pemikiran itu tidak digarap dengan baik. Baik mahasiswa maupun pengelola sama-sama cuek dalam menikapi apa yang terjadi. Dalam kondisi seperti ini, tak banyak harapan yang bisa dilambungkan pada lembaga pendidikan itu untuk tetap menghangatkan api Islam. Mereka ikut arus dan ramai-ramai merayakan sikap sekuler, sesuatu yang di masa silam menjadi musuh agama.(*)



Duel Para Jenderal

PEMILIHAN Presiden 2009 ini adalah pesta demokrasi yang boleh jadi paling mencekam ketimbang sebelum-sebelumnya. Pilpres ini adalah pilpres yang paling sulit ditebak. Betapa tidak, dari tiga pasangan kandidat yang hendak maju berlaga, tiga di antaranya adalah para jenderal yang sudah kenyang asam garam di dunia kemiliteran Indonesia. Panggung politik negeri ini seolah panggung milik para jenderal yang adu strategi, adu taktik, dan adu kelihaian dalam peperangan.

Gelar jenderal adalah tingkatan di mana seseorang sudah dianggap mumpuni dalam hal strategi dan taktik. Pada masa kerajaan, penyandang gelar ini adalah mereka yang telah membuktikan kehebatan dan kelihaian tempur selama skeian lama dan memiliki pasukan yang siap mati ketika titah ditegakkan. Dalam situasi ketika musuh sedang menyerbu, jenderal adalah sosok yang memberikan perintah dan tahu apa yang harus dilakukan. Lantas bagaimana halnya ketika sang jenderal akan berhadapan dengan sang jenderal lainnya?

Saya membayangkan sebuah arena perang yang penuh dentuman meriam dan desingan peluru. Ketika para jenderal yang sama-sama makan asam garam di dunia tempur itu memasuki arena yang sama, maka akan nampak sebuah tontotan yang sangat menarik. Bukan hanya soal adu strategi dan debat visi-misi, namun juga soal bagaimana mereka mengendalikan pasukan untuk saling melemahkan kekuatan lawan. Kata filsuf Sun Tzu, pemenang perang itu adalah mereka yang mengenali kekuatan lawan, mengenali kekuatannya sendiri, serta tahu bagaimana menyusun tahapan strategi demi melemahkan lawan.

Saya sedih karena membayangkan bangsa ini yang hanya bisa pasrah menyaksikan pergumulan para jenderal. Lebih sedih lagi ketika bertemu dengan banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa seolah-olah hanya militer yang layak untuk memimpin bangsa. Padahal sejarah bangsa ini mengajarkan bahwa mereka yang disebut militer itu adalah mereka yang selama ini menyebar terror dan ketakutan di kalangan warga. Meski militer berdalih bahwa mereka punya banyak jasa telah memberi kemerdekaan, namun dalil itu nampaknya terlalu lemah. Sebab yang menghantarkan kemerdekaan bagi bangsa ini adalah rakyat semesta yang rela melawan penjajah dengan energi terbaik yang ada pada dirinya. Tatkala bambu runcing dihunus, maka rakyat menjelma menjadi kekuatan yang mengalir laksana air bah. Yang berjuang untuk bangsa ini bukanlah tentara, melainkan rakyat luas.

Apa yang terjadi ketika para jenderal saling serang? Sebuah peperangan yang akan menguras energi, biaya, dan lagi-lagi kembali menjadikan rakyat sebagi penonton yang bodoh. Serasa menyaksikan pergumulan para gladiator demi meraih mahkota bahwa merekalah para jagoan yang terkuat di senatero negeri. Lantas, di mana posisi rakyat? Sssttt!!!! Jangan bertanya jika masih ingin melihat matahari besok.(*)



Menulis sebagai Jalan Meditasi

KETIKA stress mencekam relung-relung kesadaran anda, maka bermeditasilah untuk menggapai ketenangan. Tatkala berbagai problema hidup seakan mencekik ambang batas kesadaran anda, maka meditasi akan menjadi moment yang tepat untuk melepaskannya. Meditasi adalah tindakan yang ditempuh untuk melepaskan semua kepenatan dan kelelahan dan menata kembali gelombang otak menjadi lebih teratur.

Hampir semua agama maupun tradisi spiritual mengenal meditasi sebagai jalan melepaskan kepanatan. Hanya saja, namanya berbeda-beda. Bagi umat Islam, meditasi ditempuh dengan cara duduk berzikir dan pikiran fokus pada satu titik, maka umat Hindu atau Budha dengan cara duduk bersila sambil mengosongkan semua pikiran yang mengganggu. Saya kira prosesnya sama saja yaitu pemusatan pikiran pada satu titik, sehingga bisa lebih berkonsentrasi.

Selain proses spiritual yang diajarkan dalam agama, saya bisa merasakan ketenangan yang sama dengan cara menulis. Bagi saya, menulis adalah suatu proses untuk melepaskan semua kepenatan itu kemudian mengkosentrasikan pikiran pada satu titik. Saat kita menulis, kita mengosongkan pikiran kita dari berbagai hal agar bisa fokus menuntaskan tulisan. Kita menajamkan nalar dan indra kita sehingga seolah-olah kita mengalami kekosongan dan hanya memikirkan satu hal yaitu seustau yang sedang kita tulis. Menulis adalah proses menajamkan indra, mengasah kepekaan dan menata agar pikiran kita bisa runtut, tanpa tercerai-berai lepas seolah-olah terombang-ambing saat memikirkan banyak hal.

Menulis adalah jalan meditasi. Saya merasakan ketenangan itu saat usai menulis. Tiba-tiba saja, saya seolah melihat dengan lebih terang dan tidak silau dengan berbagai fenomena-fenomena yang berseliweran di sekitar kita. Tentu saja, menulis bukan sekedar memindahkan pengalaman dan perenungan ke dalam medium tulisan. Menulis adalah jalan yang terbentang mulai dari menemukan ide, memperkaya ide, kemudian memasaknya dalam pikiran hingga matang dan mengepul. Selanjutnya mendialogkannya dengan orang lain. Bolehlah sesekali kita membenturkan gagasan itu, sebelum akhirnya kita memutuskan untuk menulisnya. Menulis adalah perjalanan yang panjang, serupa proses yang dilalui seorang ibu hamil. Kita bersetubuh dengan realitas, lalu hamil dengan gagasan dan susah payah melahirkannya.

Tatkala gagasan itu menjelma menjadi bayi tulisan, proses yang dijalani tak semata-mata berakhir. Sebuah gagasan akan terus membiak menjai lebih kaya. Ia akan diuji oleh debat serta celaan atau tantangan dari banyak pihak. Semakin kokoh gagasan itu, maka semakin kuat ia bertahan diterpa berbagai hal yang bisa mengecilkannya. Maka proses meditasi akan terus kita jalani demi merawat dan membesarkan bayi gagasan yang kita hasilkan. Saya kira, point paling penting tidak terletak pada sebarapa cantik atau seberapa mentereng gagasan itu. Namun proses bagaimana melahirkan sesuatu secara orisinil, itulah hal yang paling membahagiakan.(*)


Masih tentang Buku

MUDAH-mudahan anda belum bosan ketika saya berbicara tentang buku. Belum tuntas membaca buku Arok Dedes, kali ini, saya memiliki lagi dua buah buku yang sangat menarik. Pertama, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Sebuah Kajian tentang Lanskap Budaya, yang ditulis Tony Rudyansjah. Kedua, Road to Muhammad, karangan Prof Jalaluddin Rakhmat.

Buku pertama diberikan secara cuma-cuma oleh Tasrifin yang datang dari Jakarta. Buku ini sangat menarik sebab diangkat dari riset budaya yang paling baru tentang Buton. Penulisnya Tony Rudyansjah dikenal sebagai pengajar Universitas Indonesia (UI) yang sekarang lagi naik daun. Buku ini adalah buku pertama yang dipublikasikannya. Baru membaca sekilas, saya sudah dapat gambaran bahwa isinya sungguh menarik. Tony mengisahkan pengalamannya meneliti tentang lanskap kekuasaan di Buton, kemudian menjelajah ke masa silam dan menjelaskan beberapa teks yang didapatnya dari Belanda tentang Buton.

Selain perspektif teoritik yang kaya –inilah kelebihan buku ini—saya juga bisa melihat foto-foto lama yang diambil saat pelantikan Sultan Buton yang terakhir. Mudah-mudahan, dalam waktu yang tidak lama, saya bisa meresensi buku ini. Catatan singkat yang bisa saya dedahkan di sini adalah: buku ini sangat “berat.” Banyak bagian-bagian yang terlampau teoritik sehingga ketika membaca bab-bab awal, saya sudah “pusing.” Mungkin akan lebih baik jika editor buku bisa menyajikan dengan lebih menarik. Biasanya, disertasi yang diolah menjadi buku, akan diedit ulang. Misalnya, nggak usah dimasukkan metodologi penelitian, atau tahapan penelitian. Biasanya, itu ditulis secara sekilas. Sebab buku dan disertasi jelas berbeda.

Buku kedua yang saya miliki adalah Road to Muhammad. Semalam, Dwi menerima gaji pertamanya sebagai karyawan bank. Gajinya lumayan besar (sstttt… sengaja tidak disebut). Dia langsung membelikan saya buku karya Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal). Berbeda dengan buku Tony, baru membaca bab-bab awal, saya sudah kepincut dengan buku ini. Isinya begitu inspiratif dan sangat menyentuh. Saya tak bosan dengan kisah-kisah yang dituliskan Kang Jalal tentang Rasulullah. Saya membaca buku itu semalam suntuk. Bahkan saat bangun pagi, saya masih teruskan membacanya. Saya serasa bercermin dan menemukan betapa jauhnya karakter diri dengan Rasulullah. Ada kerinduan yang tiba-tiba saja hadir. Saya tahu bahwa saya sedang membaca buku tetang manusia terbaik dalam sejarah yang membasahi kanvas kehidupannya dengan kebajikan.

Kepada sahabat dan kekasih yang menghadiahkan buku, saya mengucapkan banyak terima kasih. Semoga alam semesta kelak akan memberikan saya kekuatan untuk membalas semua kebaikan tersebut. Amin.



Mengalir Seperti Pramoedya

MENGUNJUNGI Toko Buku Gramedia Makassar, terasa ada yang berubah. Lay out-nya berubah 180 derajat dengan kali terakhir mengunjungi toko ini. Toko ini telah direnovasi sedemikian rupa sehingga lebih nyaman dan koleksinya juga semakin banyak. Saat singgah ke koleksi ilmu-ilmu sosial, saya tak melihat satupun buku yang baru.

Mungkinkah publikasi ilmu sosial di Tanah Air sangat langka sehingga kita jarang menemukan buku baru yang bagus? Mungkinkah para ilmuwan sosial kita sedemikian pengecut untuk menunjukkan pada orang lain sejauh mana pencapaiannya di dunia akademik? Mungkinkah mereka takut kalau orang-orang akan menilai bahwa kemampuan mereka hanya sebatas itu? Bahwa pada dasarnya mereka biasa-biasa saja, cuma merasa hebat karena suka mengutip ahli-ahli asing serta sederet gelar akademik yang mentereng di namanya. Rasanya aneh membayangkan fakta ada ribuan alumnus perguruan tinggi bergengsi, namun tak banyak lahir karya-karya baru ilmu sosial.

Selanjutnya saya singgah ke koleksi novel. Saya tercengang melihat banyaknya novel baru. Ternyata para penulis novel jauh lebih produktif dibanding para ilmuwan sosial kita. Mereka banyak melahirkan karya-karya baru yang bagus-bagus dari berbagai genre. Sempat berlama-lama di situ, saya menemukan begitu banyak novel baru yang bagus-bagus. Mulai dari dua novel terbaru dari Michael Crichton yaitu State of Fear dan Next. Saya tertarik dengan dua novel itu. Jika state of fear berkisah tentang bencana alam sebagai wacana yang dikreasi oleh manusia, maka Next berkisah tentang bagaimana rekayasa genetika di abad ke-21 menjadi bencana baru bagi peradaban manusia. Saya penggemar semua novel Crichton seperti Sphere, Congo, Timeline, hingga Jurrasic Park. Saya ingin memiliki dua novel baru itu, namun tiba-tiba saja niat itu jadi urung.

Selain novel Crichton, ada lagi novel yang bikin saya kepincut. Saya lupa apa judulnya. Tapi berisikan tentang petualangan seorang penjelajah waktu. Saat melihat kemasannya, saya sangat tertarik. Keduanya sudah saya pegang dan hendak beli, tiba-tiba saya singgah ke koleksi sastra dan melihat novel Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan ulang. Saya melihat ada novel Arok Dedes. Saat itu juga, saya simpan novel tentang penjelajah waktu itu, kemudian menggantikannya dengan novel karya Pramoedya.

Harga novel ini cukup mahal yaitu Rp 95.000. Tapi saya tak peduli dengan harganya. Sejak dulu, ada dua novel Pramoedya yang ingin saya miliki dan koleksi yaitu Arok Dedes dan Arus Balik. Saya memang pernah memiliki Arok Dedes pada tahun 1998. Saya begitu menyenanginya. Baru sekali baca, teman Nunung meminjam novel itu. Katanya, ia juga penggemar Pramoedya. Lama meminjam, ia tak juga mengembalikannya. Setiap kali diminta, Nunung selalu berdalih. Hingga suatu hari, ia memberitahu informasi yang bikin saya jengkel. “Yus, saya tidak tahu apa yang terjadi. Tapi buku Arok Dedes yang saya pinjam, tidak ada di kamar. Mungkin ada yang curi buku itu,” katanya. Saya langsung jengkel, namun tak bisa berkata apa-apa. Saya kesal karena sebuah karya yang saya sayangi dan sukai kalimat-kalimatnya, tiba-tiba lenyap dan hanya diganti dengan permaafan singkat seperti itu. Seolah-olah tak ada empati sama sekali. Saya jengkel berat, namun tak bisa berbuat apa-apa selain merutuki.

Kini, novel Arok Dedes itu sudah saya miliki. Jika sebelumnya novel ini diterbitkan oleh Hasta Mitra, kali ini diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Bukunya lebih ringan dan tidak terlalu tebal karena huruf-hurufnya jadi lebih kecil. Desainnya juga lebih cantik dibanding sebelumnya. Novel ini bergambarkan pemuda berpakaian ala Jawa kuno dan mengacungkan sebilah keris. Mungkin ini adalah gambar Ken Arok sebagai tokoh utama dalam novel itu. Target saya, novel ini harus tuntas dibaca selama beberapa hari ini.

Bagi saya, Pramoedya adalah maestro besar yang tak ada bandingannya. Karya-karyanya tak lekang oleh waktu dan menjadi puncak tertinggi dari pencapaian orang Indonesia di dunia sastra. Saya paling suka dengan kalimat-kalimatnya yang mengalir, bernas dan menyentuh. Saya tak habis pikir tentang apa yang ada di pikirannya ketika menyusun kalimat-kalimat yang demikian memukau. Membaca karyanya, kita seolah tidak sedang membaca novel, namun kita terlontar memasuki suatu dunia baru yang diciptakannya. Suatu kosmos di mana di dalamnya ada kisah orang-orang yang bergulat dengan waktu. Jika dalam Bumi Manusia ia mengajak kita memasuki suasana ketika Indonesia tengah diperjuangkan, maka dalam Arok Dedes, Pramoedya seolah menyeret kita ke dalam suasana Jawa kuno, pada masa ketika intrik pertama kali dihelat di panggung sejarah.

Ia memang bukan sekedar pengarang. Ia seorang penyihir yang memaksa kita untuk berlama-lama membaca karyanya, tanpa kenal rasa bosan. Ia seperti penyihir Albus Dumbledore yang membawa kita masuk ke dalam pensieve ingatannya dan kita tiba-tiba saja melihat sebuah dunia yang hidup dan berdenyut. Saya teringat kata-kata Ignas Kleden saat kuliah di Depok. “Yus,... kehebatan Pram adalah dia bisa menjelaskan modes of production dari suatu zaman. Makanya, kita bisa paham apa kekuatan-kekuatan produksi yang menggerakkan zaman itu,” katanya.

Sayang sekali, Pramoedya sudah tak bisa ditemui lagi. Salah satu obsesi saya yang rasanya sudah tak mungkin tergapai adalah bisa ngobrol dan minum teh pada suatu sore dengan Pramoedya. Sayang, sastrawan besar itu sudah terbaring di bawah sebuah pohon kamboja di Pekuburan Karet, Jakarta. Kata seorang teman, ia terbaring tak jauh dari peristirahatan terakhir Chairil Anwar, sastrawan besar di negeri ini. Bagi saya, mereka sesungguhnya tak pernah mati. Pramoedya terus abadi di sini. Di hatiku.(*)


Dialog dengan Capres

SAYA menyaksikan dialog calon presiden yang diadakan KADIN. Dari dialog itu, bisa tergambar siapa sesungguhnya kandidat presiden yang paling berkarakter dan mengetahui persoalan sampai pada skop yang lebih mikro. Saya memberi kredit point paling tinggi buat Jusuf Kalla. Jawaban-jawabannya cerdas, bisa mengesankan bahwa dia sangat terpelajar dan seorang pekerja keras.

Namun dalam hal retorika, Kalla masih kalah dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sayangnya, jawaban-jawaban SBY terkesan ngambang dan tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi di tingkat operasional bahkan terjauh dari kebijakannya sendiri. Jawabannya serba normatif, apalagi setelah saya membaca Kompas yang menyebutkan bahwa pihak tim sukses SBY ngotot mendesak agar semua pertanyaan harus sesuai dengan yang dikirimkan anggota Kadin kepada jubir presiden.

Sementara Megawati, saya kira harus banyak belajar mengenali masalah. Jawabannya serba aneh dan umum-umum saja. Mungkin, tim sukses Megawati harus bekerja lebih keras untuk meng-update pengetahuan Megawati sehingga bisa berdialog dengan lebih bernas yang lahir dari pengetahuan yang mumpuni atas sesuatu.

Tapi saya kira pilpres bukanlah pertarungan kecerdasan atau kemampuan mengenali isu dan menyusun formulasi solusi yang tepat. Di negeri ini, pilpres adalah ajang pertarungan citra, sejauh mana seseorang bisa memikat orang lain sehingga dipilih. Tak peduli seperti apa kualitasnya.(*)




Imajinasi dan Konstruksi Pengetahuan

"Apa yang paling susah saat menulis skripsi?"
"Imajinasi"

DUA percakapan di atas saya kutip dari dialog dua orang mahasiswa yang tengah menyusun skripsi. Mereka sama-sama mendiskusikan apa yang paling sulit dalam menulis skripsi atau laporan penelitian. Saya mendengarkan dialog ini secara tidak sengaja, saat hendak memposting tulisan di blog.

Saya sepakat dengan pernyataan teman tersebut. Imajinasi merupakan satu hal paling penting dalam penyusunan laporan penelitian. Betapa tidak, saat menyusun laporan, kita sedang berhadapan dengan timbunan data dan fakta-fakta lapangan. Kita kebingungan bagaimana data dan fakta itu hendak diorganisasi dalam satu bangunan yang utuh. Jika salah mengorganisir, maka yang terbentuk bukanlah konstruksi pemikiran yang kokoh, melainkan sebuah konstruksi yang rapuh dan mudah diambruk. Ketika diterpa dengan badai argumentasi, bangunan itu akan porak-poranda dan rubuh seketika.

Menuliskan laporan penelitian ibarat membangun sebuah rumah. Kokoh tidaknya bangunan itu, akan nampak pada bagaimana konsistensi serta keseriusan kita dalam menegakkan argumentasi, menyusun hubungan antara bagian-bagian, serta bagaimana melapisnya dengan semen. Dalam hal penelitian, yang disebut semen atau penaut berbagai elemen itu hingga kokoh adalah imajinasi. Imajinasi yang akan menentukan kokoh tidaknya bangunan pemikiran yang sedang kita narasikan. Imajinasi ibarat dua kepak sayap dalam tubuh pengetahuan yang kemudian memungkinkan pengetahuan itu mengangkasa.

"Setiap peneliti sekaligus sebagai author atau pengarang," demikian kata Geertz. Seorang peneliti ibarat pengarang yang sedang menyampaikan sesuatu. Bedanya adalah, jika pengarang menyusun bangunan berdasarkan bahan-bahan yang bersifat fiksi atau pemikiran semata dan tanpa harus mengacu pada realitas, maka seorang peneliti menyusun bangunan berdasarkan bahan-bahan dari fakta lapangan. Tapi, proses menyusunnya sama saja. Kedua-duanya sama-sama menggunakan imajinasi sehingga bangunan pemikiran itu bisa kokoh. Kita menghubungkan fakta satu dengan fakta lain melalui imajinasi. Memang sih, kita tidak harus mencari hubungan-hubungan kausal atau sebab akibat, namun kita bisa menarik garis-garis hubung dari semua cerita-cerita tersebut. Di sinilah letak pentingnya imajinasi.

Bagaimanakah cara membangun imajinasi? Pertanyaan ini agak sukar dijawab. Imajinasi tak bisa dipelajari dalam kelas-kelas perkuliahan. Imajinasi adalah sesuatu yang didapat dari pengalaman-pengalaman yang dijalani seorang manusia. Semakin banyak dan semakin kaya pengalaman kita, maka semakin melambunglah imajinasi kita. Seorang anak melatih imajinasinya dengan cara rajin-rajin membaca buku dongeng, diperkenalkan dengan tradisi kisah-kisah ajaib, hingga diperkenalkan dengan kisah-kisah mukjizat. Semuanya adalah cara-cara untuk mengasah imajinasi. Keajaiban adalah sesuatu yang memperkaya imajinasi. Kita melihat sesuatu tidak dengan cara biasa, dengan cara demikian, kita bisa menciptakan keajaiban-keajaiban dalam menuliskan laporan penelitian.

Keajaiban menuntut kita untuk selalu bersikap terbuka dan tidak menutup pandangan kita dari hal-hal yang rasional hingga hal-hal yang gila sekalipun. Keajaiban adalah bagian dari imajinasi. Jadi, cara mengasah imajinasi adalah cara belajar menciptakan keajaiban-keajaiban,(*)


Puluhan Tahun yang Lalu


BEBERAPA foto lama dikirimkan seorang kawan. Saya tersentak menatap diri saya yang lama. Ada banyak pengalaman yang nyaris terjerembab dalam lembah kelupaan. Foto-foto itu kembali mengangkat kenangan itu ke dalam ruang ingatan. Saya senang sekali menyaksikannya.

Saya senyum-senyum melihat diri saya di situ. Komentar seorang teman, saya sangat kurus di situ. Memang, diri yang muncul di foto itu adalah diri yang sakit-sakitan, suka membaca, dan rajin ikut kegiatan lomba. Pada masa itu, Pancasila dan P4 adalah kitab yang suci yang saya hapal sampai titik komanya. Kemampuan menghafal itu mengantarkan saya ke Jakarta untuk ikut lomba, sebagaimana nampak pada foto itu.

Hari ini, saya melihat kembali foto itu dan senyum-senyum sendiri. Nampaknya, kita terus tumbuh dan membesar, sedangkan zaman seakan diam di tempat. Dulunya, kita hanya bebeapa centi, seiring waktu, kita bertambah besar menjadi sekian meter. Namun, diri kita sesungguhnya hanya satu dan terus mengalami evolusi. Masa lalu adalah sejarah dan kelak, akan tiba saat ketika masa kini juga menjelma menjadi sejarah. Kemudian, kita menelusuri sejarah itu dan tercengang saat menemukan diri kita yang lain, sebagaimana tercengangnya saya saat ini.(*)


Fenomena Gay dan Keangkuhan Kita

BARUSAN saya diskusi dengan seorang teman mahasiswa. Kami bercerita tentang gay. Tiba-tiba saja, dia menampakkan raut wajah yang bernada ketidaksukaan. Ia benci dengan gay. Mengapa? "Sebab gay sering menjadikan sesama laki-laki sebagai korbannya," katanya. Lantas, berapa kali gay pernah menjadikan kamu sebagai korban? "Belum pernah. Tapi saya pernah dengar," lanjutnya.

Saya tak puas dan terus bertanya agar ia mengungkapkan pengalamannya. Ternyata, ia hanya mendengar cerita-cerita dari orang-orang tentang gay yang katanya suka "mencari mangsa". Yang bikin saya heran adalah ia tidak mampu menyodorkan bukti apakah itu benar terjadi ataukah rekaan saja. Lagian, kalaupun ada gay yang mencari mangsa, ngapain pula satu kenyataan itu harus digeneralisasi sedemikian rupa seolah-olah semua gay demikian.

Sama halnya dengan manusia --yang katanya-- normal. Setiap hari banyak juga yang berbuat jahat, namun apakah kita akan menggeneralisasi bahwa semua manusia itu jahat? Tidak khan. Begitu banyak penjara yang pernah dirikan dan diisi dengan mereka-mereka yang normal. Kita tak juga menggeneralisasi bahwa semua manusia itu jahat. Lantas, kenapa pula hanya karena seorang gay berbuat jahat, kita kemudian menggeneralisasi bahwa semua gay demikian? Bukankah itu tidak adil bagi para gay?

Saya menatap kawan ini dengan terheran-heran. Di zaman milenium speerti ini, masih saja banyak orang yang memenjarakan stigma dan stereotype dalam pikirannya. Stigma dan stereotype adalah cara berpikir yang memandang orang lain dengan cara yang tidak adil. Ada konsep tentang diri yang normal, kemudian melihat orang lain sebagai tidak normal. Apa sih defenisi normal dan tidak normal? Susahnya adalah pandangan demikian lalu dipelihara dalam benak kita seolah menyatu menjadi karakter. Dalam konteks dialog dengan teman ini, saya menemukan stigma itu terhadap kaum gay.

Kita memang kadang tak siap dengan perbedaan. Seyogyanya, kita tak boleh menyalahkan siapapun hanya karena berbeda dengan kita. Ngapain pula memandang para gay itu dengan aneh? Bukankah itu adalah pilihannya atau boleh jadi sang gay berada pada satu situasi di mana ia tak punya pilihan?

Percakapan dengan teman ini menjadi satu puncak dari gunung es dunia sosial kita. Banyak orang yang memandang sesuatu hanya dengan cara pandangnya, tanpa mau bersifat terbuka kepada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Kita kerap memelihara keangkuhan bahwa kitalah satu-satunya yang benar dan normal, kemudian memandang remeh orang lain. Pelajaran berharga hari ini adalah lihatlah sesuatu dengan kacamata yang normal. Terimalah segala kelebihan dan kekurangan orang lain. Saya yakin, para gay itu tak ingin dipandang berbeda. Mereka juga tak ingin dikasihani, apalagi harus disanjung-sanjung. Mereka hanya ingin diperlakukan sebagaimana manusia lainnya. Saya kira demikian.(*)


Nonton Samurai X


MINGGU ini, saya lagi senang-senangnya nonton serial kartun Samurai X. Adik Atun mengirimkan DVD lengkap serial kartun tersebut. Saya baru nonton beberapa belas episode, tiba-tiba saja terbit keinginan untuk segera menuntaskannya. Susahnya adalah saya harus menyiasati kian sempitnya waktu untuk menuntaskan semuanya. Semalam, saya coba menontonnya, namun tiba-tiba saja mata ini jadi terlelap.

Mudah-mudahan dalam dua minggu ini saya bisa menyelesaikannya. Kelak, saya akan menulisnya untuk blog ini. Sebab Atun pasti marah-marah kalau belum membaca resensi tentang Samurai X. Jangan marah Tun... Saya janji untuk menuliskannya di sini.(*)

Nelayan Kulisusu Mengayuh Sampan



DUA gambar ini saya abadikan dalam satu kunjungan singkat ke Kulisusu, Buton Utara. Nelayan ini baru saja kembali dari melaut dan hendak melabuhkan sampannya di pesisir pantai Buton Utara. Ditanya dari mana, nelayan ini menjawab singkat, “Kuminai pegarangga.” Dalam bahasa Kulisusu, kalimatnya berarti “dari mengecek rumput laut yang ditanamnya.” Penduduk di daerah ini banyak yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan. Mereka menjadi nelayan ataupun petani agar-agar. Sayang sekali, selama kunjungan ke sana, saya tidak sempat mewawancara lebih jauh bagaimana tradisi melaut orang Buton Utara. Tetapi saya yakin bahwa mereka adalah pelaut yang gagah perkasa dalam menantang laut.(*)

Jika Saya Menulis Novel....

JIKA kelak saya menulis novel, saya ingin menulis novel sejarah. Saya ingin menulis tentang pergulatan manusia dalam upayanya menemukan makna dalam berbagai lintasan waktu. Sejarah adalah mata air tempat menimba inspirasi yang tak pernah mengering. Sejarah adalah atmosfer dan udara yang mengisi napas semua bangsa sehingga tetap tegak dan abadi di lintasan kala.Tetapi saya tidak mau tergoda dengan pandangan bahwa sejarah identik dengan orang besar dan kejadian-kejadian besar. Saya ingin meneropong kejadian besar itu dari sudut pandang orang-orang biasa.

Pada akhirnya, apa yang disebut “besar” itu tidak lebih dari permainan kuasa dan wacana yang memerangkap cara berpikir kita. Pada akhirnya, sejarah adalah catatan tentang siapa yang menang, bukan catatan tentang mereka yang dikalahkan. Lembaran sejarah adalah kisah tentang para jagoan yang mengendalikan sejarah sebagai alat pembenar kekuasaan. Saya ingin menulis novel sejarah yang berbeda. Barangkali, saya ingin menulis tentang kebudayaan bangsa-bangsa kecil yang nyaris ditelan oleh sejarah keemasan bangsa-bangsa lain. Tentang manusia-manusia yang dipinggirkan oleh laju zaman. Mereka yang terlampau kecil untuk dicatat dalam lembaran sejarah negeri ini. Saya ingin mendedikasikan tulisan saya kelak agar suara mereka yang lirih bisa mengguntur dan membelah angkasa.

Jika kelak saya menulis novel, saya tidak akan mau terjebak dengan selera pasar. Saya ingin menulis apa yang saya inginkan, bukannya apa yang orang lain inginkan. Saya tidak mau ikut latah menulis tentang chicklit atau isu-isu murahan. Tulisan saya kelak adalah tulisan yang bisa memberi suar pencerahan. Persoalan bahwa novel saya itu tidak laku, itu soal lain. Bagi saya, menulis itu adalah upaya menyampaikan buah-buah pikiran yang dipupuk sepanjang rentang masa perjalanan kita. Menulis adalah buah dari proses berlelah-lelah dengan memelihara benih pertanyaan, kemudian menyiraminya dengan sejumlah jawaban. Menulis novel sejarah adalah cara untuk menyampaikan visi ke arah mana langkah-langkah kecil bangsa ini hendak dibawa. Menulis adalah cara yang lebih elegan daripada tercebur di dunia politik yang sibuk bagi-bagi kuasa.

Semoga keinginan itu bisa terrealisasi…



Susahnya Mengajar Filsafat

TERNYATA mengajar filsafat itu tidaklah sesederhana yang sebelumnya saya bayangkan. Dua minggu terakhir ini, saya mengajar filsafat di dua kampus. Saya tak tahu apakah materi yang saya ajarkan bisa meresap dengan baik di benak para peserta mata kuliah. Soalnya, peserta mata kuliah hanya diam saja ketika ditanya apakah paham ataukah tidak.

Mengajar filsafat tanpa ada yang bertanya atau mendebat adalah sesuatu yang menjemukan. Intisari filsafat adalah pertanyaan yang sebanyak-banyaknya sehingga mentimulasi pikiran kita untuk menemukan jawaban-jawaban yang tak terduga. Filsafat tak pernah menyediakan sebuah jawaban yang sifatnya final. Semuanya bersifat tentatif atau sementara. Saya kira jawaban itu sendiri tidaklah penting. Yang paling penting adalah bagaimana berdialektika untuk menemukan beragam pertanyaan serta jawaban yang unik serta orisinil dari pikiran kita sendiri. Dalam proses menemukan jawaban itu, kita mengajukan beragam kemungkinan, mulai dari yang datar-datar saja hingga kemungkinan yang “gila” sekalipun. Di situlah letak menariknya belajar dan mengajar filsafat.

Selama beberapa minggu ini, saya kesulitan untuk mengajar filsafat. Padahal, saya selalu berinovasi pada berbagai metode pengajaran. Saya selalu setia mendengarkan apa masalah yang dihadapi peserta, mendengarkan dengan baik semua kesan-kesan maupun keluhan mereka selama belajar filsafat. Namun, sayangnya, dialog-dialog itu hanya berhenti pada tataran curhat. Ketika diajak melakukan abstraksi atau refleksi atas berbagai fenomena yang disaksikan, para peserta mata kuliah hanya diam saja. Gimana mau lahir jawaban cerdas jika tak dirangsang dengan pertanyaan-pertanyaan cerdas?

Mungkin masalah besar adalah karena sejak kita kecil, kita tak pernah diajak berpikir rumit. Kita tak pernah diajarkan berefleksi atau menarik hikmah dari pengalaman-pengalaman yang kita hadapi. Jangankan berefleksi, mengajukan pertanyaan masih saja dianggap sebagai hal yang tabu. Di negeri ini, mengajukan pertanyaan msih saja dirasakan sebagai hal yang tabu. Bahkan seorang anak kecil yang hendak bertanya, kerap dihardik dengan kalimat, “Anak kecil tahu apa!!” Kita tak pernah dewasa dalam menerima pertanyaan. Di saat bersamaan, kita memelihara keangkuhan seolah kita selalu benar dan tidak siap dengan kenyataan ketika ada yang lebih benar dari kita. Apalagi jika seseorang itu adalah anak kecil.

Apa yang saya temui belakangan ini adalah sekeping sketsa dari masyarakat kita. Mungkin inilah gambaran masyarakat yang tidak pernah siap dengan pedebatan. Makanya, proses perkuliahan menjadi proses yang menjemukan. Bagi seorang mahasiswa, kuliah hanyalah datang ke kampus, kemudian mendengar khutbah dari para dosen, setelah itu berharap dapat nilai bagus. Sementara bagi para dosen, kuliah adalah proses menghitung berapa kali masuk mengajar, dan berapa nilai honor yang bakal diterima. Sebuah lingkaran yang sungguh menjemukan.(*)



Ketika Teror Mengguncang Vatikan



SEBUAH teror sedang menebar. Pusat imperium gereja Katolik di Kota Vatikan sedang diguncang kengerian. Di tengah duka akibat meninggalnya Paus, serta hingar hingar-bingar kesibukan acara conclave atau pemilihan Paus, sebuah bahan peledak bernama antimateri diketahui berada di Vatikan. Jika bahan itu tidak ditemukan, maka seluruh bangunan gereja Basilika Santo Petrus, akan hancur lebur sehingga jejak-jejak perjalanan sejarah Kekristenan akan ikut terkubur dan tersaput angin.

Empat orang kardinal terpilih atau preferiti tiba-tiba lenyap. Teror dan ancaman pembunuhan terhadap mereka yang disiapkan menjadi paus itu ditebar. Ancaman itu datang dari sebuah persaudaraan kuno bernama Iluminati yang diyakini sudah lama menjadi mitos dan legenda. Dendam lama terhadap sejarah kekristenan sedang dikobarkan. Ratusan tahun silam, Gereja Katolik membantai para ilmuwan (saintis) dengan sadis. Gereja membawa wahyu sebagai kebenaran absolut, dan para ilmuwan justru membawa ilmu pengetahuan sebagai kebenaran baru. Gereja terancam. Galileo sebagai ilmuwan terkemuka dibunuh. Kemudian, empat ilmuwan lainnya dibantai dalam ritus La Purga. Dada keempat ilmuwan itu dicap dengan besi panas berupa simbol-simbol iluminati yaitu empat unsur yang menyangga semesta yaitu air, api, tanah, dan udara. Kini, ritus purba itu sedang mengancam para kardinal terpilih.

Apakah yang terjadi ketika pusat imperium gereja katolik itu runtuh? Apakah dunia akan kehilangan para malaikat yang bersuara atas nama kebenaran? Ataukah telah runtuh sebuah aset tak ternilai pada bangunan dengan arsitektur maha dahsyat, lukisan-lukisan yang dibuat dalam balutan ketaatan religiustias? Ataukah pada tegaknya bangunan nilai yang sejak lama ditegakkan Yesus dan para rahib-rahib terpilih dan imam di seluruh dunia?

Itulah gambaran singkat yang hendak dikisahkan dalam film Angel and Demons yang dibintangi Tom Hanks. Film ini adalah adaptasi dari novel yang ditulis Dan Brown. Kemarin saya menyaksikan film ini dengan penuh ketegangan. Sejak awal film, ketegangan dan thriller itu sudah tercipta sehingga sebagai penonton, saya merasa ragu-ragu untuk beranjak. Padahal, di pertengahan film, saya tiba-tiba ingin kencing, namun saya tahan sedemikian rupa. Saya khawatir, ketika beranjak pergi ke toilet, akan ada adegan penting yang jika tidak saya tonton, maka saya akan kehilangan banyak makna penting dalam film.

Film ini dibuat dengan sangat megah. Gambar-gambarnya sangat memukau berupa gereja-gereja yang misterius, patung-patung malaikat dan para rahib, hingga lukisan-lukisan bernuansa spiritual. Kita serasa diajak berkelana melihat keindahan benda seni itu, kemudian menyibak misteri apa di balik benda tersebut.

Saya juga paling suka dengan tata suara film yang sesekali menampilkan paduan suara atau koor yang temponya meninggi. Serasa mendengar paduan suara dalam lagu Bohemian Rhapsody dari Queen, namun temponya lebih cepat. Ditambah visualisasi yang bergerak cepat, maka terciptalah ketegangan hingga membuat saya diliputi kepenasaranan sampai film berakhir.

Sepanjang film, saya serasa berkelana melintas ke Vatikan dan menyaksikan karya-karya seni dunia dipahat menghiasi kota itu. Saya terkagum-kagum menyaksikan the altars of science yaitu empat titik yang menjadi altar imu pengetahuan yaitu Kapel Chigi (Gereja Santa Maria del Popolo), Lapangan Santo Petrus, Patung St Teresa di Gereja Maria della Vittoria, hingga air mancur Piazza Navona. Saya langsung mencatat semua tempat itu sebagai tempat berlibur pada suatu saat.

Sayangnya, saya tak bisa termangu lama menyaksikan keindahan itu. Sebab film ini disusun dengan gaya thriller dan rangkaian misteri yang dijalin apik seperti keping puzzle raksasa sedang dibentangkan, dan tugas kita adalah menemani Prof Robert Langdon, ahli simbologi dari Harvard University, untuk menemukan jawaban atas semua misteri itu. Penampilan Tom Hank sebagai Langdon tak terlalu mengecewakan, meskipun tidak didukung penampilan memikat dari Ayalet Zurer sebagai Vittorio Vetra. Untunglah akting Ewan McGregor sebagai Camerlengo bisa menutupi kelemahan akting Ayalet.

Saya harus mengangkat jempol pada sutradara Ron Howard yang sukses mengangkat kisah ini. Dibandingkan dengan film Da Vinci Code, film ini jauh lebih berhasil dalam bertutur. Mungkin karena film Da Vinci Code terlampau setia dengan buku sehingga penggambaran banyak adegan terasa dipaksakan dengan dialog-dialog yang cepat. Bagi mereka yang tidak membaca bukunya, pasti akan kebingungan menyaksikan film Da Vinci Code. Namun Angel and Demons agak berbeda.

Mungkin karena belajar dari film sebelumnya, kali ini para sineas pembuat film itu lebih serius menyiapkan film ini. Mereka tak terlalu setia dengan adegan-adegan yang ada di buku, mereka justru mempersingkat bagian-bagian yang dirasa akan kian memperumit film ini. Makanya, siapapun yang belum membaca novel ini, tidak akan kesulitan menyaksikan filmnya. Sebab adegan-adegannya diatur dengan irama yang teratur dan tidak terlalu bikin pusing. Intinya, saya puas menyaksikan film ini.

Sebagai film thriller dan ada pesan filosofis, film ini jelas berhasil dalam menyampaikan sesuatu. Akan tetapi, saya sebagai penggemar karya Dan Brown merasa banyak hal yang tidak terlalu detail digambarkan dalam film. Seolah-olah film ini adalah kisah kriminalitas berupa penyanderaan empat kardinal jelang pemilihan paus, kemudian ada teka-teki di gereja mana letak pembantaian itu. Padahal, jika baca bukunya, tidaklah sesederhana itu.

Dalam pahaman saya, bukunya berisikan gugatan pada sejarah gereja Katolik yang kelam. Ternyata, sejarah Gereja Kristiani tidak berisikan lembaran emas tentang penaklukan dan kejayaan dari agama yang menawarkan cinta kasih sebagai jawaban atas segala keresahan manusia. Namun sejarah itu juga mencatat tragedi atas mereka yang berbeda keyakinan. Agama adalah kanvas yang berisikan kisah pembantaian yang ditegakkan atas nama Tuhan, atas nama sebuah kebenaran absolut, kemudian menyingkirkan kebenaran yang lainnya.

Aspek-aspek ini tidak terlalu jelas disampaikan dalam film. Padahal, aspek gugatan histroris ini sangat penting untuk diketahui bahwa pada satu masa, ilmuwan seperti Galileo Galilei harus rela menjadi martir untuk mempertahankan kebenaran yang selama ini dianutnya. Ada banyak detail yang tak nampak, namun saya anggap itu sangat wajar sebab bahasa visual jelas berbeda dengan teks buku. Namun, ada beberapa hal yang saya lihat cukup menganggu sebagai penonton.

Pertama, film ini tidak mengupas lebih jauh posisi Leonardo Vetra, fisikawan yang dibunuh setelah temuannya antimateri raib. Leonardo seolah hanya bagian kecil di awal film, padahal di bukunya, Leonardo adalah tokoh penting yang menyingkap misteri penciptaan materi. Temuan Leonardo tentang antimateri adalah temuan yang diperkirakan akan menjadi titik temu antara agama dan ilmu pengetahuan. Makanya, fisikawan ini selalu menjalin kontak dengan Paus –yang memang cinta ilmu pengetahuan—dan sama-sama berharap agar ilmu dan agama tidak saling meniadakan. Meminjam kata Leonardo, “Fisika adalah upaya untuk mengenali hukum Tuhan yang berlaku di muka bumi.“

Kedua, posisi Camerlengo (kepala rumah tangga kepausan) tidak dibahas dengan tuntas. Padahal Camerlengo adalah mata rantai paling penting dalam kisah ini. Saya tidak menemukan life history atau penjelasan tentang bagaimana sejarah kehidupan Camerlengo serta hubungannya dengan paus terdahulu. Dalam film, seolah-olah Camerlengo adalah pria yang berambisi menjadi Paus, kemudian menjadi mastermind dari pembunuhan empat kardinal. Padahal, jika membaca bukunya, tidak sesederhana itu. Camerlengo merepresentasikan seorang penganut Katolik ortodoks yang berambisi menegakkan wibawa gereja katolik. Ia seperti pemuka gereja katolik yang hidup di abad pertengahan dan dirundung khawatir atas perkembangan ilmu pengetahuan.

Tatkala ilmu pengetahuan membawa banyak keajaiban baru, maka agama seolah menghadirkan tema-tema yang mulai usang seperti surga-neraka, atau pahala-dosa. Ia lalu merancang pembunuhan empat kardinal –yang sebutnya sebagai orang tua berambisi jadi paus agar disanjung-sanjung—kemudian merancang seolah dirinya mendapatkan wahyu untuk menegakkan kebenaran.

Bagian paling penting yang tak dibahas adalah ia sengaja membunuh paus sebelumnya karena paus dianggapnya telah berkhianat pada doktrin gereja. Ia benci karena paus pernah berterus-terang bahwa dirinya punya anak biologis. Ia menganggap paus telah menodai kesuciannya. Paus memang jatuh cinta dengan seorang biarawati dan menyadari bahwa masing-masing pernah diikat sumpah suci. Paus tak berdaya dengan keinginan dan hasrat besarnya untuk punya anak. Hingga suatu hari, Paus membaca jurnal ilmiah tentang inseminasi buatan, ia seolah menemukan harapan baru. Tanpa harus mengorbankan kesuciannya, ia bisa punya anak. Paus menemukan jalan pembebasan melalui kemajuan ilmu pengetahuan, sesuatu yang kemudian memperkukuh iman Kristianinya. Dan Camerlengo ternyata adalah anak biologis dari sang paus yang kemudian hari membunuh paus sendiri, membunuh para kardinal, dan nyaris menghancurkan pusat gereja katolik.

Namun, kita jangan buru-buru memvonis bahwa buku dan film ini adalah hujatan pada Katolik. Saya rasa tidaklah demikian. Dan Brown sendiri meniatkan novelnya sebagai bagian dari pertanyaan-pertanyaan yang tak berkesudahan mengenai agama. Ia ibarat pelajar yang terus mengkaji agama dan menyimpan banyak pertanyaan-pertanyaan. Dalam satu wawancara, ia sendiri mengatakan, “I consider myself a student of many religions. The more I learn, the more questions I have. For me, the spiritual quest will be a life-long work.” Brown memposisikan dirinya sebagai pengkaji yang tak pernah puas. Dalam film ini, ada satu kalimat yang sangat menyentuh dalam bagian akhir. Kalimat itu datang dari seorang kardinal senior jelang pelantikan paus. “Agama memang selalu sempurna. Tapi, manusianya yang tidak sempurna. Manusia sering gagal menyempurnakannya.“ Saya rasa, itulah kalimat yang menjadi inti dari film itu.(*)



Menanti Novel Terbaru Dan Brown

TERNYATA, petualangan Robert Langdon belum berakhir. Setelah bertualang dalam buku Angel and Demon dan Da Vinci Code, dalam waktu dekat ini akan terbit lagi novel dari Dan Brown tentang petualangan ahli simbologi tersebut. Novel yang akan keluar adalah The Solomon Key. Saya belum tahu seperti apa ceritanya, namun saya duga ini tentanhg misteri harta karun Raja Sulaiman yang lama terkubur. Saya berharap isinya adalah gugatan pada sejarah Yahudi. Yah... semoga bisa cepat terbit.(*)

Ingin Nonton Angel and Demon


MALAM ini saya akan pergi nonton film Angel and Demon. Film ini diangkat dari novel laris karya Dan Brown. Saya membaca novel ini beberapa tahun yang lalu, setelah sebelumnya membaca novel Da Vinci Code. Baik Da Vinci Code maupun Angel and Demon sama-sama menarik sebab mengangkat isu-isu yang cukup sensitif yaitu soal agama.

Pengarang novel memaparkan bukti empirik bahwa agama yang kita anut hari ini adalah agama yang melewati proses historis yang panjang dn mengalami persentuhan hingga perbenturan dengan bebagai unsur. Pengarang novel berargumen bahwa agama kita bersifat hybrid atau terus berproses dan ditempa oleh sejarah dan interpretasi manusia di sepanjang zaman.

Tanpa bermaksud bercerita banyak tentang isi novelnya, saya ingin bilang kalau saya suka membacanya. Makanya, saya penasaran seperti apakah visualisasinya jika kelak difilmkan. Tapi, seorang teman yang mengetahui rencana saya, memberikan masukan. Katanya, jangan sampai film ini sama mengecewakannya dengan film Da Vinci Code. Memang sih, kebanyakan film yang diangkat dari novel atau buku, biasanya hasilnya jelek. Menurut saya, itu wajar saja sebab buku memberikan tempat yang sangat leluasa bagi imajinasi kita untuk berkelana ke mana-mana, sementara film membatasi imajinasi kita pada frame tertentu.

Anggapan jelek itu mencuat lantaran banyak orang yang memiliki ekspektasi berlebihan terhadap film. Kita kadang berharap agar visualisasinya sama persis dengan imajinasi kita. Tetapi saya, tidak berpikir demikian. Bagi saya, film dan novel unya bahasa yang berbeda. Saya tetap menanggap film adalah satu bentuk interpretasi dari sejumlah orang atas suatu karya novel. Saya pun berhak punya interpretasi yang berbeda. Makanya, ketika nonton film, saya berusaha mengalir saja. Saya tetap larut dalam film itu, tanpa harus peduli bahwa ada perbedaan dengan novelnya.

Semoga malam ini bisa nonton.


Agenda yang Belum Usai

BESOK saya akan meninggalkan Bau-Bau. Sebenarnya, masih banyak agenda yang belum usai. Beberapa misi yang menggerakkan kaki ini ke Bau-Bau belum juga tercapai. Sebenarnya, saya berharap bisa memperkaya data tesis yang saya kerjakan. Sayang sekali, kedatangan saya terlampau singkat sehingga tidak bisa fokus mengerjakan tesis.

Belakangan ini, ada dorongan kuat dalam diri untuk segera menerbitkan tesis itu. Tetapi nampaknya saya harus banyak bersabar. Saya mesti memperkaya dulu datanya agar kelak ketika terbit tidak memalukan dan tidak harus memberi permaafan kepada banyak orang. Jika melihat draft tesis yang sudah saya buat, saya jadi tidak percaya diri.

Belakangan ini, saya sering ketemu banyak orang yang bertanya kapan tesis berjudul Ingatan yang Menikam itu akan segera diterbitkan. Saya tak paham bagaimana sampai rencana ini diketahui orang banyak. Mungkin mereka membaca blog ini, atau mungkin informasinya tersebar dari mulut ke mulut. Saya menganggap itu sebagai tantangan yang harus dijawab. Semuanya adalah harapan sekaligus masukan agar saya segera mempublikasikan apa yang selama ini saya tulis.

Artinya, menerbitkan tesis menjadi buku adalah harga mati yang harus saya tunaikan. Ini bukan soal gagah-gagahan, namun ini adalah soal pertanggungjawaban kepada publik atas hasil riset selama beberapa waktu. Publikasi adalah konsekuensi wajib yang mesti dilakukan usai melakukan riset, sebab dengan cara publikasi, kita bisa mengetahui kelebihan dan kekuarangan data temuan kita, sekaligus menjadi parameter sejauh mana analisis serta jejak kita di dunia ilmiah.

Insyaallah, saya akan kembali lagi ke Bau-Bau dengan agenda yang lebih terjadwal. Saya akan disiplin mencatat temuan lapangan, menuliskan ulang semua temuan tersebut, hingga memperbaiki semua bahan-bahan yang sudah pernah saya buat. Mudah-mudahan, kedatangan nanti akan memperlancar semua agenda yang belum ditunaikan. Semoga Tuhan terus membukakan pintu langit untuk saya. Amin!!



Bugis, Laut, dan Kearifan Tradisi


SELAMA seminggu ini, saat berada di Bau-Bau, saya mengisi waktu dengan membaca dua buah buku baru yaitu Navigasi Bugis karya Gene Ammarell, serta Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan yang diedit oleh Roger Tol, Kees van Dijk, dan Greg Accioli. Kedua buku itu sangat menarik sebab ditulis oleh para peneliti asing yang rata-rata mumpuni dalam hal riset sehingga data-datanya sangat kaya.

Buku Navigasi Bugis berisikan etnografi tentang para nelayan Bugis yang tinggal di Pulau Balobaloang, di tengah-tengah perairan Sulawesi dan Nusa Tenggara. Buku ini adalah rekaman perjalanan yang memaparkan kekayaan tradisi dan pengetahuan para nelayan Bugis. Di dalamnya saya menemukan deskripsi yang tajam tentang pengetahuan nelayan, mulai dari membaca perbintangan, membaca ombak, hingga mengamati binatang laut demi menentukan posisi sebuah kapal di tengah samudera.

Gene Ammarell memaparkan bahwa sejak ratusan tahun silam, nelayan Bugis telah memiliki pengetahuan bagaimana menaklukan ombak, serta membaca semua tanda-tanda alam. Pengetahuan itu sedemikian kaya sebab telah ditempa oleh sejarah yang panjang dan diasah melalui pertautan dengan berbagai bangsa-bangsa besar di dunia.

Pantas saja jika pelaut Bugis bisa berkelana hingga tempat-tempat yang jauh, bisa bergerak mengikuti apa yang dikatakan Raja Gowa, Sultan Alauddin, bahwa “Tuhan menciptakan darat dan laut, maka lautan adalah milik semua orang. Belum pernah saya dengar ada orang yang dilarang karena melayari lautan.” Maka berkelanalah para pelaut Bugis dan Makassar sejauh kapalnya terbawa angin. Di sepanjang pesisir itu, mereka membangun peradaban, beranakpinak dengan penduduk setempat, dan menyebarkan pengetahuan navigasi yang sangat kaya itu hingga bertahan selama beberapa generasi.

Saya tercengang dengan kemampuan sang penulis –yang kini menjabat sebagai Ketua Departemen Kajian Asia di University of Ohio, Amerika Serikat-- mendeskripsikan kearifan tradisi tersebut. Saya paham bahwa pemaparan itu lahir dari riset yang cukup panjang untuk menemu-kenali realitas, kemudian memahami realitas itu sesuai dengan perspektif warga lokal. Sebagaimana lazimnya sebuah etnografi, Gene Ammarell tidak menawarkan hal yang baru. Ia juga tidak bermaksud menjelaskan (to explain) sesuatu secara runtut. Ia hanya berupaya memahami (to understand) bagaimana pengetahuan navigasi itu hadir di benak para nakhoda Bugis. Ia seolah mengajak kita untuk memasuki pikiran sang pelaut, berkelana dalam upayanya menaklukan ombak, memahami bagaimana kemampuannya membaca bintang, hingga fenomena alam lainnya. Di akhir perjalanan itu, sesaat kita termangu kala menyadari betapa kayanya pengetahuan lokal bangsa ini.

Penegtahuan lokal yang hidup di negeri ini sejak ratusan tahun lalu demikian kaya, namun pengetahuan itu perlahan mulai tergerus karena ketakjuban kita pada pengetahuan ala barat. Pengetahuan lokal mulai ditinggalkan dan perlahan tersaput angin modernisasi. Mungkin kita terlalu takjub dengan kemewahan artifisial yang dipamerkan orang barat, dan di saat bersamaan kita mengabaikan kekayaan tradisi kita sendiri. Hingga akhirnya, datang kembali orang barat seperti Gene Ammarell atau Christian Pelras untuk menulis tentang kearifan tradisi laut bangsa kita sendiri. Sementara kita sendiri, hanya menjadi pecundang yang terkagum-kagum dengan semua pencapaian bangsa barat.(*)


Palagimata Ataukah Palagimate?

HARI ini saya menemani mama pergi ke Rumah Sakit Umum Kota Bau-Bau, yang terletak di Palagimata. Mereka yang tinggal di Bau-Bau kerap menyebutnya dengan singkat yaitu Rumah Sakit Palagimata. Dalam bahasa Wolio, Palagimata bermakna sejauh mata memandang. 

Dinamakan demikian, sebab Palagimata adalah kawasan yang terletak di pebukitan, dan jika kita berada di situ, kita bisa memandang keindahan Kota Bau-Bau dari ketinggian. Kita bisa mengarahkan mata kita melihat indahnya laut, pulau-pulau di depan Bau-Bau, hingga melihat nelayan yang mengembangkan perahu layar di kejauhan.

Beberapa tahun yang lalu, Palagimata adalah sebuah hutan belantara. Kini, di situ sudah berdiri megah kantor Wali Kota Bau-Bau. Tak jauh dari kantor walikota itu, kita akan menemukan gedung rumah sakit berdiri megah. Rumah sakit ini masih terletak di tengah-tengah hutan belantara, sekitar dua kilometer dari Benteng Keraton Buton. Konon kabarnya, rumah sakit ini berdiri di atas sebuah lahan yang dulunya merupakan kuburan kuno atau tempat petilasan (tempat bersemedi) bagi mereka yang hendak mencari kesaktian.

Pemerintah Kota Bau-Bau sengaja membangun rumah sakit itu di tengah hutan dengan harapan agar terjadi perluasan kota. Di kawasan yang dahulunya hutan, sengaja didirikan bangunan pemerintah dengan harapan agar warga ikut membangun rumah. Dengan cara demikian, kota tidak memadat di satu titik, namun melebar sedemikian rupa sehingga lebih luas dan nyaman bagi warga yang hendak beraktivitas.

Keberadaan rumah sakit ini menjadi desas-desus di kalangan publik kota tentang hal-hal yang mistik dan supranatural di situ. Sebagaimana lazimnya pandangan bahwa di rumah sakit banyak hal yang mistis, maka demikian pula di rumah sakit ini. Meskipun masih baru, namun saya sudah banyak mendengar bahwa rumah sakit ini sangat angker sebab terletak di atas pekuburan. 

Rumor yang paling sering saya dengar adalah saat rumah sakit ini pertama berdiri dan dijagai satpam, keesokan harinya satpam tersebut ditemukan tewas oleh sebab yang tidak jelas. Warga kota langsung mengait-ngaitkannya dengan rumor bahwa rumah sakit ini angker. Sayangnya pula, tidak ada penjelasan secara terbuka dari pihak rumah sakit tentang sebab-sebab meninggalnya sang satpam.
Kini, semakin kuat rumor bahwa siapapun yang datang berobat ke rumah sakit itu, maka kondisinya tidak akan membaik, malah akan memburuk. 

Selama saya berada di Bau-Bau, saya sering sekali mendengar komentar masyarakat bahwa meninggalnya pasien di palagimata bukan disebabkan penyakit, namun disebabkan oleh para arwah yang menunggui rumah sakit itu. Malah, beberapa warga kota memplesetkan palagimata sebagai palagimate. Dalam bahasa wolio, mate bermakna kematian.

Ketika adik saya Atun dirawat di rumah sakit itu, hampir setiap malam saya mendengar ada yang meninggal di situ. Saya pun ikut khawatir. Tapi seorang kawan yang kerja sebagai tenaga kesehatan di situ beberapa kali meyakinkan saya bahwa rumor itu tidak benar. “Susahnya, karena pasien dibawa ke Palagimata setelah kondisinya parah. Makanya, ada yang tidak selamat,” kata kawan yang sering disapa La Daada itu. 

Apalagi, kata La Daada, banyak pasien yang datang dari berbagai pulau atau daerah-daerah yang jauh, mulai Muna hingga Wakatobi. Posisi rumah sakit ini adalah sebagai pusat yang menerima rujukan dari begitu banyak puskesmas di berbagai pulau. Pernyataan La Daada itu mungkin ada benarnya juga bahwa banyak pasien yang dibawa setelah kondisinya parah.

Rumor ini kian kuat tatkala di kota ini semakin banyak berdiri klinik swasta yang semakin ramai sejak rumor itu kian kencang beredar. Padahal, fasilitas di klinik sangat minim, dan hanya dirawat dokter biasa, bukan spesialis. Mahal pula. La Daada pernah bercerita bahwa seorang keluarganya yang sakit, ngotot tidak mau dirawat di Palagimata. Akhirnya, keluarganya itu dirawat di satu klinik. 

Setelah dirawat selama enam hari, La Daada lalu meminta keluarganya menanyakan berapa harga yang harus dibayar. Ternyata, enam hari dirawat sudah harus membayar Rp 6 juta. Terpaksa, keluarganya itu dibawa ke Palagimata dalam keadaan yang justru makin parah. Para dokter langsung angkat tangan melihat kondisinya. Dan dua hari kemudian, keluarganya meninggal dunia. 

“Sudah bayar mahal di klinik, tetap saja tidak sembuh,” kata La Daada.