Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Proposal Toyota dalam Huruf Kanji

AKHIRNYA proposal riset Revitalisasi Tradisi Lokal sudah dikirimkan ke Toyota Foundation. Kemarin, saya datang ke Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas untuk menandatangani proposal proyek itu. Saya ditunjuk sebagai koordinator riset yang akan mengendalikan semua proyek riset, pendampingan, hingga action plan saat di lapangan nanti.

Selama beberapa hari, Iwata berkonsentrasi menterjemahkan proposal itu ke dalam bahasa Jepang dan menulisnya dengan huruf kanji. Maklum saja, Iwata adalah antropolog Jepang yang kebetulan sedang meneliti budaya siri di Sulawesi Selatan. Keberadaan Iwata ini sudah pernah saya tuliskan dalam satu tulisan di blog ini.

Usai menulis ulang proposal itu dengan huruf kanji, Iwata meminta saya untuk mengecek kemudian bertandatangan sebagai contact person sekaligus Program Manager. Wah.... bagaimana mau mengecek, kalau saya sendiri tidak bisa membaca huruf kanji. Anehnya, ketika proposal yang saya buat dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf kanji, maka proposal itu menjadi lebih singkat dari sebelumnya. "Sebab satu huruf kanji bisa melambangkan satu kata," demikian penjelasan Iwata. Saya hanya bisa manggut-manggut saja.

Selama Iwata men-translate proposal itu, saya kagum juga melihatnya. Betapa tidak, ia jauh lebih suka menulis dengan huruf kanji, ketimbang dengan huruf latin. "Kalau saya pakai laptop lain, saya sangat kesulitan. Beda dengan ketika saya pakai laptop yang ada huruf kanji," katanya dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata. Saya kagum karena bangsa Jepang begitu mencintai kebudayaannya sendiri. Mereka justru tidak mentah-mentah menerima kemajuan yang berasal dari luar, namun tetap memperkuat fundasi kulturalnya sendiri.

Saya sangat berharap proyek ini bisa lolos di Toyota. Menurut informasi Iwata, proposal dari PKP Unhas adalah proposal yang paling kompetitif dan berpeluang besar untuk lolos. Iwata sudah pernah berbicara langsung dengan Program Manager Toyota Foundation yang juga berkewarganegaraan Jepang sebagaimana dirinya.

Jika proyek itu lolos, maka akan ada kegiatan riset yang kami jalankan mulai bulan November ini. Tentu saja, akan ada tambahan keuangan untuk belanja bulanan. Semoga bisa lolos.(*)


Makassar Demam Internet Gratis

BELAKANGAN ini Makassar ramai dengan warung kopi dengan fasilitas hotspot internet. Ini menjadi keuntungan buat saya yang hobi internet, namun ingin mengeluarkan biaya seminim mungkin ketika bernternet. Dulunya, saya keranjingan di warnet, sampai berjam-jam dan menghabiskan banyak duit. Kini, cukup bawa laptop, kemudian pesan es teh manis, sudah bisa memanfaatkan fasilitas internet gratis. Asyik khan?

Sekarang, situasinya berbeda. Daripada ke warnet sampai dua jam dan bayar Rp 5.000, mendingan saya singgah ke satu warung kopi atau kafe dan nongkrong selama beberapa jam. Palingan, saya hanya bayar Rp 4.000 untuk segelas es teh dan setelah itu bebas pakai internet.

Di sekitar kampus Universitas Hasanuddin, keberadaan warung kopi atau kafe jadi sangat penting. Tidak semua warung kopi gratis internet. Ada juga yang berlakukan sistem voucher. Kita membeli voucher, langsung diberikan kertas kecil yang didalamnya ada tulisan tentang password internet yang berlaku sesuai dengan nilai voucher yang kita beli. Jika membeli voucher Rp 5.000, maka kita bisa memakai internet selama dua jam. Kita tinggal menyalakan laptop, kemudian berinternetan selama dua jam. Ketika voucher habis, maka kita bisa pesan lagi. Gampang khan?

Namun jika ingin nongkrong di kafe yang agak elit (bukan ekonomi sulit yaa), bisa juga. Kemarin saya nongkrong di Kafe Balls di depan Makassar Town Square (M-Tos). Kafenya sangat keren. Suasananya seperti kafe-kafe di luar negeri. Saya suka nongkrong di lantai dua untuk main internet dan hanya memesan es lemon tea. Kadang ada rasa sungkan juga duduk berlama-lama di kafe sekeren itu dan cuma pesan es teh. Apalagi kalau pelayannya selalu melihat kita dan mungkin saja pelayan itu hendak berkata, "Sialan tuh orang. Datang maen internet gratis dan pesannya cuma segelas es teh."

Mungkin saja kita berpikir bahwa pelayannya akan bilang begitu. Tapi kemarin, saya cuek saja. Saya tidak peduli dengan apa komentar atau kesan sang pelayan kafe. Saya cuek saja sebab keinginan saya cuman mau internet saja. Hingga dua jam berikutnya, sang pelayan kembali mendatangi saya dan bertanya, "Mas mau pesan apa? Kue yaa." Dengan malu-malu dan sedikit cengengesan, saya menjawab, "Maaf mbak. Saya cuma mau memanfaatkan internet di kafe ini dengan gratis." What?


Menikam Sepi di Siang Bolong


(tulisan ini masih mentah. Belum selesai. Saya tak tahan untuk segra mempublikasikannya di blog ini. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini akan saya benahi)


“Kakak…. Bukankah aku tidak sedang pergi jauh…Bukankah aku masih di sini?” katanya dengan suara pelan, terdengar sayup-sayup dan nyaris seperti sebuah gumaman. Aku tak bisa berkata apa-apa. Lidahku seakan kelu. Hari ini, untuk kesekian kalinya aku menelepon karena tak tahan dengan rindu yang menggedor-gedor dada ini. Seakan-akan ada sesuatu yang aneh dan mengalir di dada ini. Aku dahaga ingin mendengar suaranya. Dan ketika suara itu menyapa dari jauh, sesaat aku terpuaskan. Namun sekian detik berikutnya, aku kembali sakauw, dan dihinggapi dahaga yang dahsyat lalu membuatku semaput.


Ia memang baik-baik saja dan tidak ke mana-mana. Namun, suaranya seolah berbisik dari sebuah tempat yang jauh. Ia terbang jauh ke dunia lain di mana aku tak kuasa untuk menggenggam jemarinya, menahannya agar tidak pergi jauh. Namun, tarikan mimpi-mimpinya sedemikian kuat hingga genggamanku terlepas. Aku hanya bisa menyaksikannya berjalan di kejauhan hingga tak terasa ada air bening yang menetes di wajahku. Ah,....betapa cengengnya diriku yang tak bisa berdamai dengan situasi.

Belakangan ini, aku menjalani hari-hari yang berubah. Horison pandangku seolah kabur hingga tak bisa lagi menikmati indahnya warna-warni hidup. Tanpa dirinya, hidup sungguh menjemukan. Hidup ibarat foto hitam putih yang getir, tanpa sentuhan warna-warni. Semuanya bergerak begitu lambat seolah sedang menyaksikan adegan slow motion lambat sebuah film. Namun, apapun yang terjadi, aku harus tetap menatap lurus ke depan. Bukankah ada saat di mana kita harus bersedih agar kegembiraan lebih bermakna?

Saraswati namanya. Perempuan yang hadir ketika aku sedang terpuruk dan merutuki hidup. Ia adalah jawaban dari pencarianku yang lama dan tak lelah. Sungguh, jika diperhatikan dengan teliti, ia tak begitu cantik, namun memiliki senyum yang seolah terpatri abadi di wajahnya. Ia memang seorang yang periang. Saban hari selalu saja tertawa dan mengganggu pikiranku yang berkelebat tak tentu arah, mengurai sengkarut keruwetan berpikirku, hingga melepas semua buhul masalah. Keceriaan adalah payung yang selalu menemani hari-harinya, juga menulariku. Hidupku jadi berbeda dan sesekali melihat dunia dengan caranya memandang. Bagiku, kehadirannya sangatlah penting. Betapa tidak, ia seolah menggenapi sisi lain diriku yang suka berkarib dengan sunyi dan akrab memikirkan berbagai tanda tanya. Ia adalah bulan yang menyejukkan matahariku.

Dirinya adalah sekeping surga yang dijatuhkan Tuhan kepadaku. Ia adalah surga yang menjadi udara bahagia yang menyelusup di sela-sela nadiku. Cintanya adalah semesta yang melingkupiku. Ia adalah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tanda tanyaku yang tak berujung, tetes embun yang menghangatkan dahagku dalam pencarian sekeping tawa. Mungkin Tuhan sengaja mengirim dirinya untuk menjadi antitesis atas sunyiku. Dan Tuhan pula yang menggerakkan hatinya untuk mencari kesibukan dan membuatku terjerembab dalam labirin kesunyian yang terus menggedor batinku. Ah, mungkin ada makna yang harus disibak di sini.

Beberapa hari yang lalu, ia memutuskan untuk menjalani satu rutinitas. Aku mulai merasa kehilangan manjanya. Kehilangan suara ribut yang kekanakan namun menjadi pelipur laraku. Hari-harinya seakan disekap di satu tempat di mana ia mengikuti pelatihan kerja di satu lembaga. Aku tak bisa menghubunginya setiap saat. Kesunyian yang dulunya adalah sahabat akrabku, kini kembali menyapa. Kebahagiaanku seakan lumer dalam getir.

“Kakak tidak pernah tahu bagaimana rasanya ditinggalkan,” sayup-sayup kalimatnya masih menjejak di hatiku. Setiap kali aku beranjak jauh, ia akan mengucapkan pertanyaan itu. Dulunya, aku tak paham apa maknanya. Kini, barulah aku mengerti. Aku memang sering meninggalkannya. Ketika mimpiku terentang jauh di ufuk selatan, aku bergegas menuju ke sana, dan meninggalkannya yang sedang mengayam mimpi di Kota Makassar. Aku terlampau egois karena mengejar fatamorgana di ufuk sana. Sesunggukannya ketika diriku berkemas seolah duri kecil yang menganggu sepatuku. Langkahku tetap lurus dan bergerak maju. Ia mengaku kehilangan dunia, sementara aku justru menemukan sebuah dunia yang baru. Di ufuk selatan itu, aku menjalani hari yang bergegas. Saban hari aku sibuk dengan berbagai rutinitas kegiatan. Kesendirian adalah bahasa kami dalam menantang hidup. Bedanya adalah aku menjalani kesendirian di satu tempat yang baru. Sementara ia masih di tempat yang sama. Dengan horison yang terlalu jauh untuk digapai oleh kaki-kaki kecilnya.

Namun, bukankah selalu saja ada kesunyian ketika harus menatap dunia yang sama selama sekian waktu? Ia menjalani hari-hari yang sunyi itu. Di saat aku menatap berbagai pelabuhan dan kota-kota, ia hanya berdiam di situ saja, tanpa hadirnya diriku. Hingga hari ini, tatkala kenyataan itu berbalik menikam diriku. Kini, aku yang sendirian. Duniaku yang penuh warna menjadi menjemukan ketika ia mulai sibuk menjalani hari-harinya.

Aku memang memutuskan untuk kembali ke kota ini. Kebahagiaan melingkupi hati ini. Namun tatkala ia secara tiba-tiba memutuskan berangkat, apa yang bisa kulakukan? Haruskah aku merintangi semua mimpinya? “Tidak kakak. Biarkan saya menggapai hari. Izinkan saya menikam ego dan kekerdilan berpikir seolah saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya juga ingin sepertimu, bisa berlayar menantang ombak,” ujarnya. Ah, dia benar. Barangkali, aku harus terus berkarib-karib dengan semua sunyi ini.(*)





Prajurit Kesultanan Buton


FOTO bersama dua prajurit Kesultanan Buton. Lelaki yang berambut panjang adalah penari galangi, yang di masa silam berfungsi sebagai pengawal Sultan. Fungsinya adalah membuka jalan, --sebagaimana fungsi patroli patwal di masa kini. Penari galangi terdiri atas beberapa orang dan beberapa di antaranya membawa tambur serta bunyi-bunyian lain. Saat tambur dipukul, para penari lainnya bergerak mengikuti hentakan musik. Gerakannya unik dan luwes. Tombak diputar-putar hingga semua yang menyaksikannya memberi jalan. Seru deh..

Prajurit Keraton Yogyakarta


Berfoto bersama prajurit Keraton Yogyakarta. Sang prajurit merasa bangga dan senantiasa senyum-senyum sebab dirinya bagaikan artis yang menerima ajakan berfoto dari dua orang. Usai berfoto, ia minta agar fotonya dikirimkan ke Yogya biar diperlihatkan pada anak istrinya. Masalahnya, saya tidak mencatat nama dan alamatnya. So, what can i do?

Betapa Bodohnya Elite Negeri Ini

BEGITU bodohnya elite politik negeri ini. Sibuk sikut sana sikut sini. Takut jadi oposisi sebab maunya berkuasa terus. Mereka tak mau belajar pada rakyat. Rakyat tak pernah belajar beroposisi, namun sudah mendarahdaging dalam keseharian mereka. Rakyat lebih punya daya tahan melakukan perlawanan selama puluhan tahun. Mereka punya resistensi serta kemampuan melawan secara kultural pada semua kebijakan yang membuat mereka harus mengetatkan ikat pinggang. Di negeri ini, para elite hanya pandai menyusu pada puting negara, menghisap madu rakyat, kemudian mengabaikannya setelah dahaga kuasa terpenuhi. Para elite tidak punya rasa malu pada rakyat. Tidak punya rasa malu pada sejarah perlawanan bangsa ini. Tidak punya rasa hormat pada daya tahan rakyat yang seperti rumput liar yang tumbuh lebat hingga meremukkan tembok kekuasaan.(*)

Problem Mahasiswa Pasca Antropologi UI

PAGI ini, sahabatku Mitha mengirim SMS yang bernada panik. Hingga kini, ia belum menuntaskan tesisnya, sementara batas waktu deadline bagi angkatanku adalah semester ini. Bulan Mei ini, semua teman-teman wajib ujian, jika tidak ingin kena penalti drop out.

Mitha baru menuntaskan Bab I. Biasanya, tesis terdiri atas lima bab dan nampak tebal sekali, khususnya jika tesis itu menggarap hal-hal menyangkut deskripsi etnografis. Artinya, kerjaannya masih sangat panjang. Idealnya, ia sekarang sudah menuntaskan penulisan tesis, kemudian membaca ulang, dan mengoreksi bagian-bagian tertentu. Dia sudah harus siap menyongsong kapan ujian segera digelar dan menyiapkan dirinya sebaik-baiknya. Sayangnya, ia masih harus bekerja keras.

Saat membaca keluhannya melalui SMS, aku hanya bisa memberikan motivasi. Betapa tidak, masalahnya sama dengan semua teman-temanku yang saat ini berjibaku dengan penulisan tesis. Hingga saat ini, dari begitu banyak rekan-rekan seangkatan di Program Pascasarjana Antrop angkatan 2006 di Universitas Indonesia (UI), yang berhasil menuntaskan kuliah baru tiga orang yaitu Mbak Fikri, Mas Jaya, dan aku sendiri. Padahal, ini sudah tahun ketiga dari sejak kami masuk kuliah yaitu tahun 2006.

Mengapa harus demikian lambat? Mungkin ada beberapa sebab yang bisa diurai disini. Pertama, teman-temanku terjebak dengan rutinitas pekerjaan dan ikhtiar mencari sesuap nasi. Mereka sibuk dengan dunianya masing-masing sehingga melupakan soalan yang sangat penting yaitu menyelesaikan studi. Aku mendengar keluhan ini dari beberapa orang. Yang membuat keningku berkerut adalah mengapa kemalasan itu harus mendera sekarang dan tidak muncul saat masih aktif kuliah? Bukankah saat-saat aktif kuliah adalah saat paling sibuk sebab harus hadir di kelas, kemudian menyelesaikan semua tugas-tugas di rumah, atau sibuk belajar menjelang ujian. Lantas, kenapa harus malas di masa kini? Jawabannya simple saja. Sebab saat kuliah, banyak teman yang bisa diajak tukar pikiran untuk menjawab soal-soal sulit, sementara saat sekarang, semuanya berpulang pada diri masing-masing. Tiba-tiba saja kita harus menjadi diri kita sendiri untuk meniti tangga-tangga menuju ujian.

Hal kedua yang menyebabkan keengganan adalah tiadanya bimbingan dari kampus tentang bagaimana menyelesaikan tesis atau riset yang baik. Sudah bukan rahasia lagi jika dosen-dosen UI sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka tidak bisa membaca dengan baik semua tesis sebab sibuk dengan berbagai hal, entah itu proyek, birokrasi kampus, atau macam-macam. Jadinya, mahasiswa harus mereka-reka sendiri atau belajar mandiri demi menemukan bagaimana alur metodologis tesis yang hendak disusun. Ia harus rajin bertanya pada banyak orang tentang bagaimana merencanakan sebuah riset hingga turun ke lapangan. Dosen tak banyak membantu. Bisanya hanya memaki-maki ketika tesis itu dianggap keluar dari pola penulisan yang disukainya.

Memang sih, tugas mahasiswa adalah belajar keras. Itu tak masalah bagi mereka yang sudah mendalami dunia Antropologi sejak lama. Namun, harus dicatat bahwa nyaris semua mahasiswa pascasarjana Antrop justru tidak punya latar belakang Antrop. Rata-rata baru mulai belajar dan melangkah tertatih-tatih di dunia antropologi yang sedemikian luas. Mereka baru belajar bagaimana berdiri tegak dan tidak jatuh, tiba-tiba saja kampus sudah membebani dengan tugas riset yang tidak mudah untuk dikerjakan.

Pengalamanku selama bimbingan adalah dosen tidak banyak memberikan masukan sebab intensitas pertemuan sangat jarang, kemudian waktu ketemu juga sangat singkat. Untungnya, aku punya sedikit rasa nekad dan ngotot ketika bimbingan. Jika tidak, mungkin aku akan bernasib sama dengan rekan-rekanku dan masih berjibaku dengan rutinitas perkuliahan. Sudah tidak dibantu dengan masukan, tiba-tiba saja aku dibikin grogi hingga dibantai saat ujian. Dosen mengata-ngatai sok pintar, tanpa memberikan inspirasi bagaimana mengerjakan sesuatu dengan benar. Itu tidak adil bagiku.

Ketiga, ada yang salah dengan sistem perkuliahan di Program Antrop UI. Mahasiswa tidak disiapkan dengan baik untuk memasuki ajang penulisan tesis. Beberapa dosen menggeneralisir mahasiswanya seolah semua sudah mumpuni di dunia riset. Makanya, mereka tidak terlalu menginspirasi. Kampus seolah membiarkan mahasiswanya seperti anak ayam kehilangan induk yang harus mencari tahu sendiri dan belajar memecahkan masalahnya.

Mungkin ini terjadi di semua jurusan di UI. Masalahnya, jurusan sosiologi UI justru lebih pandai membimbing mahasiswanya. Seorang mahasiswa Pasca Sosiologi UI justru disiapkan lebih baik, menjalani asistensi, hingga melalui ujian dalam asuhan seorang dosen pembimbing. Bahkan, sang dosen bersikap proaktif ketika memberikan informasi tentang peluang kerja atau beasiswa. Dosennya tidak pasif saja, namun membukakan jaringan dan peluang kepada mahasiswanya., bahkan saat mahasiswa itu sudah lulus kuliah. Sebenarnya, itu yang yang aku inginkan di Program Antrop UI. Makanya, ketika membaca pesan SMS dari Mitha, aku hanya bisa melapaskan napas panjang. Mungkin Mitha harus sedikit “berkelahi” untuk melalui semua proses ini.(*)



Back to Makassar....

Malam ini saya pulang ke Makassar. Teman-teman meminta saya tunda dulu untuk beberapa malam. Malah, ada teman yang ngajak party di satu night club asalkan keberangkatan ditunda. Cuman, setelah dipikir-pikir, mendingan saya balik Makassar. Semakin lama di Jakarta, dompet semakin menipis. Maklumlah, dalam sehari di sini bisa habis uang Rp 100.000. Kalau saya hitung-hitung, pengeluaran terbesarku adalah untuk beli buku. Sebanyak enam buku yang saya beli. Dua di antaranya berbahasa Ingris. Buku sejenis ini sangat langka di Makassar. Yah.. sampai jumpa di Makassar

Serunya Buku Terbaru JK Rowling!!!


BERHASIL juga saya mendapatkan karya terbaru JK Rowling (pengarang Harry Potter) yang judulnya The Tales of Beedle The Bard. Kemarin, saya menjelajah ke Toko Buku Gramedia Matraman --yang merupakan Gramedia terbesar di Indonesia--, namun tak juga bisa menemukan buku ini.

Kata salah seorang staf Gramedia, "Wah,.. buku itu susah didapat. Penggemarnya banyak. Mungkin mas mau daftar untuk indent?" tanyanya. Busyet... disuruh indent, padahal saya sudah mau tingalkan Jakarta. Terpaksa, saya bergerilya ke Depok, dan akhirnya menemukan buku ini. Saya tak peduli dengan harganya yang Rp 50.000. Pokoknya, saya langsung bayar sebab takut kehabisan.

Buku ini sangatlah spesial buat saya. Apalagi, ada seseorang di makassar yang sejak lama merengek manja ingin memiliki buku ini. Apa boleh buat. Terpaksa saya keliling Jakarta demi mendapat buku ini.Sejak JK Rowling menuntaskan serial Harry Potter, terasa ada kerinduan untuk membaca tulisannya. Selama tujuh tahun, ia selalu mengeluarkan Harry Potter setiap tahunnya, tiba-tiba dua tahun ini para penggemar Potter kehilangan rutinitas menunggu buku terbarunya. Apakah Rowling pensiun? Ternyata tidak juga. Ia tetap produktif dan mengeluarkan buku terbaru yang berjudul The Tales of Beedle The bard.

Jika anda pembaca setia Harry Potter, pastilah menemukan judul buku ini dalam Harry Potter 7: The Deathly Hallow. Buku Beedle ini adalah warisan Albus Dumbledore kepada kawan Harry, Hermione Granger, demi mengalahkan Voldemort. Akhirnya Harry berhasil mengalahkan Dumbledore setelah menguak misteri dalam buku ini, khususnya cerita tentang tiga saudara penyihir.

Saya termasuk pembaca yang penasaran dengan buku itu. Untunglah, Rowling akhirnya menerbitkan juga buku yang penuh cerita sihir ini. Meskipun bukunya tidak begitu tebal, namun saya puas karena didalamnya ada penjelasan Dumbledore terhada berbagai cerita. Wajar saja jika Harry menemukan ada sihir dalam setiap kata buku ini. Saya pun menemukan sihir itu. penasaran? Baca sendiri deh.. Hehehe




Nonton Film dan Jalan-Jalan


Kemarin saya nonton film Race to Witch Mountain di Metropole XXI, bioskop yang dulu bernama Mega Ria, dekat Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Filmnya lumayan menghibur dengan special effect yang memanjakan mata. Sayangnya --sebagaimana kebanyakan film Disney—kisahnya agak datar. Ending-nya terlalu gampang ditebak sebab biasanya film Disney selalu happy ending. Makanya, film ini tidak terlalu menantang logika. Usai menonton, semuanya kembali mengalir. Tak ada sesuatu yang membekas di benak kita.

Hari ini saya berencana mau nonton lagi. Ada tiga pilihan yang agak susah diputuskan. Mulai dari Knowing (dibintangi Nicholas Cage), Fast and Furious (dibintangi Vin Diesel), hingga film Watchman (film yang diadaptasi dari komik terkenal). Saya bingung saat menentukan nonton film mana. Semuanya bagus-bagus dan punya keunikan tersendiri.

Selain nonton film, hari ini saya berencana ke kampus UI. Mudah-mudahan urusan lancar dan selanjutnya saya bisa merencanakan kapan mau balik ke Makassar. Mudah-mudahan saya bisa segera pulang. Jakarta bukan lagi rumah yang nyaman. Jakarta hanya sebuah tempat persinggahan sementara. Saya mulai tidak tahan dengan kemacetan, udara panas dan kotor. Saya rindu dengan suasana Makassar dengan jalan-jalannya yang tidak terlalu panjang.(*)




Ironi Jusuf Kalla

SEDIH juga melihat posisi Jusuf Kalla (JK) belakangan ini. Gimana nggak sedih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seolah tidak mau melirik namanya lagi sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan Golkar. Padahal, Kalla adalah aktor paling penting dari keberhasilan citra pemerintahan. Kalla bekerja dengan sepenuh hati agar pemerintahan ini berjalan efektif. Sayangnya, kerja kerasnya hanya ditunai oleh Presiden SBY. Kerja keras Kalla itu hanya menguntungkan Partai Demokrat.

Justru Kalla yang menjelma jadi aktor antagonis. Seorang ibu di Kompelks Duren Tiga menyimpan geram kepadanya. Katanya, Kalla yang selama ini menaikkan BBM, kemudian semena-mena terhadap presiden. “Semua kebijakan yang jelek-jelek itu dari Jusuf Kalla. Kasihan Sby selalu jadi bulan-bulanan Kalla,” katanya dengan geram. Saya hanya diam saja. Kita memang berada pada suatu era di mana kita kabur dalam memandang kenyataan. Batas antara pahlawan dan pecundang kian samar hingga kita semaput dan tak berdaya.

Namun, berapa banyak rakyat Indonesia yang paham fakta ini? Berapa banyak yang mengerti bahwa Kalla adalah arsitek utama di belakang pemerintahan? Berapa banyak yang mengerti, sebagaimana mengertinya Ahmad Syafii Ma’arif bahwa Kalla dalah the real president? Lantas, apakah posisi Kalla memang hanya untuk melayani serta menghamba demi langgengnya kekuasaan sang presiden?



Jakarta, Here I Come....

AKHIRNYA saya kembali ke Jakarta. Bukan untuk berdiam atau menetap selama beberapa bulan, sebagaimana biasanya. Namun untuk suatu keperluan yang tak bakal lama. Saat turun dari pesawat Batavia Air kemarin, saya merasa akrab dengan hawa dan suasana Jakarta. Saat bus Damri mengantarku ke Pasar Minggu, saya masih hapal jalan-jalan yang dilalui.

Ketika melintas di Slipi, saya teringat dengan hari-hari ketika masih bekerja sebagai jurnalis. Jalanan di Slipi ini hampir tiap hari saya lalui sebab saya tinggal di Palmerah. Kemudian, saat mobil yang saya tumpangi melintas di DPR, saya kembali teringat hari-hari yang berlalu. Begitu banyak orang yng memimpikan untuk berkantor di gedung itu. Saya merasa beruntung sebab pernah menelusuri lorong-lorong di gedung itu. Saya masih ingat ‘jalan-jalan tikus’ untuk menembus ketatnya penjagaan di gedung itu. Saya ingat sahabat speerti Aco (jurnalis Kompas) atau Jannes Siburia (jurnalis Rakyat Merdeka), para sahabat setiaku selama berkantor di gedung itu. Entah di mana mereka sekarang.

Ketika Bus Damri memasuki Pasar Minggu, saya lalu turun kemudian langsung menumpang angkot yang menuju ke arah kampus UI. Turun di Jalan Kober, saya lalu melewati jalan kecil menuju UI. Baru melangkah beberapa meter, sebuah suaa memanggil. Saya menoleh. Ternyata, penjual DVD yang biasa mangkal di Kukusan, dekat tempat kos saya yang dulu. Ia masih ingat bahwa saya adalah pelanggan setianya di Kukusan. Saya lalu singgah berbasa-basi dan menyapa.

Selanjutnya, saya masuk kampus UI dan menunggu bis kuning. Setiap kali memasuki kampus UI, selalu ada beragam rasa yang campur aduk di dada ini. Dulunya, saya tersentak ketika melihat begitu banyak cewek-cewek manis di kampus ini. Bedanya bagai bumi dan langit dengan cewek-cewek kampus di Makassar. Namun, setiap teman-teman Makassar menanyakan itu, saya selalu menjawab, sebaiknya mereka melihat sendiri. Susah saya ceritakan bagaimana kontrasnya apa yang saya saksikan.

Saya lalu singgah ke kampus Fisip demi mengurus ijazah. Ternyata, tesis kemarin dapat nilai A. Padahal, saya khawatir akan dapat B sebab saat ujian, saya dibantai habis. Artinya, IPK saya di UI adalah 3,79. Sebuah angka yang tidak mudah didapat di kampus yang masih memegang teguh tradisi menjaga kualitas.

Usai urus ijazah, saya singgah ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan bertemu dengan teman Andi Zulkarnain. Dulunya dia adalah seniorku di Unhas. Sekarang ia kuliah di Program Pascasarjana bidang Seni Pertunjukan. Zul –demikian ia disapa—sedang mengikuti kata hatinya. Sejak dahulu ia memang suka dengan dunia seni.

Lama berbincang dengan Zul, hpku berdering. Teman Dyah menunggu di kantin Taman Korea. Saya lalu bergerak ke kantin itu dan melihat Diah sedang duduk dengan teman-teman mahasiswa Pasca. Saya lalu berjabat tangan dengan mereka sambil berbisik, “Rajin belajar yaa biar cepat lulus kayak saya.” Semua teman-teman tertawa mendengar kalimatku itu. Seharian saya ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal.

Sore hari, saya diajak Dyah ke Cak Tarno Institute, suatu komunitas diskusi humaniora paling terkemuka di UI. Saya ngobrol lama dengan banyak teman di situ. Obrolannya macam-macam baik tentang filsafat, sastra, serta budaya. Di sini, saya juga ketemu ES Ito, pengarang novel Rahasia Meede. Satu hal yang bikin betah di Jakarta adalah di sini begitu banyak ruang-ruang cultural di mana kita bias diskusi dan memperkaya batin kita. Itulah yang paling menyenangkan di kota ini. Sedang hal yang paling menjengkelkan adalah kemacetannya yang bikin stress. Andaikan Jakarta bias bebas macet, pastilah akan sangat menyenangkan.(*)


Majalah Bobo dan Teras-teras Ingatan


MEMBACA majalah Bobo di waktu kanak-kanak, itu sih biasa aja. Namun, bagaimana kalau membaca majalah Bobo di saat dewasa? Pasti seru, sebagaimana yang saya rasakan selama seminggu terakhir ini. Saya tidak sedang bercanda. Sudah tiga minggu ini, saya rutin membeli dan membaca majalah Bobo. Ketika membacanya, saya sering tersenyum sendiri sebab saya seolah sedang menelusuri teras-teras ingatan yang dulunya pernah saya lalui dan sesekali terperosok hingga lupa. Saya baru sadar kalau majalah ini terlampau banyak memberi sapuan warna-warni pada kanvas perjalanan hidup, memberi rasa pada pahit getirnya perjalanan, dan cara-cara saya memandang beragam soal dalam hidup.

Minggu ini, edisi Majalah Bobo cukup heboh sebab bertepatan dengan ulang tahun majalah ini. Ada banyak rahasia Bobo yang diungkap, misalnya kenapa sih Bobo selalu mengenakan baju kaos merah dan ada tulisan B? Apakah Bobo nggak pernah ganti baju? Ada juga rahasia tentang mengapa badan Bobo berwarna biru, padahal kelinci biasanya berwarna putih atau hitam. Penasaran? Beli saja majalahnya. Masak mau diceritain?.... Hehehehe....

Oh ya, ketika membaca majalah ini, saya serasa bertualang ke masa kanak-kanak dan merasakan kembali indahnya menjadi anak-anak. Begitu banyak kenangan yang masih ada jejaknya di majalah ini. Sosok Bobo –sang kelinci berwarna biru-- masih kayak dulu. Hanya tampilan fisiknya saja yang berubah. Kalau dulu, rambut Bobo selalu disisir belah samping --mungkin pengaruh Harmoko yaa--, maka kini ia selalu mengenakan topi yang dipakaikan ke belakang. Bobo juga tetap memakai kaos merah yang bertuliskan huruf B. Kali ini kaosnya sudah berkerah dan nampak lebih dinamis dipadu dengan celana pendek serta sepatu dan kaos kaki.

Saya juga masih menemukan keluarga Bobo secara lengkap, mulai dari bapak, emak, serta adik-adik Bobo yaitu Coreng dan Upik. Jangan lupa, masih ada sejumlah keluarga Bobo seperti Tut Tut, Paman Dik Selidik, Bibi Titi Teliti, hingga sosok paling kocak dan pandir yaitu Paman Gembul (ssstttt... seorang senior di Komunikasi Unhas pernah disapa Paman Gembul karena berbadan besar kayak paman satu ini). Kalau diperhatikan, penamaan itu tergantung pada hobi atau ciri-ciri masing-masing. Misalnya Coreng yang hobinya menggambar, kemudian Titi Teliti yang selalu teliti, serta Paman Gembul yang badannya gembul alias gemuk. Ternyata, penamaan itu membantu kita di masa kanak-kanak untuk mengenali sesuatu dengan mudah.

Anehnya, umur Bobo tak bertambah sama sekali. Sosok ini tetap statis usianya, sementara pembacanya terus bertambah usia. Jadinya, Bobo tetap abadi bagi mereka yang berusia kanak-kanak. Ketika membaca kembali Bobo, saya serasa terbawa kembali pada masa kanak-kanak yang menyenangkan. Apalagi, banyak rubrik yang masih bertahan. Misalnya masih ada Cerita dari Negeri Dongeng. Ternyata, si Oki --kurcaci hijau itu—masih tetap nakal sebab sesekali mencuri tongkat sihir Nirmala. Memang sih, pada bagian akhir cerita, Oki akan minta maaf. Namun seminggu berikutnya, Oki akan kembali melakukan kenakalan yang sama. Selain kisah Oki dan Nirmala, masih ada juga cerita tentang Paman Kikuk, sosok yang selalu sial. Kemudian ada juga berbagai cerpen tentang binatang. Minggu ini saya baca cerpen tentang gajah yang ingin menjadi binatang lain. Intinya adalah Bobo masih tetap mengasyikkan.

Yang membuat saya kehilangan adalah karena saya sudah tidak menemukan lagi kisah tentang Juwita dan Si Sirik. Dua sosok ini saling melengkapi. Jika Si Sirik selalu jahil dan berbuat kejahatan, maka Juwita yang kemudian mengembalikan keadaan menjadi normal. Saya tak bisa lupa mantra Si Sirik ketika menyihir yaitu “alakazam....!!!”. Sementara Juwita ketika menyihir akan mengucapkan mantra “Abrakadabra..!!!” Waktu kanak-kanak, saya sempat bertanya-tanya, “Jika Si Sirik jahat, kenapa Juwita tidak sekalian memusnahkannya untuk selama-lamanya?” Mungkin jawabannya adalah karena Si Sirik hanya sebatas jahil. Lagian, kalau tak ada Si Sirik, pastilah Juwita akan nganggur dan kehilangan tempat dalam cerita itu. Iya nggak?


Diary, Dumbledore, dan Riset Sosial Baru


MENULIS diary adalah aktivitas menuliskan ulang semua pengalaman kita ke dalam bahasa tertulis. Menulis diary adalah proses untuk memindahkan semua pengalaman kita ke dalam bahasa tulisan yang tak lekang oleh waktu. Bagi kebanyakan orang, menulis diary adalah hal yang sepele, namun pernahkah kita berpikir betapa berharganya aktivitas ini? Pernahkah kita berpikir bahwa aktivitas menulis diary adalah langkah pertama yang wajib dilakukan seorang peneliti ketika berada di lapangan penelitian?

Minggu ini, saya baca sebuah jurnal internasional terbaru yang bercerita tentang penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara menulis diary. Saya baru paham bahwa ternyata diary adalah timbunan harta karun yang sesungguhnya berkisah banyak hal tentang diri kita yang selama ini tidak kita tampakkan pada orang lain. Diary adalah rekaman utuh yang menuturkan banyak hal tentang diri kita, kegelisahan kita, hingga kesan yang tersisa laksana jejak-jejak yang tertoreh di benak kita.

Diary begitu penting, karena saat menulisnya, kita menulis dengan hati. Saat menulis diary, kita menjelma menjadi diri kita sendiri, tanpa harus peduli bagaimana kesan orang ketika membaca tulisan itu. Kebanyakan diary ditulis dalam suasana yang sangat pribadi, kadang-kadang penuh kerahasiaan sebab kita tak ingin orang lain tahu bahwa kita membicarakan pengalaman secara personal melalui diary. Makanya, sebuah diary jelas jauh lebih penting ketimbang sebuah riset utuh yang terkadang tidak dikerjakan dengan sepenuh hati, sebab merupakan pesanan lembaga tertentu.

Mungkin kita tak terlalu peduli dengan kenyataan ini. Namun, menulis diary adalah proses yang sama pentingnya dengan semua pengalaman yang pernah kita alami. Jika pengalaman adalah peristiwa yang kemudian direkam oleh pikiran, maka sebuah diary adalah proses mengabadikan pengalaman tersebut hingga abadi dan tak akan lekang oleh waktu. Ketika kita membaca diary yang kita tulis di masa lampau, maka kita seolah sedang terjun bebas ke dalam sebuah dunia pengalaman tertentu yang pernah kita jalani.

Demikian pula ketika kita membaca diary orang lain. Maka kita seolah terjun bebas ke dalam labirin pengalaman orang tersebut, melihat masalah dengan cara pandangnya, kemudian belajar memaknai suatu masalah dengan cara pandang teman kita sendiri. Kita belajar untuk memahami sesuatu, bukan untuk menjelaskannya dengan cara kita sendiri, melainkan denmgan cara orang lain. Dengan kata lain, diary adalah mesin waktu yang melontarkan kita pada suatu masa.

Saya ingat dalam serial Harry Potter, ada adegan ketika Albus Dumbledore menarik benang-benang pemikirannya dengan tongkat sihir, kemudian melepaskannya dalam suatu baskom yang disebut pensieve. Dumbledore mengatakan bahwa dirinya sedang mengawetkan pikirannya yang sangat terbatas untuk mengingat banyak detail. Suatu ketika, Harry terjatuh dalam baskom itu, dan dirinya kemudian melihat berbagai kejadian yang menimpa Dumbledore. Saat itu, Harry melihat sebuah kejadian dengan cara pandang Albus Dumbledore.

Berbeda dengan kisah itu, kita tak perlu meminjam tongkat sihir Dumbledore untuk mengbadikan ingatan kita. Yang kita butuhkan hanyalah memaksimalkan jemari kita untuk mencatat diary demi mengabadikan kenyataan itu. Tongkat sihir itu ada dalam diri kita sebagaimana yang saya lakukan saat ini, yaitu mengabadikan kesan saya atas sesuatu. Kira-kira demikian.(*)


Dunia Persilatan Akademik

SESEORANG yang memasuki rimba dunia ilmiah, laksana memasuki sebuah arena persilatan. Teori adalah jurus yang digunakan untuk mempertahankan diri. Metodologi adalah variasi jurus yang digunakan ketika berjumpalitan untuk menafsir jurus lawan tanding. Dunia ilmiah adalah arena tanding yang selalu mencari pemenang. Ketika jurus anda tak terkalahkan, nama anda akan dipahat pada barisan mereka yang merajai rimba persilatan akademik. Namun ketika anda kalah, anda akan menerima nasib sebagai pecundang yang dunianya hanya mengutip jurus dan teori orang lain.(*)

Motor Baru, Langkah Panjang

SEJAK punya motor, kaki ini sedemikian panjang ketika melangkah. Dulunya, saya tak biasapergi jauh sebab ongkos angkutan begitu mahal. Kini, saya justru jadi pengelana yang selalu lupa jam pulang. Hampir setiap hari saya keluar rumah dan jarang pulang demi berbagai hal-hal yang menyisakan kelelahan di tubuh ini.(*)

Kuliah Filsafat, Kuliah Inspiratif

HARI Senin lalu saya mengajar mata kuliah Filsafat Komunikasi. Seperti biasa, saya selalu berusaha membuat kelas yang riuh menjadi hening. Kali ini, saya mengisahkan bagaimana filsafat barat mengalami pencerahan ketika Perancis luluh lantak. Saya seolah membawa mahasiswa berkelana menelusuri lorong waktu ke zaman ketika Perancis bergolak. Para buruh bahu-membahu menghancurkan penjara Bastille dan menurunkan Kaisar Louis XVI. Suasana Perancis gemuruh, segemuruh semangat ketika saya sedang mengajar.

Saya melihat sorot mata penuh keingintahuan. Para mahasiswa terpesona dan bertanya banyak hal tentang perkara-perkara filsafat yang memusingkan itu. Mungkin, saya berhasil membuat mereka pusing hingga pikirannya bekerja. Saya berhasil mengail rasa ingin tahu mereka untuk tak henti bertanya tentang dunia filsafat yang membuat pikiran kita berpusing-pusing.

Setiap kali mengajar, saya selalu ingin meniru Pak Harfan – seorang guru dalam film Laskar Pelangi—yang suaranya menggetarkan. Saya ingin menjadi setitik cahaya yang berpendar di tengah gelap. Saya tahu bahwa mereka jenuh dengan sistem pendidikan hari ini. Mungkin mereka bosan mendengar ceramah para dosen yang ilmunya tak pernah maju. Para dosen yang tahunya hanya jadi tim sukses politik, tanpa mengasah kepekaan sains. Saya tak mau memilih jalan itu. Saya lebih bahagia ketika memilih jalan sunyi di dunia akademik.

Makanya, ketika mengajar, saya berusaha memberi inspirasi. Saya ingin membangkitkan semangat dari dalam dirinya bahwa mereka sanggup untuk melakukan segala hal-hal yang besar. Tugas saya adalah membangkitkan keyakinan untuk berbuat hal-hal yang luar biasa, mengubah yang mustahil menjadi hal yang musykil.

Saya bahagia melakukannya. Saya ingin menjadi guru yang bisa membuka pikiran mahasiswa dan menunjukkan dunia lain yang begitu benderang. Saya ingin menjelmakan pengetahuan menjadi embun sejuk yang membasuh segala letih dan lelah dalam menelusuri bahtera kehidupan.(*)



Orasi Kebudayaan Badko HMI

TADI siang saya ketemu para pengurus Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sulselra. Kebetulan, Ketua Umum Badko HMI sulselra yang baru adalah perempuan dan menjalani LK 2 di HMI Cabang Makassar Timur, di mana saya pernah menjadi pemateri. Saya senang juga ketemu mereka sebab bisa reuni membahas bagaimana HMI dulu dan HMI sekarang.

Mereka sedang membahas rencana pelantikan pengurus yang rencananya akan diadakan hari kamis ini. Mereka sedang kebingungan karena sejumlah senior HMI yang diminta untuk membawakan orasi kebudayaan, tiba-tiba menolak hadir. Di antaranya adalah Prof Qasim Mathar, Dr Alwi Rahman. Anehnya, tiba-tiba ketua badko meminta agar saya saja yang membawakan orasi. Saya merekomendasikan sejumlah politisi, namun mereka menolak. Mereka ingin agar orasi tersebut murni dibawakan oleh akademisi.

Saat itu, ketua badko tetap ngotot meminta saya untuk membawakan orasi kebudayaan. Saya tetap ngotot untuk menolaknya. Kasihan juga Badko HMI kalau orasi kebudayaan dibawakan oleh seseorang yang belum punya profesi jelas. Saya minder juga dalam suasana itu. Mereka ngotot, namun saya juga ngotot. Akhirnya, diskusi berakhir ketika saya merekomendasikan sejumlah nama dosen muda di UIN Alauddin, yang saya anggap layak untuk itu.(*)



Nonton Film Shinjuku Incident


SELAMA dua minggu ini, saya dua kali nonton film di bioskop. Mulai dari film Indonesia yang berjudul Wakil Rakyat, hingga film Asia berjudul Shinjuku’s Incident. Bagi saya, film Wakil Rakyat agak lumayan menghibur, meskipun saya terganggu dengan format film yang sebenarnya lebih diperuntukkan untuk sinetron. Gambarnya banyak close up sehingga agak mengganggu bagi yang menyaksikan film ini di bioskop. Namun, saya cukup senang dengan penampilan Tora Sudiro yang apik, serta reuni kocak para personel Srimulat.

Yah, film ini lumayan menghibur di tengah situasi politik yang tidak menentu seperti sekarang. Setidaknya ada film yang lebih lucu dibandingkan dagelan politik setiap hari yang tayang di televisi.

Film kedua yang saya tonton adalah Shinjuku’s Incident yang dibintangi Jackie Chan. Saya nonton film ini karena sejak dulu saya adalah salah satu penggemar film-film kocak ala Jackie Chan. Namun, film ini justru sangat berbeda dengan genre film Jackie. Yang muncul bukanlah film kocak, melainkan film serius tentang pertarungan antar gank atau mafia di Jepang. Film ini mengisahkan bagaimana perjalanan para imigran Cina saat tiba di Jepang, kemudian bagaimana mereka bertahan hidup di tengah situasi yang berat. Mereka memilih menjadi kriminal dan menguasai kawasan bisnis paling ramai di Jepang yaitu Shinjuku. Kelompok Yakuza –mafia Jepang—merasa tidak suka dengan hal itu, sehingga di akhir film mereka menyerbu ramai-ramai sambil membawa golok. Mereka melakukan serangan ala samurai untuk menghabisi orang-orang Cina yang solidaitasnya mulai goyah karena pengaruh uang dan kriminalitas.

Kisahnya cukup seru; ada tragedi, kesedihan, serta gembira dalam film ini. Ketika keluar di bioskop, saya masih terkenang-kenang dengan tragedi dalam film ini. Mungkinkah kehidupan adalah sebuah tragedi yang harus kita menangkan demi sebuah masa depan? Bisakah kita memilih jalan menyimpang dari harus melawan tragedi?


Tetap Merawat Blog Ini

MAAFKAN karena lama tidak mengisi blog ini. Belakangan ini, saya terjebak dengan berbagai urusan yang kian memenjarakan hari-hari. Saya harus menyesuaikan diri dengan beragam aktivitas yang amat melelahkan. Secara perlahan saya mulai kehilangan kuasa atas tubuh ini. Makanya blog ini seolah tidak terawat. Namun, hari ini saya bertekad (entah, ini untuk keberapa kalinya saya bertekad) untuk tetap setia menjaga blog ini. Harus selalu ada ruang bagi saya untuk menumpahkan semua hal yang membuat kepala ini nyaris meledak. Blog ini adalah ruang untuk itu.

Memilih Tidak Mencoblos

SAYA tak mencoblos di hari pemilu. Bukannya saya sok idealis kdan berpikir bahwa apa sih pengaruh suara kita di bilik suara. Bukan itu. Saya mencoblos karena tidak terdaftar dalam DPT. Padahal, saya adalah warga Indonesia yang cukup taat sebab punya KTP (meskipun KTP saya ada dua). Setidaknya, saya memenuhi semua hak sebagai warga Negara. Makanya, selama hari pemilu, saya memilih untuk tetap berada di rumah. Mendingan saya duduk manis, nonton tivi, dan mengetahui kabarnya melalui televisi.(*)

Bertemu Tiga Orang Jepang


MINGGU ini saya tiga kali bertemu orang Jepang. Yang pertama adalah antropolog yang sedang meneliti budaya siri di Sulsel. Namanya Iwata, namun teman-teman di Divisi Humaniora, Pusat Kajian Penelitian (PKP) Unhas, memanggilnya dengan sapaan Iwata San. Kata San adalah kata yang diletakkan di belakang nama seseorang di Jepang. Ia mahasiswa pascasarjana antropologi di satu universitas di Kyoto, sebuah kota yang dulunya menjadi pusat imperium Kekaisaran Jepang.

Saat bertemu dengannya, ia terlihat sangat senang, sebab mengenal beberapa orang antropolog UI yang pernah ke Jepang. Ia menanyakan kabar dosenku Prof Sulistiyowati, Prof Yunita Winarno, dan Dave, seorang alumnus UI yang baru saja menyelesaikan pendidikan doktoral di Kyoto. Sebaliknya, ia juga mengabarkan keadaan Hiroko Yamaguchi, seorang antropolog Jepang yang pernah meneliti di Buton, beberapa tahun lalu. Kami berbincang cukup akrab. Saya juga menanyakan apa kesimpulannya setelah keliling Sulsel untuk meneliti budaya siri’. Ia agak hati-hati menjawab karena dikiranya saya punya banyak pengetahuan tentang hal yang hendak ditelitinya. Akhirnya, ia menjawab singkat. Siri adalah konsep yang amat abstrak. Ia masih berupaya mencari tahu.

Orang Jepang kedua yang saya temui adalah Kenta. Wajahnya sangat tampan dan rambut lurus ala anak muda Jepang. Ia mengingatkan saya pada Kotaro Minami, sosok yang bisa berubah menjadi Ksatria Baja Hitam (Kamen Rider). Ia bekerja sebagai project officer di Toyota Foundation, Jepang. Ketika datang di PKP Unhas, ia menjelaskan seluk-beluk pengajuan proposal riset ke lembaganya. Toyota Foundation menyiapkan dana yang cukup banyak untuk riset di Indonesia.

Namun, beberapa kali ia menegaskan bahwa riset yang dibantu adalah riset yang sesuai dengan visi Toyota Foundation yaitu revitalisasi budaya lokal yang bisa membawa dampak bagi masyarakat sekitarnya. Anehnya, ketika saya dan teman-teman hendak mengantarnya pulang, ia menolak menaiki mobil yang kami sediakan. Usut punya usut, ternyata mobil itu adalah Honda dan bukannya Toyota. Sebegitu setianya seorang karyawan Toyota, sampai-sampai hanya mau naik mobil Toyota saja, meskipun jauh dari negerinya.

Orang Jepang ketiga yang saya temui adalah Mr Matsui. Teman-teman di Penerbit buku Ininnawa memanggilnya Pak Matsui. Ia seorang antropolog yang bekerja di JICA, sebuah lembaga nirlaba yang dimiliki oleh pemerintah Jepang. Saya bertemu Matsui di Mall Makassar Town Square, dalam acara bedah buku Assikalabinaeng, Kitab persetubuhan Orang Bugis. Pertemuannya terjadi secara tidak sengaja. Ketika menghadiahkan buku Menyibak Kabut di Keraton Buton pada seorang teman, tiba-tiba saja Matsui datang dan membuka-buka buku itu.

Raut wajahnya sangat penasaran sekaligus senang melihatnya. Ia lalu bertanya, apakah buku itu bisa ditemukan di beberapa buku di kota Makassar. Saya menjawab bahwa buku itu hanya dipajang di Toko Buku Gramedia di Kendari. Ia heran dan bertanya mengapa tidak dijual di Makassar. Saya katakana kalau buku itu dicetak terbatas dan hanya beredar di Sultra. Melihat antusiasnya yang besar, saya bermaksud menghadiahkannya satu buku. Ternyata ia menolaknya dan mengatakan bahwa ia ingin membelinya, berapapun harga yang saya minta. Sementara, saya menolak menjualnya sebab buku itu benar-benar saya niatkan untuk diberikan. Namun ia tetap tak mau diberi, kecuali dibelinya. Ia juga mengatakan dalam waktu dekat ini akan ke Kendari. Akhirnya, setelah lama berbincang, saya persilakan ia untuk membeli saja di Gramedia Kendari. Ia langsung mengangguk. Rasanya agak aneh juga memahami orang Jepang. Mau dikasih nggak mau, kecuali beli….(*)




Portkey yang Membekukan Ingatan

SEBUAH benda yang pernah kita miliki bisa mendatangkan getar tersendiri bagi kita. Benda itu laksana sebuah laci yang menyimpan banyak ingatan kita tentang sesuatu, pada suatu masa. Hari ini, saya bertemu dengan sebuah motor yang dulunya tiap hari saya gunakan. Benda itu punya memori yang tertancap kuat di benak ini. Benda itu begitu berarti sebab saya membelinya dengan uang sendiri, pada periode ketika saya masih punya pendapatan rutin setiap bulannya.

Saya memberi nama motor jenis Suzuki Smash itu dengan sebutan Portkey. Suatu hari, saya pernah naik motor itu dari kosku di Jalan Cenderawasih, menuju ke pondokan Dwi. Tiba di Pondokan, saya lalu singgah di wartel dan menelepon Dwi. Saya sedikit berbohong dan berkata bahwa saya baru mau berangkat. Tiga menit berikutnya, saya lalu mengetuk pintu kamarnya. Ia tersentak karena mengira saya baru mau bergerak ke situ. Saya jawab kalau saya naik Portkey. Dalam kisah Harry Potter, Portkey adalah medium untuk berpindah tempat. Semacam lorong waktu yang memintas jarak, ketika kita menyentuhnya, maka saat itu juga bisa melontarkan kita ke suatu tempat.

Mendengar kata Portkey, Dwi langsung tidak percaya, namun wajahnya masih penasaran. Tak lama kemudian, ia lalu tersenyum riang dan menjawab, “Pasti Potkey-nya berbentuk motor. Iya khan..” katanya. Mulai saat itulah saya menamai motor itu dengan nama Portkey.

Hari ini saya melihat Portkey sedang parkir di belakang motor baru yang belum lama saya beli. Saya tak bisa berkata-kata. Ada banyak kenangan yang melintas di kepala ini tatkala melihat motor itu. Saya membayangkan sebuah periode ketika motor itu mengisi banyak hal dalam hari-hari yang saya lalui. Saya membayangkan pengalaman bersama motor itu, menyusuri sudut-sudut kota Makassar, bergaul erat, dan mengisi hari-hari dengan banyak hal. Motor itu membekukan ingatan dan menghamparkannya ke dalam kepala saat menyaksikannya.

Saya membayangkan andai saja motor itu manusia, mungkinkah ia akan berteriak girang melihat saya? Mungkinkah ia akan melepaskan rindu pada seseorang yang menjadi tangan pertama memakainya ketika keluar dari toko, kemudian rapi memelihara, dan mengajaknya keliling kota. Ada juga rasa sedih ketika melihat motor itu. Andaikan dia manusia, mungkin saya ingin minta maaf karena pernah menjualnya. Saya ingin minta maaf karena pernah menelantarkannya. Saya ingin menjelaskan bahwa berkat dirinya, saya bias menuntaskan kuliah di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Yah… motor itu menyimpan lapis kenangan. Andai saya punya banyak duit, saya ingin membeli, kemudian mengoleksinya di rumahku. Ingin saya perlihatkan kepada anak-anak saya kelak bahwa motor ini berjasa besar kepada bapaknya. “Motor ini membuat bapakmu berhasil jadi orang…” khayalku.(*)

Modifikasi Blog agar Tidak Jenuh

BARANGKALI perlu ada sedikit modifikasi agar blog ini tidak menimbulkan kejenuhan. Dalam waktu dekat ini, saya akan merombak blog ini secara besar-besaran. Hari ini saya cuma mengganti foto tampilan depan saja. Mudah-mudahan besok, saya bisa mengganti font dan template blog ini. Saya kira, penyegaran sangat mutlak diperlukan untuk memelihara semangat menulis di blog ini. Itu saja.

Dragon Ball yang Kurang Greget


KEMARIN saya singgah nonton film Dragon Ball: Evolution yang sedang tayang di bioskop. Poster film yang disutradarai James Wong ini cukup mencolok mata. Bergambar seorang remaja bule dengan rambut jabrik dan memegang bola merah berisikan bintang berkilau. Gambarnya begitu menarik dan langsung mengingatkan pada serial yang dulunya sangat saya favoritkan.

Hampir setiap minggu, saya selalu nonton film kartun ini. Makanya, ketika melihat poster film itu, saya langsung dipenuhi semangat untuk menyaksikannya. Saya penasaran bagaimana visualisasi sang jagoan yaitu Sun Goku ketika mengeluarkan jurus andalannya yaitu Kamehameha. Kata teman saya, gerakan Goku persis gerakan Wiro Sableng ketika mengeluarkan pukulan Sinar Matahari. Saya sendiri berpikir lain. Justru Wiro Sableng yang meniru gerakan Goku. Entah, mana yang benar.

Sebenarnya, saya agak malas menyaksikan film jenis adaptasi seperti ini. Biasanya sih, film adaptasi membuat kenangan kita atas film kartun jadi porak-poranda. Tapi, saya tetap saja ingin menyaksikannya. Bagaimanapun, film layar lebar jelas berbeda dengan film kartun. Setidaknya, dengan menonton satu fim layar lebar, maka kita bisa menyingkat durasi film kartunnya yang sangat panjang, sekitar ratusan episode.

Meskipun sadar bahwa film bioskop beda dengan film kartun, ternyata saya tak bisa tahan untuk selalu membandingkannya. Sejak awal, saya memprotes kenapa pemeran Goku adalah seorang remaja bule berbadan agak tinggi. Padahal kalau dalam versi kartun, Goku adalah anak kecil yang selalu mengenakan baju warna jingga. Kemudian, sosok Bulma terlampau cantik dan seksi. Demikian juga Chi Chi, kekasih Goku. Selain itu, sosok Jin Kura-Kura, tidak lagi berwujud orang tua dan punya punuk kayak kura-kura. Sosoknya diganti dengan sosok aktor Chou Yun Fa yang sakti dan lihai ketika melatih Goku. Saya agak kecewa karena tak ada tokoh Klirin.

Film ini dibuat dengan setting kehidupan modern. Goku seolah hidup pada zaman modern di mana banyak gedung pencakar langit, kemudian senjata otomatis ala film The matrix. Sosok Goku mendominasi keseluruhan adegan film. Digambarkan bahwa dirinya berulangtahun ke-18, kemudian menerima bola naga yang berisikan lima bintang. Di malam hari, ia menyelinap keluar rumah dan bertandang ke rumah pujaan hatinya, dan saat itu juga datanglah sosok raksasa hijau Jin Piccolo. Rumah Goku porak-poranda dan kakeknya yang bernama Gohan, kemudian kalah berkelahi.

Ketika Goku pulang, ia masih sempat menemui kakeknya yang sakaratul maut dan memberikan pesan untuk segera mengumpulkan tujuh bola naga dan menemui Jin Kura-Kura untuk minta petunjuk. Film ini diisi dengan petualangan Goku untuk mengumpulkan tujuh bola naga. Di akhir film, Goku kemudian berkelahi dengan Piccolo demi menyelamatkan alam semesta. Ia lalu mengeluarkan jurus Kamehameha demi menghadang sinar merah yang dikeluarkan Piccolo yang langsung kalah. Alam semesta diliputi kedamaian. Dunia terang benderang. Inilah kisah singkat yang coba diangkat oleh film ini.

Saya rasa, film ini tak begitu jeli dengan detail-detail yang ada dalam film kartunnya. Saya bisa membayangkan bahwa pasti sangat sulit untuk memvisualkan durasi kartun yang sangat panjang. Bagi mereka yang tak pernah menyaksikan kartunnya, pastilah akan kesulitan memahami film ini. Kita langsung dibawa pada alur yang sangat cepat, tanpa memahami dengan baik alur cerita serta karakter dari banyak tokoh di film ini. Jadinya, film ini jadi tanpa greget. Saya merasa kehilangan romantisme film ini. Film Dragon Ball jadi kehilangan greget.(*)



Empat Buku yang Saya Susun

JIKA tak ada aral melintang, tahun ini saya akan mengeluarkan empat buah buku. Mudah-mudahan bisa terrealisasi keempatnya. Buku itu adalah (1) edisi revisi buku Menyibak kabut di Keraton Buton, (2) Naskah Buton, Naskah Dunia. Buku lainnya adalah tesis saya sendiri yang berjudul Ingatan yang Menikam, serta buku Telaah Media dan Perubahan Sosial, yang dikerjakan bersama Pusat Studi Media, Unhas.

Saya berharap semoga keempat buku itu bisa terrealisasi. Namun, jika ada masalah, paling banter saya bisa menuntaskan cuma sekitar dua buah buku tentang Buton. Dua buah buku itu sudah ada dananya, tinggal bagaimana mengawal proses pengerjaannya. Pemkot Bau-Bau telah mengucurkan dana awal buat Respect –lembaga yang saya bentuk bersama teman-teman di Bau-Bau—sebesar Rp 150 juta. Mudah-mudahan, dana itu bisa dimaksimalkan untuk mengeluarkan dua buah buku tersebut.

Bersama teman-teman Respect, saya berusaha memaksimalkan kinerja lembaga kami. Meskipun proyek ini nuansa profitnya sangat kuat, namun kami harus tetap idealis. Kami harus tetap mengayam mimpi agar buku ini bisa menjadi salah satu buku terbaik yang dihasilkan tentang Buton. Mmpi itu harus tetap membara di hati kami semua.

Jika buku tentang Buton sudah ada dananya, maka dua buku lainnya, masih belum jelas. Saya masih harus bekerja keras menyempurnakan karya itu, kemudian ditawarkan ke lembaga penerbit. Sebuah penerbit yang terbit di Yogyakarta, sudah menawarkan diri untuk mempublikasikannya. Namun, saya masih harus terus menyempurnakannya. Semoga semua bisa terbit. Insya Allah....


Selamat buat Dwi


TERIRING selamat buat Dwiagustriani yang diterima kerja di Bank Mega. Semoga kelak bisa mentraktir dan menjadi malaikat bagi saya tatkala tak punya uang. Selamat yaaa